OTAK, instrument pikir akan menghasilkan output untung - rugi, mungkin - mustahil dan benar - salah (berdasarkan ukuran-ukuran yang diciptakan manusia sendiri). Sedang HATI, instrument rasa akan menghasilkan output manfaat - mudlarat, pantas - wagu dan etis - tidak etis (bersarkan inspirasi yang diperoleh dari Sang Pencipta). Otak dan hati adalah dua perangkat yang berbeda. Ketika kita menyiapkan waktu dan ruang di hati untuk menyongsong datangnya inspirasi maka tinggalkan otak, berhentilah berpikir agar inspirasi lebih cepat masuk ke dalam relung hati.

(Pujo Priyono)

===================================================

29 November 2008

Cintakah ini?

teramat banyak janji yang harus ditepati
kutu loncat berkeliling menari-nari
selagi ada ufuk dan bidadari yang menelanjangi hari
segera ku jumpai nafas taubat walau sedetik sekali

keramatkah hari ini?

selangkangan ditaburi bunga kamboja
ramuan jaman diteguk seluruh semuanya
isapan dendam meracuni jantung hatinya
kemudian kata cinta muncrat dari tangisnya

Racunkah ini?

mengabdi sebagai asmara romansa
mengembalakan proses dan nada-nada
menunggu lentera di ujung cahaya
kemudian tangis cinta mengucur bersama kata

Cintakah ini?

Mencari Kata

Ingin membuka cakrawala pikir
Yang ditemui hanya detik kosong
Menemui jiwa yang kebingungan di sampah kata
Yang ada hanya cumbu, sekedar mesiu
Selangkah lagi ajal menjejal
Aku…
Aku mati dibawah dermaga rimba

28 November 2008

DUNIA SERBA TUHAN ATAWA TUHAN SEMAKIN BANYAK

Di mana-mana semakin banyak tuhan
Di Irak dan Iran
Di Israel dan Afganistan
Di Libanon dan Nikaragua
Di India dan Srilangka
Di JEpang dan Cina
Di Korea dan Pilipina

Tuhan semakin banyak
Di Amerika dan Rusia
Di Eropa dan Asia
Di Afrika dan Australia
Di NATO dan PAlta Warsawa
Di PBB dan badan-badan dunia


Dimana-mana tuhan, ya Tuhan
Disini pun semua serba tuhan
Disini pun tuhan merajalela
Memenuhi desa dan kota
Mesjid dan gereja
Kuil dan pura
Menggagahi mimbar dan seminar
Kantor dan sanggar
Dewan dan pasar
Mendominasi lalu lintas
Orpol dan ormas
Swasta dan dinas

Ya Tuhan, di sana-sini semua serba tuhan
Pernyataanku pernyataan tuhan!
Kebijaksanaanku kebijaksanaan tuhan!
Keputusanku keputusan tuhan!
Pikiranku pikiran tuhan!
Pendapatku pendapat tuhan!
Tulisanku tulisan tuhan!
Usahaku usaha tuhan!
Khutbahku khutbah tuhan!
Fatwaku fatwa tuhan!
Lembagaku lembaga tuhan
Jama’ahku jamaah tuhan!
Keluargaku keluarga tuhan!
Puisiku puisi tuhan!
Kritikanku kritikan tuhan!
Darahku darah tuhan!
Akuku aku tuhan!

Ya Tuhan!

1987+1429

Tertegun (Puisi Gus Mus)

Tertegun dalam kelabu
langitku
aku mencoba membayangkan
mentari di balik gemawan
yang sejak lama tak menyinari
rumah-rumah kalbu

Tertegun dalam pengap
udaraku
aku berusaha menghirup
sisa wewangianyang berguguran
dalam bunga-bunga layu

(Burung-burung berpatahan
sayapnya bahkan
berkaparan
oleh racun dari kemasan
yang menyilaukan)

Tertegun dalam keruh
lautku
aku bertanya-tanya
dalam kesendirian
masihkah batinmu menyimpan
mutiara-mutiara biru?

Tertegun dalam pekat
bumiku
aku memandang kosong
tanah-tanah yang ditinggalkan
atau diperebutkan
orang-orang gagu

(Meraba-raba dalam gelap
negriku
aku mencari-cari
merahputihku
yang terkoyak tangan sendiri)

Menengok Ke Belakang Untuk Maju Ke Depan

Oleh: A. Mustofa Bisri


“Haasibuu anfusakum qabla an tuhaasabuu”, Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. (Sayyidina Umar Ibn Khaththab r.a.)

Menjelang akhir tahun, ada baiknya kita menengok sejenak ke belakang untuk keperluan memperbaiki atau menyempurnakan langkah kita ke depan



Tahun ini, isu politik dan tingkah-polah para politisi masih dominan. Terutama, tentang banyaknya tokoh yang mencalonkan dan mengiklankan diri sebagai pemimpin negara, pemimpin daerah, maupun “wakil rakyat”. Juga, tentang tersangkutnya banyak politisi dalam kasus korupsi. Sedemikian dominannya, sehingga isu tentang krisis global sekalipun tidak mampu mempengaruhinya.

Saya sendiri heran dan bertanya-tanya, apa sih yang terjadi di negeri ini dan bangsa ini? Kalau dibilang negeri ini carut-marut dan mengalami krisis kepemimpinan, mengapa banyak tokoh yang kepingin memimpin atau tepatnya kepingin dipilih menjadi pemimpin? Kalau dibilang citra politisi dan legislatif sedemikian buruknya, mengapa orang masih berebut mencalonkan diri sebagai caleg, termasuk artis-artis? Kalau mereka semua itu bicara tentang kemiskinan rakyat, mengapa harta mereka yang berlimpah hanya untuk mengiklankan diri atau sekedar “investasi kedudukan”?

Di tahun ini, peringatan-peringatan seperti Hari Kemerdekaan, Hari Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda, dan Hari Pahlawan; gaungnya-dan perhatian masyarakat terhadap maknanya-masih kalah dari misalnya peringatan Hari Valentine. Persoalan-persoalan mendasar seperti kemanusiaan, kebangsaan, kemiskinan dan keterbelakangan terdesak oleh isu-isu tentang Ahmadiyah dan “aliran sesat”, pornografi dan “jihad fi sabilihizbi kullin wara’yihi”.

Yang mengusik perhatian dan boleh jadi bahkan menggetarkan sanubari kita, adalah terus-menerusnya fenomena kekerasan dan kebencian, termasuk yang muncul dari mereka yang merasa dan mengaku umat Nabi Muhammad SAW. Nabi agung yang lembut, santun dan penuh kasih sayang. Peristiwa-peristiwa yang menjadi tajuk berita di negeri kita akhir-akhir ini yang berkaitan dengan sikap keberagamaan, sungguh perlu mendapat perhatian terutama dari para pemimpin dan ahli agama.

Kekerasan yang dilakukan oleh para pengikut aliran yang merasa diri paling dekat dengan Allah dan paling benar sendiri, merupakan tanggungjawab para pemimpin agama, bukan saja-meskipun terutama-pemimpin aliran itu sendiri. Amar-makruf dan nahi (‘anil) munkar yang biasa dijadikan dalih menghalalkan tindakan kekerasan dan kekejaman, menurut hemat saya, justru merupakan manifestasi atau pengejawentahan dari kasih sayang Islam. Amar makruf dan nahi (‘anil) munkar tidak mungkin dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki kasih sayang. Amar makruf dan nahi (‘anil) munkar yang dilandasi kebencian, jelas bukan amar makruf nahi (‘anil) munkar yang diajarkan Nabi Kasih Sayang, Rasulullah Muhammad SAW.

Ada lagi, yang melakukan tindak kekerasan dan bahkan pembantaian dengan dalih jihad. Marilah kita lihat kembali jihad menurut contoh dan ajaran Rasulullah SAW. Kalau pun jihad fii sabiilillah dimaknai sempit, yaitu hanya diartikan qitaal, Rasulullah SAW telah memberi contoh dan mengajarkan aturan dan etika qitaal sedemikian bijak . Lagi pula, jihad fi sabiilillah berarti berjuang di jalan agama Allah. Jadi, harus karena dan dengan aturan yang ditentukan Allah. Jihad yang hanya karena nafsu amarah dan kejengkelan, bukanlah jihad fii sabiilillah. Jihad yang ngawur tidak memperhatikan aturan dan tuntunan Rasulullah SAW, bukanlah jihad fii sabiilillah. (Baca misalnya Q. 5: 8; Shahih Bukhari 1/58 Hadits 123; Shahih Muslim 3/1512 Hadits 1904, lihat juga bab Jihad)

Satu lagi berita yang dibesar-besarkan pers. Yaitu, pernikahan Pujiono Cahyo Widianto. Orang kaya yang dipopulerkan pers dengan julukan Syeh Puji ini mengawini gadis cilik Lutviana Ulfa yang belum genap 16 tahun. Seandainya sebelumnya, pengusaha hiasan dinding kaligrafi ini tidak menjadi berita karena membagikan zakat dan tidak mengumumkan pernikahannya tersebut, mungkin tidak akan menjadi berita nasional yang menghebohkan. Mungkin tokoh gundul berjenggot ini mau meniru pernikahan Kanjeng Nabi dengan Sayyidatina Aisyah r.a. Kalau benar demikian, ini satu bukti lagi bahwa dalam meniru atau ittibaa’ Kanjeng Nabi Muhammad SAW, orang cenderung asal saja dan hanya berdasarkan kesenangannya.

Selintas kita telah menengok ke belakang; maka adakah di sana pelajaran yang dapat kita ambil bagi memperbaiki dan menyempurnakan langkah kita selanjutnya ke depan?

27 November 2008

Nama Problem Kita: Lupa Sejarah

Ditulis Oleh Sujiwo Tejo
Senin, 20 Oktober 2008
Setiap masalah yang timbul dalam kehidupan kita seyogyanya kita kasih nama. Dan seyogyanyalah nama yang tepat.

Kira-kira kayak gitu mutiara yang dapat saya rangkum dari beberapa kawan motivator. Teman-teman yang bergerak di bisnis pemberian motivasi ini meyakini satu hal. Betapa banyak orang tak sanggup memecahkan persoalan hidupnya, semata-mata cuma lantaran mereka belum kasih nama yang tepat pada persoalan itu.


Kaum motivator itu tak keliru. Bagaimana kita akan memecahkan suatu perkara, dengan kata lain bagaimana kita akan berkomunikasi dengan problem tersebut, menyapanya, kalau nama problem itu saja kita tak tahu apa tepatnya.

Saya kerap mendapati orang yang hidupnya hampa. Kasusnya belum ia beri nama. Tapi gairah itu kemudian bangkit setelah ia namai persoalannya dengan “Kurang Tersalurnya Hobi”. Ia lantas menyalurkan hobinya yang tertimbun selama ini oleh rutinitas kerja. Hidupnya jadi berwarna.

Saya kerap mendapati orang yang hidupnya hampa meski sudah memberi julukan, nama bahkan judul pada problem hidupnya. Tapi judulnya kurang tepat. Ia kasih judul “Selalu Kekurangan Uang”.

Hidupnya perlahan membaik setelah nama problemnya ia tukar-tukar dengan “Selalu Berlebihan dalam Pengeluaran Uang”, “Selalu Kurang Bergairah Mencari Tambahan Uang”, “Kurang Memanfaatkan Hobi dan Potensi Lain sebagai Sumber Mata Pencaharian Baru”, dan lain-lain…

Tiba-tiba saya berpikir, jangan-jangan monumen untuk sebuah kota mirip dengan nama untuk suatu problem dalam hidup kita. Setelah problem itu kita kasih nama, kita baru sadar posisi kita. Kita sadar akan konteksnya.

Setelah sebuah kawasan tempat kita berada lantas ada monumennya, kita baru sadar akan posisi kita. Terutama dalam konteks hubungan kita dengan masa lampau, dengan asal-usul. Padahal, orang bijak acap berujar, tak bakalan kita tahu tujuan kita kalau tak kita tahu muasal kita.

Apa yang bakal dicapai secara bersama oleh warga Jakarta sebagai Ibu Kota khususnya, dan warga Indonesia umumnya, jika kita tak tahu bahwa sesungguhnya permulaan kita adalah petani.

Sedemikian petaninya asal mula kita sampai Patung Pahlawan di kawasan Menteng, yang dibikin Matvei Manizer dan Otto Manizer dari Rusia, disebut sebagai Patung Pak Tani alias Tugu Tani.

Barangkali karena meski sosok di monumen itu menyandang bedil, ia pun mengenakan caping. Ia sedang minta restu buat pergi bertempur pada perempuan di sisinya, yang tampak seperti para perempuan di sawah ketika mengirim panganan untuk para petani.

Kehilangan konteks asal-usul, segera pula kita kehilangan orientasi akan hari depan. Kita akan menjadi negara industri atau pertanian? Saya kaget ketika kawan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi bilang, sebenarnya kita masih kaya akan agro-energi. Bukan cuma pohon jarak dan kelapa sawit. Gila! “Sebenarnya masih ada 60-an jenis tumbuhan di Nusantara ini yang bisa jadi alternatif energi,” katanya.

Dan tolok ukur apakah kita masih menghargai monumen atau tidak, gampang. Apakah monumen-monumen di Jakarta itu masih menjadi pedoman orientasi kita?

Apakah kita akan lebih sering menyebut kampus Universitas Dr Mustopo Beragama dekat Plaza Senayan, ketimbang dekat Patung Pemuda? Apakah kita masih akan lebih sering menyebut Bunderan HI itu dekat Plaza Indonesia, ketimbang dekat Patung Selamat Datang?

Dan bila seseorang menyebut Lapangan Banteng, mana yang segera muncul di benak kita? Kantor Pos Pusat? Departemen Keuangan? Hotel Borobudur? Atau Patung Pembebasan Irian Barat bikinan Edhi Sunarso?

Kutu Loncat (Panakawan 2)

Ditulis Oleh Sujiwo Tejo
Rabu, 26 November 2008
Semar: Eh, thole, Petruk dan Bagong. Gareng dowo umur-e. Saiki dirasani, saiki juga mak jleg datang ke Padepokan Karang Tumaritis.Rambut anyar. Piyak tengah. Bentuknya bokong tengkurap. Persis gedung MPR/DPR. Tapi dia nda’ terus duduk.

Gareng: Dari tadi aku mondar-mandir karena sedang berpikir: Aku bingung, tapi kalian ndak tanggap-tanggap: Ndu’ Karang Tumaritis sini ini ne’ akan parkir mobil parkir-e nde’ mana?

Bagong: Ck ck ck ck…, Gareng wis bedo. Di DPR nembe sebulan ae muncul-muncul sudah bawa kendaraan. Kepergok Pak Kumis kuuaapok kamu ya…

Semar: Pak Kumis? Tukang sego goreng nduk Kwitang itu…?

Bagong: Antasari Azhar, goblok!

Semar: Eh, Gong, koen nggoblok-nggoblokno orang tua? Beliau itu bukan Pak Kumis, tapi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi.

Bagong: Tapi kumisan atau jenggotan?

Semar: Eh, thole, jangan underestimate pada penglihatan orang tua ya. Mataku ini pancen wis rembes, tapi jelas kulihat bahwa Ayu Azhari itu, eh Pak Antasari “Azhari” itu Kumisan.

Bagong: Ya berarti Pak Kumis. Podo karo Pak Sakerah. Kalau Pak Jenggot itu ne’ nda’ bakul jamu yo teroris.

Semar: Lho, tapi…

Petruk: Ini berantem generasi muda dan generasi jompo akan terus? Atau wis cukup? Terserah. Tapi ne’ di sini berubah arep dijadikan tempat bertengkar plang nama Padepokan Karang Tumaritis di depan itu ta’ ganti papan nama Dewan Pemimpin Pusat Partaiiii…

Gareng: Jangan, Truk. Ojok!! Kalian bukan partai. Karang Tumaritis alias Karang Kadempel ini kalau tidak ormas ya cuma yayasan. Karena partai itu kendaraan. Ne’orang nda pake kendaraan disebut calon independen. Makanya kere-kere sing arep munggah bale mau jadi bupati, walikota, gubernur atau presiden, selalu ditanya pake kendaraan apa, pake partai apa. Karena partai itu kendaraan. Tapi Karang Tumaritis jelas bukan partai. Karena Karang Tumaritis bukan kendaraan.

Petruk: Maksudmu, di Karang Kadempel ini nda’ ono’ parkir buat kendaraan?

Gareng: Itu antara lain. Dan dari dulu Karang Tumaritis ini anggota dan pengurusnya nda’ keluar masuk. Dari dulu pengurus merangkap anggota di Karang Kadempel ini ya tetap Panakawan. Nda’ pernah Petruk jadi kutu loncat keluar jadi sekjennya Dasamuka di Alengka. Nda’ nate Hanoman lompat pagar dari Prabu Rama masuk memimpin fraksi di Panakawan.

Semar: O iya, iya, Gareng bener. Dari dulu Panakawan ini ya ini-ini saja. Ada bungsu Bagong yang polos tapi ngengkelan. Ada Petruk yang easy going dan happy. Ada Gareng sing kerjaannya tukang analisa.

Petruk: Ada Semar. Sing kebijaksanaannya melebihi dewata tapi entute malah lebih bau dari entut jaran…

Semar: Hush! Eh, iya, empat kekuatan Panakawan itu sebenarnya satu. Satu sebenarnya empat. Papat dadi siji. Siji dadi papat. Ndade’no Jawa Timur…

Gareng: hehe…Iku iklan Pilkada Jawa Timur. Tapi soal partai dan kendaraan tadi itu aku serius.

Petruk: Waduh, serius maneh, Rek?

Gareng: Aku serius. Petruk jangan mengganti papan nama Karang Tumaritis dengan papan nama Partai. Ini beda. Partai-partai sekarang orangnya sedang musim transmigrasi. Mereka meninjing tas ke sana ke mari ngga’ jelas sedang belanja atau mau pindahan, persis lagu campur sari Rondo Kempling. Tahun lalu ngontrak di partai anu, tahun depan bisa boyongan ngontrak di partai lainnya.

Bagong: Ne’ pancen bener ngono, opo’o kok pemimpin partai masih disebut ketua umum? Kok Megawati nda’ dijuluki Ibu Kost PDI-Perjuangan? Kok Jusuf Kalla nda’ Bapak Kost Partai Golkar?

Petruk: Ya, sekarang masih belum, Gong. Nda’ tahu nanti-nanti…Tenang sajalah. Dalam laut dapat diduga, dalam celana siapa tahu.

Gareng: Ehmmm….Saya itu bahwa sesungguhnya prihatin. Prihatin melihat polah tingkah konco-konco di DPR yang jadi kutu loncat utowo pelompat pagar. Ini menunjukkan bahwa partai satu sama lain sudah ngga‘ ada bedanya. Setiap partai nda’ punya keunikan, nda’ duwe ideologi. Jadi orang-orangnya gampang pindah. Yang mereka kejar cuma kursi. Malah Panakawan ideologinya lebih jelas. Setiap masalah kita hadapi dengan empat jadi satu dan kosok baline.

Bagong: Oalah, Gareeeeng, Gareng, kamu itu gaweane mikir tapi goblok, Reng. Pindah-pindah partai itu ndak popo. Karena jare-mu partai itu kendaraan. Yang penting sampe tujuan. Ne’ koen arep nang Situbondo, ndu’ terminal Bungur Asih nda’ onok jurusan Situbondo adanya bus jurusan Jember, lompat saja. Probolinggo turun, pindah dan lompat ke bus jurusan Bondowoso. Besuki turun, pindah dan mencolot bus jurusan Banyuwangi turun tengah jalan di Situbondo. Sampe. Beres.

Petruk: Yo wis, beres, Reng, sana parkir dulu kendaraanmu di bawah pohon sawo jajar.

Gareng: Lho, siapa yang bawa kendaraan? Aku bukan anggota DPR. Aku ini di DPR cuma’ jadi penasihat spiritual sekaligus tempat curhat sekretaris-sekretaris di DPR yang di-faling in love-i bos-bosnya. Aku tadi cuma’ nanya di Karang Tumaritis ini ne’ umpama-ne parkir kendaraan di mana. Ya cuma nanya thok. Siapa yang punya kendaraan? Aku sendiri ke sini ya jalan kaki, mlaku, makanya sampe kurus dan kakiku sampe pengkor-pengkor semua ini, nda’ pake kendaraan apa-apa…

Bagong: Calon independen.

"Klambi Mar Korup" (Panakawan 1)

Ditulis Oleh Sujiwo Tejo
Selasa, 04 November 2008
Petruk: Kang Gareng, mbok mesem. Lihat dandananku sudah berubah. Dulu waktu musim seragam pesakitan Amerika sing abu-abu, anak-anak muda di Indonesia banyak yang pakai. Di jalan-jalan. Di mall. Nduk mana-mana. Sekarang ada trend anyar, baju untuk pesakitan Mar Korup Indonesia. Aku pakai. Sopo ngerti dadi ngetrend juga di kalangan kawula muda nantinya. Hehehe. O ya, ne’ ga’’ngerti Mar Korup, itu cara wong Jawa Timur njuluki tokoh. Dulu tokoh-tokoh ludruk pakai Mar semua kan? Markuat, Markaban, Markeso…



Wah, Mar Gareng, ayo ngguyu. Aduh, nonton awak peno belakangan ini kok gelap terus ya rupa-ne. PLN mati ae sik ada petromak-petromak-e. Banteng paling uiitem masih pakai putih-putih sithik nduk bokong-e. Masih onok hiburan-e. Mukamu babar blas ndak menghibur koyok foto paspor. Ya iki dudu’ urusanku memang. Perkoro tampangmu merengut atau sumringah, iku urusan Kang Gareng dewe. Perkoro sampeyan mau pakai brengos koyok Pak De Karwo, atau ndak brengosan koyok Bu Khofifah Indar Parawansa, ya urusanmu. Aku cuma’ ngomong, mukamu gulita. Wis yo, aku ta’ mancing dulu…

Semar: Eh, tunggu, Truk, Petruk. Jangan pergi dulu. Ojok! Tunggu! Eh, mancing bisa kapan saja. Kalau nggak kebagian ikan di sungai pancing-en ae upilmu dewe. Eh, iki mumpung kita ketemu. Ada Bagong juga. Ayo kita rembuk keno ngopo kok wajah-e Gareng gelap lap lap lap koyok angus kwali soto. Iki penting. Jauh lebih penting dari Pilkada atau malah Pilpres. Sebab kalau dibiar-no, merengutnya Gareng iku akan tahan lama. Lebih tahan lama ketimbang barang-barang gawean Cino. Kalau gelapnya Raden Ajeng Kartini kan cuma’ sebentar. Soalnya habis itu terbitlah terang. Tapi gelapnya Gareng? Wah iki bakal langgeng kalau dibiar-biar-no terus. Mesti ayo kita rembuk. Eh, ada apa gerangan Gareng mbesengut?

Bagong: Alah Mar, Mar, Semar.Mar Semar. Rembukan kok ngrembuk merengut-e Gareng. Mbok ngomong perkoro harga-harga. Iki wis mulai naik-naik lagi lho, ya lombok, ya rokok, ya telor, ya minyak. Gareng iku wayang-e ya memang koyok ngono. Mau Gareng gaya Yogya, gaya Sala, Gaya Banyumasan, gagrak Jawa Timuran, ya merengut terus. Mulut-e kecil dan mingkem. Mata-ne melerok. Yang senyum terus iku kalau nggak bojone Clinton ya Blarak Obama. Nek pengin Gareng gak merengut gampang, dioperasi plastik ae! Beres, Mar!

Semar: Hush! Ndak ngono, Bagong, Wedus. Mumpung kita Repat Panakawan komplit ketemu, ayo rembukan. Panakawan iku mesti merembuk segala sesuatu dengan keempat kekuatan. Yo iku, kekuatan Petruk yang santai. Kabeh perkoro masuk kuping kanan keluar kuping kiri, mangkane disebut Kantong Bolong. Bagong ya kamu iku, wedus, sing polos tetapi pendapat-pendapat-e justru mendasar. Mulane disebut Bawor. Terus ada Gareng yang senengan-e mikir. Mikiiiiiir terus. Kita semua perlu santai dan polos sekaligus merenung. Ndak bisa dipisah-pisah. Supaya kita ndak…?

Petruk: Stress!

Semar: Pinter Petruk. Jadi hidup kita juga lebih manusiawi…Berpikir tapi yo santai, Rek. Berpikir, tapi yo ojok ruwet-ruwet terus, Rek, kadang-kadang pake pikiran-pikiran polos juga.

Bagong: Lha awakmu dewe sebagai opo Mar?

Petruk: Romo Semar ini sebagai moderator. ‘Tul kan Mo?

Semar: Eh, Petruk, aku dewe ndak ngerti amanahku sebagai apa. Pokok-e aku iki Semar. Titik. Ndak pake koma dari alfabet mana pun. Ayo Reng, Gareng, ngomongo please…Koen punya mulut iku njepla’o…

Gareng: Baiklah kalau demikian halnya, Romo. Yen ta’ pikir-pikir, koruptor diklambeni baju khusus iku percuma, Mo. Iki untuk peringatan kan sebenarnya, ne’ korupsi iku bahaya. Podo karo stiker bahaya ngrokok. Persis, Mo. Opo terus dengan stiker iku menungso mandek ngrokok? Orang mulutnya klepas-klepus masih sliweran di mana-mana, yo di langit sing bebas merokok yo di langit-langit sing no-smoking.

Opo maneh kalau baju koruptor iku nanti malah disukai arek-arek, koyok zaman-e trend arek-arek pake baju tahanan londo Amerika. Menungso makin bangga korupsi. Sekarang ae, baju koruptor belum jadi trend ae, kita semua sudah bangga korupsi. Masyarakat juga mendorong para penggede korupsi. Ne’ warga punya hajatan sunat utowo kawin, amplopan-e Pak Camat utowo Pak Bupati ndak gede, wah dirasani. Sing punya hajat itu sakunya ae sudah beda. Amplop dari warga biasa dilebo’no saku bawah, dari pak lurah dan para pejabat di saku atas.

Bagong: Wah Gareng goblok. Pembagian letak amplop iku biar imbang. Ne’ kabeh di satu saku, nanti baju tuan rumah malah njlithet-njlitet…

Petruk: Wah, jancuk, serius banget. Eh, aku pantes gak pakai baju koruptor ini…akan ngetrend gak?

Semar: Pantes. Pantes. Ngganteng. Rasa-ne kabeh wong sak Nuswantoro iki bakal pantes tur ngganteng pakai baju modelmu iku. Eh, Truk, Truk, mau ke mana?

Petruk: Mancing!

Korupsi Milik Kita Semua

OLEH. Emha Ainun Najib

Sangat tidak mudah mengambil keputusan apakah korupsi adalah milik para koruptor ataukah milik kita bersama. Juga tidak gampang mengukur kadarnya sebagai “penyakit sistem” (struktural), sebagai “penyakit manusia”, atau “penyakit budaya” suatu masyarakat yang berada dalam sistem yang sama. Ia sangat cair, seakan-akan merupakan serbuk yang rata menabur, atau bagaikan asap halus yang tak kasat mata, sehingga tidak bisa serta merta bisa disimpulkan bahwa perilaku korupsi adalah semacam anomali atau penyakit khusus yang berlaku pada sejumlah orang, ataukah ia memiliki “infrastruktur” budaya yang memang mendarah daging secara lebih menyeluruh pada kehidupan masyarakat kita.
Darah daging itu bisa jadi tak hanya berskala budaya atau kebudayaan, bisa jadi ia sudah merupakan peradaban. Terutama apabila disepakati bahwa korupsi materiil hanyalah salah satu output “kecil” dari dasar-dasar jiwa korupsi yang juga bisa menemukan manifestasinya pada perilaku lain, pada pola berpikir, cara pandang, cara memahami, cara merasakan, bahkan cara memahami dan melaksanakan iman. Tak pernah berhenti kita bertanya: di kedalaman jiwa manusia, apakah korupsi itu peristiwa mental, peristiwa ilmu, peristiwa akhlak, peristiwa iman, atau apa?


Kalau sudah sampai ke kompleksitas itu, kita yang di panggung berteriak “Wahai Kaum Koruptor…” tidak otomatis kita sendiri bukan koruptor. Atau kekhusyukan seseorang dalam beribadah, status mulia seseorang dalam kegiatan keagamaan, citra bersih seseorang dalam imaji publik – tidak serta merta mengandung arti bahwa yang bersangkutan berada di luar lingkaran, jaringan dan sistem korup. Bahkan kita yang bertugas memberantas korupsi, perlu mengaktifkan terus menerus kewaspadaan diri untuk menjamin bahwa dalam berbagai konteks dan nuansa itu langkah-langkah kita benar-benar bebas dari potensialitas korupsi. Apalagi sejumlah pagar eksternal atau internal yang tak selalu bisa kita atasi membuat langkah-langkah kita tampak di mata orang lain sebagai “tebang pilih”.

Teknologi Eksternal dan Teknologi Internal
Saya ingin menyebut sebuah term: “Teknologi Internal”. Ada jenis manusia atau masyarakat yang kecenderungannya adalah “mengelola dunia luar” dan itu kita sebut “Teknologi Eksternal”. Ada jenis manusia atau masyarakat lain yang lebih sibuk “mengolah dunia dalam” dirinya sendiri: mentalnya, manajemen hatinya, rekayasa berpikir subyektifnya. Itu “teknologi internal”.
Ada hipotesis yang mengindikasikan bahwa “teknologi internal” adalah semacam tipologi, unikum atau karakteristik kemanusiaan atau budaya masyarakat di wilayah sepanjang Nusantara. Pelan-pelan, berikut ini, mudah-mudahan saya punya kemampuan untuk menjelaskan apa yang sebenarnya dimaksud dengan “teknologi internal”.
Perkembangan peradaban global abad 20-21 adalah puncak eksplorasi “Teknologi Eksternal”: meneliti, menganalisis, menyimpulkan, mengaplikasikan ke wilayah eksternal segala hal yang membuat kehidupan manusia lebih “maju” dan “mudah”. Muncullah gedung-gedung, pabrik-pabrik, alat-alat di bidang apa saja di wilayah kehidupan yang manapun saja. Tidak hanya transportasi yang ajaib dan dunia maya yang ‘wingit’, tapi bahkan kekhusyukan shalatpun mengandalkan rekayasa teknologi eksternal. Seluruh pemandangan metropolitan Jakarta Raya ini sangat menggambarkan produk “teknologi eksternal”.
Sementara “Teknologi Internal” adalah suatu inisiatif mental, didukung oleh aktivitas emosi dan sedikit intelektual, di mana untuk maju dan mudah, manusia mengandalkan pengaturan, pengolahan, eksplorasi, atau manipulasi mental di dalam dirinya. Untuk makan enak tidak tergantung jenis dan mahalnya makanan, melainkan bergantung pada cara kita menganggap dan memperlakukan makanan apa saja yang ada. Demikian juga berbagai soal lain di luar makanan. Di dalam budaya Jawa ada kata “mupus”: menganggap tak ada sesuatu yang bikin pusing tapi tak pernah bisa diselesaikan. Penderitaan berkepanjangan oleh kemiskinan struktural oleh rakyat cukup dijawab dengan “Gusti Allah mboten sare”. Tuhan tidak tidur.
Puluhan juta keluarga bisa hidup tanpa rasionalitas ekonomi, gaji tak cukup untuk makan keluarga tapi kredit motor, tak ada kerjaan tapi merokok sambil main catur, kalau ditanya bagaimana makan minum keluargamu, mereka menjawab: “Bismillah, Cak”. Ahli Statistik di belahan bumi sebelah manapun tidak pernah mencatat dan makanan utama Bangsa Indonesia adalah bismillah. Dan sesungguhnya apa yang terkandung di balik “bismillah” itu adalah kelonggaran-kelonggaran sistem budaya korupsi di berbagai celah kehidupan yang memungkinkan mereka tetap bisa survive.
Rakyat Indonesia berteriak beberapa hari oleh kenaikan BBM, penjualan asset-asset Negara dan jenis-jenis kebobrokan lain yang dilakukan oleh Pemerintah, kemudian mereka berduka satu dua bulan, akhirnya “mupus”, memproklamasikan “Tuhan tidak tidur”, dan kembali “ubet” lagi, “iguh” lagi: menjalani penghidupan sekeluarganya dengan amat sangat mandiri, tanpa ketergantungan yang signifikan dan tidak perduli-perduli amat kepada parpol apa yang memerintah, Presidennya Bima, Arjuna, Gareng, Bagong, Limbuk, atau Buto Kempung dan Bethoro Kolo….
Sesekali berkhayal: Presiden kita besok harus Puntadewa alias Yudhistira yang berdarah putih, tak punya ambisi, berani kehilangan apapun demi cinta kepada rakyat dan kebenaran sejati. Tetapi kalau di saat fajar ada serangan Rp 20 ribu, ya tak apa bermurah hati mencoblos calon yang menyebar uang itu. Adakah bangsa lain di muka bumi yang tangguh dan cuek-nya melebihi “Bangsa Nusantara”?

Pupusnya Denotasi, Maraknya Konotasi
Salah satu keluaran dari kebiasaan teknologi internal adalah pupusnya denotasi. Manusia dan masyarakat Indonesia hidup dalam konotasi-konotasi: sesuatu tidak dimaksudkan sebagai sesuatu itu sendiri sebagaimana ia adanya. Setiap kata, setiap perbuatan, setiap langkah dan keputusan, setiap jabatan dan fungsi, selalu tidak berkenyataan sebagaimana substansinya, melainkan ada tendensi, pamrih, maksud tersembunyi, “udang dibalik batu” atau apapun namanya -- di belakangnya.
Kalau ia berlaku pada denotasi penderitaan dikonotasikan sebagai “tabungan akhirat”, pada “tempe” dianggap “daging”, pada “kegagalan” disebut “sukses yang tertunda”, “kelemahan” disebut “kesabaran”, “kebodohan” dibilang “kerendahan hati”, “kemiskinan” dikonotasikan sebagai “suratan takdir” – maka masih bisa menguntungkan survivalisme para penderitanya. Mereka bertahan hidup berkat kepandaian menciptakan konotasi-konotasi, Pemerintah selalu beruntung karena tingkat kemiskinan dan penderitaan sedahsyat apapun tak mungkin melahirkan pemberontakan total atau revolusi.
Tetapi kalau yang berlaku adalah denotasi “mencuri uang Negara” dikonotasikan sebagai “jasa bagi keluarga”, “korupsi” menjadi “kelapangan peluang untuk kedermawanan sosial”, denotasi merampok dan melacur itu boleh asalkan konotasinya adalah “jihad Agama”, malak pabrik narkoba itu halal asal konotasinya ada prosentase untuk “pembangunan Masjid”, denotasi “uang narkoba” batal demi konotasi “pembelaan Islam” – maka kebenaran, Agama, dan denotasi apapun tak akan mengalami kehancuran – karena satu-satunya yang bisa hancur hanya kehidupan manusia.

Sindroma Garuda-Emprit
Agar supaya kita tidak terlalu “bersedih” atas “kepastian” untuk semakin hancur, perkenankan saya pergi jauh ke belakang sejarah bangsa Indonesia kita.
Untuk itu “iseng-iseng” kita mempertanyakan siapa itu “Bangsa Indonesia”. Dengan asumsi sederhana bahwa kalau orang tak mengenal dirinya, maka ia tak tahu tempatnya, kalau tak tahu tempatnya juga pasti tak mengerti ke mana akan melangkahkan kakinya. Kita berendah hati saja untuk sedikit mengakui bahwa segala keributan dan kebobrokan yang kita alami 10-20 tahun terakhir ini siapa tahu sekadar kasus orang yang memang tak kenal siapa dirinya. Orang yang dirinya saja ia malas mengenalnya, maka agak mustahil ia punya energi untuk mendiagnosis apa penyakit yang sedang dideritanya. Dan kalau tak ada diagnosis yang tepat, mustahil pula ia akan bisa menyembuhkan diri dari penyakitnya.
Mungkin kita ‘terpaksa’ harus melewati sejumlah relativitas pemahaman atas beberapa hal. Misalnya, sebelum “ada” Bangsa Indonesia, ada “Masyarakat Nusantara”, yang harus diperdebatkan terlebih dulu apakah ia “Rumpun Melayu”, “Masyarakat Jawi”, “Bangsa-bangsa Timur” dst.
Juga sebutan “Jawa” atau “Melayu” berbeda pengertian dan skala faktualnya bergantung satuan waktu yang dipakai: setelah ada NKRI berbeda dengan 5 abad silam, juga berbeda dengan kurun “Ajisaka” 20-an abad silam. Kita harus menunggu puluhan atau ratusan tahun riset antropologis-historis, bahkan penelitian arkeologi dan sejumlah disiplin lain yang lebih mendasar dan akar.
Kita mulai “iseng-iseng” ini dari sejumlah pertanyaan (yang boleh jadi mengandung substansi-substansi yang tidak atau belum “benar”, tapi belum juga bisa dibilang “salah”) misalnya:

Seberapa berbeda “Bangsa Indonesia” dengan “Bangsa Nusantara”? Kita sebut saja keduanya sebagai “kita”. Pertanyaannya: “kita” ini lahir pada 1945, ataukah “kita” yang melahirkan 1945? Kalau “kita” yang melahirkan NKRI dengan penduduknya yang kita sebut Bangsa Indonesia, maka tentunya “kita”lah juga yang melahirkan Ray Pikatan, Sanjaya, Mataram Kuno, Kutai, Majapahit, Ken Arok, Raden Wijaya, dan Gadjahmada, Borobudur dan paradigma Candi Seribu. Kitalah fosil manusia tertua dalam sejarah umat manusia di dunia di Sragen dan Mojokerto. Kitalah induk manusia (mungkin 6 generasi sesudah Adam) yang merintis peradaban, sebelum dihancurkan oleh era demi era sejarah primordialisme: sejak pewarisan kembali dendam Qabil-Habil, berpuluh-puluh abad hingga primordialisme Quraisy-Baduwi, sampai hari ini ada Suku Ahmadiyah, suku Gus Dur, dan suku Muhaimin.
Dari semua kata itu yang mana denotasi yang mana konotasi?
Yang menguasai keuangan internasional, sistem global dan mekanisme pasar (: Neo-Liberalisme, IMF, Kongress AS, Neomultinational dst) dewasa ini sepertinya hanya sejumlah prosentase sangat kecil (1%?) dari jumlah penduduk dunia – yang seluruhnya adalah keturunan Nabi Ismail dan Nabi Ishaq (kaum konglomerat Arab dan strategi /stakeholders Yahudi) dengan induk Nabi Ibrahim. Sampai-sampai Kaum Muslimin harus mengulang tafsir kenapa dalam bacaan Tahiyat Shalat mereka salam kedamaian tak cukup disampaikan kepada Rasul Muhammad Saw tapi juga shalawat dan berkah kepada Rasul Ibrahim As dan keluarganya.
Kalau omong IMF, mudah menerimanya sebagai denotasi, tapi kalau Ibrahim: asosiasi kita biasanya konotatif.
Adapun “Masyarakat Nusantara” ini keturunan siapa? Bisakah dibilang keturunan Ibrahim atau bukan keturunan Ibrahim? Apakah atau siapakah induk “gen” bangsa kita ini lebih muda dari Ibrahim ataukah lebih tua? Misalnya Nabi Nuh As, itu orang Yahudi atau Arab, atau Melayu Jawa?
Apakah tersedia energi mental dan intelektual kita untuk mewaspadai denotasi dan konotasi dari pertanyaan itu?
Bangsa Cina dan Bangsa India itu berada pada garis Ishaq atau Ismail atau di luar itu? Masa depan kita di abad 21 ini mencadangkan Cina dan India sebagai “musuh yang pasti” dipandang dari mata dan kepentingan keturunan Ismail-Ishaq -- maka pasti harus ada pola strategi jangka pendek menengah dan panjang terhadap “Bangsa Nusantara”: NKRI harus dipastikan bisa dikuasai, ditunggangi, dikendalikan, diatur, dengan terlebih dahulu memastikan bahwa NKRI harus rapuh, terpecah belah, saling benci dan bermusuhan satu sama lain, seperti yang terjadi hari ini. Dengan demikian NKRI akan dipande menjadi Keris Nusantara untuk melawan Cina-India ketika saatnya nanti diperlukan.
Ini semua pertanyaan denotatif atau konotatif?
Kalau umpamanya ternyata “Bangsa Nusantara” ini induknya lebih tua dari Ibrahim, maka mungkin perlu dipertanyakan bahwa segala perangkat kemajuan sejarah yang kita pakai sekarang ini “kulakan” pada klan Ismail-Ishaq, dan itu pasti akan menjadi jebakan-jebakan kultural, psikososial dan politis, yang membuat NKRI makin hari makin bunuh diri. Keadaan bangsa Indonesia saat ini demi Allah tidak memerlukan Neoliberalisme, AS, Iblis dan siapapun dari luar sana untuk hancur: bangsa Indonesia sudah berada pada “peak position” untuk secara amat canggih sanggup menghancurkan dirinya sendiri.Kok Iblis segala? Pernahkah Iblis dipahami oleh 20 abad peradaban manusia secara denotatif? Ataukah kita sebut-sebut ia setiap saat dalam konotasi semau-mau kita? Anda pikir Iblis ada hubungannya dengan Setan dan Jin?
Kalau dilihat dari posisi-kosmis, kekayaan alam, keunggulan bahasa dan budaya, maka “Bangsa Nusantara” yang sekarang bernukleus di NKRI tidaklah bisa diungguli oleh bangsa manapun di muka bumi. Maka diampuni Allahlah Amangkurat-II yang menyerahkan rakyat dan kedaulatannya kepada VOC, diampuni Allah semua pelaku-pelaku sejarah Indonesia sejak 1945, Orla, Orba, Orde Reformasi, yang dengan sangat cemerlang mampu mengubah “Garuda Perkasa Bangsa Nusantara” hari ini menjadi “Emprit kerdil, cengeng, dan penakut”.
Sebenarnya kalau kita selalu mengatakan “Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar” itu denotatif atau konotatif?

Ketangguhan Yang “Mencelakakan”
Baiklah. Kalaupun Bangsa Indonesia sekarang tak perlu sampai memerlukan penglihatan diri sejauh ini, semoga sedikit berinisiatif pada takaran normal saja sebagai manusia, sebagai masyarakat dan sebagai bangsa – untuk memulai kemandirian, punya instink untuk ketat menjaga martabatnya, untuk mulai percaya kepada dirinya dan kepada apa yang sebenarnya bisa digapainya.
Kalau bangsa Indonesia tidak percaya bahwa ia besar, bahwa ia lebih induk dan lebih besar dari bangsa-bangsa di dunia, serta tidak percaya bahwa sesungguhnya ia punya filosofi, formula, teknologi, budaya dan mekanisme kepemimpinan atas dunia secara lebih damai, hangat dan penuh toleransi (masyarakat kita aslinya adalah Professor Doktor Toleransi dengan tesis empiris cum laude) – maka mudah-mudahan ada sedikit inisiatif kecerahan diri mengupayakan agar 2009 tidak menjadi “Perayaan Kebodohan Edisi kesekian”, 2012 mencoba memastikan ada sejumlah klausul kenegaraan dan hak milik yang membuat kita tidak lebih parah menjadi budak bangsa lain, serta 2015 memproklamasikan “Keselamatan Minimal” sebagaimana layaknya manusia hidup normal standard tanpa keunggulan dan kehebatan.
Kalau flash-back di atas suatu hari dipelajari dan direnungi, mungkin kesibukan berpikir keIndonesiaan kita sehari-hari mengandung kadar pengetahuan dan substansi yang sedikit agak fenomenologis dan paradigmatik. Kita bersabar dengan ilmu, dan menahan diri tidak bicara atau bertindak apapun kalau tidak dilandasi tanggungjawab ilmu. Bahkan yang membedakan keyakinan (iman) dengan khayalan (klenik, mitologi, subyektivisme) adalah faktor ilmu.
Misalnya ada pertanyaan: kenapa segala penderitaan rakyat, kebobrokan pemerintahan dan kekacauan keadaan bangsa kita tidak pernah cukup menjadi syarat lahirnya sebuah revolusi yang mendasar, total, dan sungguh-sungguh? Padahal penderitaannya lebih dari sungguh-sungguh, kebobrokannya jauh melebihi ukuran kekebobrokan yang pernah dicatat oleh sejarah kepemimpinan dan pemerintahan, serta kekacauannya sedemikian rupa sehingga tak ada rakyat Negara manapun di muka bumi yang sanggup berada di dalamnya?
Salah satu jawabannya: karena individu manusia Indonesia sangat tangguh, tidak collapse oleh kesengsaraan bagaimanapun juga, bahkan berulangkali sanggup menolong Negara untuk tidak collapse pada keadaan yang secara teoritis dan seharusnya ia collapse.
Dan jawaban khusus untuk lembar acara hari ini adalah: karena bangsa “kita” memiliki tradisi Teknologi Internal yang tidak dimiliki oleh gen-gen bangsa lain. Dan paradigma itulah yang selama ini “mencelakakan” kita.

Norma, Hukum, dan Moral
Tentu saja, bangsa dengan bakat internal-technology di era NKRI sekarang ini tidak bisa sepenuhnya menerapkan keunggulan mentalnya: bagaimana mungkin kita tak punya motor, mobil, rumah bagus, laptop, AC; bagaimana mungkin kita mengelak dari arus besar kemewahan, hedonisme, gebyar dan gemerlap… maka bakat internal-technology akhirnya tak sengaja tergeser dan terterapkan ke wilayah-wilayah lain yang masih mengandung ketidak-majuan dan ketidak-mudahan.
Dengan hasil korupsi, kita memperoleh berbagai kemudahan dan kemajuan: bisa beli apa saja sebagaimana atau melebihi orang lain, keluarga menganggap kita sukses, Pesantren dan Masjid yang kita bantu menyimpulkan kita adalah dermawan, masyarakat melihat bahwa kita adalah “orang yang benar”: buktinya punya jabatan, kaya, dan mau bersedekah kepada mereka.
Tetapi ada sedikit pengetahuan yang sudah terlanjur nyantol di saraf otak yang membuat ingatan bahwa kita korup itu menghasilkan sesuatu yang tidak enak dalam hati dan tidak mudah di depan Tuhan. Maka tak cukup bantu Pesantren dan Masjid, kita perlu umroh sesering mungkin, langsung melakukan pendekatan kepada Tuhan. Sebenarnya sedikit-sedikit kita merasa juga bahwa Tuhan tersinggung karena kita tuduh ia bisa kita sogok dengan umroh atas dosa korupsi kita – tetapi karena demikianlah juga yang dilakukan oleh banyak teman-teman Indonesia lain, maka kita menjadi sedikit tenang.
Faktornya di sini, budaya kita lebih mengandalkan norma dibanding hukum atau moral. Hukum dan moral itu nilai otonom dan pasti, sedangkan norma itu bergantung kesepakatan atau kebiasaan banyak orang. Kalau banyak orang menyuruh Ahmadiyah bubar dan banyak orang lain mengutuk FPI, kita terdorong untuk memilih salah satu dan kemudian turut mengacungkan tinju dan memekik-mekik.
Itulah norma. Sementara hukum itu “ilmu”, moral itu “ruh”. Mereka yang hidup berdasar moral dan hukum, tidak melangkahkan kaki berdasarkan arus norma atau kecenderungan orang banyak.
Alif Lam Mim, tuhan kita adalah norma. Kita lakukan apa saja yang nge-trend, yakni segala gejala dan perilaku yang diterima dan dikerjakan oleh orang banyak. Dari mode rambut, sinetron religi bulan Ramadlan, demokrasi, otda pilkada, syariat non-gender, darmawisata umroh, wisata kuliner hingga membubarkan Ahmadiyah dan FPI. Untuk bayar pajak saja kita perlu alasan “Apa Kata Dunia, hare gene…”

Multikorupsi
Dulu Suharto bikin Keraton Kemusu, sempalan Nyayogyakartohadiningrat dari tiga generasi sebelum yang sekarang. Keratonnya dikasih nama Republik, baju kebesarannya sebagai Raja dikasih label Presiden, dengan “uborampe” (kelengkapan basa-basi) mengumpulkan sekian ratus orang menjadi dua kelompok yang dikasih papan nama “MPR” dan “DPR”, dan akhirnya hanya seorang Raja yang jauh-jauh hari sudah merancang dan membangun makamnya di sebuah bukit.
Kepresidenan Suharto adalah konotasi, karena denotasinya adalah Keraton.
Masyarakat tidak keberatan dengan “Keraton” berlabel “Republik” itu karena jiwa raga mereka adalah “abdi dalem” dan “kawulo” sampai hari ini. Dan sampai hari ini kaum intelektual juga tidak pernah mengakui bahwa Orba adalah “Keraton”, karena diam-diam di dalam kandungan mentalnya masih menyimpan rasa “andhap asor” atau inferioritas “kawulo”, masih menyimpan mitologi subyektif untuk “takut” atau “segan”, juga karena sejak semula mereka juga diam-diam berikhtiar bagaimana menjadi “abdi dalem”. Kalau Sang Prabu Haryo Suharto tidak menerima lamaran kita, baru kita tampil di media massa sebagai oposan.
Alhasil, view ini sekadar pintu awal untuk membuka kemungkinan besar kenyataan yang perlu kita teliti dengan jujur bahwa kasus-kasus korupsi yang dijaring KPK hanyalah sejumlah cipratan kecil dari budaya dan peradaban korupsi. Bangsa kita terjebak dalam kesalahan manajemen sejarah yang menggiring mereka melakukan korupsi sejak “dini”. Sebelum uang dan harta Negara, kita sudah melakukan korupsi iman, ilmu, cara berpikir, sejatinya isi hati, setiap jenis perilaku dari yang sehari-hari kultural sampai yang kenegaraan dalam konstitusi dan birokrasi.
Apa yang saya tulis ini bukan tuduhan, juga saya harap tidak menambah persoalan. Ini sumbangan kewaspadaan, demi kebangkitan atau totalnya kehancuran kita bersama. Tiap menjelang tidur, ambil satu kata kerja: lihatlah seberapa “sungguh-sungguh” bangsa kita mengerjakan dan memaksudkan “kata kerja” itu. Apakah kalau kita bilang “a” maka yang kita kerjakan adalah “a”, dan kalaupun memang benar-benar kita kerjakan “a”, apakah niat dan maksud kita sungguh-sungguh “a”. Itu boleh pada perilaku sehari-hari, hingga urusan-urusan yang lebih besar: menjadi pejabat, menjadi wakil rakyat, menjadi Ustadz, menjadi Presiden, mengambil suatu keputusan nasional, dan apapun.

Kunci kehancuran kita sangat boleh jadi adalah: tidak atau kurang bersungguh-sungguh. Catatan: Term “teknologi internal” saya pinjam dari Noe/Letto dan sejumlah muatan lembar ini berasal dari diskusi dengannya.
Tulisan ini adalah pengantar pada acara Diskusi Bareng di Perpustakaan KPK, Jumat, 13 Juni 2008.

PUISI SEADANYA MENGENAI KEPALA (Puisi Emha Ainun Najib)

Puisi ini ditulis oleh penyairnya dengan bahasa yang diusahakan sangat seadanya, yang kira-kira bisa dipahami oleh setiap anak yang baru mengenal sejumlah kata-kata, sebab penyair itu merasa begitu ketakutan bahwa kematiannya akan menjadi sempurna jika ternyata tak seorangpun memahami kata-katanya.

Jangan salah sangka. Ia takut bukan karena kawatir akan kehilangan kepala, melainkan justru ia sangat mendambakan betapa bahagianya kalau pada suatu hari ia kehilangan kepala. Masalahnya - terus terang saja - kepala itu sudah bertengger di atas lehernya hampir tigapuluh tahun. Baginya ini merupakan beban yang teramat berat dan membuat ia merasa tidak normal. Karena teman-temannya yang normal pada umumnya hanya menyangga satu kepala paling lama lima tahun, bahkan ada yang hanya satu dua tahun, malah ada juga yang sesudah dua tiga bulan sudah berganti kepala.

Penyair kita ini sudah menghubungi Tuhan ribuan kali melalui salat, wirit dan tarikat, demi memperoleh kejelasan resmi mengenai keanehan ini. Bahkan sebelum itu sudah ia datangi beratus-ratus dukun, kiai dan kantor ikatan cendekiawan, namun tidak seorangpun sanggup memberinya jawaban yang memuaskan hati. Tuhan sendiri sepertinya terlalu bersabar menyimpan teka-teki ini, bahkan sesekali ia merasakan Tuhan seakan-akan bersikap ogah-ogahan terhadap masalah ini.

Matahari selalu terbit dan tetumbuhan tak pernah berhenti mengembang, tapi itu hanya menambah ketegasan perasaan penyair kita bahwa sesungguhnya yang berlangsung hanyalah kemandegan. Ayam berkokok tiap menjelang pagi, kemudian manusia bangun dan tidak melakukan apa-apa untuk mengubah kebosanan yang sedemikian merajalela. Alam semesta ini sendiri begitu patuh menggantikan siangnya dengan malam dan menggilirkan malamnya dengan siang, tapi manusia hanya sibuk memproduksi ungkapan yang berbeda untuk kenyataan yang sama, manusia habis waktu dan tenaganya untuk mengulangi kebodohan dan keterperosokan yang sama, meskipun mereka membungkusnya dengan perlambang-perlambang baru sambil ia meyakin-yakinkan dirinya atas perlambang itu.

"Ya, Allah", seru penyair kita ini pada suatu malam yang sunyi, "patahkan leherku agar kepalaku menggelinding ke dalam parit, kemudian persiapkan kepala yang baru yang bisa membuatku hidup kembali !".

Bisa dipastikan Tuhan mendengar doa itu, tetapi siapa yang menjamin bahwa Ia bakal mengabulkannya? Bukankah penyair itu sendiri yang dulu meminta kepalanya yang ini untuk menggantikan kepala yang sebelumnya. Apa jawab penyair kita ini seandainya Tuhan mengucapkan argumentasi begini : "Bagaimana mungkin kuganti kepalamu, sedangkan kepala-kepala lain di tanganKu belum punya pengalaman sama sekali untuk bertindak sebagai kepala ? Bukankah untuk menjadi kepala, segumpal kepala harus memiliki pengalaman sebagai kepala sekurang-kurangnya lima tahun ?".

Penyair kita sangat-sangat menyesal kenapa makhluk Tuhan harus hidup dengan syarat mempunyai kepala. Pada mulanya ia hanya badan saja, badan bulat yang seluruh sisi-sisinya sama. Tapi kemudian karena ia kawatir akan disangka sederajat dengan buah kelapa, maka ia memohon kepada Tuhan serta mengupayakan sendiri pengadaan kepala, lantas kaki dan tangan.

Tetapi ternyata inilah sumber utama malapetaka hidupnya. Pada mulanya kepala itu berendah hati dan patuh kepadanya, karena pada dasarnya kepala itu memang tidak pernah ada seandainya ia tidak meminta kepada Tuhan dan mengadakannya.

Kesalahan pertama yang dilakukan oleh penyair ini adalah meletakkan kepala di bagian atas dari badannya, sehingga badannya itu dengan sendirinya kalah tinggi dibanding kepalanya, dan dengan demikian menjadi bawahannya. Hari-haripun berlalu, sampai pada suatu saat ia menyadari bahwa sang kepala ternyata telah mengambil alih hampir semua perannya. Misalnya soal berpikir, sekarang telah dimonopoli oleh kepala. Apa yang harus ia lakukan, kemana harus melangkah, apa yang boleh dan tidak boleh, ditentukan oleh kepala. Ia sendiri dilarang berpikir karena segala gagasan telah disediakan oleh kepala, sedemikian rupa sehingga ia bukan saja tak boleh berpikir, tapi lama kelamaan ia juga menjadi tidak mampu lagi berpikir.

Dulu ia membayangkan, tangan akan menggenggam fulpen atau senapan, jari-jari hendak mengelupas buah nanas atau menyogoki lubang hidung, dialah yang berhak menentukan. Tapi ternyata ketika ada makanan, yang memerintahkan tangan untuk mengambilnya adalah kepala, kemudia diberikannya kepada mulut yang menjadi aparat sang kepala, sedangkan badannya hanya menampung makanan itu, tanpa ikut mengunyah dan merasakan nikmatnya.

Juga ia yakin bahwa apakah kakinya akan melompati sungai atau dipakai untuk menjungkir badan, dialah yang merancang dan memutuskannya. Tapi sekarang segala sesuatunya menjadi jelas bahwa hak itu telah diambil alih oleh kepala, dan ketika ia mempertanyakan hal itu, tiba-tiba saja tangannya yang memegang pentungan menggebugnya, dan kakinya yang bersatu tebal keras menendangnya.

"Wahai Tuhan, pengasuh badan yang menderita", guman penyair kita dengan nada yang penuh kecengengan, "jikapun tanganMu terlalu suci sehingga jijik untuk berurusan dengan segala yang kotor dalam kehidupan hamba-hambaMu, tolonglah Engkau berkorban sekali ini saja, sentuhlah kepalaku, pegang ia dan cabut dariku, kemudian kuusulkan langsung saja dirikanlah kerajaanMu dan Engkau sajalah yang mulai sekarang bertindak sebagai kepalaku".


DARI KUMPULAN PUISI "DOA MOHON KUTUKAN"
( RISALAH GUSTI - 1995 )

Kudekap Kusayang-sayang (Puisi Emha Ainun Najib)

Kepadamu kekasih kupersembahkan segala api keperihan
di dadaku ini demi cintaku kepada semua manusia
Kupersembahkan kepadamu sirnanya seluruh kepentingan
diri dalam hidup demi mempertahankan kemesraan rahasia,
yang teramat menyakitkan ini, denganmu
Terima kasih engkau telah pilihkan bagiku rumah
persemayaman dalam jiwa remuk redam hamba-hambamu
Kudekap mereka, kupanggul, kusayang-sayang,
dan ketika mereka tancapkan pisau ke dadaku,
mengucur darah dari mereka sendiri,
sehingga bersegera aku mengusapnya,
kusumpal, kubalut dengan sobekan-sobekan bajuku
Kemudian kudekap ia, kupanggul, kusayang-sayang,
kupeluk,
kugendong-gendong, sampai kemudian mereka tancapkan
lagi pisau ke punggungku, sehingga mengucur lagi darah
batinnya, sehingga aku bersegera mengusapnya,
kusumpal,
kubalut dengan sobekan-sobekan bajuku, kudekap,
kusayang-sayang.


-1994-

TUHAN AKU BERGURU (Puisi Emha Ainun Najib)

Tuhan aku berguru kepadaMu
Tidak tidur di kereta waktu
Tuhan aku berguru kepadaMu
Meragukan setiap yang ku temu
Kelemahan menyimpan berlimpa kekuatan
Buta mata menganugerahi penglihatan
Jika aku tahu teraa betapa tak tahu
Waktu melihat betapa penuh rahasia
Gelap yang dikandung oleh cahaya
JEJAK IBRAHIM

Jejak Ibrahim di batu hitam
Tataplah bayangan rahasianya
Rabalah inti karomahnya
Ciumlah nikmat barokahnya

Jejak kaki bapak kebenaran
Jejak luhur peradaban Allah
Pusat rohani Ulughiyah
Mata air kebudayaan

Rahim ibu sejarahmu sendiri
Tempat jiwamu menemukan pintu
Menjadi fitri kembali
Bertemu ke yang abadi
Betapa sejuk Baitullah
Betapa sangat menenteramkan

MUHAMMADKAN HAMBA YA RABBI (puisi emha ainun nadjib)

Di setiap tarikan napas dan langkah kaki
Tak ada dambaan yang lebih sempurna lagi.
Di ufuk jauh kerinduan hamba Muhammad berdiri
Muhammadkan hamba ya Rabbi.

Muhammmadkan ya Rabbi hamba yang hina dina
Seperti siang dan malammu yang patuh dan setia
Seperti bumi dan martahari yang bekerja sama
Menjalankan tugasnya dengan amat terpelihara

Sebagai Adam hamba lahir dari gua garba ibunda
Engkau tuturkan pengetahuan tentang benda-benda
Hamba meniti alif-ba-ta makrifat pertama
Mengawali perjuangan untuk menjadi mulia

Ya Rabbi engkau tiupkan ruh ke dalam Nuh hamba
Dengan perahu di padang pasir yang mensamudera
Hamba menangis oleh pengingkaran amat dahsyatnya
Dan bersujud di bawah kebenaran-Mu yang nyata

Sesudah berulangkali bangun dan terbanting
Merenung dan mencarilah hamba sebagai Ibrahim
Menatapi laut, bulan, bintang dan matahari
Sampai gamblang bagi hamba Allah yang sejati

Jadilah hamba pemuda pengangkat kapak
Menghancurkan berhala sampai luluh lantak
Hamba lawan jika pun Fir’aun sepuluh jumlahnya
Karena api sejuk membungkus badan hamba

Kemudian ya Rabbi engkau ajarkan hal kedewasaan
Yakni penyembelihan dan kurban, pasrah dan keikhlasan
Tatkala dengan hati pedih pedang hamba ayunkan
Sukma hamba memasuki Ismail yang menelentang

Ismail hamba membisikkan firman-Mu ya Rabbi
Bahwa dewasa tidak ditandai kegagahan diri
Melainkan rela menyaring dan menyeleksi
Agar secara jernih berkenalan dengan yang inti

Di saat meng-Ismail itu betapa jiwa hamba gemetar
Ego pribadi adalah musuh yang teramat tegar
Jika di hadapan-Mu masih ada sejumput saja pamrih
Maka leher hamba sendiri yang bakal tersembelih

Dan memang kepala hamba tanggal berulangkali
Di medan peperangan modern ini ya Rabbi
Hamba kambing di jalanan peradaban ini
Darah mengucur, daging hamba dijadikan kenduri

Tulus hati dan istiqamah Ismail ya Rabbi
Betapa sering lenyap dari gairah perjuangan ini
Keberanian untuk bersetia kepada kehendak-Mu
Di hadapan musuh gugur satu demi satu

Maka hamba-Mu yang dungu belajar menjadi Musa
Meniti kembali setiap hakikat alif-ba-ta
Belajar berkata-kata, belajar merumuskan cara
Harun hamba membantu mengungkapkannya

Musa hamba membukakan universitas cakrawala
Setiap gejala dan segala warna zaman hamba baca
Dengan seribu buku dan seribu perdebatan
Hamba tuntaskan makna kebangkitan

Tongkat hamba angkat dan tegakkan ya Rabbi
Memusnahkan iklan-iklan takhayul Fir’aun yang keji
Ular klenik pembangunan, sihir gaya kebudayaan
Karena telah hamba genggam yang bernama kebenaran

Ya Rabbi alangkah agung segala cipataan ini
Kebenaran belaka membuat hidup kering dan sepi
Maka Engkau jadikan hamba ISa yang lembut wajahnya
Dengan mata sayu namun bercahaya, mengajarkan cinta

Isa hamba sedemikian runduknya kepada dunia
Segala tutur kata dan prilakunya kelembutan belaka
Sehingga murid-murid hamba dan anak turunnya terkesima
Tenggelam mesra dalam Isa hamba yang disangka tuhannya

Ya Rabbi, haruslah berlangsung keseimbangan
Antara cinta dan kebenaran
Haruslah ada tuntunan pengelolaan
Atas segala ilmu dan nilai yang Engkau anugerahkan

Karena itu Muhammadkan hamba ya Rabbi
Bukakan pintu kesempurnaan yang sejati
Pamungkas segala pengetahuan hidup dan hati suci
Perangkum bangunan keselamatan para rasul dan nabi

Muhammadkan hamba ya Rabbi Muhammadkan
Agar tak menangis dalam keyatimpiatuan
Agar tak mengutuk meski batu dan benci ditimpakan
Agar sesudah hijrah hamba memperoleh kemenangan

Muhammadkan hamba ya Rabbi Muhammadkan hamba
Agar kehidupan hamba jauh melampaui usia hamba
Agar kesakitan tak menghentikan perjuangan
Agar setiap langkah mengantarkan rahmat bagi alam

Muhammadkan hamba ya Rabbi Muhammadkan
Di rumah, di tempat kerja serta di perjalanan
Agar setiap ucapan, keputusan dan gerakan
Menjadi ayat-Mu yang indah dan menaburkan keindahan

Takkan ada lagi sosok pribadi seanggun ia
Dipahami ataupun disalahpahami oleh manusia
Kalau tak sanggup kaki hamba menapaki jejaknya
Penyesalan hamba akan tak terbandingikan oleh apapun saja

Para malaikat sedemikian hormat dan segan kepadanya
Bagai dedaunan yang merunduk kepada keluasan semesta
Para nabi berbaris meneggakkan sembahyang
Engkau perkenankan ia berdiri menjadi imam

Ya Rabbi Muhammadkan hamba, Muhammadkan hamba
Perdengarkan tangis bayi padang pasir di kelahiran hamba
Alirkan darah Al-Amin di sekujur badan hamba
Sarungkan tameng Al-ma’shum di gerak perjuangan hamba

Kalungkan kebencian Abu Jahal di leher hamba
Sandingkan keteduhan Abu Thalib di kaki dukalara hamba
Payungkan awan cinta-Mu di bawah terik politik durjana
Usapkan tangan sejuk Khadijah pada kening derita hamba

Kirimkan Jibril mencuci hati Muhammad hamba
Lahirkan kembali wahyu-Mu di detak gemetar jantung hamba
Dan kucurkan darah luka Muhammad oleh pedang kaum pendusta
Hadiahkan kepada hamba rasa sakitnya

Ya Rabbi ya Rabbi Muhammadkan hamba
Bersujud dan tafakkur di gua Hira’ jiwa hamba
Berkeliling ke rumah tetangga, negeri dan dunia
Menjajakan cahaya