Beberapa minggu yang lalu, seorang sahabat tiba-tiba berbisik kepadaku. “Eh, tau nggak…?? Kabar si Joko?” bisiknya padaku sambil matanya melirik kesana kemari, sepertinya dia takut apa yang dibicarakan itu didengar orang lain.
“Ada apa dengan Joko?”
“sssttt…!!!, jangan keras-keras…” dia meperingatkanku.
“Ada apa sih, rahasia banget ya?” aku juga mulai ketularan berbisik.
“Joko sekarang udah pindah agama….!!! Keluar dari Islam…!!” Sahabat saya itu berkata sambil mencibirkan bibirnya, seakan ada aura kebencian atau mungkin juga hanya sekedar kekecewaan.
“Oh ya…??” Aku pura-pura kaget, sebenarnya aku tidak senang untuk membahas masalah seperti ini, apalagi pake acara berbisik-bisik.
Kemudian sahabat saya itu terus bercerita, mencoba menjelaskan ‘kasus’ itu sedetail-detailnya kepadaku. Dan masih dengan nada bicara yang penuh kejengkelan.
Aku mencoba sesegara mungkin mengakhiri rasan-rasan itu.
---
Saya bukannya tidak setuju atas ‘kejengkelan’ sahabat saya terhadap Joko itu, saaya merasa itu wajar. Namun sangat tidak wajar jika sampai harus mengarah ke ranah kebencian, apalagi sampai memutuskan hubungan silaturahmi dan komunikasi.
Harusnya, yang patut di-jengkel-i itu bukan Joko, tapi diri kita sendiri. Saya. Ya, saya merasa sedih dan bersalah karena tidak mampu (sempat) memberikan saran kepada saudara saya itu saat akan mengambil keputusan untuk pindah jalur keimanan.
Dan meskipun saat itu saya sempat memberikan saran, kemudian dia masih dengan keputusannya itu, saya wajib untuk siap menerima itu dengan lapang hati. Pedoman saya : Tidak ada paksaan dalam agama’. Keputusan untuk di rel mana dia harus beriman adalah hak prerogratif dia, tidak ada satupun makhluk dibumi ini berhak untuk memaksa-maksa.
Agama di dalam diri seseorang berada di sebuah wilayah yang tak terjamah oleh orang lain. Pihak lain tak akan pernah sanggup untuk cawe-cawe.
Dari pada kita ‘sakiti’ diri kita sendiri dengan rasa kebencian kepada orang yang berpindah keimanan. Mending kita menyediakan ruang didalam diri kita sendiri, bahwa bisa jadi kita yang salah.
-----
Pada akhir tahun 2001, saya disodori sebuah buku kecil (semacam fotocopy sebuah tulisan yang dijilid secara sederhana) oleh sahabat saya. Dan isinya tentang Ahmadiyah. Respon saya waktu itu cuma bisa bilang “Hati-hati ya…” kemudian mengembalikan buku itu.
Beberapa tahun kemudian saya baru tahu kalau sahabat saya itu sudah masuk Ahmadiyah. Saya kecewa, itu jelas. Namun saya tidak serta merta ‘menggoblok-goblokan’ sahabat saya itu. Saya merasa kecewa, harusnya saya tidak sekedar bilang “Hati-hati ya…”.
Bagi diri saya, berdasarkan keimanan saya, menurut padangan ajaran yang saya ketahui, Ahmadiyah itu salah. Namun, tidak sedikitpun saya mempunyai hak untuk membenci pemeluk ajaran tersebut. Kalau bagi saya ajaran mereka sesat, saya yakin mereka juga memandang ajaran saya ini juga sesat (bagi mereka). Jadi, apa bedanya? Kalau karena perbedaan itu kita selipkan bibit permusuhan, saya teramat yakin, sampai kapanpun kita akan berkelahi, gelut.
Ajarannya yang kita anggap sesat, namun manusianya tetap kita anggap manusia dan wajib kita manusiakan.
----
Saya punya dua sahabat, mereka beda keyakinan namun berpacaran. Yang cewek seiman dengan saya. Suatu waktu, sahabat saya yang cewek itu bilang sama saya “Bagaimana kalau kita Islamkan dia (pacarnya)?”. Saya hanya tersenyum mendengar ajakan itu.
“Saya ini untuk meng-Islam-kan diri saya sendiri aja belum bisa, lha koq coba-coba meng-Islam-kan orang lain” jawabku sekenanya. “Maaf, saya tidak bisa ikut serta dalam agenda muliamu itu”
----
Bagi Joko dan sahabat-sahabat saya yang akan merayakan Natal. Selamat bersukacita, semoga kita bisa berdamai dalam pelukan-pelukan kemanusiaan.
Tembagapura, 17 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar