17 Juli 2009
Matahari Islam Berpendar-pendar
Meledaknya BOM di JW Marriott & Ritz Carlton hari ini mengingatkan saya pada sebuah tulisan yg menurut saya sangat bagus, yang saya baca beberapa tahun silam. Setelah saya "googling-googling", akhirnya dapet juga. sebuah catatan yang ditulis oleh Emha Ainun Nadjib, memberikan pandangan yang sedikit berbeda tentang BOM BALI
-----------------------------------
GATRA.com - SAYA sedang menikmati pemandangan indah: berpendar-pendarnya matahari terbit kebangkitan Islam di Indonesia. Kekuatan mana di muka bumi ini yang berani melawan kedahsyatan simpanan kekuatan umat Islam, kalau santri sekelas Amrozi dan rombongannya saja mampu mengguncang dunia dan memerangahkan bumi? Dengan kemampuan teknologi bom yang ultramodern?
Ini baru level santri. Belum kiai ini, kiai itu. Belum Syekh Fulan atau Polan, Habib sana atau Habib sini, atau Gus Anu atau Gus Ano. Beberapa santri saja sudah cukup membuat Polri, BIN, Mossad, CIA, dan dinas intelijen Australia porak-poranda kesombongannya. Baru sekadar Amrozi!
Itu baru Lamongan sayap dusun luar --dunia sudah guncang. Belum Lamongan bagian Langitan dan kantong-kantong kekuatan bom Islam lainnya di kabupaten itu. Belum Bojonegoro, Tuban, Gresik. Jangankan lagi omong Pasuruan, Probolinggo, Jember, Situbondo --dan jangan pula sebut Jombang! Tandingan Jombang bukan pasukan-pasukan elite kelas dunia. Jombang disiapkan untuk menaklukkan ultra-sophisticated teknologi perang Dajjal yang kini ditatar di kedalaman laut Bermuda Triangle.
Kalau semua kekuatan Islam itu, cukup Jawa Timur saja, pada suatu hari serempak ber-triwikrama, mateg aji, unjuk kebolehan, pastilah Amerika dan Eropa rata tanah, seluruh permukaan bumi jadi padang pasir!
***
Memang, sebagian kecil kaum muslimin berprihatin dan bersedih hati atas persangkaan dihancurkankannya citra ulama dan kiai, dirusaknya nama baik dunia pesantren oleh kasus-kasus terorisme belakangan ini --atas yang mereka sangka tentang nasib Amrozi dan Imam Samudra. Atas seolah terpecahnya kepemimpinan Islam. Berserak-serak dan tercerai-berainya kekuatan umat Islam. Atas mitos dan prasangka tentang krisis moral, krisis akhlak, krisis bermacam-macam yang akhirnya disebut krisis total, dan sebagainya.
Padahal, Tuhan kasih kunci: "Engkau menyukai sesuatu yang sebenarnya buruk bagimu, dan engkau membenci sesuatu yang sesungguhnya baik bagimu." Apa yang kau sangka pengikisan nilai Islam ternyata pembangkitan nilai Islam. Sebaliknya, apa yang kau pikir mengibarkan nilai Islam nanti terbukti justru merusaknya. Apa yang kau kira de-Islamisasi sesungguhnya memiliki rahasia Islamisasi. Sebaliknya, apa yang kau yakini sebagai Islamisasi nanti kau jumpai sebagai proses penyirnaan Islam.
Kalau pengetahuanmu tidak rangkap dan gampang dijebak oleh sesuatu yang seolah-olah menyenangkan atau seakan-akan menjengkelkan, engkau akan sangat kaget jika suatu hari mendengar Amrozi memberikan pengakuan bahwa sesungguhnya dia jualah yang meledakkan Gunung Papandayan. Dan kalau para aparat tidak mau ngemong hati orang Islam, siap-siap suatu hari ada pasukan santri siluman lagi yang meledakkan Gunung Semeru, meletuskan Merapi, serta menumpahkan air samudra ke permukaan Pulau Jawa.
Hendaknya para penguasa membatasi keangkuhannya dengan menyadari bahwa para santri memegang warisan kekuatan-kekuatan dari masa silam: tongkat Nabi Musa, kapak Ibrahim, keris Kolomunyeng Sunan Giri, tongkat pendek Syekh Abdul Qodir Jaelani, serban Sunan Kalijaga, Setan Kober Penangsang, Sangkelat Karebet, dan belum lagi ilmu-ilmu sirrul asror dari Mbah Hamid, Sakajiwa-nya Adipati Kolopaking, kain mandarnya Imam Lapeo, atau air liur mustajabnya Gus Ud Kedungcangkring.
Itu semua simpanan baku tradisional umat Islam. Santri macam Samudra dan Amrozi bukan pemegang warisan kelas utama. Kalau nanti yang bergerak adalah mbahurekso kaum muslimin benar-benar, akibatnya tan kinoyo ngopo tan keno kiniro. Tak bisa Anda bayangkan dan rumuskan.
Sementara itu, jangan disangka umat Islam adalah kaum yang sibuk membangga-banggakan khazanah masa silam. Kalau engkau pelajari dengan saksama, kekuatan mutakhir yang dibangun umat Islam juga tidak bisa diremehkan siapa pun. Baik di bidang politik dan kekuasaan, di bidang pemikiran, di bidang tarikat dan batiniah, maupun di bidang teknologi dan budaya.
***
Apalagi kekuatan tasawuf kaum muslimin. Nashrudin Hoja, sesudah keledainya dicuri orang di halaman masjid, malah masuk masjid lagi dan bersujud lama sekali. Orang-orang bertanya: kehilangan kendaraan kok malah bersujud? Nashrudin menjawab: "Saya tadi melakukan sujud syukur. Sungguh saya berterima kasih kepada Allah bahwa hanya keledai saya yang hilang, sedangkan diri saya ini tidak ikut dicuri orang..."
Ini bukan hanya bermakna kritik atas hilangnya kepribadian manusia yang dicuri kekuatan nafsu kekuasaan, keserakahan kapitalistik, ditelan ideologi dan bukan me-manage ideologi pilihannya, dehumanisasi oleh industri, depersonalisasi oleh komunalisme, lenyapnya kemanusiaan oleh kepandaian atau oleh kebodohan. Tak hanya itu. Kisah Nashrudin ini juga bermakna sufistik, misalnya bahwa rezeki itu tidak hanya berbentuk memperoleh atau mendapatkan, melainkan bisa juga berbentuk kehilangan. Keuntungan tidak selalu berarti memiliki, bisa juga pada saat tidak memiliki. Kemenangan tidak hanya berarti menang dalam perebutan dan kenduri, kemenangan malah mungkin terjadi pada seseorang yang berpuasa dari perebutan, pesta pora, dan kerakusan.
Orang mengatakan bahwa kekuatan politik umat Islam terpecah-pecah, karena ia tidak tahu bahwa itu memang strategi yang disengaja. Politisi Islam tahu, jangan sampai terjadi hegemoni Islam di negara yang bukan Islam. Islam itu ngemong, bukan menguasai. Apa yang tampak terpecah-pecah itu sesungguhnya dinamika pluralisme dalam tubuh umat Islam. Islam itu memerdekakan, membuka pintu tafsir atau interpretasi seluas jumlah pemeluknya. Bisa ada sejuta mazhab dalam Islam. Jangankan sekadar beberapa puluh partai politik Islam.
Orang bilang ekonomi kaum muslimin terpuruk, karena mereka tidak mengerti pilihan utama pemeluk Islam berada di tengah-tengah. Ada level ghony, kaya. Ada level miskin dan ada level fakir. Orang Islam tidak memilih kaya, tapi juga menolak menjadi fakir. Cukup pilih miskin saja. Rasulullah Muhammad sendiri adalah 'abdan nabiyya: Nabi yang rakyat jelata. Beliau ditawari punya kekuasaan dan kekayaan seperti Nabi Sulaiman, namun menolak.
Itu pun, umumnya kaum muslimin masih tergolong kaya dibandingkan dengan Nabi Muhammad, yang rumah tinggalnya bersama Siti Aisyah panjangnya hanya 4,80 m, lebarnya 4,62 m. Itu pun tanpa kulkas, tanpa VCD player, AC, furnitur, dan aksesori. Jadi, kalau dari sisi negatif, perekonomian umat Islam seperti terpuruk, dari sisi positif hal itu menunjukkan bahwa mereka lebih memilih kekayaan akhirat daripada kekayaan dunia.
***
Jadi, apa yang perlu dicemaskan dari keadaan umat Islam di Indonesia? Kalau dikalahkan di dunia, toh engkau menang di akhirat. Dunia cuma sekejap, akhirat abadi. Apa keberatanmu?
Kalau namamu dicoreng kehinaan di bumi, engkau memperoleh kemuliaan di langit. Bumi hanya mikrokosmos, sedangkan langit makrokosmos. Apa alasanmu untuk tidak bersyukur?
Makin namamu dihancurkan, ditangkap, dihukum di dunia, makin populer dan tinggi indah kursimu di surga. Nikmat Allah yang mana yang masih engkau dustakan?
Allah menagih jihadmu, dan tidak mempertanyakan kemenangan duniawimu. Allah menantikan syahidmu, dan membayar penderitaan duniamu dengan pendaran-pendaran cahaya wajah-Nya sendiri yang abadi menggiurkanmu.
Katakanlah kita mulai kehilangan Buya Hamka, kita memiliki yang lebih dari itu: Quraish Shihab. Kita kehilangan Muhammad Natsir, malah muncul Yusril Ihza Mahendra. Mulai kehilangan Cak Nurcholish Madjid, malah dianugerahi Ulil Abshar Abdalla. Umpamanya pun kehilangan Ustad Zainuddin MZ, kita punya yang lebih dimensional: Aa Gym. Dan kalaupun akhirnya pada suatu hari nanti Gus Dur uzur, kita punya Saifullah Yusuf.
Kita punya banyak tokoh Islam fenomenologis. Pemikiran-pemikirannya mungkin menggelisahkan dan menjengkelkan ulama-ulama tua, tapi lambat laun orang-orang tua harus belajar kepada anak-anaknya.
Mereka itu letaknya di pinggir, tak terlalu dianggap kental Islamnya, tapi nanti akan ternyata keilmuannya memang ijtihadiyah --hanya saja, kita orang-orang tua terlambat memahaminya.
Kita punya banyak Nashrudin lain. Kecenderungan sikapnya seolah bertentangan dengan tradisi konvensional kaum tua. Padahal, sungguh kritik mereka sangat menohok. Setelah kaum muslimin "kehilangan keledai", Nashrudin-Nashrudin ini seakan tidak menunjukkan sikap militan untuk mengutuk si pencuri. Mereka malah kelihatan seperti melakukan sujud syukur atas tertangkapnya Ustad Ba'asyir, Amrozi, dan Samudra.
Bahkan terdengar seakan memuji-muji pihak yang dianggap musuh dan justru kaannahum mengutuk saudara-saudaranya seagama.
Itu semata-mata karena model kritisisme Nashrudin memang mempersyaratkan kecerdasan pikiran tingkat tinggi, kepekaan dan kejernihan hati yang sungguh-sungguh --untuk mampu menangkapnya. Itulah sebabnya, "yang kau anggap baik ternyata berbahaya, yang kau anggap buruk malah sebenarnya baik". Islam liberal malah dicurigai, sementara Islam sensual justru dibiarkan saja merajalela di mana-mana dari kampus-kampus hingga mal-mal.
***
Sungguh saya menikmati berpendarnya matahari kebangkitan Islam di Nusantara, terutama selama Ramadan, ketika siang, malam, pagi, sore, kita diguyur kenikmatan dan kemuliaan acara-acara Ramadan di sekian banyak siaran (syiar) televisi. Engkau yang berpengalaman melanglang buana ke mancanegara, jawablah apa ada Ramadan sesemarak tayangan TV-TV kita?
Engkau ingat hukum kompetensi: yang berwenang atas kualitas dunia sepak bola adalah PSSI, tinju adalah KTI, tepung adalah Bogasari, rawon adalah Probolinggo, dan gudeg adalah Yogyakarta. Jangan pesan gudeg ke Banyuwangi, jangan cari petinju hebat ke PSSI, dan jangan menambal ban bocor ke penjual rujak. Kalau mau berdakwah, PSSI-nya adalah ulama.
Siaran TV Ramadan memuat penyamaran-penyamaran strategis yang tentu didasarkan pada tiga prinsip dakwah: dengan hikmah, perlakuan yang tepat, menyerbu konsumen berdasarkan apa yang baik bagi konsumen. Kalau Topan-Leysus ada tanpa ustad, acara bisa tetap jalan. Kalau hanya ustad yang ada sedangkan Topan-Leysus tak ada, acara bisa batal. Demikian juga yang primer adalah Eko Patrio dan Ulfah Dwiyanti, Taufiq Savalas dan Elma Theana, dan seterusnya. Ustad yang hadir berposisi sekunder.
Apakah industri TV melanggar prinsip kompetensi? Tidak. Itu yang disebut penyamaran strategis. Supaya orang lain tak gampang mengidentifikasi kita, maka hijau disamarkan dengan kuning, merah disamarkan dengan jingga. Ustad atau kiai yang sesungguhnya adalah Topan, Leysus, Eko, Taufiq, dan lain-lain. Kiai yang tawadlu adalah yang menghindarkan diri dari sifat-sifat yang Tuhan tersinggung kepada pelakunya: riya', takabur, ujub, suka pamer, menonjol-nonjolkan diri.
Kiai-kiai sejati kita itu sepanjang tahun tidak pernah menunjukkan siapa mereka sebenarnya, tidak pernah memamerkan kekiaiannya, mereka menyamar jadi artis. Hanya pada Ramadan mereka harus polos luar-dalam, sebab puasa adalah ibadah yang diminta Allah pribadi secara langsung.
Siapa tahu, ternyata mereka itulah Wali Songo abad ke-21.
[Emha Ainun Nadjib, Budayawan]
[Kolom, GATRA, Nomor 04 Beredar Kamis 13 Desember 2002]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar