26 Desember 2009
Selamat Tahun baru
Oleh: A. Mustofa Bisri
Kawan, Sudah tahun baru lagi
Belum juga tibakah saatnya kita menunduk
memandang diri sendiri
Bercermin firman Tuhan
Sebelum kita dihisabNya (A. Mustofa Bisri, Antologi Puisi Tadarus)
Tahun ini, tahun baru Hijriyah hampir bersamaan dengan tahun baru Masehi. Biasanya tahun baru Masehi disambut dengan hiruk-pikuk luar biasa. Sementara tahun baru Hijriyah yang sering diidentikkan dengan tahun Islam, tidak demikian. Tidak ada trek-trekan sepeda motor di jalanan. Tidak ada terompet. Tidak ada panggung-panggung hiburan di alon-alon.
Yang ada di sementara mesjid, kaum muslimin berkumpul berjamaah salat Asar –meski biasanya tidak—lalu bersama-sama berdoa akhir tahun; memohon agar dosa-dosa di tahun yang hendak ditinggalkan diampuni oleh Allah dan amal-amal diterima olehNya. Kemudian menunggu salat Maghrib –biasanya tidak—dan salat berjamaah lalu bersama-sama berdoa awal tahun. Memohon kepada Allah agar di tahun baru dibantu melawan setan dan antek-anteknya, ditolong menundukkan hawa nafsu, dan dimudahkan untuk melakukan amal-amal yang lebih mendekatkan kepada Allah.
Memang agak aneh, paling tidak menurut saya, jika tahun baru disambut dengan kegembiraan. Bukankah tahun baru berarti bertambahnya umur? Kecuali apabila selama ini umur memang digunakan dengan baik dan efisien. Kita tahu umur digunakan secara baik dan efisien atau tidak, tentu saja bila kita selalu melakukan muhasabah atau efaluasi. Minimal setahun sekali. Apabila tidak, insyaallah kita hanya akan mengulang-ulang apa yang sudah; atau bahkan lebih buruk dari yang sudah. Padahal ada dawuh: “Barangsiapa yang hari-harinya sama, dialah orang yang merugi; barangsiapa yang hari ini-nya lebih buruk dari kemarin-nya, celakalah orang itu.”
Apabila kita amati kehidupan kaum muslimin di negeri kita ini sampai dengan penghujung tahun 1428, boleh jadi kita bingung mengatakannya. Apakah kehidupan kaum muslimin --yang merupakan mayoritas ini-- selama ini menggembirakan atau menyedihkan. Soalnya dari satu sisi, kehidupan keberagamaan terlihat begitu hebat di negeri ini.
Kitab suci al-Quran tidak hanya dibaca di mesjid, di mushalla, atau di rumah-rumah pada saat senggang, tapi juga dilomba-lagukan dalam MTQ-MTQ. Bahkan pada bulan Ramadan diteriakan oleh pengerassuara-pengerassuara tanpa pandang waktu. Lafal-lafalnya ditulis indah-indah dalam lukisan kaligrafi. Malah dibuatkan museum agar mereka yang sempat dapat melihat berbagai versi kitab suci itu dari yang produk kuno hingga yang modern; dari yang berbentuk mini hingga raksasa. Akan halnya nilai-nilai dan ajarannya, juga sesekali dijadikan bahan khotbah dan ceramah para ustadz. Didiskusikan di seminar-seminar dan halqah-halqah. Bahkan sering dicuplik oleh beberapa politisi muslim pada saat kampanye atau rapat-rapat partai..
Secara ‘ritual’ kehidupan beragama di negeri ini memang dahsyat. Lihatlah. Hampir tidak ada tempat ibadah yang jelek dan tak megah. Dan orang masih terus membangun dan membangun mesjid-mesjid secara gila-gilaan. Bahkan di Jakarta ada yang membangun mesjid berkubah emas. (Saya tidak tahu apa niat mereka yang sesungguhnya membangun rumah-rumah Tuhan sedemikian megah. Tentu bukan untuk menakut-nakuti hamba-hamba Tuhan yang miskin di sekitas rumah-rumah Tuhan itu. Tapi bila Anda bertanya kepada mereka, insya Allah mereka akan menjawab, “Agar dibangunkan Allah istana di surga kelak”. Mungkin dalam pikiran mereka, semakin indah dan besar mesjid yang dibangun, akan semakin besar dan indah istana mereka di surga kelak.
(Terus terang bila teringat fungsi mesjid dan kenyataan sepinya kebanyakan mesjid-mesjid itu dari jamaah yang salat bersama dan beri’tikaf, timbul su’uzhzhan saya: jangan-jangan mereka bermaksud menyogok Tuhan agar kelakuan mereka tidak dihisab).
Tidak ada musalla, apalagi mesjid, yang tidak memiliki pengeras suara yang dipasang menghadap ke 4 penjuru mata angin untuk melantunkan tidak hanya adzan. Bahkan ada yang sengaja membangun menara dengan beaya jutaan hanya untuk memasang corong-corong pengeras suara. Adzan pun yang semula mempunyai fungsi memberitahukan datangnya waktu salat, sudah berubah fungsi menjadi keharusan ‘syiar’ sebagai manifestasi fastabiqul khairaat; sehingga sering merepotkan mereka yang ingin melaksanakan anjuran Rasulullah SAW: untuk menyahuti adzan.
Jamaah dzikir, istighatsah, mujahadah, dan muhasabah menjamur di desa-desa dan kota-kota. Terutama di bulan Ramadan, tv-tv penuh dengan tayangan program-program ’keagamaan’. Artis-artis berbaur dan bersaing dengan para ustadz memberikan ‘siraman ruhani’ dan dzikir bersama yang menghibur.
Jumlah orang yang naik haji setiap tahun meningkat, hingga di samping ketetapan quota, Departemen Agama perlu mengeluarkan peraturan pembatasan. Setiap hari orang berumroh menyaingi mereka yang berpiknik ke negara-negara lain.
Jilbab dan sorban yang dulu ditertawakan, kini menjadi pakaian yang membanggakan. Kalimat thoyyibah, seperti Allahu Akbar dan Subhanallah tidak hanya diwirid-bisikkan di mesjid-mesjid dan mushalla-mushalla, tapi juga diteriak-gemakan di jalan-jalan.
Label-label Islam tidak hanya terpasang di papan-papan sekolahan dan rumah sakit; tidak hanya di AD/ART-AD/ART organisasi sosial dan politik; tidak hanya di kaca-kaca mobil dan kaos-kaos oblong; tapi juga di lagu-lagu pop dan puisi-puisi.
Pemerintah Pancasila juga dengan serius ikut aktif mengatur pelaksanaan haji, penentuan awal Ramadan dan ‘Ied. MUI-nya mengeluarkan label halal (mengapa tidak label haram yang jumlahnya lebih sedikit?) demi menyelamatkan perut kaum muslimin dari kemasukan makanan haram.
Pejuang-pejuang Islam dengan semangat jihad fii sabiilillah mengawasi dan kalau perlu menindak –atas nama amar ma’ruuf dan nahi ‘anil munkar-- mereka yang dianggap melakukan kemungkaran dan melanggar peraturan Tuhan. Tidak cukup dengan fatwa-fatwa MUI, daerah-daerah terutama yang mayoritas penduduknya beragama Islam pun berlomba-lomba membuat perda syareat.
Semangat keagamaan dan kegiatan keberagamaan kaum muslimin di negeri ini memang luar biasa. Begitu luar biasanya hingga daratan, lautan, dan udara di negeri ini seolah-olah hanya milik kaum muslimin. Takbir menggema dimana-mana, siang dan malam. Meski namanya negara Pancasila dengan penduduk majmuk, berbagai agama diakui, namun banyak kaum muslimin –terutama di daerah-daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam— seperti merasa paling memiliki negara ini.
Barangkali karena itulah, banyak yang menyebut bangsa negeri ini sebagai bangsa religius.
Namun, marilah kita tengok sisi lain untuk melihat kenyataan yang ironis dalam kehidupan bangsa yang religius ini. Semudah melihat maraknya kehidupan ritual keagamaan yang sudah disinggung tadi, dengan mudah pula kita bisa melihat banyak ajaran dan nilai-nilai mulia agama yang seolah-olah benda-benda asing yang tak begitu dikenal.
Tengoklah. Kebohongan dan kemunafikan sedemikian dominannya hingga membuat orang-orang yang masih jujur kesepian dan rendah diri.
Rasa malu yang menjadi ciri utama pemimpin agung Muhammad SAW dan para shahabatnya, tergusur dari kehidupan oleh kepentingan-kepentingan terselubung dan ketamakan.
Disiplin yang dididikkan agama seperti azan pada waktunya, salat pada watunya, haji pada waktunya, dsb. tidak sanggup mengubah perangai ngawur dan melecehkan waktu dalam kehidupan kaum beragama.
Plakat-plakat bertuliskan “An-nazhaafatu minal iimaan” dengan terjemahan jelas “Kebersihan adalah bagian dari iman”, diejek oleh kekumuhan, tumpukan sampah, dan kekotoran hati di mana-mana.
Kesungguhan yang diajarkan Quran dan dicontohkan Nabi tak mampu mempengaruhi tabiat malas dan suka mengambil jalan pintas.
Di atas, korupsi merajalela (Bahkan mantan presiden 32 tahun negeri ini dikabarkan menyandang gelar pencuri harta rakyat terbesar di dunia). Sementara di bawah, maling dan copet merebak.
Jumlah orang miskin dan pengangguran seolah-olah berlomba dengan jumlah koruptor dan mereka yang naik haji setiap tahun.
Nasib hukum juga tidak kalah mengenaskan. Tak perlulah kita capek terus bicara soal mafia peradilan dan banyaknya vonis hukum yang melukai sanubari publik untuk membuktikan buruknya kondisi penegakan hukum negeri ini. Cukuplah satu berita ini: KPK baru-baru ini menangkap Koordinator Bidang Pengawasan Kehormatan Keluhuran Martabat dan Perilaku Hakim Komisi Yudisial saat menerima suap.
Penegak-penegak keadilan sering kali justru melecehkan keadilan. Penegak kebenaran justru sering kali berlaku tidak benar. Maniak kekuasaan menghinggapi mereka yang pantas dan yang tidak pantas. Mereka berebut kekuasaan seolah-olah kekuasaan merupakan baju all size yang patut dipakai oleh siapa saja yang kepingin, tidak peduli potongan dan bentuk badannya..
Tidak hanya sesama saudara sebangsa, tidak hanya sesama saudara seagama, bahkan sesama anggota organisasi keagamaan yang satu, setiap hari tidak hanya berbeda pendapat, tapi bertikai. Seolah-olah kebenaran hanya milik masing-masing. Pemutlakan kebenaran sendiri seolah-olah ingin melawan fitrah perbedaan.
Kekerasan dan kebencian, bahkan keganasan, seolah-olah menantang missi Rasulullah SAW: rahmatan lil ‘aalamiin, mengasihi seluruh alam, dan tatmiimu makaarimil akhlaaq, menyempurnakan akhlak yang mulia.
Penghargaan kepada manusia yang dimuliakan Tuhan seperti sudah mulai sirna dari hati. Termasuk penghargaan kepada diri sendiri.
Waba’du; jangan-jangan selama ini –meski kita selalu menyanyikan ”Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”—hanya badan saja yang kita bangun. Jiwa kita lupakan. Daging saja yang kita gemukkan, ruh kita biarkan merana. Sehingga sampai ibadah dan beragama pun masih belum melampaui batas daging. Lalu, bila benar, ini sampai kapan? Bukankah tahun baru ini momentum paling baik untuk melakukan perubahan?
Selamat Tahun Baru !
-----
31 Desember 2008
source: http://www.gusmus.net/page.php?mod=dinamis&sub=2
20 Desember 2009
Joko dan Agama Barunya
Beberapa minggu yang lalu, seorang sahabat tiba-tiba berbisik kepadaku. “Eh, tau nggak…?? Kabar si Joko?” bisiknya padaku sambil matanya melirik kesana kemari, sepertinya dia takut apa yang dibicarakan itu didengar orang lain.
“Ada apa dengan Joko?”
“sssttt…!!!, jangan keras-keras…” dia meperingatkanku.
“Ada apa sih, rahasia banget ya?” aku juga mulai ketularan berbisik.
“Joko sekarang udah pindah agama….!!! Keluar dari Islam…!!” Sahabat saya itu berkata sambil mencibirkan bibirnya, seakan ada aura kebencian atau mungkin juga hanya sekedar kekecewaan.
“Oh ya…??” Aku pura-pura kaget, sebenarnya aku tidak senang untuk membahas masalah seperti ini, apalagi pake acara berbisik-bisik.
Kemudian sahabat saya itu terus bercerita, mencoba menjelaskan ‘kasus’ itu sedetail-detailnya kepadaku. Dan masih dengan nada bicara yang penuh kejengkelan.
Aku mencoba sesegara mungkin mengakhiri rasan-rasan itu.
---
Saya bukannya tidak setuju atas ‘kejengkelan’ sahabat saya terhadap Joko itu, saaya merasa itu wajar. Namun sangat tidak wajar jika sampai harus mengarah ke ranah kebencian, apalagi sampai memutuskan hubungan silaturahmi dan komunikasi.
Harusnya, yang patut di-jengkel-i itu bukan Joko, tapi diri kita sendiri. Saya. Ya, saya merasa sedih dan bersalah karena tidak mampu (sempat) memberikan saran kepada saudara saya itu saat akan mengambil keputusan untuk pindah jalur keimanan.
Dan meskipun saat itu saya sempat memberikan saran, kemudian dia masih dengan keputusannya itu, saya wajib untuk siap menerima itu dengan lapang hati. Pedoman saya : Tidak ada paksaan dalam agama’. Keputusan untuk di rel mana dia harus beriman adalah hak prerogratif dia, tidak ada satupun makhluk dibumi ini berhak untuk memaksa-maksa.
Agama di dalam diri seseorang berada di sebuah wilayah yang tak terjamah oleh orang lain. Pihak lain tak akan pernah sanggup untuk cawe-cawe.
Dari pada kita ‘sakiti’ diri kita sendiri dengan rasa kebencian kepada orang yang berpindah keimanan. Mending kita menyediakan ruang didalam diri kita sendiri, bahwa bisa jadi kita yang salah.
-----
Pada akhir tahun 2001, saya disodori sebuah buku kecil (semacam fotocopy sebuah tulisan yang dijilid secara sederhana) oleh sahabat saya. Dan isinya tentang Ahmadiyah. Respon saya waktu itu cuma bisa bilang “Hati-hati ya…” kemudian mengembalikan buku itu.
Beberapa tahun kemudian saya baru tahu kalau sahabat saya itu sudah masuk Ahmadiyah. Saya kecewa, itu jelas. Namun saya tidak serta merta ‘menggoblok-goblokan’ sahabat saya itu. Saya merasa kecewa, harusnya saya tidak sekedar bilang “Hati-hati ya…”.
Bagi diri saya, berdasarkan keimanan saya, menurut padangan ajaran yang saya ketahui, Ahmadiyah itu salah. Namun, tidak sedikitpun saya mempunyai hak untuk membenci pemeluk ajaran tersebut. Kalau bagi saya ajaran mereka sesat, saya yakin mereka juga memandang ajaran saya ini juga sesat (bagi mereka). Jadi, apa bedanya? Kalau karena perbedaan itu kita selipkan bibit permusuhan, saya teramat yakin, sampai kapanpun kita akan berkelahi, gelut.
Ajarannya yang kita anggap sesat, namun manusianya tetap kita anggap manusia dan wajib kita manusiakan.
----
Saya punya dua sahabat, mereka beda keyakinan namun berpacaran. Yang cewek seiman dengan saya. Suatu waktu, sahabat saya yang cewek itu bilang sama saya “Bagaimana kalau kita Islamkan dia (pacarnya)?”. Saya hanya tersenyum mendengar ajakan itu.
“Saya ini untuk meng-Islam-kan diri saya sendiri aja belum bisa, lha koq coba-coba meng-Islam-kan orang lain” jawabku sekenanya. “Maaf, saya tidak bisa ikut serta dalam agenda muliamu itu”
----
Bagi Joko dan sahabat-sahabat saya yang akan merayakan Natal. Selamat bersukacita, semoga kita bisa berdamai dalam pelukan-pelukan kemanusiaan.
Tembagapura, 17 Desember 2009
“Ada apa dengan Joko?”
“sssttt…!!!, jangan keras-keras…” dia meperingatkanku.
“Ada apa sih, rahasia banget ya?” aku juga mulai ketularan berbisik.
“Joko sekarang udah pindah agama….!!! Keluar dari Islam…!!” Sahabat saya itu berkata sambil mencibirkan bibirnya, seakan ada aura kebencian atau mungkin juga hanya sekedar kekecewaan.
“Oh ya…??” Aku pura-pura kaget, sebenarnya aku tidak senang untuk membahas masalah seperti ini, apalagi pake acara berbisik-bisik.
Kemudian sahabat saya itu terus bercerita, mencoba menjelaskan ‘kasus’ itu sedetail-detailnya kepadaku. Dan masih dengan nada bicara yang penuh kejengkelan.
Aku mencoba sesegara mungkin mengakhiri rasan-rasan itu.
---
Saya bukannya tidak setuju atas ‘kejengkelan’ sahabat saya terhadap Joko itu, saaya merasa itu wajar. Namun sangat tidak wajar jika sampai harus mengarah ke ranah kebencian, apalagi sampai memutuskan hubungan silaturahmi dan komunikasi.
Harusnya, yang patut di-jengkel-i itu bukan Joko, tapi diri kita sendiri. Saya. Ya, saya merasa sedih dan bersalah karena tidak mampu (sempat) memberikan saran kepada saudara saya itu saat akan mengambil keputusan untuk pindah jalur keimanan.
Dan meskipun saat itu saya sempat memberikan saran, kemudian dia masih dengan keputusannya itu, saya wajib untuk siap menerima itu dengan lapang hati. Pedoman saya : Tidak ada paksaan dalam agama’. Keputusan untuk di rel mana dia harus beriman adalah hak prerogratif dia, tidak ada satupun makhluk dibumi ini berhak untuk memaksa-maksa.
Agama di dalam diri seseorang berada di sebuah wilayah yang tak terjamah oleh orang lain. Pihak lain tak akan pernah sanggup untuk cawe-cawe.
Dari pada kita ‘sakiti’ diri kita sendiri dengan rasa kebencian kepada orang yang berpindah keimanan. Mending kita menyediakan ruang didalam diri kita sendiri, bahwa bisa jadi kita yang salah.
-----
Pada akhir tahun 2001, saya disodori sebuah buku kecil (semacam fotocopy sebuah tulisan yang dijilid secara sederhana) oleh sahabat saya. Dan isinya tentang Ahmadiyah. Respon saya waktu itu cuma bisa bilang “Hati-hati ya…” kemudian mengembalikan buku itu.
Beberapa tahun kemudian saya baru tahu kalau sahabat saya itu sudah masuk Ahmadiyah. Saya kecewa, itu jelas. Namun saya tidak serta merta ‘menggoblok-goblokan’ sahabat saya itu. Saya merasa kecewa, harusnya saya tidak sekedar bilang “Hati-hati ya…”.
Bagi diri saya, berdasarkan keimanan saya, menurut padangan ajaran yang saya ketahui, Ahmadiyah itu salah. Namun, tidak sedikitpun saya mempunyai hak untuk membenci pemeluk ajaran tersebut. Kalau bagi saya ajaran mereka sesat, saya yakin mereka juga memandang ajaran saya ini juga sesat (bagi mereka). Jadi, apa bedanya? Kalau karena perbedaan itu kita selipkan bibit permusuhan, saya teramat yakin, sampai kapanpun kita akan berkelahi, gelut.
Ajarannya yang kita anggap sesat, namun manusianya tetap kita anggap manusia dan wajib kita manusiakan.
----
Saya punya dua sahabat, mereka beda keyakinan namun berpacaran. Yang cewek seiman dengan saya. Suatu waktu, sahabat saya yang cewek itu bilang sama saya “Bagaimana kalau kita Islamkan dia (pacarnya)?”. Saya hanya tersenyum mendengar ajakan itu.
“Saya ini untuk meng-Islam-kan diri saya sendiri aja belum bisa, lha koq coba-coba meng-Islam-kan orang lain” jawabku sekenanya. “Maaf, saya tidak bisa ikut serta dalam agenda muliamu itu”
----
Bagi Joko dan sahabat-sahabat saya yang akan merayakan Natal. Selamat bersukacita, semoga kita bisa berdamai dalam pelukan-pelukan kemanusiaan.
Tembagapura, 17 Desember 2009
Langganan:
Postingan (Atom)