OTAK, instrument pikir akan menghasilkan output untung - rugi, mungkin - mustahil dan benar - salah (berdasarkan ukuran-ukuran yang diciptakan manusia sendiri). Sedang HATI, instrument rasa akan menghasilkan output manfaat - mudlarat, pantas - wagu dan etis - tidak etis (bersarkan inspirasi yang diperoleh dari Sang Pencipta). Otak dan hati adalah dua perangkat yang berbeda. Ketika kita menyiapkan waktu dan ruang di hati untuk menyongsong datangnya inspirasi maka tinggalkan otak, berhentilah berpikir agar inspirasi lebih cepat masuk ke dalam relung hati.

(Pujo Priyono)

===================================================

25 Februari 2009

Lukisan Bejo

Ternyata Bejo bukan pelukis hebat
Warna-warna yang tadinya indah
Setelah di campur Bejo menjadi carut marut

Hijau yang harusnya sejuk itu
Nyatanya menjadi suram, bahkan kejam
Biru yang katanya mendamaikan mata
Akhirnya sering mengusik cahaya-cahaya
Bahkan kabarnya warna putih tak terlihat suci

Semua warna berebut untuk menonjol
Saling mendih, salang mencoret
Goretan-goretan tak teratur,
menjadi tarian warna yang kacau

Entah kenapa Bejo tak menyadarinya?
Bahwa warna-warna itu menyakitkan mata, batin ataupun jiwa
Entah bagaimana akhirnya lukisan ini?
Tangan Bejo belum juga berhenti menggurat kekacauan

Bejo... Bejo...

24 Februari 2009

Bocah Tak Lagi Lincah

Dalam titian waktu
Bocah malam termangu
Mendengar dendangan pemuda tentang masa depan

Di ruang gelap kalbu
Bocah malang tersipu
Melihat senyuman ibunda saat menarik awan-awan

Saat cahaya senja membelai
Bocah lugu tergulai lunglai
Menyadari matahari yang akan mati dalam detik nanti

Sang bocah tak lagi selincah kemarin
Dia terpukul
Dia tersingkirkan dari daftar takdir
Dia hampir pingsan di terjalan ketidakberdayaan

23 Februari 2009

Ketersesatan

Aku lah yang memutuskan
Aku lah yang mencapakkan
Aku lah yang membuat hubungan ini berantakan
Dan Aku lah yang mencoba melupakan

Kita tak bisa lagi bernyanyi
Tentang lagu rindu, lagu bahagia ataupun lagu luka

Tak kudapati tempat untuk mengeluh
Namun entah mengapa aku tak kunjung kembali

Tak kudapati tempat untuk cerita bahagia
Tapi entaj kenapa aku juga mencari jalan pulang

Kusesali, tapi aku tersesat dalam penyesalan
Kehilangan, namun aku masih mencari yang tak kubutuhkan
Kesepian, tapi telingaku sakit saat mendengar dendangan tanda-tanda

Kuingat waktu Kita bercengkrama dalam kabut peristiwa
Kuingat saat Kita bercumbu dimalam bahagia
Kuingat waktu Aku mendapatkan jawab atas kebingungan
Kuingat saat pedihnya hati setelah perselingkuhanku dengan fana

Ingin kuakhiri kelana tanpa arah ini
Kembali bersujud pada-Mu
Mengelar sajadah, mengurai penyesalan
Menyebut asma-Mu di butir-butir tasbih

Ya... Allah....
Berikan aku waktu untuk memecahkan ketersesatanku ini

22 Februari 2009

Bledug Lagi

Dia masih bledug yang dahulu
Yang tak perlu mengenal kitab suci untuk tidak mencuri
Yang selalu sabar menghadapi takdir meskipun tak pernah mendengar ceramah kyai ato pendeta

Yang memperjuangkan hidup tanpa kematian orang lain
Yang mendirikan kehormatan diri tanpa menrendahkan yang lain

Tembagapura (bag. 2)

Hampir 3 bulan aku tinggal di Tembagapura. hanya sesekali aku turun ke Timika. Turun Ke Timika adalah sebuah momentum yang sedikit bisa mengobati kejenuhan. Maklum, Tembagapura penuh dengan kebosanan, rutinitas yang menjemukan dan hamper tak terjamah dengan hiburan. beberapa orang menyebutnya dengan “Kota Penjara”.

Banyak karyawan PT. Freeport Indonesia yang mengalami rasa bosan seperti yang aku rasakan saat ini. Tuntutan dedikasi tersebut membuat karyawan tidak betah bertahan sampai tiga-lima tahun berada di dalam jajaran kedisiplinan perusahaan. Mereka lebih banyak mengambil cuti ke luar daerah atau bagi karyawan di lapangan langsung, diberi kesempatan penyegaran di sekitar lokasi penambangan. Mereka seperti terbuang di tengah hutan belantara, diapit gunung batu Jayawijaya dengan ketinggian sampai 4.300 meter dari permukaan laut. Tidak ada hiburan, dan tetangga yang saling mengunjungi seperti layaknya hidup di perkampungan
Kediplinan dalam bekerja sangat terasa di sini. ketelitian, kecermatan sangat di perhitungkan untuk bisa bekerja secara optimal dan terhindar dari kecelakaan. "Jangankan tiga-lima tahun, satu pekan saja kita sudah bosan, jenuh dan tidak betah tinggal di sini. Ada keinginan segera melepaskan diri dari semua kebosanan ini dan hidup bebas. Tetapi, ada rasa rindu yang makin kuat untuk menambah pengetahuan di pertambangan seperti di Freeport," kata seorang karyawan di daerah tambang.
Namun kebanyakan dari mereka tak sanggup berbuat banyak. Aku masih sering menjumapai orang-orang yang telah bekerja di sini lebih dari 10 tahun. Gila. Menurutku perusahaan memahami akan hal itu. Freeport banyak memberi fasilitas-fasilitas lebih dibanding ketika mereka bekerja di perusahaan lain. Karyawan disediakan tempat tinggal gratis (meskipun bentuknya berupa barak-barak), makan gratis tiga kali sehari, transportasi gratis (bis dalam kota, bis menuju Timika bahkan pesawat khusus menuju kampung halaman ketika mereka cuti) dan yang paling menggiurkan mereka untuk tidak segera meninggalkan perusahaan ini adalah gaji yang sangat besar.
Aku? aku hanya sebuah karyawan sebuah perusahaan mitra PT. Freeport Indonesia. Aku mengalami kejenuhan yang hamper sama dengan para karyawan Freeport, namun aku tak seberuntung mereka. Gajiku tak sampai setengah dari gaji karyawan setingkat Staff di PT. FI. cuti hanya setahun sekali. Mereka bahkan ada yang mendapatkan cuti setiap 6 minggu, cutinya juga lumayan panjang. 2 minggu.Namun dengan segala keterbatasan ini, aku tetap mencoba untuk bersyukur

Tembagapura (bag. 1)

13 November 2008 adalah hari pertama aku menginjakkan kaki di Timika. Panas, dan hiruk pikuk penduduk lokal di sekitar bandara adalah kesan pertama saat keluar dari Bandara. Sebuah mobil merah berlogo perusahaan tempatku bekerja siap menjemputku dan mengantarkanku ke tempat tinggal sementara.

Masih sempat aku meragu, kenapa aku menerima tawaran untuk ditempatkan di Papua, dimana banyak orang lebih suka menghindarinya. tapi ini sudah menjadi keputusanku, pantang diri ini untuk menyesal.

Setelah beberapa hari berkantor di Timika (untuk pengenalan dengan situasi dan rekan-rekan kerja), saatnya aku menuju tempat “sebenarnya” aku akan bekerja. Temabagapura. Sebuah kota “bikinan” perusahaan pertambangan berkelas Internasional. PT. Freeport Indonesia.

1 Desember 2008. Pagi di Timika sudah begitu panas, mobil hijau buatan Toyota siap mengantarku. Sebuah mobil yang aku anggap terlalu mewah buat mengantarkan seoarang karyawan rendahan seperti saya. “kenapa pake mobil ini?” tanyaku pada sopir. “hanya mobil jenis seperti ini yang diijinkan Freeport untuk naik ke Tembagapura” jawabnya. meskipun aku agak bingung, namun aku enggan untuk melanjutkan pertanyaanku.

Perjalanan dimulai, menurut sang sopir, perjalanan ini akan memakan waktu sekitar 1,5 sampai 2 jam. “Enteng” gumanku dalam hati. Setengah jam berlalu, menyusuri sungai yang begitu keruh, mungkin karena limbah pertambangan. Rasa kagum akan hijaunya alam menyelip di hatiku. Sepanjang jalan hanya aku lihat pohon, pohon dan pohon.

Sampailah aku pada sebuah pos keamanan. mereka menyebutnya “mile 50”. Setelah identitas kami selesai diperiksa, dan mobil melaju barulah aku tercengang. stelah tikungan kekiri jalanan didepanku benar-benar tidak masuk diakal. kemiringan yang menurutku lebih dari 45o. Busyeeet…!!! melihat hal itu aku baru paham, kenapa Freeport hanya mengijinkan mobil dua garden yang boleh melewati jalur “gila” ini.

Selain harus melewati tanjakan yang “gila” itu, jarak pandang menjadi terganggu karena kabut tebal. pantas saja, Freeport mewajibkan setiap mobil yang masuk area pertambangan ini harus diperiksa setiap bulannya, dan setiap 6 bulan sekali driver harus mengikuti serangkaian test untuk mendapatkan “semacam SIM” khusus.

Akhirnya sampai juga di Tembagapura, beberapa orang menyebutnya sebagai “Mile 68”. Kesan pertama sedetik setelah membuka pintu mobil adalah udara yang begitu dingin, maklum saat ini aku berada di sebuah pegunungan yang tingginya lebih dari 2000 meter dari permukaan laut…..

(bersambung…..)

Omong Kosong

tidak kah ada akhir dari semua omong kosong ini?
mataku jemu sekaligus muak dengan tebaran-tebaran kata
telingaku bising oleh dialog-dialog kedengkian dan makian

pujangga seakan malu melihat begitu hebatnya mereka :
mereka yang lihai membungkus kebusukan dengan rentetan kata mutiara

ribuan jurus baru dalam gelanggang silat lidah telah diciptakan
membuat para fakir semakin sulit untuk berfikir dan akhirnya keyakinan terjungkir

tidak kah ada akhir dari semua omong kosong ini?
gambar-gambar terpapar secara murahan dijalanan bersanding dengan kegelisahan
seakan senyuman-senyuman itu bisa mengobati luka menganga para nestapa

tidak kah ada akhir dari semua omong kosong ini?
korban pembodohan bersorak ria melihat jagoannya telah berhasil membohonginya
mereka berdansa seakan tarian itu untuk selamanya, nyatanya hanya sementara

21 Februari 2009

Ponari

Ponari
antara kemiskinan dan keyakinan
antara iman dan kekufuran
menuju kekafiran
menuju kegelisahan

09 Februari 2009

Bledug

Namanya Bledug. Entah aku benar atao tidak saat menuliskan namanya. Bledug, Bleduk, Beledug atau Beledhug. Maklum, selain buta huruf dia juga tak punya KTP.

“Buat apa KTP? Ga penting…” ungkapnya

Orang macam dia memang ga butuh KTP. Tak seperti kita-kita ini, butuh KTP untuk nglamar pekerjaan, daftar di KUA ketika mau kawin dan urusan lain di birokrasi tai kucing negeri ini. Delain itu, Bledug juga ga punya duit untuk ngurus KTP yang tarifnya ga jelas itu. Tarifnya kayak nyetak foto, kalo mau cepat selesai bayarannya lebih mahal.

Bledug adalah mahkluk yang lahir dari peradaban, dari rahim zaman. Dari waktu ke waktu, dari orde ke orde bledug hadir dengan seutan-sebutan yang berbeda-beda. Sempat disebut abdi, pakatik, jongos, pramuniaga, PRT, TKI, buruh, wong cilik dan lain sebagainya. Berubah zaman berubah sebutannya, namun dia tetap sama, tetap saja menjadi bledug, tetap sebagai manusia yang tak termanusiakan.

“wong saya ini orang kecil, ga perlu neko-neko…” begitu katanya

Yah, itulah Bledug. Merasa kecil, mersa kekerdilannya adalah takdir yang sudah paten dari Tuhannya (aku sendiri ragu, apakah dia percaya Tuhan). Kalo saja nyalinya dipompa sedikit saja lebih besar dari lubang hidungnya, mungkin saja dia bisa jadi monster yang mampu memakan semen-semen proyek gedung pemerintahan, meminum bergalon-galon minyak pertamina. Namun Bledug tetaplah bledug yang lugu, yang masa depannya tak lebih dari batu nisan.

Bledug adalah debu yang berterbangan kemana-mana bersama tiupan angin. Tak berdaya, arah hidupnya ditentukan arah angin yang membawanya. Sebentar ke utara, tak lama keselatan. Siang ke barat, malam ke timur.

Namun karna kedebuannya itu, Bledug nempel dimana-mana dan siap menjadi perisih mereka-mereka yang alergi dengan materi kecil ini. Biarpun tipa pagi meja ruang tamumu di lap, di vacuum cleaner tetap saja hari esok debu-Bledug- itu akan mampir, akan soan ke meja ruang tamumu. Keberadaanya akan selalu mengusik ketenangan batinmu, bahkan mampu membuat dirimu jatuh sakit.

Serapat apapun kau kunci ruang tamumu, sesering apapun kau bersihkan mejamu. Bledug tak akan pernah bosan untuk mampir dan menempel. Tentu saja tak perlu kita salahkan Bledug itu, karena dia hanya hanyut oleh tiupan-tiupan angin. Ironisnya, tiupan angin itu kadang berasal dari hembusan nafas kita, berasal dari kentut kita sendiri.

Namun aku juga takut pada Bledug jika sudah dewasa nanti. Sesudah dewasa dia akan menjadi gajah raksasa yang siap untuk menginjak-injak kita, siap untuk memporak-porandakan rumah-rumah yang kita bangun dari penjarahan hutan tempat tinggalnya. Tanpa segan dia akan menagih atas rumput-rumput yang kita babat habis. Dan ketika suatu saat nanti, ketika kehijauan dimuka bumi ini telah kita habiskan di meja-meja makan keserakahan, sang gajah akan berevolusi menjadi karnifor. Dan siapa lagi kalo bukan kita yang akan jagi mangsanya, yang akan ditusuk oleh gadingnya, yang akan diremas oleh belalinya, yang akan dilumat-lumat habis oleh kaki perkasanya.

Betapa Aku Ini

Betapa peko’nya diri ini
Baru aku tau, iblis yang aku prasangkai selama ini
Ternyata tak bersalah
Ternyata tak mengerti apa-apa tentang polah tingkahku ini
Yang selalu aku tuduh-tuduh itu
Yang tiap malam hari aku curigai
Menertawaiku, karena kesalahanku itu
Karena kegoblokanku dalam menghakimi situasi
Ini karena guru ngajiku, guru SD-ku, sodaraku
Pamanku, pak deku, tetanggaku selalu mengajari tentang prasangka
Tentang curiga pada iblis, setan dan dajjal

Ah… tu kan….
Aku lagi-lagi menyalahkan orang lain….

Betapa cerdiknyanya diri ini
Ku bolak-balikkan kata untuk pembenaran
Rasa ini kupontang-pantingkan untuk cari enaknya saja
Betapa kerdilnya jiwa ini
Hingga mata batin ini kesulitan melihat besarnya najis diri
Hingga batu raksasa yang menindihku ini tak aku beratkan,
Kerana aku sibuk mencari celah-celah kecil di batu itu untuk menuju keselamatan

Tentunya keselamat diri, tanpa menhiraukan
Tanpa memikirkan
Tanpa mengilmukan
Kenapa batu menindih
Berapa besar dan berat batu itu
Atau bagaimana agar tak tertindih batu lagi

Betapa konyolnya aku ini
Masih bisa cekak-cekik ditengah derita dan coba
Dagelan rasa dipentaskan ditengah hujan air mata
Banyolan perilaku diutaraakan di bawah payung hitam duka
Entah ketawa menghina atau ketawa peralihan rasa
Aku masih gamang untuk menentukannya

Betapa percaya dirinya aku ini
Membebankan semua kesalahan pada iblis
Kemudian melenggang dengan topeng arjuna di tengah nyawa-nyawa
Dan tanpa aku sadari, mereka yang melihatku tertawa
Cekikik-an seperti melihat tukul dengan laptopnya

Betapa dangkalnya pikirku ini
Sumur kehidupan kubuat dengan kedalaman hanya sejengkal
Hingga hanya mampu menampung air hujan
Dan ketika kemarau, jiwaku menggeliat kehausan

Betapa cebolnya ilmuku ini
Hingga ide-ide yang aku junjung-junjung ini tak bisa melebihi hasrat
Dan kemalasanku, keenggananku untuk menguntai kayu menjadi galah
Membuat diri terpaku di ketidakberdayaan
Ketidakberdayaan untuk mengibarkan bendera keberadaan

07 Februari 2009

Aku Tak Mampu Lagi Bernyanyi

Aku tak mampu lagi bernyanyi
Aku kelimpungan untuk menentukan nada
Bahkan untuk nada pertama
Bahkan untuk genre musik itu
Aku tak mampu lagi bernyanyi
Aku tergulung dalam kepenatan suasana
Dalam kehampaan peristiwa
Dalam kenisbian makna

Aku tak mampu lagi bernyanyi
Tak ada yang mampu menyumbangkan kata
Tak seperti dulu,
Seperti ketika masih ada cahaya
Meskipun silau
Dan dari silau itu terukir ucap, kata dan rangkaian makna
Peristiwa yang bukan lakon,
Lebih pada rasa

Aku tak mampu lagi bernyanyi
Gitar yang bernama cinta itu retak
Suaranya tak lagi merdu
Bunyinya menjadi gamang
dan semakin gamang dalam rinduan

bagiku tak ada lagi lagu yang pantas untuk kita nyanyikan
atao aku nyanyikan sendiri

Kaum Beragama Negeri Ini

Oleh: A Mustofa Bisri

Tuhan, lihatlah betapa kaum beragama negeri ini
mereka tak mau kalah dengan kaum beragama lain
di negeri-negeri lain, demi mendapatkan ridha Mu

mereka rela mengorbankan saudara-saudara mereka
untuk berebut tempat terdekat di sisi Mu
mereka bahkan tega menyodok dan menikam
hamba-hamba Mu sendiri
demi memperoleh rahmat Mu
mereka memaafkan kesalahan
dan mendiamkan kemungkaran
bahkan mendukung kelaliman
untuk membuktikan keluhuran budi mereka
terhadap setanpun mereka tak pernah berburuk sangka

Tuhan, lihatlah betapa baik kaum beragama negeri ini
mereka terus membuatkan Mu rumah-rumah mewah
di antara gedung-gedung kota
hingga tengah-tengah sawah
dengan kubah-kubah megah dan menara-menara menjulang
untuk meneriakkan nama Mu
menambah segan dan keder hamba-hamba kecil Mu
yang ingin sowan kepada Mu
nama Mu mereka nyanyikan dalam acara hiburan
hingga pesta agung kenegaraan
mereka merasa begitu dekat dengan Mu
hingga masing-masing merasa berhak mewakili Mu
yang memiliki kelebihan harta membuktikan
kedekatannya dengan harta yang Engkau berikan
yang memiliki kelebihan kekuasaan membuktikan
kedekatannya dengan kekuasaan yang Engkau limpahkan
yang memiliki kelebihan ilmu membuktikan
kedekatannya dengan ilmu yang Engkau karuniakan
mereka yang Engkau anugerahi kekuatan
seringkali bahkan merasa diri Engkau sendiri
mereka bukan saja ikut menentukan ibadah
tapi juga menetapkan siapa ke sorga siapa ke neraka
mereka sakralkan pendapat mereka
dan mereka akbarkan semua yang mereka lakukan
hingga takbir dan ikrar mereka
yang kosong bagai perut bedug

Allahu Akbar Walillahil Hamd

Jangan Pandangi Aku

Kadang kurasa ada jemari bidadari dari matamu itu
Butiran hitam mengindah sedemikan itu ketika menatapku
Kurasa ada di bagian alam yang lain saat siraman cahaya tatapmu menyentuh jiwaku
Caramu memandang penuh arti sampai aku harus membuka banyak kitab suci

Tolong, hentikan tatapanmu itu
Meski indah kurasa, tapi aku tersiksa dengan ketiadaanku ini
Cahaya itu membuatku selayak terdakwa pada kasus cinta
Pandangmu yang menyorot gelapku membuatku menetaskan air mata

Jangan, jangan melihatku seperti itu
Mataku tak mampu membalasmu dengan tatapan selayak itu
Terlampau banyak debu-debu dosa masuk kedalam bola mataku
Sekian banyak kisah iblis menusuk penglihatanku dimasa lampau

Tutup matamu itu, palingkan ke langit biru indah sana
Kilau indah tatapmu akan membuat langit turunkan do’amu
Pelangi akan datang tanpa menunggu hujan deras pagi hari
Engkau punya istimewa, selayaknya bukan aku yang berupa dosa ini

Cepatlah engkau sadar bahwa aku bukanlah impimu
Pantas buatmu ada dibalik awan itu, melayang sesempurna udara
Bersandinglah dengan kicau burung merdu di tanah sabana hijau
Malaikatlah yang membawamu kesana, tak usah kakimu melangkah

Pernikahan

Oleh: A. Mustofa Bisri


Pernikahan merupakan salah satu sunnah Rasul SAW dan merupakan anjuran agama. Pernikahan yang disebut dalam Quran sebagai miitsaaqun ghaliizh, perjanjian agung, bukanlah sekedar upacara dalam rangka mengikuti tradisi, bukan semata-mata sarana mendapatkan keturunan, dan apalagi hanya sebagai penyaluran libido seksualitas atau pelampiasan nafsu syahwat belaka.



Penikahan adalah amanah dan tanggungjawab. Bagi pasangan yang masing-masing mempunyai niat tulus untuk membangun mahligai kehidupan bersama dan menyadari bahwa pernikahan ialah tanggungjawab dan amanah, maka pernikahan mereka bisa menjadi sorga. Apalagi, bila keduanya saling menyintai.

Nabi Muhammad SAW telah bersabda yang artinya, “Perhatikanlah baik-baik istri-istri kalian. Mereka di samping kalian ibarat titipan, amanat yang harus kalian jaga. Mereka kalian jemput melalui amanah Allah dan kalimahNya. Maka pergaulilah mereka dengan baik, jangan kalian lalimi, dan penuhilah hak-hak mereka.”

Ketika berbicara tentang tanggungjawab kita, Rasulullah SAW antara lain juga menyebutkan bahwa “suami adalah penggembala dalam keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya dan isteri adalah penggembala dalam rumah suaminya dan bertanggungjawab atas gembalaannya.”

Begitulah, laki-laki dan perempuan yang telah diikat atas nama Allah dalam sebuah pernikahan, masing-masing terhadap yang lain mempunyai hak dan kewajiban. Suami wajib memenuhi tanggungjawabnya terhadap keluarga dan anak-anaknya, di antaranya yang terpenting ialah mempergauli mereka dengan baik. Istri dituntut untuk taat kepada suaminya dan mengatur rumah tangganya.

Masing-masing dari suami-isteri memikul tanggung jawab bagi keberhasilan perkawinan mereka untuk mendapatkan ridha Tuhan mereka. Apabila masing-masing lebih memperhatikan dan melaksanakan kewajibannya terhadap pasangannya daripada menuntut haknya saja, Insya Allah, keharmonisan dan kebahagian hidup mereka akan lestari sampai Hari Akhir. Sebaliknya, apabila masing-masing hanya melihat haknya sendiri karena merasa memiliki kelebihan atau melihat kekurangan dari yang lain, maka kehidupan mereka akan menjadi beban yang sering kali tak tertahankan.

Masing-masing, laki-laki dan perempuan, secara fitri mempunyai kelebihan dan kekurangannnya sendiri-sendiri. Kelebihan-kelebihan itu bukan untuk diperbanggakan atau diperirikan. Kekurangan-kekurang pun bukan untuk diperejekkan atau dibuat merendahkan. Tapi semua itu merupakan peluang bagi kedua pasangan untuk saling melengkapi. Kedua suami-isteri bersama-sama berjuang membangun kehidupan keluarga mereka dengan akhlak yang mulia dan menjaga keselamatan dan keistiqamahannya selalu. Dengan demikian akan terwujudlah kebahagian hakiki di dunia maupun di akhirat kelak, Insya Allah.

05 Februari 2009

Jalanan di Dinding Malam

Malam ini masih malam yang lalu
Keresahan ini masih gundah yang dahulu

Sepi...
Gelap...
Diam yang mati...
Lemah merayap...

Maaf jika ini dianggap keluhan
Mungkin saja ada yang mengucap kelemahan
Ada juga yang bilang tentang rasa syukur

Aku cuma yakin tentang pencarian
Belum ku temui kepuasan
Lucu rasanya jika aku bernafas lega sekarang

Hari kemarin panas
Daging dadaku semakin keras

Tepatkah tebakan ini?
Hanya ada gambar jalanan di dinding malam
Menuju kemana?
Aku belum tau?
Aku tak akan tau....

Malam....
Malam....
Kelam....
Jalanan di dinding gulita...
Kejam....

Ego

Benarkah kita ini benar?
Semetara telinga ini buntu dari prespektif lainnya
Semetara hati ini alergi dari pendapat lainnya

Most of what you know is wrong

Bagaimana bisa benar?
Ketika selalu berprasangka pada lainnya
Ketika selalu membiarkan diri hanyut pada ego

Inikah kebenaran yang aku junjung-junjung itu
Yang lahir prematur dari rahim kepercayaan diri
Yang muncul dari riuh para pecandu kepengecutan

Ini kah kebenaran itu?
Yang dipanen di ladang yanh tertutup dari cahaya luar
Yang dipanen dari coock tanam kepentingan diri

Ini kah kebenaran itu?
Yang ditulis berdasar pada like and dislike
Yang didengungkan oleh kitab suci pribadi

Yang bukan aku adalah salah
Yang aku adalah bukan salah

Ego....
Ego....
Kenapa telinga ini semakin buntu?
Kenapa selalu bersahabat dengan yang sependapat?

Kenapa tak sedikitpun berani bertanya?
Bahwa yang salah bukan hanya mereka
Bahwa yang salah bukan hanya ia