OTAK, instrument pikir akan menghasilkan output untung - rugi, mungkin - mustahil dan benar - salah (berdasarkan ukuran-ukuran yang diciptakan manusia sendiri). Sedang HATI, instrument rasa akan menghasilkan output manfaat - mudlarat, pantas - wagu dan etis - tidak etis (bersarkan inspirasi yang diperoleh dari Sang Pencipta). Otak dan hati adalah dua perangkat yang berbeda. Ketika kita menyiapkan waktu dan ruang di hati untuk menyongsong datangnya inspirasi maka tinggalkan otak, berhentilah berpikir agar inspirasi lebih cepat masuk ke dalam relung hati.

(Pujo Priyono)

===================================================

29 Desember 2008

Silvia Dana

aku jadi mengingatmu
meskipun harus kurangkai memoriku
belum lengkap rangkaian itu
namun sudah membuat sesak nafasku

silvi... dana....
hanya dua ini yang aku ingat

aku tak ingat apa yang aku lupa
aku lupa sebagian ingan ingatanku tentang mu

aku hanya kenal tentang senyum ranum
tergores hanya tawa khasmu dan lincah itu

silvia dana....
ah...!!! aku masih belum bisa aku ingat....
sang google juga gagal menemukanmu
altavista menyerah kalah sesudahnya

aku tak ingat namamu
busyet.... kenapa harus melintas bayangan itu
membuat aku sesak.... menjeritkan kerak-kerak rindu

silvia dana....
BUSYET...!!!
aku masih belum bisa aku ingat....

Ada yang Salah

pintu terbuka sendirinya
ada angin bertiup sebelumnya
ada aroma bangkai setelahnya
ada cahaya tanpa warna sesudahnya

diruang pengap
sebelah kiri setelah tikungan iblis
tanpa ada ku tau sebab
mataku menjadi sedemikian sembab
mungkinkah ini karna budaya biadab?

lembutnya udara malam membuai jiwa
kadang dentuman lara membuat gendang telingaku bahagia

ADA YANG SALAH DENGANKU!

kenapa aku sedemikian berbudaya?
sehingga aku masih mencari ketelanjangan

kapan dunia ini berubah?
sehingga aku selalu merasa didepan masa

dimana titik baliknya?
sehingga aku tidak tersesat dalam laknat

28 Desember 2008

Sedetik Setelah Matahari Terbit

kekacauan ini berawal dari sedetik setelah matahari terbit
dinginnya tak aku rasa, yang terasa hanya pahit yang menggigit

kelak pasti ada sesal
besok pasti muncul kesal

seharusnya aku tak begini
jika saja aku warnai pagi tadi
kalau saja bukan hitam-hitam lagi

sedetik setelah matahari terbit
jiwaku hanya lelap, cuma gelap
hatiku terkurung pada ruang pengap
sedetik setelahnya nyawa ini lenyap

14 Desember 2008

Rasa Itu...

Seperti menginjak salju untuk pertama kali
Seperti dijamah oleh kekasih pujaan hati
Seperti ditepuktangani, diatas panggung dikagumi

Itukah?

Seperti melihat kematian didepan mata
Seperti meludah di mall dan tertangkap kamera
Seperti sendirian ditengah meriah pesta

Itukah?

Seperti ketika mencoba menerima bahwa ibunya gila
Seperti saat digunjing tentang jodohnya yang tak datang jua
Seperti pagi hari membaca berita temannya diterima bukan dirinya

Itukah?

Seperti......

12 Desember 2008

Kabut Sebelum Hujan

Yang aku temui hanya waktu yang berjalan sama
Tak berbeda seperti kemarin lalu yang enggan berlalu
Dalam detik ada yang detik-detik yang membosankan

Ingin lari pun tanpa arah yang membaru
Tegaknya langit masih ditutupi tebing dan awan
Matahari seakan malu untuk menerangi hari

Kabut, hujan dan orang-orang kemarin

Ada sejengkal ruang hitam
Yang mungkin bisa membuat sukma terpejam

Kabut, hujan dan orang-orang lalu lalang

Menyembunyikan kata-kata bosan dibalik tumpukan kertas usang
Lirik lagu kerinduan berjatuhan dari kertas setengah basah

Kabut, hujan dan bianglala kerinduan

Jeruji dan air hangat di cuaca membeku
Tampilan cahaya menceritakan peristiwa
Membujur, laksana api menjulur dengan jujur

Kabut sebelum hujan mengakhiri kerinduan orang-orang

Tembagapura, 2008

11 Desember 2008

Rindu Sejumput

Sejumput aku punya rindu
Serumput aku terbaring kaku
Setakut aku ditikam dahulu

Waktu bermain-main di kubangan peristiwa
Sekelabat aku menampak dirinya
Secepat pula banyangan itu sirna

Aku tak namai ini rindu
Sekian nyawa kutanya nama tak ada jua yang mengenalnya
Bahkan kabut lembut kemarin pagi hanya bisa membenamkan suaranya

Sejumput aku punya rindu

Hatiku yang hampa atau jiwaku yang semakin nisbi
Ingin aku menangis, namun tak kudapat alasan pasti
Bahkan tak sedikitpun ada gemetar,
Meskipun kicauan aura membuka pagiku ini

Kemana rasa?
Dimana harus aku memulainya?

Sejumput aku punya rindu
Meskipun aku tak berani namainya dengan rindu

Geletakkan saja...
Biarkan sekujur jiwa merasakan najisnya lantai bumi

08 Desember 2008

Dari Merah Menjadi Biru

Dari merah menjadi biru
Merah darah di bumi bisu

Kelakar jiwa terbakar amarah dendam
Sejengkal lagi nyawa terjun kedalam jurang

Selamatkan hati beku yang berpura lugu
Setan iblis menjadi bengis di sekitar tangis
Tentara takdir menusuk sukma
Rasa bercampur logika melebur di kepala

Dari merah menjadi biru
Merah darah di bumi bisu

Ada jiwa, ada lelaki kelaparan rasa

Dimana engkau otakku?
Dari merah menjadi biru

07 Desember 2008

Pertanyaan

Kenapa takut? Kenapa pengecut?
Dirimukah yang aku cari?
Ataukah hanya kerinduan yang membabi-babi?

Benarkah dirimu?
Mungkinkah dirimu?

Akankah ada ruang untuk itu semua?
Adakah suara yang bisa meyakinkanku?
Adakah waktu yang berjalan lebih cepat dari matahari?

Tuhan….
Maaf jika aku banyak bertanya….
Namanya juga bingung…..

Adalah Waktu



Keluarkan aku dari kubangan ini
Sedari pagi kakiku tenggalam mati
Cecurut itu mengerubuti, menguliti
Adalah waktu yang menelanku sekali-sekali

Jembatan runtuh, jalanan ricuh
Buntu…
Kecapi mengalun di dangdutnya kehidupan ini
Irama, nada, suara dan kata mengamuk, lupa diri

Keluarkan aku dari kubangan ini
Cecurut itu mengerubuti, menguliti
Sesekali ludah tertelan bersama tai gigi
Adalah waktu yang menyelamatkan tidurku nanti

Langit membiru bersama tiupan angin bisu
Gelegar cahaya membakar, menyerap air hidupku
Raksasa-raksasa sigap menjaga takdir yang dibaca dungu
Lekangnya hidup, sepinya badai terkutuk

Timika, 2008

06 Desember 2008

Menembus Awan

dulu kata 'menembus awan' hanya menderet di puisiku
kini aku benar-benar menembus awan putih bisu
dingin, aromanya membuat tulang tengkorakku beku

perjalanan menorehkan pengalaman tak terlupakan
menuju sesuatu yang selama ini hanya aku dengar dari buku
hanya dari cerita amin rais dan para cecunguk itu
menggunjingkan sesuatu yang mereka belum tentu pernah injak tanahnya

hijau tanah papua kulihat dari jendela kaca
ada angin, terasa dingin, mendekatkanku pada ingin

ya Tuhan....
betapa kerdilnya aku...

aku menenbus sebagian kecil awan-Mu

Tembagapura, 2008

01 Desember 2008

Tobat Sesaat

Menyiram jiwa dengan air telaga disamping berhala
Kemudian mengelap peluh dengan saputangan iblis

Lalu… lalu…
Lalu lalang dosa memacetkan akal pikir
Kelakar setan memekakkan telinga

Jungkir balik nurani memerangi nafsu
Berjuta doa dilatih seperti prajurit Sparta
Sajadah di gelar, tasbih terus berputar
Gunung, laut, lagit, hujan, smuanya terlihat Tuhan

Nyatanya itu hanya sekelebat detik
Kembali tersesat….
Lalu melesat kea rah laknat

Harapan Esok Hari

Pecut kepecut hati ini menciut
Perjalanan besok pagi dimulai
Terror terteror nasib diujung telur
Dunia depan dipertaruhkan besok pagi

Hanya doa
Sampai pada usaha sekuatnya

Gus Muhammad SAW

Ditulis oleh Emha Ainun Nadjib

Sudah terpecah dan terkeping sampai seberapa PKB, juga NU? Tidak. Kita ambil perspektif lain. Itu bukan bentrok, bukan perpecahan. Itu romantisme demokrasi. Itu dinamika ijtihad (perjuangan pemikiran). Itu produk wajar dari tradisi berpikir merdeka: salah satu prinsip yang membuat manusia bernama manusia.

Sebagaimana kalau jumlah pemeluk Islam ada sejuta, maka dimungkinkan ada sejuta aliran, dipersilahkan setiap orang memberlakukan tafsirnya masing-masing, dan satu-satunya yang berhak menagih pertanggung-jawaban adalah Tuhan. Silahkan ada golongan NU, Muhammadiyah, Persis, Persis NU, Persis Muhammadiyah, Muhammad NU, Sunni, Syiah, Sun'ah, Syinni, PKNU, Langitan, Bumian, Lautan, Gunungan, PKB Alwiyah, PKB Wahidiyah, PKB Muhaiminiyah, PKB Yenniyah... semakin banyak semakin demokratis dan menghibur.

Tapi omong-omong sebenarnya PKB adalah satu-satunya parpol yang konstituennya paling berakar. Mungkin tidak tepat benar metaphor berikut ini: tapi ibarat hutan dan taman: PKB adalah upaya membangun hutan menjadi taman. Taman PKB berbasis di hutan yang melahirkan PKB, dengan akar dan sifat hutan yang masih kental. Golkar misalnya, adalah sebuah taman modern yang professional, sejumlah pohon diambil dari hutan dan tetap mendayagunakan kimia tanah hutan -- tetapi ia sebuah taman teknokratis yang tidak memprimerkan hutan.

Semua, PDIP, PPP, PKS, PAN, PD atau PBB, juga tidak steril hutan, tetapi PKB yang paling jelas berakar di hutan. Asal muasal sosio-kulturalnya, dialektika historisnya, masih menampakkan kekentalan perhubungan antara tamannya dengan hutannya. Sebagaimana PAN, PKS, PPP dan PBB "gagal" mewujudkan jargonnya Cak Nurkhalis Madjid “Islam Yes, Partai Islam No” – PKB-lah yang paling kental setting budaya santrinya. 'Partai Islam No' susah keluar dan berkembang dari lembaran AD-ARTnya, de fakto tetap saja "Partai Islam". Meskipun Ifrith Sekjen Komunitas Jin Internasional direkrut masuk PKB, tetap saja yang terjadi bukan pluralisme, orang tetap menganggap Jendral Ifrith yang masuk NU supaya kalau meninggal ditahlili.

Andaikan saja tradisi transformasi sosial berlaku cukup matang di Indonesia, kemudian atas dasar itu PKB dibangun kembali secara modern, maka dia susah ditandingi oleh kelompok politik yang manapun lainnya.

Akan tetapi PKB semakin seru saja bergumul di dalam bungkusan 'sarung' tradisional. Mungkin saja sarung itu ber-merk 'Gus'. Belum tentu benar, tapi kalau mau menabung pembelajaran tentang PKB hari ini ada baiknya kita tengok sosiologi budaya 'Gus', bahkan mungkin 'antropologi' nya.

Sopan santun Jawa menyebut Nabi Muhammad SAW dengan Kanjeng Nabi. Dalam bahasa Arab: Sayyid, semacam Sir. Sayyidina Muhammad. Beliau pernah bilang "Saya jangan disayyid-sayyidkan". Maka masyarakat Muhammadiyah cenderung tidak memakai gelar Sayyidina. Panggil ngoko saja: Muhammad. Tetapi kalau kita menyebut pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan dengan "Dahlan" saja, "Si Dahlan", atau dulu ketika beliau masih sugeng kita menyapa beliau "Mau ke mana Lan?" -- teman-teman Muhammadiyah banyak tak siap juga.

Jadi idiom 'Sayyidina' itu mungkin berkonteks budaya sebagaimana kita memanggil "Pak", "Mas", "Oom". Tentu saja "saya jangan disayyid-sayyidkan" itu tidak berhenti pada makna harafiah. Maksudnya Kanjeng Nabi kita jangan feodal, jangan menjunjung-junjung secara tidak rasional. Allah semata yang 'Ali Akbar, yang maha tinggi dan maha agung. Sampai-sampai beliau tidak mau digambar wajahnya, khawatir jadi icon, branding, berhala, mitos.

Di kalangan Jawa tradisi, dipakai kata "Kanjeng", "Raden" atau "Den". Den-nya masyarakat santri adalah "Gus". Gus itu semacam Raden yang ”islami". Di Jombang ada Gus Rur, Gus Nur, Gus Dur. Untuk saya ada gelar VIP: "Guk", Guk Nun. Itu panggilan sesama teman penggembala kambing, kerbau, sapi, ngasak di sawah.

Gus itu lebih tinggi dan lebih luas dibanding Den. Itu berlaku tak hanya secara tradisional. Semua wacana, persepsi dan analisis tentang wilayah perpolitikan tertentu di Indonesia selama 35 tahun ini terlalu meremehkan dahsyatnya kekuatan 'Gus'. Sampai hari ini kita gagal ilmu, gagal obyektivitas, gagal kejujuran, gagal kerendah-hatian dan kejantanan di dalam memotret fenomena sangat factual itu dalam frame pemikiran demokrasi, egaliterianisme, independensi budaya dan politik.

Itupun kalau bicara tentang Gus Dur, NU, PKB, Muhaimin Iskandar, Yeni Wahid, PKNU, Choirul Anam, Kiai (desa pesantren bernama) Langitan dst, tanpa setting sejarah yang ‘masuk lubuk hutan’ secara cukup memadai. Gus Dur NU PKB dll hanya kita jadikan anasir-anasir dari khayalan akademik kita yang asyik sendiri dengan huruf-huruf, yang karena para akademisi dan pengamat adalah penguasa negeri wacana, maka mereka mengumumkan kepada dunia dan dirinya sendiri bahwa NU itu begini Gus Dur itu begitu -- kemudian tatkala besoknya terbukti tak ada eskalasi rasional dari wacana-wacana itu, kita diam-diam melupakannya.

Mungkin kita tugasi khusus peneliti politik untuk memperhatikan hal-hal yang sederhana: kalau mau paham PKB, NU, Gus Dur: coba tengok pengetahuan tentang keluarga imigran Tebuireng, struktur dan eskalasi sejarah 'klan-klan' pribumi dan pendatang di Jombang, budaya Ludruk dan Gambus Misri, Hadlratus Syaikh, Mbah Wahid, Mbah Wahab, Masyumi, Muhammadiyah, Yai Kholil Bangkalan, pisang, kitab, cincin.... ***