OTAK, instrument pikir akan menghasilkan output untung - rugi, mungkin - mustahil dan benar - salah (berdasarkan ukuran-ukuran yang diciptakan manusia sendiri). Sedang HATI, instrument rasa akan menghasilkan output manfaat - mudlarat, pantas - wagu dan etis - tidak etis (bersarkan inspirasi yang diperoleh dari Sang Pencipta). Otak dan hati adalah dua perangkat yang berbeda. Ketika kita menyiapkan waktu dan ruang di hati untuk menyongsong datangnya inspirasi maka tinggalkan otak, berhentilah berpikir agar inspirasi lebih cepat masuk ke dalam relung hati.

(Pujo Priyono)

===================================================

04 Juli 2009

PRESIDEN BOCAH ANGON

Ilir ilir tandure wus sumilir

Tak ijo royo-royo

Tak sengguh temanten anyar

Bocah angon bocah angon penekno blimbing kuwi

unyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodot-iro

Dodot-iro dodot-iro lumintir bedah ing pinggir

Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore

Mumpung jembar kalangane

Mumpung padhang rembulane

Yo surako

Surak: Hiyyoo!



Bagi temen-temen Jawa, mungkin tembang/syair itu sudah tidak asing, tapi sedikit dari kita yang mengerti makna, atau bahkan tidak pernah tahu siapa yang menciptakan syair tersebut. Keadaan sekarang ini (akan ada Pilpres) mengingatkan saya akan tafsir Emha Ainun Najib tentang syair ilir-ilir ini. sebuah tembang penuh makna yang ditulis oleh Kanjeng Sunan Ampel beberapa abad yang lalu. Cak Nun menyajikannya lengkap dalam tulisan berjudul “MENYORONG REMBULAN DAN MATAHARI BERKABUT”. Namun, untuk kali ini saya hanya akan mengutip sebagian kecil dari tulisan tersebut.



Cah angon, cah angon penekno blimbing kuwi.


Sunan Ampel tidak menuliskan: "Ulama, Ulama", "Pak Jendral, Pak Jendral", "Intelektual, Intelektual" atau apapun lainnya, melainkan "Bocah Angon, Bocah Angon..."

Beliau juga tidak menuturkan : "Penekno sawo kuwi", atau "Penekno pelem kuwi" atau buah apapun lainnya, melainkan "Penekno blimbing kuwi"

Blimbing itu bergigir lima. Terserah tafsirmu apa gerangan yang dimaksud dengan lima.

Yang jelas harus ada yang memanjat "pohon licin reformasi" ini -- yang sungguh-sungguh licin, sehingga banyak tokoh-tokoh yang kita sangka sudah matang dan dewasa ternyata begitu gampang terpeleset dan kini kebingungan bak layang-layang putus.....

Kita harus panjat, selicin apapun, agar blimbing itu bisa kita capai bersama-sama.

Dan yang memanjat harus "Cah Angon". Tentu saja ia boleh seorang doktor, boleh seorang seniman, boleh kiai, jendral, atau siapapun saja -- namun dimilikinya daya angon.

Kesanggupan untuk menggembalakan. Karakter untuk merangkul dan memesrai semua pihak. Determinasi yang menciptakan garis resultan kedamaian bersama. Pemancar kasih sayang yang dibutuhkan dan diterima oleh semua warna, semua golongan, semua kecenderungan.

Bocah Angon adalah seorang pemimpin nasional, bukan tokoh golongan atau pemuka suatu gerombolan. Bocah Angon adalah waliyullah, negarawan sejati, 'orang tua yang jembar', bukan Lowo Ijo yang gemagah, bukan Simorodra yang mengaum-aum seenak napsunya sendiri.




Lunyu-lunyu penekno. Kanggo mbasuh dodot iro.

Sekali lagi, selicin apapun jalan reformasi ini, engkau harus jalani....

Selicin apapun pohon pohon tinggi reformasi ini sang Bocah Angon harus memanjatnya.

Harus dipanjat sampai selamat memperoleh buahnya, bukan ditebang, dirobohkan dan diperebutkan.

Air saripati blimbing lima gigir itu diperlukan oleh bangsa ini untuk mencuci pakaian nasionalnya. Konsep lima itulah sistem nilai yang menjadi wacana utama gerakan reformasi, kalau kita ingin menata semuanya ke arah yang jelas, kalau kita mau memahami segala tumpukan masalah ini dalam komprehensi konteks-konteks: kemanusiaan, kebudayaan, politik, rohani, hukum, ekonomi, sampai apapun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar