OTAK, instrument pikir akan menghasilkan output untung - rugi, mungkin - mustahil dan benar - salah (berdasarkan ukuran-ukuran yang diciptakan manusia sendiri). Sedang HATI, instrument rasa akan menghasilkan output manfaat - mudlarat, pantas - wagu dan etis - tidak etis (bersarkan inspirasi yang diperoleh dari Sang Pencipta). Otak dan hati adalah dua perangkat yang berbeda. Ketika kita menyiapkan waktu dan ruang di hati untuk menyongsong datangnya inspirasi maka tinggalkan otak, berhentilah berpikir agar inspirasi lebih cepat masuk ke dalam relung hati.

(Pujo Priyono)

===================================================

29 Desember 2008

Silvia Dana

aku jadi mengingatmu
meskipun harus kurangkai memoriku
belum lengkap rangkaian itu
namun sudah membuat sesak nafasku

silvi... dana....
hanya dua ini yang aku ingat

aku tak ingat apa yang aku lupa
aku lupa sebagian ingan ingatanku tentang mu

aku hanya kenal tentang senyum ranum
tergores hanya tawa khasmu dan lincah itu

silvia dana....
ah...!!! aku masih belum bisa aku ingat....
sang google juga gagal menemukanmu
altavista menyerah kalah sesudahnya

aku tak ingat namamu
busyet.... kenapa harus melintas bayangan itu
membuat aku sesak.... menjeritkan kerak-kerak rindu

silvia dana....
BUSYET...!!!
aku masih belum bisa aku ingat....

Ada yang Salah

pintu terbuka sendirinya
ada angin bertiup sebelumnya
ada aroma bangkai setelahnya
ada cahaya tanpa warna sesudahnya

diruang pengap
sebelah kiri setelah tikungan iblis
tanpa ada ku tau sebab
mataku menjadi sedemikian sembab
mungkinkah ini karna budaya biadab?

lembutnya udara malam membuai jiwa
kadang dentuman lara membuat gendang telingaku bahagia

ADA YANG SALAH DENGANKU!

kenapa aku sedemikian berbudaya?
sehingga aku masih mencari ketelanjangan

kapan dunia ini berubah?
sehingga aku selalu merasa didepan masa

dimana titik baliknya?
sehingga aku tidak tersesat dalam laknat

28 Desember 2008

Sedetik Setelah Matahari Terbit

kekacauan ini berawal dari sedetik setelah matahari terbit
dinginnya tak aku rasa, yang terasa hanya pahit yang menggigit

kelak pasti ada sesal
besok pasti muncul kesal

seharusnya aku tak begini
jika saja aku warnai pagi tadi
kalau saja bukan hitam-hitam lagi

sedetik setelah matahari terbit
jiwaku hanya lelap, cuma gelap
hatiku terkurung pada ruang pengap
sedetik setelahnya nyawa ini lenyap

14 Desember 2008

Rasa Itu...

Seperti menginjak salju untuk pertama kali
Seperti dijamah oleh kekasih pujaan hati
Seperti ditepuktangani, diatas panggung dikagumi

Itukah?

Seperti melihat kematian didepan mata
Seperti meludah di mall dan tertangkap kamera
Seperti sendirian ditengah meriah pesta

Itukah?

Seperti ketika mencoba menerima bahwa ibunya gila
Seperti saat digunjing tentang jodohnya yang tak datang jua
Seperti pagi hari membaca berita temannya diterima bukan dirinya

Itukah?

Seperti......

12 Desember 2008

Kabut Sebelum Hujan

Yang aku temui hanya waktu yang berjalan sama
Tak berbeda seperti kemarin lalu yang enggan berlalu
Dalam detik ada yang detik-detik yang membosankan

Ingin lari pun tanpa arah yang membaru
Tegaknya langit masih ditutupi tebing dan awan
Matahari seakan malu untuk menerangi hari

Kabut, hujan dan orang-orang kemarin

Ada sejengkal ruang hitam
Yang mungkin bisa membuat sukma terpejam

Kabut, hujan dan orang-orang lalu lalang

Menyembunyikan kata-kata bosan dibalik tumpukan kertas usang
Lirik lagu kerinduan berjatuhan dari kertas setengah basah

Kabut, hujan dan bianglala kerinduan

Jeruji dan air hangat di cuaca membeku
Tampilan cahaya menceritakan peristiwa
Membujur, laksana api menjulur dengan jujur

Kabut sebelum hujan mengakhiri kerinduan orang-orang

Tembagapura, 2008

11 Desember 2008

Rindu Sejumput

Sejumput aku punya rindu
Serumput aku terbaring kaku
Setakut aku ditikam dahulu

Waktu bermain-main di kubangan peristiwa
Sekelabat aku menampak dirinya
Secepat pula banyangan itu sirna

Aku tak namai ini rindu
Sekian nyawa kutanya nama tak ada jua yang mengenalnya
Bahkan kabut lembut kemarin pagi hanya bisa membenamkan suaranya

Sejumput aku punya rindu

Hatiku yang hampa atau jiwaku yang semakin nisbi
Ingin aku menangis, namun tak kudapat alasan pasti
Bahkan tak sedikitpun ada gemetar,
Meskipun kicauan aura membuka pagiku ini

Kemana rasa?
Dimana harus aku memulainya?

Sejumput aku punya rindu
Meskipun aku tak berani namainya dengan rindu

Geletakkan saja...
Biarkan sekujur jiwa merasakan najisnya lantai bumi

08 Desember 2008

Dari Merah Menjadi Biru

Dari merah menjadi biru
Merah darah di bumi bisu

Kelakar jiwa terbakar amarah dendam
Sejengkal lagi nyawa terjun kedalam jurang

Selamatkan hati beku yang berpura lugu
Setan iblis menjadi bengis di sekitar tangis
Tentara takdir menusuk sukma
Rasa bercampur logika melebur di kepala

Dari merah menjadi biru
Merah darah di bumi bisu

Ada jiwa, ada lelaki kelaparan rasa

Dimana engkau otakku?
Dari merah menjadi biru

07 Desember 2008

Pertanyaan

Kenapa takut? Kenapa pengecut?
Dirimukah yang aku cari?
Ataukah hanya kerinduan yang membabi-babi?

Benarkah dirimu?
Mungkinkah dirimu?

Akankah ada ruang untuk itu semua?
Adakah suara yang bisa meyakinkanku?
Adakah waktu yang berjalan lebih cepat dari matahari?

Tuhan….
Maaf jika aku banyak bertanya….
Namanya juga bingung…..

Adalah Waktu



Keluarkan aku dari kubangan ini
Sedari pagi kakiku tenggalam mati
Cecurut itu mengerubuti, menguliti
Adalah waktu yang menelanku sekali-sekali

Jembatan runtuh, jalanan ricuh
Buntu…
Kecapi mengalun di dangdutnya kehidupan ini
Irama, nada, suara dan kata mengamuk, lupa diri

Keluarkan aku dari kubangan ini
Cecurut itu mengerubuti, menguliti
Sesekali ludah tertelan bersama tai gigi
Adalah waktu yang menyelamatkan tidurku nanti

Langit membiru bersama tiupan angin bisu
Gelegar cahaya membakar, menyerap air hidupku
Raksasa-raksasa sigap menjaga takdir yang dibaca dungu
Lekangnya hidup, sepinya badai terkutuk

Timika, 2008

06 Desember 2008

Menembus Awan

dulu kata 'menembus awan' hanya menderet di puisiku
kini aku benar-benar menembus awan putih bisu
dingin, aromanya membuat tulang tengkorakku beku

perjalanan menorehkan pengalaman tak terlupakan
menuju sesuatu yang selama ini hanya aku dengar dari buku
hanya dari cerita amin rais dan para cecunguk itu
menggunjingkan sesuatu yang mereka belum tentu pernah injak tanahnya

hijau tanah papua kulihat dari jendela kaca
ada angin, terasa dingin, mendekatkanku pada ingin

ya Tuhan....
betapa kerdilnya aku...

aku menenbus sebagian kecil awan-Mu

Tembagapura, 2008

01 Desember 2008

Tobat Sesaat

Menyiram jiwa dengan air telaga disamping berhala
Kemudian mengelap peluh dengan saputangan iblis

Lalu… lalu…
Lalu lalang dosa memacetkan akal pikir
Kelakar setan memekakkan telinga

Jungkir balik nurani memerangi nafsu
Berjuta doa dilatih seperti prajurit Sparta
Sajadah di gelar, tasbih terus berputar
Gunung, laut, lagit, hujan, smuanya terlihat Tuhan

Nyatanya itu hanya sekelebat detik
Kembali tersesat….
Lalu melesat kea rah laknat

Harapan Esok Hari

Pecut kepecut hati ini menciut
Perjalanan besok pagi dimulai
Terror terteror nasib diujung telur
Dunia depan dipertaruhkan besok pagi

Hanya doa
Sampai pada usaha sekuatnya

Gus Muhammad SAW

Ditulis oleh Emha Ainun Nadjib

Sudah terpecah dan terkeping sampai seberapa PKB, juga NU? Tidak. Kita ambil perspektif lain. Itu bukan bentrok, bukan perpecahan. Itu romantisme demokrasi. Itu dinamika ijtihad (perjuangan pemikiran). Itu produk wajar dari tradisi berpikir merdeka: salah satu prinsip yang membuat manusia bernama manusia.

Sebagaimana kalau jumlah pemeluk Islam ada sejuta, maka dimungkinkan ada sejuta aliran, dipersilahkan setiap orang memberlakukan tafsirnya masing-masing, dan satu-satunya yang berhak menagih pertanggung-jawaban adalah Tuhan. Silahkan ada golongan NU, Muhammadiyah, Persis, Persis NU, Persis Muhammadiyah, Muhammad NU, Sunni, Syiah, Sun'ah, Syinni, PKNU, Langitan, Bumian, Lautan, Gunungan, PKB Alwiyah, PKB Wahidiyah, PKB Muhaiminiyah, PKB Yenniyah... semakin banyak semakin demokratis dan menghibur.

Tapi omong-omong sebenarnya PKB adalah satu-satunya parpol yang konstituennya paling berakar. Mungkin tidak tepat benar metaphor berikut ini: tapi ibarat hutan dan taman: PKB adalah upaya membangun hutan menjadi taman. Taman PKB berbasis di hutan yang melahirkan PKB, dengan akar dan sifat hutan yang masih kental. Golkar misalnya, adalah sebuah taman modern yang professional, sejumlah pohon diambil dari hutan dan tetap mendayagunakan kimia tanah hutan -- tetapi ia sebuah taman teknokratis yang tidak memprimerkan hutan.

Semua, PDIP, PPP, PKS, PAN, PD atau PBB, juga tidak steril hutan, tetapi PKB yang paling jelas berakar di hutan. Asal muasal sosio-kulturalnya, dialektika historisnya, masih menampakkan kekentalan perhubungan antara tamannya dengan hutannya. Sebagaimana PAN, PKS, PPP dan PBB "gagal" mewujudkan jargonnya Cak Nurkhalis Madjid “Islam Yes, Partai Islam No” – PKB-lah yang paling kental setting budaya santrinya. 'Partai Islam No' susah keluar dan berkembang dari lembaran AD-ARTnya, de fakto tetap saja "Partai Islam". Meskipun Ifrith Sekjen Komunitas Jin Internasional direkrut masuk PKB, tetap saja yang terjadi bukan pluralisme, orang tetap menganggap Jendral Ifrith yang masuk NU supaya kalau meninggal ditahlili.

Andaikan saja tradisi transformasi sosial berlaku cukup matang di Indonesia, kemudian atas dasar itu PKB dibangun kembali secara modern, maka dia susah ditandingi oleh kelompok politik yang manapun lainnya.

Akan tetapi PKB semakin seru saja bergumul di dalam bungkusan 'sarung' tradisional. Mungkin saja sarung itu ber-merk 'Gus'. Belum tentu benar, tapi kalau mau menabung pembelajaran tentang PKB hari ini ada baiknya kita tengok sosiologi budaya 'Gus', bahkan mungkin 'antropologi' nya.

Sopan santun Jawa menyebut Nabi Muhammad SAW dengan Kanjeng Nabi. Dalam bahasa Arab: Sayyid, semacam Sir. Sayyidina Muhammad. Beliau pernah bilang "Saya jangan disayyid-sayyidkan". Maka masyarakat Muhammadiyah cenderung tidak memakai gelar Sayyidina. Panggil ngoko saja: Muhammad. Tetapi kalau kita menyebut pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan dengan "Dahlan" saja, "Si Dahlan", atau dulu ketika beliau masih sugeng kita menyapa beliau "Mau ke mana Lan?" -- teman-teman Muhammadiyah banyak tak siap juga.

Jadi idiom 'Sayyidina' itu mungkin berkonteks budaya sebagaimana kita memanggil "Pak", "Mas", "Oom". Tentu saja "saya jangan disayyid-sayyidkan" itu tidak berhenti pada makna harafiah. Maksudnya Kanjeng Nabi kita jangan feodal, jangan menjunjung-junjung secara tidak rasional. Allah semata yang 'Ali Akbar, yang maha tinggi dan maha agung. Sampai-sampai beliau tidak mau digambar wajahnya, khawatir jadi icon, branding, berhala, mitos.

Di kalangan Jawa tradisi, dipakai kata "Kanjeng", "Raden" atau "Den". Den-nya masyarakat santri adalah "Gus". Gus itu semacam Raden yang ”islami". Di Jombang ada Gus Rur, Gus Nur, Gus Dur. Untuk saya ada gelar VIP: "Guk", Guk Nun. Itu panggilan sesama teman penggembala kambing, kerbau, sapi, ngasak di sawah.

Gus itu lebih tinggi dan lebih luas dibanding Den. Itu berlaku tak hanya secara tradisional. Semua wacana, persepsi dan analisis tentang wilayah perpolitikan tertentu di Indonesia selama 35 tahun ini terlalu meremehkan dahsyatnya kekuatan 'Gus'. Sampai hari ini kita gagal ilmu, gagal obyektivitas, gagal kejujuran, gagal kerendah-hatian dan kejantanan di dalam memotret fenomena sangat factual itu dalam frame pemikiran demokrasi, egaliterianisme, independensi budaya dan politik.

Itupun kalau bicara tentang Gus Dur, NU, PKB, Muhaimin Iskandar, Yeni Wahid, PKNU, Choirul Anam, Kiai (desa pesantren bernama) Langitan dst, tanpa setting sejarah yang ‘masuk lubuk hutan’ secara cukup memadai. Gus Dur NU PKB dll hanya kita jadikan anasir-anasir dari khayalan akademik kita yang asyik sendiri dengan huruf-huruf, yang karena para akademisi dan pengamat adalah penguasa negeri wacana, maka mereka mengumumkan kepada dunia dan dirinya sendiri bahwa NU itu begini Gus Dur itu begitu -- kemudian tatkala besoknya terbukti tak ada eskalasi rasional dari wacana-wacana itu, kita diam-diam melupakannya.

Mungkin kita tugasi khusus peneliti politik untuk memperhatikan hal-hal yang sederhana: kalau mau paham PKB, NU, Gus Dur: coba tengok pengetahuan tentang keluarga imigran Tebuireng, struktur dan eskalasi sejarah 'klan-klan' pribumi dan pendatang di Jombang, budaya Ludruk dan Gambus Misri, Hadlratus Syaikh, Mbah Wahid, Mbah Wahab, Masyumi, Muhammadiyah, Yai Kholil Bangkalan, pisang, kitab, cincin.... ***

29 November 2008

Cintakah ini?

teramat banyak janji yang harus ditepati
kutu loncat berkeliling menari-nari
selagi ada ufuk dan bidadari yang menelanjangi hari
segera ku jumpai nafas taubat walau sedetik sekali

keramatkah hari ini?

selangkangan ditaburi bunga kamboja
ramuan jaman diteguk seluruh semuanya
isapan dendam meracuni jantung hatinya
kemudian kata cinta muncrat dari tangisnya

Racunkah ini?

mengabdi sebagai asmara romansa
mengembalakan proses dan nada-nada
menunggu lentera di ujung cahaya
kemudian tangis cinta mengucur bersama kata

Cintakah ini?

Mencari Kata

Ingin membuka cakrawala pikir
Yang ditemui hanya detik kosong
Menemui jiwa yang kebingungan di sampah kata
Yang ada hanya cumbu, sekedar mesiu
Selangkah lagi ajal menjejal
Aku…
Aku mati dibawah dermaga rimba

28 November 2008

DUNIA SERBA TUHAN ATAWA TUHAN SEMAKIN BANYAK

Di mana-mana semakin banyak tuhan
Di Irak dan Iran
Di Israel dan Afganistan
Di Libanon dan Nikaragua
Di India dan Srilangka
Di JEpang dan Cina
Di Korea dan Pilipina

Tuhan semakin banyak
Di Amerika dan Rusia
Di Eropa dan Asia
Di Afrika dan Australia
Di NATO dan PAlta Warsawa
Di PBB dan badan-badan dunia


Dimana-mana tuhan, ya Tuhan
Disini pun semua serba tuhan
Disini pun tuhan merajalela
Memenuhi desa dan kota
Mesjid dan gereja
Kuil dan pura
Menggagahi mimbar dan seminar
Kantor dan sanggar
Dewan dan pasar
Mendominasi lalu lintas
Orpol dan ormas
Swasta dan dinas

Ya Tuhan, di sana-sini semua serba tuhan
Pernyataanku pernyataan tuhan!
Kebijaksanaanku kebijaksanaan tuhan!
Keputusanku keputusan tuhan!
Pikiranku pikiran tuhan!
Pendapatku pendapat tuhan!
Tulisanku tulisan tuhan!
Usahaku usaha tuhan!
Khutbahku khutbah tuhan!
Fatwaku fatwa tuhan!
Lembagaku lembaga tuhan
Jama’ahku jamaah tuhan!
Keluargaku keluarga tuhan!
Puisiku puisi tuhan!
Kritikanku kritikan tuhan!
Darahku darah tuhan!
Akuku aku tuhan!

Ya Tuhan!

1987+1429

Tertegun (Puisi Gus Mus)

Tertegun dalam kelabu
langitku
aku mencoba membayangkan
mentari di balik gemawan
yang sejak lama tak menyinari
rumah-rumah kalbu

Tertegun dalam pengap
udaraku
aku berusaha menghirup
sisa wewangianyang berguguran
dalam bunga-bunga layu

(Burung-burung berpatahan
sayapnya bahkan
berkaparan
oleh racun dari kemasan
yang menyilaukan)

Tertegun dalam keruh
lautku
aku bertanya-tanya
dalam kesendirian
masihkah batinmu menyimpan
mutiara-mutiara biru?

Tertegun dalam pekat
bumiku
aku memandang kosong
tanah-tanah yang ditinggalkan
atau diperebutkan
orang-orang gagu

(Meraba-raba dalam gelap
negriku
aku mencari-cari
merahputihku
yang terkoyak tangan sendiri)

Menengok Ke Belakang Untuk Maju Ke Depan

Oleh: A. Mustofa Bisri


“Haasibuu anfusakum qabla an tuhaasabuu”, Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. (Sayyidina Umar Ibn Khaththab r.a.)

Menjelang akhir tahun, ada baiknya kita menengok sejenak ke belakang untuk keperluan memperbaiki atau menyempurnakan langkah kita ke depan



Tahun ini, isu politik dan tingkah-polah para politisi masih dominan. Terutama, tentang banyaknya tokoh yang mencalonkan dan mengiklankan diri sebagai pemimpin negara, pemimpin daerah, maupun “wakil rakyat”. Juga, tentang tersangkutnya banyak politisi dalam kasus korupsi. Sedemikian dominannya, sehingga isu tentang krisis global sekalipun tidak mampu mempengaruhinya.

Saya sendiri heran dan bertanya-tanya, apa sih yang terjadi di negeri ini dan bangsa ini? Kalau dibilang negeri ini carut-marut dan mengalami krisis kepemimpinan, mengapa banyak tokoh yang kepingin memimpin atau tepatnya kepingin dipilih menjadi pemimpin? Kalau dibilang citra politisi dan legislatif sedemikian buruknya, mengapa orang masih berebut mencalonkan diri sebagai caleg, termasuk artis-artis? Kalau mereka semua itu bicara tentang kemiskinan rakyat, mengapa harta mereka yang berlimpah hanya untuk mengiklankan diri atau sekedar “investasi kedudukan”?

Di tahun ini, peringatan-peringatan seperti Hari Kemerdekaan, Hari Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda, dan Hari Pahlawan; gaungnya-dan perhatian masyarakat terhadap maknanya-masih kalah dari misalnya peringatan Hari Valentine. Persoalan-persoalan mendasar seperti kemanusiaan, kebangsaan, kemiskinan dan keterbelakangan terdesak oleh isu-isu tentang Ahmadiyah dan “aliran sesat”, pornografi dan “jihad fi sabilihizbi kullin wara’yihi”.

Yang mengusik perhatian dan boleh jadi bahkan menggetarkan sanubari kita, adalah terus-menerusnya fenomena kekerasan dan kebencian, termasuk yang muncul dari mereka yang merasa dan mengaku umat Nabi Muhammad SAW. Nabi agung yang lembut, santun dan penuh kasih sayang. Peristiwa-peristiwa yang menjadi tajuk berita di negeri kita akhir-akhir ini yang berkaitan dengan sikap keberagamaan, sungguh perlu mendapat perhatian terutama dari para pemimpin dan ahli agama.

Kekerasan yang dilakukan oleh para pengikut aliran yang merasa diri paling dekat dengan Allah dan paling benar sendiri, merupakan tanggungjawab para pemimpin agama, bukan saja-meskipun terutama-pemimpin aliran itu sendiri. Amar-makruf dan nahi (‘anil) munkar yang biasa dijadikan dalih menghalalkan tindakan kekerasan dan kekejaman, menurut hemat saya, justru merupakan manifestasi atau pengejawentahan dari kasih sayang Islam. Amar makruf dan nahi (‘anil) munkar tidak mungkin dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki kasih sayang. Amar makruf dan nahi (‘anil) munkar yang dilandasi kebencian, jelas bukan amar makruf nahi (‘anil) munkar yang diajarkan Nabi Kasih Sayang, Rasulullah Muhammad SAW.

Ada lagi, yang melakukan tindak kekerasan dan bahkan pembantaian dengan dalih jihad. Marilah kita lihat kembali jihad menurut contoh dan ajaran Rasulullah SAW. Kalau pun jihad fii sabiilillah dimaknai sempit, yaitu hanya diartikan qitaal, Rasulullah SAW telah memberi contoh dan mengajarkan aturan dan etika qitaal sedemikian bijak . Lagi pula, jihad fi sabiilillah berarti berjuang di jalan agama Allah. Jadi, harus karena dan dengan aturan yang ditentukan Allah. Jihad yang hanya karena nafsu amarah dan kejengkelan, bukanlah jihad fii sabiilillah. Jihad yang ngawur tidak memperhatikan aturan dan tuntunan Rasulullah SAW, bukanlah jihad fii sabiilillah. (Baca misalnya Q. 5: 8; Shahih Bukhari 1/58 Hadits 123; Shahih Muslim 3/1512 Hadits 1904, lihat juga bab Jihad)

Satu lagi berita yang dibesar-besarkan pers. Yaitu, pernikahan Pujiono Cahyo Widianto. Orang kaya yang dipopulerkan pers dengan julukan Syeh Puji ini mengawini gadis cilik Lutviana Ulfa yang belum genap 16 tahun. Seandainya sebelumnya, pengusaha hiasan dinding kaligrafi ini tidak menjadi berita karena membagikan zakat dan tidak mengumumkan pernikahannya tersebut, mungkin tidak akan menjadi berita nasional yang menghebohkan. Mungkin tokoh gundul berjenggot ini mau meniru pernikahan Kanjeng Nabi dengan Sayyidatina Aisyah r.a. Kalau benar demikian, ini satu bukti lagi bahwa dalam meniru atau ittibaa’ Kanjeng Nabi Muhammad SAW, orang cenderung asal saja dan hanya berdasarkan kesenangannya.

Selintas kita telah menengok ke belakang; maka adakah di sana pelajaran yang dapat kita ambil bagi memperbaiki dan menyempurnakan langkah kita selanjutnya ke depan?

27 November 2008

Nama Problem Kita: Lupa Sejarah

Ditulis Oleh Sujiwo Tejo
Senin, 20 Oktober 2008
Setiap masalah yang timbul dalam kehidupan kita seyogyanya kita kasih nama. Dan seyogyanyalah nama yang tepat.

Kira-kira kayak gitu mutiara yang dapat saya rangkum dari beberapa kawan motivator. Teman-teman yang bergerak di bisnis pemberian motivasi ini meyakini satu hal. Betapa banyak orang tak sanggup memecahkan persoalan hidupnya, semata-mata cuma lantaran mereka belum kasih nama yang tepat pada persoalan itu.


Kaum motivator itu tak keliru. Bagaimana kita akan memecahkan suatu perkara, dengan kata lain bagaimana kita akan berkomunikasi dengan problem tersebut, menyapanya, kalau nama problem itu saja kita tak tahu apa tepatnya.

Saya kerap mendapati orang yang hidupnya hampa. Kasusnya belum ia beri nama. Tapi gairah itu kemudian bangkit setelah ia namai persoalannya dengan “Kurang Tersalurnya Hobi”. Ia lantas menyalurkan hobinya yang tertimbun selama ini oleh rutinitas kerja. Hidupnya jadi berwarna.

Saya kerap mendapati orang yang hidupnya hampa meski sudah memberi julukan, nama bahkan judul pada problem hidupnya. Tapi judulnya kurang tepat. Ia kasih judul “Selalu Kekurangan Uang”.

Hidupnya perlahan membaik setelah nama problemnya ia tukar-tukar dengan “Selalu Berlebihan dalam Pengeluaran Uang”, “Selalu Kurang Bergairah Mencari Tambahan Uang”, “Kurang Memanfaatkan Hobi dan Potensi Lain sebagai Sumber Mata Pencaharian Baru”, dan lain-lain…

Tiba-tiba saya berpikir, jangan-jangan monumen untuk sebuah kota mirip dengan nama untuk suatu problem dalam hidup kita. Setelah problem itu kita kasih nama, kita baru sadar posisi kita. Kita sadar akan konteksnya.

Setelah sebuah kawasan tempat kita berada lantas ada monumennya, kita baru sadar akan posisi kita. Terutama dalam konteks hubungan kita dengan masa lampau, dengan asal-usul. Padahal, orang bijak acap berujar, tak bakalan kita tahu tujuan kita kalau tak kita tahu muasal kita.

Apa yang bakal dicapai secara bersama oleh warga Jakarta sebagai Ibu Kota khususnya, dan warga Indonesia umumnya, jika kita tak tahu bahwa sesungguhnya permulaan kita adalah petani.

Sedemikian petaninya asal mula kita sampai Patung Pahlawan di kawasan Menteng, yang dibikin Matvei Manizer dan Otto Manizer dari Rusia, disebut sebagai Patung Pak Tani alias Tugu Tani.

Barangkali karena meski sosok di monumen itu menyandang bedil, ia pun mengenakan caping. Ia sedang minta restu buat pergi bertempur pada perempuan di sisinya, yang tampak seperti para perempuan di sawah ketika mengirim panganan untuk para petani.

Kehilangan konteks asal-usul, segera pula kita kehilangan orientasi akan hari depan. Kita akan menjadi negara industri atau pertanian? Saya kaget ketika kawan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi bilang, sebenarnya kita masih kaya akan agro-energi. Bukan cuma pohon jarak dan kelapa sawit. Gila! “Sebenarnya masih ada 60-an jenis tumbuhan di Nusantara ini yang bisa jadi alternatif energi,” katanya.

Dan tolok ukur apakah kita masih menghargai monumen atau tidak, gampang. Apakah monumen-monumen di Jakarta itu masih menjadi pedoman orientasi kita?

Apakah kita akan lebih sering menyebut kampus Universitas Dr Mustopo Beragama dekat Plaza Senayan, ketimbang dekat Patung Pemuda? Apakah kita masih akan lebih sering menyebut Bunderan HI itu dekat Plaza Indonesia, ketimbang dekat Patung Selamat Datang?

Dan bila seseorang menyebut Lapangan Banteng, mana yang segera muncul di benak kita? Kantor Pos Pusat? Departemen Keuangan? Hotel Borobudur? Atau Patung Pembebasan Irian Barat bikinan Edhi Sunarso?

Kutu Loncat (Panakawan 2)

Ditulis Oleh Sujiwo Tejo
Rabu, 26 November 2008
Semar: Eh, thole, Petruk dan Bagong. Gareng dowo umur-e. Saiki dirasani, saiki juga mak jleg datang ke Padepokan Karang Tumaritis.Rambut anyar. Piyak tengah. Bentuknya bokong tengkurap. Persis gedung MPR/DPR. Tapi dia nda’ terus duduk.

Gareng: Dari tadi aku mondar-mandir karena sedang berpikir: Aku bingung, tapi kalian ndak tanggap-tanggap: Ndu’ Karang Tumaritis sini ini ne’ akan parkir mobil parkir-e nde’ mana?

Bagong: Ck ck ck ck…, Gareng wis bedo. Di DPR nembe sebulan ae muncul-muncul sudah bawa kendaraan. Kepergok Pak Kumis kuuaapok kamu ya…

Semar: Pak Kumis? Tukang sego goreng nduk Kwitang itu…?

Bagong: Antasari Azhar, goblok!

Semar: Eh, Gong, koen nggoblok-nggoblokno orang tua? Beliau itu bukan Pak Kumis, tapi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi.

Bagong: Tapi kumisan atau jenggotan?

Semar: Eh, thole, jangan underestimate pada penglihatan orang tua ya. Mataku ini pancen wis rembes, tapi jelas kulihat bahwa Ayu Azhari itu, eh Pak Antasari “Azhari” itu Kumisan.

Bagong: Ya berarti Pak Kumis. Podo karo Pak Sakerah. Kalau Pak Jenggot itu ne’ nda’ bakul jamu yo teroris.

Semar: Lho, tapi…

Petruk: Ini berantem generasi muda dan generasi jompo akan terus? Atau wis cukup? Terserah. Tapi ne’ di sini berubah arep dijadikan tempat bertengkar plang nama Padepokan Karang Tumaritis di depan itu ta’ ganti papan nama Dewan Pemimpin Pusat Partaiiii…

Gareng: Jangan, Truk. Ojok!! Kalian bukan partai. Karang Tumaritis alias Karang Kadempel ini kalau tidak ormas ya cuma yayasan. Karena partai itu kendaraan. Ne’orang nda pake kendaraan disebut calon independen. Makanya kere-kere sing arep munggah bale mau jadi bupati, walikota, gubernur atau presiden, selalu ditanya pake kendaraan apa, pake partai apa. Karena partai itu kendaraan. Tapi Karang Tumaritis jelas bukan partai. Karena Karang Tumaritis bukan kendaraan.

Petruk: Maksudmu, di Karang Kadempel ini nda’ ono’ parkir buat kendaraan?

Gareng: Itu antara lain. Dan dari dulu Karang Tumaritis ini anggota dan pengurusnya nda’ keluar masuk. Dari dulu pengurus merangkap anggota di Karang Kadempel ini ya tetap Panakawan. Nda’ pernah Petruk jadi kutu loncat keluar jadi sekjennya Dasamuka di Alengka. Nda’ nate Hanoman lompat pagar dari Prabu Rama masuk memimpin fraksi di Panakawan.

Semar: O iya, iya, Gareng bener. Dari dulu Panakawan ini ya ini-ini saja. Ada bungsu Bagong yang polos tapi ngengkelan. Ada Petruk yang easy going dan happy. Ada Gareng sing kerjaannya tukang analisa.

Petruk: Ada Semar. Sing kebijaksanaannya melebihi dewata tapi entute malah lebih bau dari entut jaran…

Semar: Hush! Eh, iya, empat kekuatan Panakawan itu sebenarnya satu. Satu sebenarnya empat. Papat dadi siji. Siji dadi papat. Ndade’no Jawa Timur…

Gareng: hehe…Iku iklan Pilkada Jawa Timur. Tapi soal partai dan kendaraan tadi itu aku serius.

Petruk: Waduh, serius maneh, Rek?

Gareng: Aku serius. Petruk jangan mengganti papan nama Karang Tumaritis dengan papan nama Partai. Ini beda. Partai-partai sekarang orangnya sedang musim transmigrasi. Mereka meninjing tas ke sana ke mari ngga’ jelas sedang belanja atau mau pindahan, persis lagu campur sari Rondo Kempling. Tahun lalu ngontrak di partai anu, tahun depan bisa boyongan ngontrak di partai lainnya.

Bagong: Ne’ pancen bener ngono, opo’o kok pemimpin partai masih disebut ketua umum? Kok Megawati nda’ dijuluki Ibu Kost PDI-Perjuangan? Kok Jusuf Kalla nda’ Bapak Kost Partai Golkar?

Petruk: Ya, sekarang masih belum, Gong. Nda’ tahu nanti-nanti…Tenang sajalah. Dalam laut dapat diduga, dalam celana siapa tahu.

Gareng: Ehmmm….Saya itu bahwa sesungguhnya prihatin. Prihatin melihat polah tingkah konco-konco di DPR yang jadi kutu loncat utowo pelompat pagar. Ini menunjukkan bahwa partai satu sama lain sudah ngga‘ ada bedanya. Setiap partai nda’ punya keunikan, nda’ duwe ideologi. Jadi orang-orangnya gampang pindah. Yang mereka kejar cuma kursi. Malah Panakawan ideologinya lebih jelas. Setiap masalah kita hadapi dengan empat jadi satu dan kosok baline.

Bagong: Oalah, Gareeeeng, Gareng, kamu itu gaweane mikir tapi goblok, Reng. Pindah-pindah partai itu ndak popo. Karena jare-mu partai itu kendaraan. Yang penting sampe tujuan. Ne’ koen arep nang Situbondo, ndu’ terminal Bungur Asih nda’ onok jurusan Situbondo adanya bus jurusan Jember, lompat saja. Probolinggo turun, pindah dan lompat ke bus jurusan Bondowoso. Besuki turun, pindah dan mencolot bus jurusan Banyuwangi turun tengah jalan di Situbondo. Sampe. Beres.

Petruk: Yo wis, beres, Reng, sana parkir dulu kendaraanmu di bawah pohon sawo jajar.

Gareng: Lho, siapa yang bawa kendaraan? Aku bukan anggota DPR. Aku ini di DPR cuma’ jadi penasihat spiritual sekaligus tempat curhat sekretaris-sekretaris di DPR yang di-faling in love-i bos-bosnya. Aku tadi cuma’ nanya di Karang Tumaritis ini ne’ umpama-ne parkir kendaraan di mana. Ya cuma nanya thok. Siapa yang punya kendaraan? Aku sendiri ke sini ya jalan kaki, mlaku, makanya sampe kurus dan kakiku sampe pengkor-pengkor semua ini, nda’ pake kendaraan apa-apa…

Bagong: Calon independen.

"Klambi Mar Korup" (Panakawan 1)

Ditulis Oleh Sujiwo Tejo
Selasa, 04 November 2008
Petruk: Kang Gareng, mbok mesem. Lihat dandananku sudah berubah. Dulu waktu musim seragam pesakitan Amerika sing abu-abu, anak-anak muda di Indonesia banyak yang pakai. Di jalan-jalan. Di mall. Nduk mana-mana. Sekarang ada trend anyar, baju untuk pesakitan Mar Korup Indonesia. Aku pakai. Sopo ngerti dadi ngetrend juga di kalangan kawula muda nantinya. Hehehe. O ya, ne’ ga’’ngerti Mar Korup, itu cara wong Jawa Timur njuluki tokoh. Dulu tokoh-tokoh ludruk pakai Mar semua kan? Markuat, Markaban, Markeso…



Wah, Mar Gareng, ayo ngguyu. Aduh, nonton awak peno belakangan ini kok gelap terus ya rupa-ne. PLN mati ae sik ada petromak-petromak-e. Banteng paling uiitem masih pakai putih-putih sithik nduk bokong-e. Masih onok hiburan-e. Mukamu babar blas ndak menghibur koyok foto paspor. Ya iki dudu’ urusanku memang. Perkoro tampangmu merengut atau sumringah, iku urusan Kang Gareng dewe. Perkoro sampeyan mau pakai brengos koyok Pak De Karwo, atau ndak brengosan koyok Bu Khofifah Indar Parawansa, ya urusanmu. Aku cuma’ ngomong, mukamu gulita. Wis yo, aku ta’ mancing dulu…

Semar: Eh, tunggu, Truk, Petruk. Jangan pergi dulu. Ojok! Tunggu! Eh, mancing bisa kapan saja. Kalau nggak kebagian ikan di sungai pancing-en ae upilmu dewe. Eh, iki mumpung kita ketemu. Ada Bagong juga. Ayo kita rembuk keno ngopo kok wajah-e Gareng gelap lap lap lap koyok angus kwali soto. Iki penting. Jauh lebih penting dari Pilkada atau malah Pilpres. Sebab kalau dibiar-no, merengutnya Gareng iku akan tahan lama. Lebih tahan lama ketimbang barang-barang gawean Cino. Kalau gelapnya Raden Ajeng Kartini kan cuma’ sebentar. Soalnya habis itu terbitlah terang. Tapi gelapnya Gareng? Wah iki bakal langgeng kalau dibiar-biar-no terus. Mesti ayo kita rembuk. Eh, ada apa gerangan Gareng mbesengut?

Bagong: Alah Mar, Mar, Semar.Mar Semar. Rembukan kok ngrembuk merengut-e Gareng. Mbok ngomong perkoro harga-harga. Iki wis mulai naik-naik lagi lho, ya lombok, ya rokok, ya telor, ya minyak. Gareng iku wayang-e ya memang koyok ngono. Mau Gareng gaya Yogya, gaya Sala, Gaya Banyumasan, gagrak Jawa Timuran, ya merengut terus. Mulut-e kecil dan mingkem. Mata-ne melerok. Yang senyum terus iku kalau nggak bojone Clinton ya Blarak Obama. Nek pengin Gareng gak merengut gampang, dioperasi plastik ae! Beres, Mar!

Semar: Hush! Ndak ngono, Bagong, Wedus. Mumpung kita Repat Panakawan komplit ketemu, ayo rembukan. Panakawan iku mesti merembuk segala sesuatu dengan keempat kekuatan. Yo iku, kekuatan Petruk yang santai. Kabeh perkoro masuk kuping kanan keluar kuping kiri, mangkane disebut Kantong Bolong. Bagong ya kamu iku, wedus, sing polos tetapi pendapat-pendapat-e justru mendasar. Mulane disebut Bawor. Terus ada Gareng yang senengan-e mikir. Mikiiiiiir terus. Kita semua perlu santai dan polos sekaligus merenung. Ndak bisa dipisah-pisah. Supaya kita ndak…?

Petruk: Stress!

Semar: Pinter Petruk. Jadi hidup kita juga lebih manusiawi…Berpikir tapi yo santai, Rek. Berpikir, tapi yo ojok ruwet-ruwet terus, Rek, kadang-kadang pake pikiran-pikiran polos juga.

Bagong: Lha awakmu dewe sebagai opo Mar?

Petruk: Romo Semar ini sebagai moderator. ‘Tul kan Mo?

Semar: Eh, Petruk, aku dewe ndak ngerti amanahku sebagai apa. Pokok-e aku iki Semar. Titik. Ndak pake koma dari alfabet mana pun. Ayo Reng, Gareng, ngomongo please…Koen punya mulut iku njepla’o…

Gareng: Baiklah kalau demikian halnya, Romo. Yen ta’ pikir-pikir, koruptor diklambeni baju khusus iku percuma, Mo. Iki untuk peringatan kan sebenarnya, ne’ korupsi iku bahaya. Podo karo stiker bahaya ngrokok. Persis, Mo. Opo terus dengan stiker iku menungso mandek ngrokok? Orang mulutnya klepas-klepus masih sliweran di mana-mana, yo di langit sing bebas merokok yo di langit-langit sing no-smoking.

Opo maneh kalau baju koruptor iku nanti malah disukai arek-arek, koyok zaman-e trend arek-arek pake baju tahanan londo Amerika. Menungso makin bangga korupsi. Sekarang ae, baju koruptor belum jadi trend ae, kita semua sudah bangga korupsi. Masyarakat juga mendorong para penggede korupsi. Ne’ warga punya hajatan sunat utowo kawin, amplopan-e Pak Camat utowo Pak Bupati ndak gede, wah dirasani. Sing punya hajat itu sakunya ae sudah beda. Amplop dari warga biasa dilebo’no saku bawah, dari pak lurah dan para pejabat di saku atas.

Bagong: Wah Gareng goblok. Pembagian letak amplop iku biar imbang. Ne’ kabeh di satu saku, nanti baju tuan rumah malah njlithet-njlitet…

Petruk: Wah, jancuk, serius banget. Eh, aku pantes gak pakai baju koruptor ini…akan ngetrend gak?

Semar: Pantes. Pantes. Ngganteng. Rasa-ne kabeh wong sak Nuswantoro iki bakal pantes tur ngganteng pakai baju modelmu iku. Eh, Truk, Truk, mau ke mana?

Petruk: Mancing!

Korupsi Milik Kita Semua

OLEH. Emha Ainun Najib

Sangat tidak mudah mengambil keputusan apakah korupsi adalah milik para koruptor ataukah milik kita bersama. Juga tidak gampang mengukur kadarnya sebagai “penyakit sistem” (struktural), sebagai “penyakit manusia”, atau “penyakit budaya” suatu masyarakat yang berada dalam sistem yang sama. Ia sangat cair, seakan-akan merupakan serbuk yang rata menabur, atau bagaikan asap halus yang tak kasat mata, sehingga tidak bisa serta merta bisa disimpulkan bahwa perilaku korupsi adalah semacam anomali atau penyakit khusus yang berlaku pada sejumlah orang, ataukah ia memiliki “infrastruktur” budaya yang memang mendarah daging secara lebih menyeluruh pada kehidupan masyarakat kita.
Darah daging itu bisa jadi tak hanya berskala budaya atau kebudayaan, bisa jadi ia sudah merupakan peradaban. Terutama apabila disepakati bahwa korupsi materiil hanyalah salah satu output “kecil” dari dasar-dasar jiwa korupsi yang juga bisa menemukan manifestasinya pada perilaku lain, pada pola berpikir, cara pandang, cara memahami, cara merasakan, bahkan cara memahami dan melaksanakan iman. Tak pernah berhenti kita bertanya: di kedalaman jiwa manusia, apakah korupsi itu peristiwa mental, peristiwa ilmu, peristiwa akhlak, peristiwa iman, atau apa?


Kalau sudah sampai ke kompleksitas itu, kita yang di panggung berteriak “Wahai Kaum Koruptor…” tidak otomatis kita sendiri bukan koruptor. Atau kekhusyukan seseorang dalam beribadah, status mulia seseorang dalam kegiatan keagamaan, citra bersih seseorang dalam imaji publik – tidak serta merta mengandung arti bahwa yang bersangkutan berada di luar lingkaran, jaringan dan sistem korup. Bahkan kita yang bertugas memberantas korupsi, perlu mengaktifkan terus menerus kewaspadaan diri untuk menjamin bahwa dalam berbagai konteks dan nuansa itu langkah-langkah kita benar-benar bebas dari potensialitas korupsi. Apalagi sejumlah pagar eksternal atau internal yang tak selalu bisa kita atasi membuat langkah-langkah kita tampak di mata orang lain sebagai “tebang pilih”.

Teknologi Eksternal dan Teknologi Internal
Saya ingin menyebut sebuah term: “Teknologi Internal”. Ada jenis manusia atau masyarakat yang kecenderungannya adalah “mengelola dunia luar” dan itu kita sebut “Teknologi Eksternal”. Ada jenis manusia atau masyarakat lain yang lebih sibuk “mengolah dunia dalam” dirinya sendiri: mentalnya, manajemen hatinya, rekayasa berpikir subyektifnya. Itu “teknologi internal”.
Ada hipotesis yang mengindikasikan bahwa “teknologi internal” adalah semacam tipologi, unikum atau karakteristik kemanusiaan atau budaya masyarakat di wilayah sepanjang Nusantara. Pelan-pelan, berikut ini, mudah-mudahan saya punya kemampuan untuk menjelaskan apa yang sebenarnya dimaksud dengan “teknologi internal”.
Perkembangan peradaban global abad 20-21 adalah puncak eksplorasi “Teknologi Eksternal”: meneliti, menganalisis, menyimpulkan, mengaplikasikan ke wilayah eksternal segala hal yang membuat kehidupan manusia lebih “maju” dan “mudah”. Muncullah gedung-gedung, pabrik-pabrik, alat-alat di bidang apa saja di wilayah kehidupan yang manapun saja. Tidak hanya transportasi yang ajaib dan dunia maya yang ‘wingit’, tapi bahkan kekhusyukan shalatpun mengandalkan rekayasa teknologi eksternal. Seluruh pemandangan metropolitan Jakarta Raya ini sangat menggambarkan produk “teknologi eksternal”.
Sementara “Teknologi Internal” adalah suatu inisiatif mental, didukung oleh aktivitas emosi dan sedikit intelektual, di mana untuk maju dan mudah, manusia mengandalkan pengaturan, pengolahan, eksplorasi, atau manipulasi mental di dalam dirinya. Untuk makan enak tidak tergantung jenis dan mahalnya makanan, melainkan bergantung pada cara kita menganggap dan memperlakukan makanan apa saja yang ada. Demikian juga berbagai soal lain di luar makanan. Di dalam budaya Jawa ada kata “mupus”: menganggap tak ada sesuatu yang bikin pusing tapi tak pernah bisa diselesaikan. Penderitaan berkepanjangan oleh kemiskinan struktural oleh rakyat cukup dijawab dengan “Gusti Allah mboten sare”. Tuhan tidak tidur.
Puluhan juta keluarga bisa hidup tanpa rasionalitas ekonomi, gaji tak cukup untuk makan keluarga tapi kredit motor, tak ada kerjaan tapi merokok sambil main catur, kalau ditanya bagaimana makan minum keluargamu, mereka menjawab: “Bismillah, Cak”. Ahli Statistik di belahan bumi sebelah manapun tidak pernah mencatat dan makanan utama Bangsa Indonesia adalah bismillah. Dan sesungguhnya apa yang terkandung di balik “bismillah” itu adalah kelonggaran-kelonggaran sistem budaya korupsi di berbagai celah kehidupan yang memungkinkan mereka tetap bisa survive.
Rakyat Indonesia berteriak beberapa hari oleh kenaikan BBM, penjualan asset-asset Negara dan jenis-jenis kebobrokan lain yang dilakukan oleh Pemerintah, kemudian mereka berduka satu dua bulan, akhirnya “mupus”, memproklamasikan “Tuhan tidak tidur”, dan kembali “ubet” lagi, “iguh” lagi: menjalani penghidupan sekeluarganya dengan amat sangat mandiri, tanpa ketergantungan yang signifikan dan tidak perduli-perduli amat kepada parpol apa yang memerintah, Presidennya Bima, Arjuna, Gareng, Bagong, Limbuk, atau Buto Kempung dan Bethoro Kolo….
Sesekali berkhayal: Presiden kita besok harus Puntadewa alias Yudhistira yang berdarah putih, tak punya ambisi, berani kehilangan apapun demi cinta kepada rakyat dan kebenaran sejati. Tetapi kalau di saat fajar ada serangan Rp 20 ribu, ya tak apa bermurah hati mencoblos calon yang menyebar uang itu. Adakah bangsa lain di muka bumi yang tangguh dan cuek-nya melebihi “Bangsa Nusantara”?

Pupusnya Denotasi, Maraknya Konotasi
Salah satu keluaran dari kebiasaan teknologi internal adalah pupusnya denotasi. Manusia dan masyarakat Indonesia hidup dalam konotasi-konotasi: sesuatu tidak dimaksudkan sebagai sesuatu itu sendiri sebagaimana ia adanya. Setiap kata, setiap perbuatan, setiap langkah dan keputusan, setiap jabatan dan fungsi, selalu tidak berkenyataan sebagaimana substansinya, melainkan ada tendensi, pamrih, maksud tersembunyi, “udang dibalik batu” atau apapun namanya -- di belakangnya.
Kalau ia berlaku pada denotasi penderitaan dikonotasikan sebagai “tabungan akhirat”, pada “tempe” dianggap “daging”, pada “kegagalan” disebut “sukses yang tertunda”, “kelemahan” disebut “kesabaran”, “kebodohan” dibilang “kerendahan hati”, “kemiskinan” dikonotasikan sebagai “suratan takdir” – maka masih bisa menguntungkan survivalisme para penderitanya. Mereka bertahan hidup berkat kepandaian menciptakan konotasi-konotasi, Pemerintah selalu beruntung karena tingkat kemiskinan dan penderitaan sedahsyat apapun tak mungkin melahirkan pemberontakan total atau revolusi.
Tetapi kalau yang berlaku adalah denotasi “mencuri uang Negara” dikonotasikan sebagai “jasa bagi keluarga”, “korupsi” menjadi “kelapangan peluang untuk kedermawanan sosial”, denotasi merampok dan melacur itu boleh asalkan konotasinya adalah “jihad Agama”, malak pabrik narkoba itu halal asal konotasinya ada prosentase untuk “pembangunan Masjid”, denotasi “uang narkoba” batal demi konotasi “pembelaan Islam” – maka kebenaran, Agama, dan denotasi apapun tak akan mengalami kehancuran – karena satu-satunya yang bisa hancur hanya kehidupan manusia.

Sindroma Garuda-Emprit
Agar supaya kita tidak terlalu “bersedih” atas “kepastian” untuk semakin hancur, perkenankan saya pergi jauh ke belakang sejarah bangsa Indonesia kita.
Untuk itu “iseng-iseng” kita mempertanyakan siapa itu “Bangsa Indonesia”. Dengan asumsi sederhana bahwa kalau orang tak mengenal dirinya, maka ia tak tahu tempatnya, kalau tak tahu tempatnya juga pasti tak mengerti ke mana akan melangkahkan kakinya. Kita berendah hati saja untuk sedikit mengakui bahwa segala keributan dan kebobrokan yang kita alami 10-20 tahun terakhir ini siapa tahu sekadar kasus orang yang memang tak kenal siapa dirinya. Orang yang dirinya saja ia malas mengenalnya, maka agak mustahil ia punya energi untuk mendiagnosis apa penyakit yang sedang dideritanya. Dan kalau tak ada diagnosis yang tepat, mustahil pula ia akan bisa menyembuhkan diri dari penyakitnya.
Mungkin kita ‘terpaksa’ harus melewati sejumlah relativitas pemahaman atas beberapa hal. Misalnya, sebelum “ada” Bangsa Indonesia, ada “Masyarakat Nusantara”, yang harus diperdebatkan terlebih dulu apakah ia “Rumpun Melayu”, “Masyarakat Jawi”, “Bangsa-bangsa Timur” dst.
Juga sebutan “Jawa” atau “Melayu” berbeda pengertian dan skala faktualnya bergantung satuan waktu yang dipakai: setelah ada NKRI berbeda dengan 5 abad silam, juga berbeda dengan kurun “Ajisaka” 20-an abad silam. Kita harus menunggu puluhan atau ratusan tahun riset antropologis-historis, bahkan penelitian arkeologi dan sejumlah disiplin lain yang lebih mendasar dan akar.
Kita mulai “iseng-iseng” ini dari sejumlah pertanyaan (yang boleh jadi mengandung substansi-substansi yang tidak atau belum “benar”, tapi belum juga bisa dibilang “salah”) misalnya:

Seberapa berbeda “Bangsa Indonesia” dengan “Bangsa Nusantara”? Kita sebut saja keduanya sebagai “kita”. Pertanyaannya: “kita” ini lahir pada 1945, ataukah “kita” yang melahirkan 1945? Kalau “kita” yang melahirkan NKRI dengan penduduknya yang kita sebut Bangsa Indonesia, maka tentunya “kita”lah juga yang melahirkan Ray Pikatan, Sanjaya, Mataram Kuno, Kutai, Majapahit, Ken Arok, Raden Wijaya, dan Gadjahmada, Borobudur dan paradigma Candi Seribu. Kitalah fosil manusia tertua dalam sejarah umat manusia di dunia di Sragen dan Mojokerto. Kitalah induk manusia (mungkin 6 generasi sesudah Adam) yang merintis peradaban, sebelum dihancurkan oleh era demi era sejarah primordialisme: sejak pewarisan kembali dendam Qabil-Habil, berpuluh-puluh abad hingga primordialisme Quraisy-Baduwi, sampai hari ini ada Suku Ahmadiyah, suku Gus Dur, dan suku Muhaimin.
Dari semua kata itu yang mana denotasi yang mana konotasi?
Yang menguasai keuangan internasional, sistem global dan mekanisme pasar (: Neo-Liberalisme, IMF, Kongress AS, Neomultinational dst) dewasa ini sepertinya hanya sejumlah prosentase sangat kecil (1%?) dari jumlah penduduk dunia – yang seluruhnya adalah keturunan Nabi Ismail dan Nabi Ishaq (kaum konglomerat Arab dan strategi /stakeholders Yahudi) dengan induk Nabi Ibrahim. Sampai-sampai Kaum Muslimin harus mengulang tafsir kenapa dalam bacaan Tahiyat Shalat mereka salam kedamaian tak cukup disampaikan kepada Rasul Muhammad Saw tapi juga shalawat dan berkah kepada Rasul Ibrahim As dan keluarganya.
Kalau omong IMF, mudah menerimanya sebagai denotasi, tapi kalau Ibrahim: asosiasi kita biasanya konotatif.
Adapun “Masyarakat Nusantara” ini keturunan siapa? Bisakah dibilang keturunan Ibrahim atau bukan keturunan Ibrahim? Apakah atau siapakah induk “gen” bangsa kita ini lebih muda dari Ibrahim ataukah lebih tua? Misalnya Nabi Nuh As, itu orang Yahudi atau Arab, atau Melayu Jawa?
Apakah tersedia energi mental dan intelektual kita untuk mewaspadai denotasi dan konotasi dari pertanyaan itu?
Bangsa Cina dan Bangsa India itu berada pada garis Ishaq atau Ismail atau di luar itu? Masa depan kita di abad 21 ini mencadangkan Cina dan India sebagai “musuh yang pasti” dipandang dari mata dan kepentingan keturunan Ismail-Ishaq -- maka pasti harus ada pola strategi jangka pendek menengah dan panjang terhadap “Bangsa Nusantara”: NKRI harus dipastikan bisa dikuasai, ditunggangi, dikendalikan, diatur, dengan terlebih dahulu memastikan bahwa NKRI harus rapuh, terpecah belah, saling benci dan bermusuhan satu sama lain, seperti yang terjadi hari ini. Dengan demikian NKRI akan dipande menjadi Keris Nusantara untuk melawan Cina-India ketika saatnya nanti diperlukan.
Ini semua pertanyaan denotatif atau konotatif?
Kalau umpamanya ternyata “Bangsa Nusantara” ini induknya lebih tua dari Ibrahim, maka mungkin perlu dipertanyakan bahwa segala perangkat kemajuan sejarah yang kita pakai sekarang ini “kulakan” pada klan Ismail-Ishaq, dan itu pasti akan menjadi jebakan-jebakan kultural, psikososial dan politis, yang membuat NKRI makin hari makin bunuh diri. Keadaan bangsa Indonesia saat ini demi Allah tidak memerlukan Neoliberalisme, AS, Iblis dan siapapun dari luar sana untuk hancur: bangsa Indonesia sudah berada pada “peak position” untuk secara amat canggih sanggup menghancurkan dirinya sendiri.Kok Iblis segala? Pernahkah Iblis dipahami oleh 20 abad peradaban manusia secara denotatif? Ataukah kita sebut-sebut ia setiap saat dalam konotasi semau-mau kita? Anda pikir Iblis ada hubungannya dengan Setan dan Jin?
Kalau dilihat dari posisi-kosmis, kekayaan alam, keunggulan bahasa dan budaya, maka “Bangsa Nusantara” yang sekarang bernukleus di NKRI tidaklah bisa diungguli oleh bangsa manapun di muka bumi. Maka diampuni Allahlah Amangkurat-II yang menyerahkan rakyat dan kedaulatannya kepada VOC, diampuni Allah semua pelaku-pelaku sejarah Indonesia sejak 1945, Orla, Orba, Orde Reformasi, yang dengan sangat cemerlang mampu mengubah “Garuda Perkasa Bangsa Nusantara” hari ini menjadi “Emprit kerdil, cengeng, dan penakut”.
Sebenarnya kalau kita selalu mengatakan “Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar” itu denotatif atau konotatif?

Ketangguhan Yang “Mencelakakan”
Baiklah. Kalaupun Bangsa Indonesia sekarang tak perlu sampai memerlukan penglihatan diri sejauh ini, semoga sedikit berinisiatif pada takaran normal saja sebagai manusia, sebagai masyarakat dan sebagai bangsa – untuk memulai kemandirian, punya instink untuk ketat menjaga martabatnya, untuk mulai percaya kepada dirinya dan kepada apa yang sebenarnya bisa digapainya.
Kalau bangsa Indonesia tidak percaya bahwa ia besar, bahwa ia lebih induk dan lebih besar dari bangsa-bangsa di dunia, serta tidak percaya bahwa sesungguhnya ia punya filosofi, formula, teknologi, budaya dan mekanisme kepemimpinan atas dunia secara lebih damai, hangat dan penuh toleransi (masyarakat kita aslinya adalah Professor Doktor Toleransi dengan tesis empiris cum laude) – maka mudah-mudahan ada sedikit inisiatif kecerahan diri mengupayakan agar 2009 tidak menjadi “Perayaan Kebodohan Edisi kesekian”, 2012 mencoba memastikan ada sejumlah klausul kenegaraan dan hak milik yang membuat kita tidak lebih parah menjadi budak bangsa lain, serta 2015 memproklamasikan “Keselamatan Minimal” sebagaimana layaknya manusia hidup normal standard tanpa keunggulan dan kehebatan.
Kalau flash-back di atas suatu hari dipelajari dan direnungi, mungkin kesibukan berpikir keIndonesiaan kita sehari-hari mengandung kadar pengetahuan dan substansi yang sedikit agak fenomenologis dan paradigmatik. Kita bersabar dengan ilmu, dan menahan diri tidak bicara atau bertindak apapun kalau tidak dilandasi tanggungjawab ilmu. Bahkan yang membedakan keyakinan (iman) dengan khayalan (klenik, mitologi, subyektivisme) adalah faktor ilmu.
Misalnya ada pertanyaan: kenapa segala penderitaan rakyat, kebobrokan pemerintahan dan kekacauan keadaan bangsa kita tidak pernah cukup menjadi syarat lahirnya sebuah revolusi yang mendasar, total, dan sungguh-sungguh? Padahal penderitaannya lebih dari sungguh-sungguh, kebobrokannya jauh melebihi ukuran kekebobrokan yang pernah dicatat oleh sejarah kepemimpinan dan pemerintahan, serta kekacauannya sedemikian rupa sehingga tak ada rakyat Negara manapun di muka bumi yang sanggup berada di dalamnya?
Salah satu jawabannya: karena individu manusia Indonesia sangat tangguh, tidak collapse oleh kesengsaraan bagaimanapun juga, bahkan berulangkali sanggup menolong Negara untuk tidak collapse pada keadaan yang secara teoritis dan seharusnya ia collapse.
Dan jawaban khusus untuk lembar acara hari ini adalah: karena bangsa “kita” memiliki tradisi Teknologi Internal yang tidak dimiliki oleh gen-gen bangsa lain. Dan paradigma itulah yang selama ini “mencelakakan” kita.

Norma, Hukum, dan Moral
Tentu saja, bangsa dengan bakat internal-technology di era NKRI sekarang ini tidak bisa sepenuhnya menerapkan keunggulan mentalnya: bagaimana mungkin kita tak punya motor, mobil, rumah bagus, laptop, AC; bagaimana mungkin kita mengelak dari arus besar kemewahan, hedonisme, gebyar dan gemerlap… maka bakat internal-technology akhirnya tak sengaja tergeser dan terterapkan ke wilayah-wilayah lain yang masih mengandung ketidak-majuan dan ketidak-mudahan.
Dengan hasil korupsi, kita memperoleh berbagai kemudahan dan kemajuan: bisa beli apa saja sebagaimana atau melebihi orang lain, keluarga menganggap kita sukses, Pesantren dan Masjid yang kita bantu menyimpulkan kita adalah dermawan, masyarakat melihat bahwa kita adalah “orang yang benar”: buktinya punya jabatan, kaya, dan mau bersedekah kepada mereka.
Tetapi ada sedikit pengetahuan yang sudah terlanjur nyantol di saraf otak yang membuat ingatan bahwa kita korup itu menghasilkan sesuatu yang tidak enak dalam hati dan tidak mudah di depan Tuhan. Maka tak cukup bantu Pesantren dan Masjid, kita perlu umroh sesering mungkin, langsung melakukan pendekatan kepada Tuhan. Sebenarnya sedikit-sedikit kita merasa juga bahwa Tuhan tersinggung karena kita tuduh ia bisa kita sogok dengan umroh atas dosa korupsi kita – tetapi karena demikianlah juga yang dilakukan oleh banyak teman-teman Indonesia lain, maka kita menjadi sedikit tenang.
Faktornya di sini, budaya kita lebih mengandalkan norma dibanding hukum atau moral. Hukum dan moral itu nilai otonom dan pasti, sedangkan norma itu bergantung kesepakatan atau kebiasaan banyak orang. Kalau banyak orang menyuruh Ahmadiyah bubar dan banyak orang lain mengutuk FPI, kita terdorong untuk memilih salah satu dan kemudian turut mengacungkan tinju dan memekik-mekik.
Itulah norma. Sementara hukum itu “ilmu”, moral itu “ruh”. Mereka yang hidup berdasar moral dan hukum, tidak melangkahkan kaki berdasarkan arus norma atau kecenderungan orang banyak.
Alif Lam Mim, tuhan kita adalah norma. Kita lakukan apa saja yang nge-trend, yakni segala gejala dan perilaku yang diterima dan dikerjakan oleh orang banyak. Dari mode rambut, sinetron religi bulan Ramadlan, demokrasi, otda pilkada, syariat non-gender, darmawisata umroh, wisata kuliner hingga membubarkan Ahmadiyah dan FPI. Untuk bayar pajak saja kita perlu alasan “Apa Kata Dunia, hare gene…”

Multikorupsi
Dulu Suharto bikin Keraton Kemusu, sempalan Nyayogyakartohadiningrat dari tiga generasi sebelum yang sekarang. Keratonnya dikasih nama Republik, baju kebesarannya sebagai Raja dikasih label Presiden, dengan “uborampe” (kelengkapan basa-basi) mengumpulkan sekian ratus orang menjadi dua kelompok yang dikasih papan nama “MPR” dan “DPR”, dan akhirnya hanya seorang Raja yang jauh-jauh hari sudah merancang dan membangun makamnya di sebuah bukit.
Kepresidenan Suharto adalah konotasi, karena denotasinya adalah Keraton.
Masyarakat tidak keberatan dengan “Keraton” berlabel “Republik” itu karena jiwa raga mereka adalah “abdi dalem” dan “kawulo” sampai hari ini. Dan sampai hari ini kaum intelektual juga tidak pernah mengakui bahwa Orba adalah “Keraton”, karena diam-diam di dalam kandungan mentalnya masih menyimpan rasa “andhap asor” atau inferioritas “kawulo”, masih menyimpan mitologi subyektif untuk “takut” atau “segan”, juga karena sejak semula mereka juga diam-diam berikhtiar bagaimana menjadi “abdi dalem”. Kalau Sang Prabu Haryo Suharto tidak menerima lamaran kita, baru kita tampil di media massa sebagai oposan.
Alhasil, view ini sekadar pintu awal untuk membuka kemungkinan besar kenyataan yang perlu kita teliti dengan jujur bahwa kasus-kasus korupsi yang dijaring KPK hanyalah sejumlah cipratan kecil dari budaya dan peradaban korupsi. Bangsa kita terjebak dalam kesalahan manajemen sejarah yang menggiring mereka melakukan korupsi sejak “dini”. Sebelum uang dan harta Negara, kita sudah melakukan korupsi iman, ilmu, cara berpikir, sejatinya isi hati, setiap jenis perilaku dari yang sehari-hari kultural sampai yang kenegaraan dalam konstitusi dan birokrasi.
Apa yang saya tulis ini bukan tuduhan, juga saya harap tidak menambah persoalan. Ini sumbangan kewaspadaan, demi kebangkitan atau totalnya kehancuran kita bersama. Tiap menjelang tidur, ambil satu kata kerja: lihatlah seberapa “sungguh-sungguh” bangsa kita mengerjakan dan memaksudkan “kata kerja” itu. Apakah kalau kita bilang “a” maka yang kita kerjakan adalah “a”, dan kalaupun memang benar-benar kita kerjakan “a”, apakah niat dan maksud kita sungguh-sungguh “a”. Itu boleh pada perilaku sehari-hari, hingga urusan-urusan yang lebih besar: menjadi pejabat, menjadi wakil rakyat, menjadi Ustadz, menjadi Presiden, mengambil suatu keputusan nasional, dan apapun.

Kunci kehancuran kita sangat boleh jadi adalah: tidak atau kurang bersungguh-sungguh. Catatan: Term “teknologi internal” saya pinjam dari Noe/Letto dan sejumlah muatan lembar ini berasal dari diskusi dengannya.
Tulisan ini adalah pengantar pada acara Diskusi Bareng di Perpustakaan KPK, Jumat, 13 Juni 2008.

PUISI SEADANYA MENGENAI KEPALA (Puisi Emha Ainun Najib)

Puisi ini ditulis oleh penyairnya dengan bahasa yang diusahakan sangat seadanya, yang kira-kira bisa dipahami oleh setiap anak yang baru mengenal sejumlah kata-kata, sebab penyair itu merasa begitu ketakutan bahwa kematiannya akan menjadi sempurna jika ternyata tak seorangpun memahami kata-katanya.

Jangan salah sangka. Ia takut bukan karena kawatir akan kehilangan kepala, melainkan justru ia sangat mendambakan betapa bahagianya kalau pada suatu hari ia kehilangan kepala. Masalahnya - terus terang saja - kepala itu sudah bertengger di atas lehernya hampir tigapuluh tahun. Baginya ini merupakan beban yang teramat berat dan membuat ia merasa tidak normal. Karena teman-temannya yang normal pada umumnya hanya menyangga satu kepala paling lama lima tahun, bahkan ada yang hanya satu dua tahun, malah ada juga yang sesudah dua tiga bulan sudah berganti kepala.

Penyair kita ini sudah menghubungi Tuhan ribuan kali melalui salat, wirit dan tarikat, demi memperoleh kejelasan resmi mengenai keanehan ini. Bahkan sebelum itu sudah ia datangi beratus-ratus dukun, kiai dan kantor ikatan cendekiawan, namun tidak seorangpun sanggup memberinya jawaban yang memuaskan hati. Tuhan sendiri sepertinya terlalu bersabar menyimpan teka-teki ini, bahkan sesekali ia merasakan Tuhan seakan-akan bersikap ogah-ogahan terhadap masalah ini.

Matahari selalu terbit dan tetumbuhan tak pernah berhenti mengembang, tapi itu hanya menambah ketegasan perasaan penyair kita bahwa sesungguhnya yang berlangsung hanyalah kemandegan. Ayam berkokok tiap menjelang pagi, kemudian manusia bangun dan tidak melakukan apa-apa untuk mengubah kebosanan yang sedemikian merajalela. Alam semesta ini sendiri begitu patuh menggantikan siangnya dengan malam dan menggilirkan malamnya dengan siang, tapi manusia hanya sibuk memproduksi ungkapan yang berbeda untuk kenyataan yang sama, manusia habis waktu dan tenaganya untuk mengulangi kebodohan dan keterperosokan yang sama, meskipun mereka membungkusnya dengan perlambang-perlambang baru sambil ia meyakin-yakinkan dirinya atas perlambang itu.

"Ya, Allah", seru penyair kita ini pada suatu malam yang sunyi, "patahkan leherku agar kepalaku menggelinding ke dalam parit, kemudian persiapkan kepala yang baru yang bisa membuatku hidup kembali !".

Bisa dipastikan Tuhan mendengar doa itu, tetapi siapa yang menjamin bahwa Ia bakal mengabulkannya? Bukankah penyair itu sendiri yang dulu meminta kepalanya yang ini untuk menggantikan kepala yang sebelumnya. Apa jawab penyair kita ini seandainya Tuhan mengucapkan argumentasi begini : "Bagaimana mungkin kuganti kepalamu, sedangkan kepala-kepala lain di tanganKu belum punya pengalaman sama sekali untuk bertindak sebagai kepala ? Bukankah untuk menjadi kepala, segumpal kepala harus memiliki pengalaman sebagai kepala sekurang-kurangnya lima tahun ?".

Penyair kita sangat-sangat menyesal kenapa makhluk Tuhan harus hidup dengan syarat mempunyai kepala. Pada mulanya ia hanya badan saja, badan bulat yang seluruh sisi-sisinya sama. Tapi kemudian karena ia kawatir akan disangka sederajat dengan buah kelapa, maka ia memohon kepada Tuhan serta mengupayakan sendiri pengadaan kepala, lantas kaki dan tangan.

Tetapi ternyata inilah sumber utama malapetaka hidupnya. Pada mulanya kepala itu berendah hati dan patuh kepadanya, karena pada dasarnya kepala itu memang tidak pernah ada seandainya ia tidak meminta kepada Tuhan dan mengadakannya.

Kesalahan pertama yang dilakukan oleh penyair ini adalah meletakkan kepala di bagian atas dari badannya, sehingga badannya itu dengan sendirinya kalah tinggi dibanding kepalanya, dan dengan demikian menjadi bawahannya. Hari-haripun berlalu, sampai pada suatu saat ia menyadari bahwa sang kepala ternyata telah mengambil alih hampir semua perannya. Misalnya soal berpikir, sekarang telah dimonopoli oleh kepala. Apa yang harus ia lakukan, kemana harus melangkah, apa yang boleh dan tidak boleh, ditentukan oleh kepala. Ia sendiri dilarang berpikir karena segala gagasan telah disediakan oleh kepala, sedemikian rupa sehingga ia bukan saja tak boleh berpikir, tapi lama kelamaan ia juga menjadi tidak mampu lagi berpikir.

Dulu ia membayangkan, tangan akan menggenggam fulpen atau senapan, jari-jari hendak mengelupas buah nanas atau menyogoki lubang hidung, dialah yang berhak menentukan. Tapi ternyata ketika ada makanan, yang memerintahkan tangan untuk mengambilnya adalah kepala, kemudia diberikannya kepada mulut yang menjadi aparat sang kepala, sedangkan badannya hanya menampung makanan itu, tanpa ikut mengunyah dan merasakan nikmatnya.

Juga ia yakin bahwa apakah kakinya akan melompati sungai atau dipakai untuk menjungkir badan, dialah yang merancang dan memutuskannya. Tapi sekarang segala sesuatunya menjadi jelas bahwa hak itu telah diambil alih oleh kepala, dan ketika ia mempertanyakan hal itu, tiba-tiba saja tangannya yang memegang pentungan menggebugnya, dan kakinya yang bersatu tebal keras menendangnya.

"Wahai Tuhan, pengasuh badan yang menderita", guman penyair kita dengan nada yang penuh kecengengan, "jikapun tanganMu terlalu suci sehingga jijik untuk berurusan dengan segala yang kotor dalam kehidupan hamba-hambaMu, tolonglah Engkau berkorban sekali ini saja, sentuhlah kepalaku, pegang ia dan cabut dariku, kemudian kuusulkan langsung saja dirikanlah kerajaanMu dan Engkau sajalah yang mulai sekarang bertindak sebagai kepalaku".


DARI KUMPULAN PUISI "DOA MOHON KUTUKAN"
( RISALAH GUSTI - 1995 )

Kudekap Kusayang-sayang (Puisi Emha Ainun Najib)

Kepadamu kekasih kupersembahkan segala api keperihan
di dadaku ini demi cintaku kepada semua manusia
Kupersembahkan kepadamu sirnanya seluruh kepentingan
diri dalam hidup demi mempertahankan kemesraan rahasia,
yang teramat menyakitkan ini, denganmu
Terima kasih engkau telah pilihkan bagiku rumah
persemayaman dalam jiwa remuk redam hamba-hambamu
Kudekap mereka, kupanggul, kusayang-sayang,
dan ketika mereka tancapkan pisau ke dadaku,
mengucur darah dari mereka sendiri,
sehingga bersegera aku mengusapnya,
kusumpal, kubalut dengan sobekan-sobekan bajuku
Kemudian kudekap ia, kupanggul, kusayang-sayang,
kupeluk,
kugendong-gendong, sampai kemudian mereka tancapkan
lagi pisau ke punggungku, sehingga mengucur lagi darah
batinnya, sehingga aku bersegera mengusapnya,
kusumpal,
kubalut dengan sobekan-sobekan bajuku, kudekap,
kusayang-sayang.


-1994-

TUHAN AKU BERGURU (Puisi Emha Ainun Najib)

Tuhan aku berguru kepadaMu
Tidak tidur di kereta waktu
Tuhan aku berguru kepadaMu
Meragukan setiap yang ku temu
Kelemahan menyimpan berlimpa kekuatan
Buta mata menganugerahi penglihatan
Jika aku tahu teraa betapa tak tahu
Waktu melihat betapa penuh rahasia
Gelap yang dikandung oleh cahaya
JEJAK IBRAHIM

Jejak Ibrahim di batu hitam
Tataplah bayangan rahasianya
Rabalah inti karomahnya
Ciumlah nikmat barokahnya

Jejak kaki bapak kebenaran
Jejak luhur peradaban Allah
Pusat rohani Ulughiyah
Mata air kebudayaan

Rahim ibu sejarahmu sendiri
Tempat jiwamu menemukan pintu
Menjadi fitri kembali
Bertemu ke yang abadi
Betapa sejuk Baitullah
Betapa sangat menenteramkan

MUHAMMADKAN HAMBA YA RABBI (puisi emha ainun nadjib)

Di setiap tarikan napas dan langkah kaki
Tak ada dambaan yang lebih sempurna lagi.
Di ufuk jauh kerinduan hamba Muhammad berdiri
Muhammadkan hamba ya Rabbi.

Muhammmadkan ya Rabbi hamba yang hina dina
Seperti siang dan malammu yang patuh dan setia
Seperti bumi dan martahari yang bekerja sama
Menjalankan tugasnya dengan amat terpelihara

Sebagai Adam hamba lahir dari gua garba ibunda
Engkau tuturkan pengetahuan tentang benda-benda
Hamba meniti alif-ba-ta makrifat pertama
Mengawali perjuangan untuk menjadi mulia

Ya Rabbi engkau tiupkan ruh ke dalam Nuh hamba
Dengan perahu di padang pasir yang mensamudera
Hamba menangis oleh pengingkaran amat dahsyatnya
Dan bersujud di bawah kebenaran-Mu yang nyata

Sesudah berulangkali bangun dan terbanting
Merenung dan mencarilah hamba sebagai Ibrahim
Menatapi laut, bulan, bintang dan matahari
Sampai gamblang bagi hamba Allah yang sejati

Jadilah hamba pemuda pengangkat kapak
Menghancurkan berhala sampai luluh lantak
Hamba lawan jika pun Fir’aun sepuluh jumlahnya
Karena api sejuk membungkus badan hamba

Kemudian ya Rabbi engkau ajarkan hal kedewasaan
Yakni penyembelihan dan kurban, pasrah dan keikhlasan
Tatkala dengan hati pedih pedang hamba ayunkan
Sukma hamba memasuki Ismail yang menelentang

Ismail hamba membisikkan firman-Mu ya Rabbi
Bahwa dewasa tidak ditandai kegagahan diri
Melainkan rela menyaring dan menyeleksi
Agar secara jernih berkenalan dengan yang inti

Di saat meng-Ismail itu betapa jiwa hamba gemetar
Ego pribadi adalah musuh yang teramat tegar
Jika di hadapan-Mu masih ada sejumput saja pamrih
Maka leher hamba sendiri yang bakal tersembelih

Dan memang kepala hamba tanggal berulangkali
Di medan peperangan modern ini ya Rabbi
Hamba kambing di jalanan peradaban ini
Darah mengucur, daging hamba dijadikan kenduri

Tulus hati dan istiqamah Ismail ya Rabbi
Betapa sering lenyap dari gairah perjuangan ini
Keberanian untuk bersetia kepada kehendak-Mu
Di hadapan musuh gugur satu demi satu

Maka hamba-Mu yang dungu belajar menjadi Musa
Meniti kembali setiap hakikat alif-ba-ta
Belajar berkata-kata, belajar merumuskan cara
Harun hamba membantu mengungkapkannya

Musa hamba membukakan universitas cakrawala
Setiap gejala dan segala warna zaman hamba baca
Dengan seribu buku dan seribu perdebatan
Hamba tuntaskan makna kebangkitan

Tongkat hamba angkat dan tegakkan ya Rabbi
Memusnahkan iklan-iklan takhayul Fir’aun yang keji
Ular klenik pembangunan, sihir gaya kebudayaan
Karena telah hamba genggam yang bernama kebenaran

Ya Rabbi alangkah agung segala cipataan ini
Kebenaran belaka membuat hidup kering dan sepi
Maka Engkau jadikan hamba ISa yang lembut wajahnya
Dengan mata sayu namun bercahaya, mengajarkan cinta

Isa hamba sedemikian runduknya kepada dunia
Segala tutur kata dan prilakunya kelembutan belaka
Sehingga murid-murid hamba dan anak turunnya terkesima
Tenggelam mesra dalam Isa hamba yang disangka tuhannya

Ya Rabbi, haruslah berlangsung keseimbangan
Antara cinta dan kebenaran
Haruslah ada tuntunan pengelolaan
Atas segala ilmu dan nilai yang Engkau anugerahkan

Karena itu Muhammadkan hamba ya Rabbi
Bukakan pintu kesempurnaan yang sejati
Pamungkas segala pengetahuan hidup dan hati suci
Perangkum bangunan keselamatan para rasul dan nabi

Muhammadkan hamba ya Rabbi Muhammadkan
Agar tak menangis dalam keyatimpiatuan
Agar tak mengutuk meski batu dan benci ditimpakan
Agar sesudah hijrah hamba memperoleh kemenangan

Muhammadkan hamba ya Rabbi Muhammadkan hamba
Agar kehidupan hamba jauh melampaui usia hamba
Agar kesakitan tak menghentikan perjuangan
Agar setiap langkah mengantarkan rahmat bagi alam

Muhammadkan hamba ya Rabbi Muhammadkan
Di rumah, di tempat kerja serta di perjalanan
Agar setiap ucapan, keputusan dan gerakan
Menjadi ayat-Mu yang indah dan menaburkan keindahan

Takkan ada lagi sosok pribadi seanggun ia
Dipahami ataupun disalahpahami oleh manusia
Kalau tak sanggup kaki hamba menapaki jejaknya
Penyesalan hamba akan tak terbandingikan oleh apapun saja

Para malaikat sedemikian hormat dan segan kepadanya
Bagai dedaunan yang merunduk kepada keluasan semesta
Para nabi berbaris meneggakkan sembahyang
Engkau perkenankan ia berdiri menjadi imam

Ya Rabbi Muhammadkan hamba, Muhammadkan hamba
Perdengarkan tangis bayi padang pasir di kelahiran hamba
Alirkan darah Al-Amin di sekujur badan hamba
Sarungkan tameng Al-ma’shum di gerak perjuangan hamba

Kalungkan kebencian Abu Jahal di leher hamba
Sandingkan keteduhan Abu Thalib di kaki dukalara hamba
Payungkan awan cinta-Mu di bawah terik politik durjana
Usapkan tangan sejuk Khadijah pada kening derita hamba

Kirimkan Jibril mencuci hati Muhammad hamba
Lahirkan kembali wahyu-Mu di detak gemetar jantung hamba
Dan kucurkan darah luka Muhammad oleh pedang kaum pendusta
Hadiahkan kepada hamba rasa sakitnya

Ya Rabbi ya Rabbi Muhammadkan hamba
Bersujud dan tafakkur di gua Hira’ jiwa hamba
Berkeliling ke rumah tetangga, negeri dan dunia
Menjajakan cahaya

31 Oktober 2008

Kata Paling Banyak Dicari

Ringkasan ini tidak tersedia. Harap klik di sini untuk melihat postingan.

Alam Baru

Tak ada yang menyambut, hanya ada gerimis
Memulai sesuatu yang baru di alam baru
Jujur, kadang ada jengah, tak jarang ada enggan

Menyakitkan, meninggalkan kesempurnaan
Merintis jalan, terasa seperti menggali lubang kematian
Selayaknya berjalan di bibir liang kuburan sendiri
Linglung, batin ini berteriak sampai ujung kampong

Aku yang pernah bilang tentang tantangan
Ternyata hampir kalah saat pertarungan belum berjalan setengah


Ah, ini mungkin hanya kesangsian

Tapi kemungkinan ini penyesalan
Mungkin lebih mendekati rasa kehilangan

Otopsi Cinta

Kenapa dia terkapar tak bersuara
Tak berdaya di atas rerumputan kering padang gerrsang
Tak ada nafas, tak ada detak jantung tanda kehidupan
Yang ada hanya kesunyian dan isak orang-orang yang ditinggalkannya

Mencari penyebab kematiannya
Menelusuri sekujur mencoba merajut cerita beralur
Membelah dada, merogoh isinya, mencari sebuah petunjuk
Selayaknya menerka sebuah teka-teki yang tak pernah terjawab

Otopsi cinta

Terasa kerinduan setelah di tinggalkannya
Ada hampa mengauli liku waktu saat tanpanya
Gulita meneror malam-malam jelang lelap
Dan selalu ada tangis mengiris pedis

Otopsi cinta

Apa sebabnya dia tak bernyawa?
Pelajari sebabnya, karena ternyata penyesalan menikam hari-hari
Tak ingin terulang, sebab sedih ini begitu mencekam, begitu garang
Mungkin saja ada keinginan untuk memberinya nafas kembali

Mungkinkah…?
Otopsi memberikan rekaman cerita
Otopsi hanya bilang, jangan ulangi lagi
Tanpa ada daya untuk mengulangi waktu itu lagi

Aku Ini Letih Lemah



Akulah jenius di bahtera rimba
Akulah alim di daratan rawa
Akulah super di dunia putus asa

Aku pikir akulah yang paling
Aku pikir akulah yang berpikir
Aku pikir akulah yang hebat

Itulah aku yang berpikir di dunia yang jauh dari dunia
Itulah aku yang berada di peradaban yang tak beradab

Dan aku yang pulang kembali ke dunia nyata
Dan aku yang terseret keperadaban yang sebenarnya

Ternyata akulah manusia dungu
Nyatalah aku ini nista dalam najis
Terbuktilah aku ini letih lemah

30 Oktober 2008

Bertahan

Teringat akan indahnya langit malam waktu dulu
Diatas gelaran tikar halaman rumah
Berbaring, istirahatkan sekujur jiwa
Berbincang dengan bintang tentang harapan

Sejuknya udara malam di halaman rumah kalahkan kesejukan palsu ac sayonara
Suara binatang malam lebih indah dibanding lagu-lagu peterpan, letto, dewa 19 atau yang lainnya
Cengkrama ceria dengan sang adik tak bisa digantikan dengan dagelan-dagelan jorok di TV masa kini

Tawa dan keringat teman yang ashik main blak sodor dan bentengan di samping rumah
Nenek dengan serius mendengarkan sandiwara radio saursepuh...
Kini anak-anak berkacamata tebal duduk seharian didepan playstation, ibu-ibu dipertolol oleh infotaiment n senetron konyol

Menikmati lagit malam digelaran tikar pandan
Hidup terus berjalan dengan berjuta perubahan
Bertahan

26 Oktober 2008

Gonggongan Anjing Dimusim Kawin

Gelisah anjing diakhir oktober
Di awal penghujan menyiram panas
Di musim libido meruncingkan gonggongan di tengah malam

Gelisah bunda mengharap sang jejaka
Waktu memakan usia, menantu belum tercium baunya
Hati ditikam kecemasan, melahirkan tanya-tanya tajam...
Kapan...?
Siapa orangnya?

Gonggongan anjing di musim kawin merusak lamunan tengah malamku
Tanya-tanya tajam menguliti sekujur waktuku

Seorang sahabat bahkan menertawakan gelisahku ini

25 Oktober 2008

Keluh

Hidup ini keluh
Kemarau keluhkan panas
Hujan keluhkan becek
Nganggur keluhkan uang
Kerja keluhkan gaji

Hidup ini keluh
Jomblo keluhkan sepi
Pacaran bikin sakit hati
Cantik tapi cerewet
Jelek bikin muntah mencret

Hidup ini keluh
Jauh disiksa kerinduan
Dekat didera kebosanan
Bujang maunya cepet nikah
Nikah pengennya kembali bujang

Hidup ini keluh
Hitam minta putih
Putih pengennya lebih putih lagi
Laut idamkan gunung
Gunung menyusur kelaut

Hidup ini keluh
Hidup ini ingin

Tanpa keluh
Tanpa ingin
Tak ada hidup

24 Oktober 2008

Penjara Alam (hujan)

Terkurung hujan pagi
Mata cemas, air semakin deras

Diujung sana ada janji yang mesti ditepati
Meski tersusun rentetan jawab untuk ucap

Cuih... Persetan dengan janji
Alam yang mengunciku di ruang bising ini
Kamar yang sesak dengan kebosanan
Kelakar manusia baya yang tak ingat usia

Selaput rasa masih berwarna hitam
Aku hanya diam

23 Oktober 2008

Mungkin Nanti Ada

Cekung hati ini meneguk malam
Perjalanan rasa berakhir di meja perjamuan takdir
Celakanya, waktu masih menyimpan dendam terakhir
Kalau saja ada hidup sebelum hidup, mungkin langkah ini menutup

Persimpangan menanti di ujung petang
Lusuh baju, keriput kulit, redup pandang...
Sempatkan hidup sebelum mati
Lengangkan hening setelah diam

Di ujung akal masih ada harapan

20 Oktober 2008

hilang

Kucing...!!!
Dia lari dari waktu
Dosa leluasa menoreh di batang hari tanpa sesal
Jembatan batin runtuh diterjang arus nafsu sang penipu

Logikanya, semua berakhir sejak waktu lalu
Sadar dari petir yang menyambara
Walau jalan pulang belum tertemukan, ada cahaya dibalik pohon yang menolong

Sejatinya jemari ini melentik seperti kicau burung gelatik
Puisi bisu dan nyanyian tanpa nada mengurung janji itu

Lelaki dalam pelukan rasa berontak...
Kepalan kemarahan menghantam tembok malam
Bahkan keperkasaan itu meluntur bersama tetesan air mata

Saudara...
Kemana saudara...?
Bahkan engkau pun juga menghilang...

18 Oktober 2008

Aliansi Manusia Tak Termanusiakan

Cerita delapan manusia yang tak termanusiakan
Satu, Melda pengais makanan di balik selangkangannya
Dua, Parjo pencuri hidup dikandang ayam tetangganya
Tiga, Dedi peminum keringat untuk lepaskan dahaganya sendiri
Empat, Sarah pemanjat nasib untuk buku anaknya
Lima, pendulang maki akibat coretan masa lalu
Enam, Farah kehilangan harga dan diacuhkan oleh pecinta
Tujuh, Gani menggali kuburnya sendiri dengan candu tololnya
Delapan, Linda sang semangat langit penuai lumpur

Mereka malam ini akan berkumpul di tepi lumbang kuburannya
Agendanya untuk protes pada Tuhan

16 Oktober 2008

Cerita Langit Hari Ini

Langit hari ini lembut tanpa denyut
Lelaki mencari...
Perempuan menanti...

Udara siang ini riang tanpa generang
Sesekali terdengar cemeti semangat
Teriakan puas melekat di wajah-wajah pekat

Sore ini akan hujan tanpa harapan
Sesuka hati awan memberi harap
Hijaunya daun berpura kecewa

Selangkah lagi menuju pembaringan
Rembulan berselingkuh dengan damai dan awan
Celoteh malam terngiang kembali
Ayat pembenaran diucap dalam doa-doa sebelum mimpi

13 Oktober 2008

Keperkasaan Waktu

Ah, ternyata dia...
Sejak dulu aku sudah mengenalnya

Oh... Dia toh...
Kalo dia, kita pernah didekatkan seperti cakrawala yang mendekatkan langit dan bumi

Dia mah Melda...
Kita pernah disatukan oleh semangat yang sama

Tapi kok sekarang dia jadi begitu ya...?
Kenapa tak terlihan lembayung seperti yan kudapati di cakrawala kala itu?
Lalu kemana semangat yang membakar itu...?

Perkasanya sang waktu...
Mampu meraibkan apa saja yang ada padamu...

12 Oktober 2008

Pencarian

Telusur bumi ini sejengkal demi sejengkal
Teliti pandangi setiap senti peristiwa
Memasang selengkap indra untuk menangkap makna

Sebuah pencarian
Sebentuk pelarian
Tidak mau?
Tidak mampu?
Sejumput tanya yang mebuat hari semakin berkabut

Jelajahi setiap lekuknya
Mencari-cari cela untuk menjauh
Menuntut sempurna untuk menutup bangkai diri
Pilih... Pilih...
Akhirnya tak satupun terpilih

Seakan terbiasa dengan hari yang berpilin dengan sepi
Sampai ajal luka ini menjejal
Kelak ada bidadari
Mimpi....

Menuju Neraka

1.
Yuli nongkrong di depan kabar kabari
Santi ngomongin dewi persik
Linda meniru gaya sarah ashari
Budi tiap pagi mencium poster Bunga Citra Lestari

2.
Asep lagi asyik nonton bokep
Bonang koleksi foto telanjang
Sarmin hobinya ngomongin kelamin
Rina otaknya hanya diisi ama kitab kamasutra

3.
Yang bersafari kantongnya isinya korupsi
Si budak kerjanya dugem dan main shabu
Nonton bola disambi denga judi
Masjid sepi, yang ramai kawasan doli

4.
Kemana hidup ini akan berlanjut?

Cobaan itu Bernama Rejeki

Duh gusti...
Smuanya jadi kacau
Yang seharusnya rejeki itu akhirnya jadi ranjau
Anugrah itu sekarang jadi bom waktu
Siap meledak, menghancurkan moral dan normalitas
Sudah tak ada yang rasional
Semua mengaku mendapatkan dari-MU
Disana katanya ada
Disini dibilang ada juga

Kemudian setan beraksi dengan jurus klenik
Membunuh iman dengan gilasan keserakahan

Cobaan ini bernama rejeki
Ampuni kami yang telah buta akan tanda-tanda kebesaran-MU

11 Oktober 2008

NISBI

Yang kosong itu belum juga berisi
Mata air yang kemarin masih ditangisi
Lentera laknat masih menyinari foto bugil bidadari
Raja sepi mangkat, gelap hampir berkarat

Koarku jadi ambigu
Ini hanya kesombongan
Smua cuma menutupi kekurangan

Pulang, hilang, kembali, mati
Sejarah berulang cerita
Episode berbeda, laknatnya masih sama

Kosong yang kubawa kemarin hari....

14 Maret 2008

Catatan Putus Asa

Aku mengembalakan nasib di padang pasir
Menatapi nasib yang meronta memohon setitik air
Dan aku hanya mampu menatap, hanya meratap
Langkahku terkunci rapat, waktu bergulir cepat

Menuju kemana aku?
Setiap arah menjanjikan keraguan
Bahkan matahari tak pernah tenggelam
Membakar, tak tahu dimana ufuk... yang ada hanya angin terkutuk

Getir, anyir yang terasa menjalani takdir
Maaf Tuhan, aku tak bermaksud untuk ingkar
Aku hanya tak tegar, jiwaku gemetar, aku terbakar

Tuhan Sembilan Senti

Oleh Taufiq Ismail

Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok, tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok, Di sawah petani merokok, di pabrik pekerja merokok, di kantor pegawai merokok, di kabinet menteri merokok, di reses parlemen anggota DPR merokok, di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok, hansip-bintara-perwira nongkrong merokok, di perkebunan pemetik buah kopi merokok, di perahu nelayan penjaring ikan merokok, di pabrik petasan pemilik modalnya merokok, di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok,

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok,

Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi merokok, di ruang kepala sekolah ada guru merokok, di kampus mahasiswa merokok, di ruang kuliah dosen merokok, di rapat POMG orang tua murid merokok, di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya apakah ada buku tuntunan cara merokok,

Di angkot Kijang penumpang merokok, di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk orang bertanding merokok, di loket penjualan karcis orang merokok, di kereta api penuh sesak orang festival merokok, di kapal penyeberangan antar pulau penumpang merokok, di andong Yogya kusirnya merokok, sampai kabarnya kuda andong minta diajari pula merokok,

Negeri kita ini sungguh nirwana kayangan para dewa-dewa bagi perokok, tapi
tempat cobaan sangat berat bagi orang yang tak merokok,

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita, Di pasar orang merokok, di warung Tegal pengunjung merokok, di restoran di toko buku orang merokok, di kafe di diskotik para pengunjung merokok,

Bercakap-cakap kita jarak setengah meter tak tertahankan abab rokok, bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun menderita di kamar tidur ketika melayani para suami yang bau mulut dan hidungnya mirip asbak rokok,

Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul saling menularkan HIV-AIDS sesamanya, tapi kita tidak ketularan penyakitnya. Duduk kita disebelah orang yang dengan cueknya mengepulkan asap rokok di kantor atau di stopan bus, kita ketularan penyakitnya. Nikotin lebih jahat penularannya ketimbang HIV-AIDS,

Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin paling subur di dunia, dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap tembakau itu, bisa ketularan kena,

Di puskesmas pedesaan orang kampung merokok, di apotik yang antri obat merokok, di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok, di ruang tunggu dokter pasien merokok, dan ada juga dokter-dokter merokok,

Istirahat main tenis orang merokok, di pinggir lapangan voli orang merokok, menyandang raket badminton orang merokok, pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok, panitia pertandingan balap mobil, pertandingan bulutangkis, turnamen sepakbola mengemis-ngemis mencium kaki sponsor perusahaan rokok,

Di kamar kecil 12 meter kubik, sambil ‘ek-’ek orang goblok merokok, di dalam lift gedung 15 tingkat dengan tak acuh orang goblok merokok, di ruang sidang ber-AC penuh, dengan cueknya, pakai dasi, orang-orang goblok merokok,

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi orang perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok,

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita, Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh, duduk sejumlah ulama terhormat merujuk kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa.

Mereka ulama ahli hisap. Haasaba, yuhaasibu, hisaaban. Bukan ahli hisab ilmu falak, tapi
ahli hisap rokok. Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka terselip berhala-berhala kecil, sembilan senti panjangnya, putih warnanya, ke mana-mana dibawa dengan setia, satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya,

Mengintip kita dari balik jendela ruang sidang, tampak kebanyakan mereka memegang rokok dengan tangan kanan, cuma sedikit yang memegang dengan tangan kiri. Inikah gerangan pertanda yang terbanyak kelompok ashabul yamiin dan yang sedikit golongan ashabus syimaal?
Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC penuh itu. Mamnu’ut tadkhiin, ya ustadz. Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz. Kyai, ini ruangan ber-AC penuh. Haadzihi al ghurfati malii’atun bi mukayyafi al hawwa’i. Kalau tak tahan, di luar itu sajalah merokok. Laa taqtuluu anfusakum.

Min fadhlik, ya ustadz. 25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan. 15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi). Daging khinzir diharamkan. 4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan?

Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz. Wa yuharrimu ‘alayhimul khabaaith. Mohon ini direnungkan tenang-tenang, karena pada zaman Rasulullah dahulu, sudah ada alkohol, sudah ada babi, tapi belum ada rokok.

Jadi ini PR untuk para ulama. Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok, lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan, jangan,

Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini. Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu, yaitu ujung rokok mereka. Kini mereka berfikir. Biarkan mereka berfikir. Asap rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap, dan ada yang mulai terbatuk-batuk,

Pada saat sajak ini dibacakan malam hari ini, sejak tadi pagi sudah 120 orang di Indonesia mati karena penyakit rokok. Korban penyakit rokok lebih dahsyat ketimbang korban kecelakaan lalu lintas, lebih gawat ketimbang bencana banjir, gempa bumi dan longsor, cuma setingkat di bawah korban narkoba,

Pada saat sajak ini dibacakan, berhala-berhala kecil itu sangat berkuasa di negara kita, jutaan jumlahnya, bersembunyi di dalam kantong baju dan celana, dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna, diiklankan dengan indah dan cerdasnya,

Tidak perlu wudhu atau tayammum menyucikan diri, tidak perlu ruku’ dan sujud untuk taqarrub pada tuhan-tuhan ini, karena orang akan khusyuk dan fana dalam nikmat lewat upacara menyalakan api dan sesajen asap tuhan-tuhan ini,

Rabbana, beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.

Kecewa?

”Kamu kecewa?” tanya Bed

”Kecewakan apa Bed?” Noe balik bertanya

”Dia pernah menjadi orang yang kamu cintai, sekarang dia menemukan orang lain dan telah menikah... kamu kecewa?” Bed mencoba menjelaskan.

”Kamu memancingku?”

”Memancing apa?”

”Memancingku untuk bicara cinta...” Jawab Noe seraya melemparkan senyum sinisnya, sejurus kemudian dia membaringkan tubuhnya diatas kasur.

“Jawab aja lah...” bujuk Bed. “Aku mengerti, dalam dua tahun terakhir kamu anti dengan yang namanya cinta, nonton sinetron cinta aja kamu langsung muntah... tapi apa salahnya menjawab pertanyaanku itu...”

Noe hanya diam, matanya menerawang, menatap langit-langit kamar. sesekali dia menghela nafas panjang. Kemudian dia tersenyum penuh makna.

”Bisa iya... bisa juga tidak” Noe bersuara. Suaranya agak pelan, penuh keraguan.

”Maksudnya?”

”Aku gak kecewa, itu jelas... karena dia bukan siapa-siapaku lagi... dan kamu juga ngerti, belakangan ini aku ga tertarik dengan dunia asmara... aku masih berkomunikasi dengan dia karena aku anggap teman, teman biasa... bahkan kamu aku anggap lebih tinggi kedudukannya dibanding dia di dalam kehidupanku yang sekarang...”

”Oh ya...? tapi maaf, aku bukan homo....” canda Bed. ”Trus... Maksudnya bisa juga iya?”

Lagi-lagi Noe tak langsung menjawab. Dia mengankat tubuhnya, mengambil posisi duduk di sisi kasur.

”Ya... Mungkin saja aku kecewa... Tapi, ’kecewa’ yang aku maksud bukan kecewa karena aku tidak menjadi pasangan hidupnya... Aku kecewa pada diriku sendiri, di usia seperti ini, jangankan aku bisa menghidupi orang laen... untuk menghidupi diri sendiri aja aku masih kelimpungan”

"Kita manusia, butuh cinta... semakin kamu mengingkari, semakin terlihat bahwa kau kesepian" sejurus setelah mengatakan itu, Bed meninggalkan Noe. Suasana menjadi hening, hanya ada detak jantung dan deru nafas Noe yang menguasai ruang dengar.

13 Maret 2008

Perempuan

“Perempuan itu apa sech?” Tanya Noe.

Sepertinya Bed kebingungan menghadapi pertanyaan singkat itu. Keningnya berkerut. Matanya menerawang, memandang kosong. Kemudian dia menggaruk kepalanya. Bersamaan dengan berjatuhannya ketombe di kepalanya, Bed menjawab pertanyaan itu dengan kalimat singkat.

“Perempuan adalah misteri”

Sebuah potongan kertas aku temukan di atas lemari. Ada sebuah bait puisi yang aku tulis sekitar 2 tahun lalu. Seingatku puisi ini terdiri dari 4 atau 5 bait, namun yang ada di potongan kertas tersebut hanya aku temukan sebait, bait terakhir.




Di saat ini,
Di jaman yang tak karuan ini
Di peradaban tak bernama ini
Aku benci perempuan-perempuan betina
Aku rindu perempuan-perempuan purba

10 Maret 2008

Rindu

Raga ini tak punya daya untuk bersua
Hanya dari gambarmu, hanya dari gambaran hayal rindu itu padam
Tegur sapa dan cengkrama beralun melalui dinginnya udara malam
Walau ada siksa rindu, cinta ini menggelora sedemikian kuatnya

Percaya…
Kutitipkan segumpal kepercayaan itu padamu
Lajukan waktumu di seberang sana, tautkan hatimu hanya untukku saja
Lindunglah segala pandangmu dari cahaya penyilau batin dan rasa

Percayalah…
Aku disini yang gulung rindu, yang seperti juga dirimu
Aku masih genggam mutiara rasa yang kau amanahkan dahulu
Dalam lindung malam aku usap mutiara itu hingga kilaunya layak bintang

Kirimkan selalu kabarmu lewat suara-suara kerinduan
Biar khawatir yang menghantui mimpiku musnah segera

Lantunkan kidung-kidung asmara di puncak purnama
Biar rembulan yang kupandang ini tersenyum karena kita

Taburkan bunga berupa warna dalam pembaringanmu
Biar aku bisa menghirup aroma indah disetiap tidurku

Tak mampu kubayangkan betapa indah perjumpaan kita nantinya
Ribuan pelukan tak terbayarkan, jutaan pandang tak mampu lukiskan
Kueratkan dekapan itu sepanjang malam
Hingga detak-detak jantung kita saling bersautan membentuk nada-nada indah
Sementara deru nafas kita mencipta bait-bait cinta dan keabadian rasa

Segera kau raih citamu
Cepatlah melangkah dalam pencarianmu itu
Disini aku menunggu tanpa pengukur waktu

Agustus 2004