OTAK, instrument pikir akan menghasilkan output untung - rugi, mungkin - mustahil dan benar - salah (berdasarkan ukuran-ukuran yang diciptakan manusia sendiri). Sedang HATI, instrument rasa akan menghasilkan output manfaat - mudlarat, pantas - wagu dan etis - tidak etis (bersarkan inspirasi yang diperoleh dari Sang Pencipta). Otak dan hati adalah dua perangkat yang berbeda. Ketika kita menyiapkan waktu dan ruang di hati untuk menyongsong datangnya inspirasi maka tinggalkan otak, berhentilah berpikir agar inspirasi lebih cepat masuk ke dalam relung hati.

(Pujo Priyono)

===================================================

21 Mei 2009

Jangan Cintai Ibu Pertiwi

Pengganan Bait Puisi di pagelaran Musik Puisi Dinasti Emha Kiai Kanjeng " Jangan Cintai Ibu Pertiwi " Gedung Kesenian Jakarta, 3 April 2009

kenapa kau biarakan kau biarkan mereka kehabisan kepercayaan diri?
kehilangan pemahaman alamiah tentang anatomi nilai
tidak percaya atas rasa syukur dan ajaibnya rizki
sampai mereka jual kepala dengan harga pantat
mereka ecerkan Tuhan dengan harga dukun
mereka obral nasib nabi, rasul dengan tarif-tarif pengajian
mereka loakkan fatwa ditukar dengan kedunguan politik
mereka banting kartu As kemanusiaan dengan defisit balak enam
mereka kaki limakan berkah nasib dengan ketik REG
anak cucu hidup dalam kemiskinan yang amat absolud dan sangat mutlak
ditutup-tutupi dengan kemegahan yang segera ambruk dalam sekejap


20 Mei 2009

Paku

Pagi ini ada sebuah e-mail dari seorang teman.....

Suatu ketika..., ada seorang anak laki-laki yang bersifat pemarah.
Untuk mengurangi kebiasaan marah sang anak, ayahnya memberikan sekantong paku dan mengatakan pada anak itu untuk memakukan sebuah paku di pagar belakang rumahnya setiap kali dia marah...

Hari pertama anak itu telah memakukan 48 paku ke pagar sesuai dengan jumlah ia marah sehari itu...
lalu secara bertahap jumlah itu berkurang.
Lalu anak itu tersadar dan mendapati bahwa ternyata lebih mudak menahan amarahnya dibandingkan memakukan paku ke pagar.

Akhirnya tibalah hari dimana anak tersebut merasa bisa mengendalikan amarahnya dan tidak cepat kehilangan kesabarannya.
Lalu si anak itu memberitahukan hal ini kepada ayahnya, yang kemudian mengusulkan agar dia mencabut satu paku setiap kali ia dapat menahan amarah dan meningkatkan kesabarannya.

hari-hari berlalu dan anak laki-laki itu akhirnya memberitahu ayahnya bahwa semua paku telah tercabut olehnya.
Lalu sang ayah menuntun dan memperlihatkan pada anaknya pagar belakang rumahnya itu.
"Hmm, kamu telah berhasil dengan baik anakku, kau sekarang dapat mengendalikan amarahmu.
Tapi, lihatlah lubang-lubang dipagar ini... pagar ini tidak akan pernah sama seperti sebelumnya.
Ketika kamu mengatakan sesuatu dalam kemarahan, kata-katamu akan meninggalkan bekas seperti lubang ini di hati orang lain...

Kamu dapat menusukan pisau pada seseorang, lalu mencabut pisau itu..., tapi tak peduli beberapa kali kamu meminta maaf...
luka itu akan tetap ada..., dan luka karena lidah adalah sama sakitnya dengan luka fisik...

Kisah hikmah yang mungkin sudah sering kita dengar...


19 Mei 2009

Tuhan Tersenyum

Oleh: Mohamad Sobary

Don't take your organs to heaven
Heaven knows we need them here.

Pernahkah Tuhan tersenyum, atau melucu? Dalam kitab suci tak saya temukan dua hal itu. Begitu juga dalam hadis nabi. Pemahaman tekstual saya atas agama terbatas. Pengajian saya masih randah, kata orang Minang. Tapi kalau soalnya cuma "adakah khatib yang melucu, atau marah," saya punya data.


Di tahun 1978, seorang khatib melucu di masjid UI Rawamangun. Akibatnya, jemaah yang tadinya sudah liyep-liyep jadi melek penuh. Mereka menyimak pesan Jumat, sambil senyum. Tapi khatib ini tak cuma menghasilkan senyum itu. Ia diganyang oleh khatib yang naik mimbar Jumat berikutnya.

"Agama bukan barang lucu," semburnya. "Dan tak perlu dibikin lelucon. Mimbar Jumat bukan arena humor. Karena itu, sengaja melucu dalam khotbah dilarang ..."

Vonis jatuh. Marah khatib kita ini. Dan saya mencatat "tambahan" larangan satu lagi. Sebelum itu demonstrasi mahasiswa sudah dilarang "yang berwajib". Senat dan Dewan dibekukan. Milik mahasiswa yang tinggal satu itu, "melucu buat mengejek diri sendiri", akhirnya dilarang juga.

Kita memang perlu norma. Tapi juga perlu kelonggaran. Maka, saya khawatir kalau menguap di masjid bakal dilarang. Siapa tahu, di rumah Allah hal itu tak sopan. Buat jemaah yang suka menguap macam saya, karena jarang setuju dengan isi khotbah, belum adanya larangan itu melegakan.

Saya dengar Komar dikritik banyak pihak. Soalnya, dalam ceramah agamanya ia melucu. Tapi Komar punya alasan sahih. Ia, konon, sering mengamati sekitar. Di kampungnya, banyak anak muda tak tertarik pada ceramah agama.

"Mengapa?" tanya Pak Haji Komar.

"Karena isinya cuma sejumlah ancaman neraka."

Wah ... Itu sebabnya ia, yang memang pelawak, memberi warna humor dalam ceramahnya. Dan remaja pun pada hadir.

Saya suka sufisme. Di sana Tuhan dilukiskan serba ramah. Dan bukannya marah melulu macam gambaran kita. A'u dibaca angu, tidak bisa. Dzubi jadi dubi, tidak boleh. Khotbah lucu, jangan. Lho? Bukankah alam ini pun "khotbah" Tuhan? Langit selebar itu tanpa tiang, bulan bergayut tanpa cantelan dan aman, apa bukan "khotbah" maha jenaka? Apa salahnya humor dalam agama?

Di tahun 1960-an, Marhaen ingin hidup mati di belakang Bung Karno. Dalam humor, saya cukup di belakang Bung Komar. Artinya, bagi saya, humor agama bikin sehat iman. Dus, tidak haram jadah.

Di Universitas Monash saya temukan stiker: "Jangan bawa organmu ke surga. Orang surga sudah tahu kita lebih memerlukannya di sini". Imbauan ini bukan dari Gereja, melainkan dari koperasi kredit. Intinya: kita diajak berkoperasi. Dengan itu kita santuni kaum duafa, kaum lemah.

Ini pun "khotbah" lucu. Dalam kisah sufi ada disebut cerita seorang gaek penyembah patung. Ia menyembah tanpa pamrih. Tapi di usia ke-70 ia punya kebutuhan penting. Doa pun diajukan. Sayang, patung itu cuma diam. Kakek kecewa. Ia minta pada Allah. Dan ajaib: dikabulkan.

Bukan urusan dia bila masalah kemudian timbul, sebab Allah-lah, bukan dia, yang diprotes oleh para malaikat.

"Mengapa ya, Allah, Kaukabulkan doa si kakek? Lupakah Kau ia penyembah patung? Bukankah ia kafir yang nyata?"

Allah senyum. "Betul," jawabnya, "Tapi kalau bukan Aku, siapa akan mengabulkan doanya? Kalau Aku pun diam, lalu apa bedanya Aku dengan patung?"

Siang malam aku pun berdoa, semoga humor kaum sufi ini tak dilarang.



Tempo 27 Oktober 1990

09 Mei 2009

Gelisah Malam Minggu Ini

terbakar semua harapan
kesepian yang mengering membuat api sangat mudah menghanguskan
oksigen yang berasal hembusan nafas kegelisahan memanjakan api merah
dan, jiwa menggeliat…. Berlari menabrak dinding-dinding kenormalan

terkapar sekujur jiwa dihamparan fana
meratapi ketidakpastian detik-detik takdir yang masih berputar di kisaran tanda tanya
melengkapi keraguan-keraguan yang meneror kehidupan yang semakin cemas
dan, matipun jadi pilihan…. Menelusupkan pasrah di tumpukan ingkar