OTAK, instrument pikir akan menghasilkan output untung - rugi, mungkin - mustahil dan benar - salah (berdasarkan ukuran-ukuran yang diciptakan manusia sendiri). Sedang HATI, instrument rasa akan menghasilkan output manfaat - mudlarat, pantas - wagu dan etis - tidak etis (bersarkan inspirasi yang diperoleh dari Sang Pencipta). Otak dan hati adalah dua perangkat yang berbeda. Ketika kita menyiapkan waktu dan ruang di hati untuk menyongsong datangnya inspirasi maka tinggalkan otak, berhentilah berpikir agar inspirasi lebih cepat masuk ke dalam relung hati.

(Pujo Priyono)

===================================================

20 Juni 2009

Selesai

Cukup sampai disini....!!!!!

Engkau tiada... tintaku juga mengering entah kenapa?

sedangkan aku masih ingin menyelam lebih dalam

sedangkan aku masih ingin terbang lebih tinggi

aku ternyata kalah oleh ketiadaanmu


Pagar Keniscayaan





Mataku kriyep-kriyep
semuanya kabur
samar

tak pernah aku memandang
bahkan aku tak punya kepala untuk membuat suatu pandangan

tepukan dipundak mengingatkanku akan batas
akan pagar-pagar keniscayaan
yang mengandangkanku pada kepasrahan





JANGAN MELAWAN ANGIN


Ibarat menjadi nahkoda kapal, ketika angin kencang datang menyerang, yang mesti dilakukan adalah mengatur layar untuk mengendalikan kapal supaya tidak terguling atau terhempas menabrak karang. Ketika angin datang dari arah utara, tetaplah kendalikan layar. Ketika angin datang dari selatan, tetap kendalikan layar. Ketika angin datang dari barat, tetap pula kendalikan layar. Begitu pun ketika yang datang adalah angin sepoi-sepoi, tetap kendalikan layarmu tanpa terbuai. Jangan pernah berharap engkau bisa mengandalikan angin. Yang bisa engkau kendalikan adalah layarmu. Jangan pernah engkau maki-maki angin kencang itu, karena itu tak ada gunanya sama sekali untuk menyelamatkan kapalmu. 

Begitu pun dalam kehidupan ini, setiap peristiwa yang datang kepada kita adalah ibarat angin. Setiap kejadian atau peristiwa yang menerpa kehidupan kita tidak mungkin bisa kita kendalikan. Yang bisa kita kendalikan adalah sikap kita. Sikap kita ibarat layar. Ketika kesempitan yang datang, maka gerakkan layar sikapmu ke arah 'sabar'. Ketika kelapangan datang, gerakkan layar sikapmu ke arah 'syukur'. Ketika ada peristiwa-peristiwa tidak mengenakkan datang dalam kehidupanmu, memaki-maki peristiwa itu adalah tidak ada gunanya sama sekali.




AIR ZAMZAM DI NEGERI COMBERAN

Untuk Dr.HC-nya Gus Mus
Oleh: Muhammad Ainun Nadjib


1.

Di usia sepuhnya, Gus Mus makin gantheng wajahnya dan makin bening cahaya yang memancar dari wajah itu. Bahkan kulit beliau yang aslinya coklat kini menjadi cenderung kuning-putih. Itu bukan wajah Gus Mus yang kita kenal dalam kebudayaan di bumi. Itu langit.

Sungguh bikin cemburu. Bagaimana hamba Allah satu ini, semua manusia dari Sabang hingga Merauke diam-diam pada bingung, ambruk, kuyu, frustrasi dan putus asa, meskipun ditutup-tutupi – dia malah makin sumringah hidupnya, wajahnya tersenyum, seluruh wajahnya tersenyum, bukan hanya bibir beliau: benar-benar seluruh wajah beliau, lagak-laku dan output karakter beliau adalah senyuman.

Tiba-tiba muncul makhluk yang bernama Doctor Honoris Causa. Menghampirinya. ‘Ngenger’ kepadanya. Melamarnya untuk menjadi sandangannya. Sudah pasti beliau tersenyum, mengulurkan tangan dan dengan penuh kasih sayang. Menunjukkan sikap menerima, menampungnya, mengakomodasikannya, menggendongnya, mengelus-elusnya.

Jauh di dalam kalbunya Gus Mus mengerti betapa inginnya si Doctor Honoris Causa itu diperkenankan untuk menjadi bagian dari kehidupan Gus Mus. Dan ‘Ma abasa wa ma tawalla, an ja-ahul a’ma…. tak mungkin beliau berpaling, meremehkan dan mengabaikan pengemis yang hina dina sekalipun.

Padahal di dalam doa-doanya, Gus Mus selalu meletakkan semua makhluk lemah itu di shaf terdepan dari aspirasinya. Bahkan jenis hati beliau tidak puas untuk memohon “Ya Allah, sayangilah para pengemis, mudahkanlah kehidupan mereka, limpahilah dengan rizqi-Mu yang luasnya tak terhingga kali seluruh jagat raya”. Bunyi perasaan terdalam beliau agak lebih radikal: “Alangkah mudahnya bagi-Mu ya Allah untuk sejak awal menciptakan pagar-pagar qadla dan qadar agar dalam peradaban ummat manusia tak usah ada pengemis, tak usah ada hamba-hamba yang selemah itu, apalagi sampai dilemahkan, di-pengemis-kan”.

Memang di dalam salah satu cara berpikir tasawuf para pemberi membutuhkan mereka yang diberi. Orang kaya membutuhkan orang miskin, sebab orang miskin adalah jalan memperbanyak pemberian, infaq dan shadaqah. Orang miskin adalah lahan subur untuk menanam kasih sayang. Gus Mus setahu saya tidak turut menikmati bermain logika dan simulasi sosial sufisme. Beliau transenden dari pola-pola adegan itu dengan mempertapakan dambaan cinta alangkah indahnya kehidupan tanpa orang-orang miskin yang meruntuhkan hati dan memeras airmata.

Bahasa gamblangnya: Gus Mus pada dasarnya tidak merasa krasan juga Doctor Honoris Causa melamar-lamar dirinya. Dan lebih sangat “haram mu’aqqad” lagi kalau sampai ada bagian dari kehidupan ini di mana Gus Mus yang melamar gelar Doktor, mendambakannya, mengambisiinya, merakusinya, merindukannya, apalagi sampai menyiapkan uang dalam jumlah sangat besar dalam rangka memperhinakan dirinya.

Lho, apakah gelar Doktor itu hina? O tidak lah yaoo… Ini hanya pernyataan ta’aqqud dan tafaqquh bahwa yang selain Tuhan selalu menjadi jatuh hina jika diperlakukan sebagaimana Tuhan. Hanya Allah yang memiliki maqam untuk didambakan untuk diraih, diserakahi untuk ‘dimiliki’, digadang-gadang serta dicita-citakan untuk bersanding. Selain Allah, bahkanpun Rasulullah, juga seluruh manusia dan alam semesta, cocoknya dicintai, disayang.

Gus Mus menyayangi gelar Doktor beliau, tapi insyaallah tak sampai mencintai. Disayang karena mereka yang memberinya gelar itu juga sangat sayang kepada Gus Mus. Namun tidak sampai mencintai, karena beliau bukan orang bodoh.



2.

Gelar Doktor mencerminkan pencapaian ilmu maksimal pada ukuran mesin berpikir manusia. Tidak sempurna dan belum puncak, dalam arti potensialitas yang dianugerahkan Allah atas daya akal manusia masih menyediakan cakrawala luas dan langit tinggi yang masih amat jauh di luar jangkauan pencapaian peradaban berpikir ummat manusia sampai sekian puluh abad. Sedangkan gelar Proffesor menggambarkan kelulusan komitmen terhadap dunia ilmu dan kesetiaan terhadap tradisi kemuliaan pemeliharan dan penyebaran ilmu. Tafaqquh ‘ilmi wan-tisyaruh.

Itu idiomatik dan simbol dari dunia persekolahan di mana pencarian ilmu diinstitusionalisasikan, dengan ‘syubhan’ politik dan perdagangan – tetapi yang terakhir ini tidak menjadi perhatian dalam tulisan ini. Di luar sekolah, masyarakat (Indonesia, Jawa) membangun sendiri idiomatic dan simbol-simbolnya untuk mengukuhkan pencapaian manusia di antara mereka: Kiai, Panembahan, Ki, Begawan, Pendekar, Pandito. Pada tataran yang lebih popular dan sehari-hari muncul symbol: Mbah, Lurah, Danyang, mBahurekso, dst, yang semuanya menggambarkan pengakuan umum atas pencapaian tertentu dari seseorang.

Kalau memang ‘terpaksa’, KH Mustafa Bisri kita lengkapi saja atributnya: Mbah Lurah Danyang mBahurekso Pandito Begawan Panembahan Ki Kiai Profesor Doktor Mustafa Bisri, dan saya urun nambahi satu tapi tanpa upacara: Karromallohu wajhah…. Karena insyaallah beliau karib dan sehabitat dengan Sayyidina Ali ibn Abi Thalib dalam sejumlah konteks, utamanya ta’aqqudul iman, tafaqquhul ‘ilmi wa ni’matul ma’rifah serta thariqat ‘suwung’, fana’.



3.

Doktor itu kedewasaan ilmu, namun tidak menjamin kematangan mentalitas dan spiritualitas. Bahkan tidak menjanjikan kedewasaan sosial dan kultural. Sedangkan Gus Mus mohon maaf: memiliki semua itu.

Tak akan didengarkan orang kalau ada seorang Doktor berfatwa, sebagaimana kalau KH Mustafa Bisri (andaikan beliau mau) berfatwa. Sebab ‘fatwa’ arti telanjang epistemologisnya adalah kedewasaan yang ‘jangkep’. Doktor masih kedewasaan parsial dan ‘githang’.

Fatwa bukan produk dari rapat sekian ratus Ulama yang naik pesawat dari berbagai propinsi untuk mengacungkan tangan dan meneriakkan “Setuju!” dalam sebuah rapat yang berprosedur demokrasi, penjajagan pendapat untuk mencapai kesepakatan. Atau lebih rendah lagi: pendapat sudah disediakan, dan ratusan Ulama bersegera menyetujuinya karena hal itu merupakan ujung dari suatu eskalasi politik, mobilisasi berpikir dan honorarium. Untuk Indonesia, tradisi semacam itu sudah ma’ruf wa mafhum, dan semua tinggal meng-amin-i.

Sesungguhnya Gus Mus adalah seorang Al-Mufti. Hanya saja beliau terlalu rendah hati. Sekurang-kurangnya Al-Mufti adalah kwalitas dan maqam beliau. Dan kalau beliau hampir tidak pernah menduduki kursi itu dan tidak ‘nyuwuk’ fatwa apa-apa kepada bangsa dan ummat yang tidak mengerti kegelapan (apalagi cahaya) ini, kita orang dusun tahunya barangkali memang beliau tidak memperoleh ‘wangsit’ untuk berfatwa. Allah sendiri menerapkan sifat As-Shobur kepada bangsa Indonesia, Gus Mus nginthil di belakang-Nya.

Dan sungguh saya selalu merasa gatal untuk menggoda Gus Mus, di tengah perjalanan hidup ‘asyik ma’syuk di tengah hutan belantara penuh comberan ini.



4.

Maka sengaja tulisan menyambut penggelaran Doctor Honoris Causa untuk Gus Mus ini saya bikin berlama-lama dan terlambat-lambat. Memang sih ada sejumlah kesibukan, tapi alasan utama saya bukan itu. Motif saya yang sesungguhnya adalah: saya sangat bernafsu menyiksa Gus Mus, saya sangat cemburu pada beliau, dan saya berkhayal berlari kencang mendahului Gus Mus.

Saya buka rahasia pribadi: saya ini seorang penakut bin pengecut. Hidup saya tanpa kekuasaan, baik sebagai warga masyarakat, sebagai suami, sebagai bapak, sebagai lelaki atau sebagai apapun. Itu gara-gara saya tidak memiliki keberanian sedikitpun untuk menyentuh orang lain dengan kehendak saya. Tidak sedikitpun saya berani menyiksa siapapun, baik menyiksa dengan kejahatan maupun dengan kemuliaan, dengan keburukan atau kebaikan, dengan kesalahan maupun kebenaran.

Jangankan menjadi pemimpin Negara atau wakil rakyat, sedangkan menjadi kepala rumahtangga saja saya memilih untuk tidak berkuasa. Saya hanya bagian dari keluarga, bagian dari masyarakat dan Negara. Padahal aslinya di dalam diri saya terdapat nafsu kekuasaan yang meluap-luap, bahkan ada semacam potensi kekejaman yang selama ini saya sembunyikan dengan sangat rapi. Nah, terhadap Gus Mus: saya menemukan peluang sangat besar dan melimpah untuk berkhayal punya kekuasaan dan menyelenggarakan penyiksaan-penyiksaan semaksimal mungkin.

Sebab saya tahu dan yakin bahwa beliau tak akan marah. Gus Mus tidak memiliki hubungan genetik, kefamilian atau keterkaitan sosial dengan kemarahan. Satu point ini saja sungguh seribu kali lebih penting dan lebih tinggi mencapaian mental maupun ilmiahnya -- dibanding seribu gelar doktor kepada beliau. Kalau ada orang marah, itu pasti bukan Gus Mus. Dan kalau para saintis tidak mampu menemukan keterkaitan dialektis antara fenomena marah dengan kosmos ilmu, maka tidak perlu ada Sekolahan, Universitas ataupun Pesantren.



5.

Tapi ya siksaan saya kepada Gus Mus sekedar terbatas pada ulur-ulur waktu jadinya tulisan ini. Celakanya beliau sama sekali tidak marah. Tersiksa sedikitpun tidak. Padahal kalau sampai beliau tersiksa, betapa indah puisi-puisi yang terungkap dari ketersiksaan itu. Gus Mus adalah pendekar kehidupan yang bukan sekedar sanggup menemukan ketenteraman dalam kecemasan, menggali kebahagiaan dari jurang derita, atau menikmati kekayaan di dalam kemiskinan. Lebih dari itu Gus Mus bahkan mampu membuat kegelapan itu tak ada, karena yang ada pada beliau, dan bahkan beliaunya itu sendiri: adalah cahaya.

Kemudian hal cemburu: beliau ini dikejar-kejar dilamar-lamar oleh Doctor Honoris Causa. Sementara saya orang tua sampai hampir batas jatah usia hari ini tak pernah dinantikan orang, apalagi dikejar. Tak menggembirakan orang hadirku dan tak ditangisi orang hilangku. Tak dirindukan oleh siapapun saja kecuali oleh istri dan anak-anakku.

Maka saya dendam kepada Gus Mus. Dan dengan melambat-lambatkan tulisan ini saya bisa membangun khayalan bahwa saya bukan hanya juga berposisi dikejar-kejar, tapi juga ‘GR’ bahwa yang mengejar-ngejar saya adalah orang besar bernama KH Mustafa Bisr. Dan karena saya dikejar oleh Gus Mus, sedangkan Doctor Honoris Causa mengejar Gus Mus, maka saya berada dua langkah di depan Doctor Honoris Causa. Dengan demikian tak mungkin Doctor Honoris Causa akan pernah mampu mencapai lari kencang saya.

Bagi siapapun yang kebetulan membaca tulisan ini, mudah-mudahan menjadi paham kenapa sampai setua ini saya tidak pernah “dadi wong”, tak pernah mencapai apa-apa dan tak pernah menjadi siapa-siapa. Jawabannya sangat gamblang dengan alinea-alinea di atas: saya sudah sangat bergembira cukup bermodalkan khayalan-khayalan semacam itu. Puji Tuhan ada kesempatan untuk membuka rahasia itu, karena hanya Gus Mus yang memiliki keluasan untuk men-senyum-i khayalan-khayalan saya, sementara lainnya selama ini hanya mencibir dan meremehkan saya.



6.

Maka di luar itu semua tentulah saya turut mengucapkan ‘mabruk’ atas penganugerahan gelar Dr.HC kepada Gus Mus, tanpa mempersoalan bahwa -- ibarat baju, gelar itu terlalu kecil atau ‘cekak’ untuk Gus Mus. Atau dengan kata lain beliau – dengan segala kwalitas dan bukti-bukti kesalehan dan kreativitas puluhan tahun hidupnya – terlalu besar untuk hanya digelari Dr.HC.

Sebenarnya saya sudah menantikan penganugerahan ini 30-40 tahun silam. Atau mungkin malah diperlukan ijtihad untuk mendirikan lembaga gelar yang lebih tinggi derajat mutunya, lebih meluas cerminan jangkauan manfaatnya serta lebih mendalam kasunyatan kekhusyukan komitmennya. Terserah apapun saja nama gelar khusus itu yang kita gunakan untuk menunjukkan kesadaran kita dalam mengapresiasi “Manusia Thawaf” dari Rembang ini.

Tetapi omong-omong qulil haqqa walau kana murran KH Mustafa Bisri sebenarnya juga sama sekali tidak cocok hidup di zaman di mana beliau hidup sekarang ini, di Negeri ajaib yang Gus Mus menangisinya berurai-urai airmata di hadapan Allah sambil hati beliau geli setengah mati dan tertawa terpingkal-pingkal.

Minimal ada satu syarat mendasar yang Gus Mus tidak miliki secuilpun untuk ‘relevan’ hidup di zamannya: tidak punya ambisi, tidak memiliki ‘ananiyah’, tidak punya kesanggupan mental untuk membuang rasa malu, serta terlalu rewel terhadap martabat dan harga diri ke-insan-an beliau. Sistem nilai yang berlaku komprehensif dewasa ini akan tiba pada suatu perkenan sosial dan permisivisme budaya terhadap siapapun untuk bukan hanya memasang gambar wajahnya di jalanan-jalanan atas niat dan inisiatifnya sendiri, melainkan pelan-pelan kelaminnya juga sudah siap untuk diiklankan.

Cocoknya Gus Mus ada di antara para sahabat Rasulullah Muhammad SAW: dolan mengobrol ke kampung-kampung bersama Abu Dzar Al-Ghifari, malamnya majlisan dengan Babul-‘Ilmi, pintu ilmu pngetahuan: Sayyidina Gagah Ganteng Brillian Ali ibn Abi Thalib karromallohu wajhah.



7.

Maka atmosfir peristiwa penggelaran Dr.HC untuk Gus Mus ini saya masuki dengan kegembiraan sebagaimana memasuki pesta setengah “majdzub”. Saya ikut minum anggur rasa syukur yang menggelegak tanpa alasan apapun kecuali menikmati kekayaan “qudroh”nya Allah SWT. Saya melintas ke sana kemari menyapa semua sahabat keindahan dan mengobrol dengan para “mab’utsin” kebenaran dan kebajikan.

Siapa saja yang tak tahan bersegeralah pergi menjauh dari saya. Sebab saya melayang-layang surving diving sampai terkadang terpikir di benak saya NU itu sebaiknya dibagi dua: ada firqoh Nahdloh dan firqoh Ulama. Ketua golongan Nahdloh bolehlah KH Hasyim Muzadi, tapi Ketua Ulamanya harus KH Mustafa Bisri.

Gus Mus memimpin gairah ta’limul ardl wa ma’rifatussama, yang lain silahkan memanfaatkan pengetahuan dan legitimasi langit untuk pengetahuan dan kepentingan di bumi. Harus Gus Mus yang memimpin. Kok harus? Siapa yang mengharuskan? Ya saya sendiri, lha wong ini tulisan saya sendiri. Terwujud dan terjadinya Gus Mus jadi Ketua NU ya cukup dalam diri saya sendiri, karena kalau di kasunyatan NU saya bukan sekedar tidak punya hak apa, tapi juga tidak ada.

Ini tulisan-tulisan saya sendiri, dan yang saya tulis adalah jenis orang yang tidak akan marah atau berbuat apapun meskipun saya tulis bagaimanapun. Jadi saya Ketua-NU-kan dia, kalau perlu seumur hidup. Seumur hidup.

Dan ini sama sekali bukan soal ambisi atau kerakusan, melainkan berdasar feeling saya dalam hal niteni tradisi sunnah-nya Allah. Manusia dengan kaliber dan kwalitas macam Rasulullah Muhammad SAW oleh Tuhan diselenggarakan atau dilahirkan hanya satu kali selama ada kehidupan. Kalau taruhan tidak haram, saya berani taruhan soal ini.

Jenis Ibrahim AS dan Musa AS bolehlah lima abad sekali. Atau kalaupun saya sebut 10-20 abad juga tak akan pernah ada kemampuan penelitian ilmu manusia untuk membenarkannya atau menyalahkannya. Salahnya sendiri banyak sekolahan ummat manusia berlagak-lagak pinter tapi tidak ada peneliti hal-hal beginian, mana mungkin akan pernah mengenal clue ‘perilaku’ Allah ini.

Lha makhluk yang berperan sebagai Mustafa sesudah Bisri sesudah Mustafa sesudah Bisri entah yang keberapa ini, yang khalayak umum, kelas menengah intelektual sampai institusi Negara menyangka ia adalah Ulama dan Seniman – tinggal Anda perkirakan maqamnya, keistimewaannya, spesifikasinya, genekologinya, koordinat kosmologisnya. Dilahirkan 75 tahun sekali? 102 tahun sekali? 309 tahun sekali?

Saya tidak mau terjebak oleh adagium “La ya’riful Waly illal Waly”: tak ngerti Wali kecuali Wali. Anda jangan percaya pada rumus yang membuat Anda tersesat menyangka saya mengerti Gus Mus karena saya sekwalitas dan semaqam dengan beliau. Jangan coba-coba memompa kepala saya menjadi besar, sebab saya sudah sangat pusing oleh besar kepala saya.

Rumus lebih tepat untuk ini adalah “hanya kekecilan semut yang mampu mengagumi kebesaran gajah”.*****

18 Juni 2009

Rekor Masuk Neraka

Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib

Andaikan makhluk yang bernama fatwa sudah sejak dulu menemani bangsa Indonesia, tentu masyarakat kita menjadi terbiasa bergaul dengannya sehingga tidak mudah uring-uringan seperti yang hari-hari ini terjadi. 

Misalnya pada awal 1900-an kaum ulama melontarkan fatwa bahwa Kebangkitan Nasional bangsa Indonesia itu wajib hukumnya (sehingga tidak bangkit itu haram hukumnya). Demikian juga mempersatukan seluruh pemuda Indonesia itu fardhu kifayah( semua orang tidak bersalah asal ada sebagian yang menjalankannya). 

Sumpah Pemuda itu fardhu ‘ain, kewajiban bagi setiap orang, kalau tidak bersumpah bergabung dalam persatuan Indonesia haram hukumnya. Berikutnya begitu Hiroshima- Nagasaki dibom atom, ulama Indonesia sigap melontarkan fatwa bahwa memproklamasi kan kemerdekaan Republik Indonesia itu wajib sehingga masuk neraka bagi siapa saja yang menolak 17 Agustus 1945.

Lantas diikuti oleh ratusan atau bahkan ribuan fatwa berikutnya: demokrasi itu wajib (meskipun di dalamnya ada komunisme itu haram).Tidak menaati UUD 1945 itu haram. Konstituante dan Piagam Jakarta dicari formula fatwanya. Katakanlah sejak pra-Kebangkitan Nasional hingga era Reformasi sekarang ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah menelurkan lebih dari 5.000 fatwa. 

Makhluk Suci dari Langit 

Sementara kita simpan di laci dulu perdebatan tentang positioning antara negara dengan agama. Kita istirahat tak usah bergunjing ulama itu sejajar dengan umara (pemerintah) ataukah di atasnya ataukah di bawahnya. Juga kita tunda menganalisis lebih tinggi mana tingkat kekuatan fatwa kaum ulama dibandingkan undang-undang dan hukum negara. 

Entah apa pun namanya makhluk Indonesia ini: negara sekuler, demokrasi religius, kapitalisme sosialis atau sosialisme kapitalis,atau apa pun. Kita mengandaikan saja bahwa produk kaum ulama,khususnya MUI, berposisi sebagai inspirator bagi laju pasang surutnya pelaksanaan kehidupan bernegara dan berbangsa. 

Sebutlah ulama adalah partner pemerintah. Kaum ulama adalah makhluk suci berasal dari langit, memanggul amanat Allah sebagai khalifatullah fil ardli Indonesia. Kita semua pun bersyukur karena dalam menjalankan demokrasi kita ditemani oleh utusan-utusan Tuhan.Dulu para rasul dengan mandat risalah, para nabi dengan mandat nubuwah, dan para ulama dengan mandat khilafah. 

Tidak semua soal kehidupan mampu diilmui oleh akal manusia, maka kita senang Tuhan kasih informasi dan tuntunan, terutama menyangkut hal-hal yang otak dan mental manusia tak sanggup menjangkau dan mengatasinya. Kaum ulama dalam majelisnya terdiri atas segala macam ahli dan pakar. 

Ada ulama pertanian, ulama ekologi, ulama perekonomian, ulama kehutanan, ulama kesehatan dan kedokteran, ulama, ulama kesenian dan kebudayaan, ulama fiqih, ulama tasawuf dan spiritualisme, ulama olahraga, dan segala bidang apa pun saja yang umat manusia menggelutinya karena memang seluruhnya itulah lingkup tugas khilafah atau kekhalifahan. 

Tradisi Fatwa dalam Negara 

Akan tetapi tradisi itu tak pernah ada.Fatwa terkadang nongol dan sangat sesekali. Mendadak ada fatwa tentang golput tanpa pernah ada fatwa tentang pemilu, pilkada, pilpres dengan segala sisi dan persoalannya yang sangat canggih. Tiba-tiba ada fatwa tentang rokok tanpa ada fatwa tentang pupuk kimia, tentang berbagai jenis narkoba, suplemen makanan dan minuman,penggusuran,pembangunan mal, industri, kapitalisasi lembaga pendidikan,serta seribu soal lagi dalam kehidupan berbangsa kita. 

MUI mengambil bagian yang ditentukan tanpa pemetaan konteks masalah bangsa, tanpa skala prioritas, tanpa pemahaman konstelasi serta tanpa interkoneksi komprehensif antara berbagai soal dan konteks. Itu pun fatwa membatasi diri pada ”benda”. Makan ayam goreng halal atau haram? ”Dak tamtoh,” kata orang Madura.Tak tentu.Tergantung banyak hal.Kalau ayam curian,ya haram. 

Kalau seseorang mentraktir makan ayam goreng sementara teman yang ditraktirnya hanya dikasih makan tempe, lain lagi hukumnya. Makan ayam goreng secara demonstratif di depan orang berpuasa malah bisa haram, bisa makruh, bisa sunah. Haram karena menghina orang beribadah. Makruh karena bikin ngiri orang berpuasa. 

Sunah karena dia berjasa menguji kesabaran orang berpuasa. Beli sebotol air untuk kita minum, halal haramnya tak terletak hanya pada airnya. Kalau mau serius berfatwa perlu dilacak air itu produksi perusahaan apa, modalnya dari uang kolusi atau tidak, proses kapitalisasi air itu mengandung kezaliman sosial atau tidak? 

Kalau kencing dan buang air besar mutlak wajib hukumnya. Sebab kalau orang menolak kencing dan beol, berarti menentang tradisi metabolisme tubuh ciptaan Allah SWT. Berzikir tidak wajib, bahkan bisa makruh atau haram. Misalnya suami rajin salat dan berzikir siang malam, istrinya yang setengah mati cari nafkah. Atau kita wiridan keraskeras di kamar ketika teman sekamar kita sedang sakit gigi. 

Hak Tuhan 

Butuh ruangan lebih lebar untuk menguraikan berbagai perspektif masalah yang menyangkut fatwa. Negara dan masyarakat tak perlu mencemaskan fatwa karena ada jarak serius antara fatwa dengan agama, apalagi antara fatwa dengan negara dan hukumnya.Terlebih lagi jarak antara fatwa dengan Tuhan. 

Yang berhak me-wajib-kan, menyunah- kan, me-mubah-kan, memakruh- kan dan meng-haram-kan sesuatu hanya Tuhan.Ulama dan kita semua hanya menafsiri sesuatu. Kalau MUI bilang ”rokok itu haram”, itu posisinya beliau-beliau berpendapat bahwa karena sesuatu dan lain hal, maka diperhitungkan bahwa Tuhan tidak memperkenankan hal itu diperbuat. 

Setiap orang, sepanjang memenuhi persyaratan metodologis dan syar’i, berhak menelurkan pendapat masing-masing tentang kehalalan dan keharaman rokok dan apa pun. Muhammadiyah dan NU pun tidak merekomendasikan pengharaman rokok. Artinya, para ulama dari dua organisasi Islam terbesar itu memiliki pendapat yang berbeda. 

Sebelum saya mengambil keputusan untuk mewakili pendapat Tuhan untuk mewajibkan menghalalkan atau mengharamkan sesuatu hal, sangat banyak persyaratan yang harus saya penuhi. Terutama persyaratan riset, sesaksama mungkin dan ini sungguh persoalan sangat besar, ruwet, luas, detail.

Kemudian andaipun persyaratan itu mampu saya penuhi, saya tidak punya hak untuk mengharuskan siapa pun saja sependapat dengan saya atau apalagi melakukan dan tidak melakukan sesuatu sejalan dengan pandangan saya.Nabi saja tidak berhak mewajibkan siapa pun melakukan salat.

Hak itu ada hanya pada Tuhan, Nabi sekadar menyampaikan dan memelihara kemaslahatannya. Para ulama dan kita semua bisa kelak teruji, ternyata sependapat dengan Tuhan,bisa juga akan terlindas oleh peringatan keras Allah: ”Lima tuharrimu ma ahallallohu lak”,kenapa kau haramkan sesuatu yang dihalalkan oleh Tuhan untukmu? 

Tapi jangan lupa bisa juga terjadi sebaliknya: kenapa aku halalkan yang Allah haramkan? Mungkin benar rokok itu haram dan saya akan masuk neraka karena itu, bersama ulama agung Indonesia Buya Hamka,perokok yang jauh lebih berat dibandingkan saya yang sama sekali tidak nyandu rokok. Juga ada teman saya di neraka almarhum Kiai Mbah Siroj Klaten yang hingga usianya 94 tahun merokok empat bungkus sehari. Dengan demikian bangsa Indonesia akan tercatat sebagai pemegang rekor tertinggi masuk neraka karena rokok. (Sumber: Koran Sindo. 30 Januari 2009)

07 Juni 2009

Sidang Sepi

sstttt….!!!
harap tenang… hati sedang bersidang
mendiskusikan tentang masa depan
perdebatkan tentang harapan dan kasih saying

jangan berisik…!!!
tolong biarkan mereka menimbang-nimbang
tentang kenisbian, tentang hutang piutang
semoga ada kesimpulan sebelum petang

kecilkan suaramu…!!!
jangan sampai suaramu meracuni dialog nurani
suara dengungan nafsu bisa membuat dia sekarat mati
apalagi jika ada angina panas yang mengitrupsi

diamlah….!!!
pidato kalbu begitu mengharu biru
menceritakan tentang takdir yang bisu
mencoba menggalang suara aku palsu

resapi…!!
akal sedang mengotak-atik logika
meng-ilmiah-ilmiahkan peristiwa
meskipun akhirnya gagu dalam tawanya

ssstttt…..!!!!
jangan ikut campur…..

Frustasi

Frustrasi…
gembalaan hati berkurang satu lagi hari ini
entah siapa yang mencuri?
ataukah dia sengaja melariakn diri..?

sedetik, sekelebat…
ada bayangan hitam muncul dibalik diding ragu
menbacanya, memantrai dengan kalimat logika
entah siapa yang lari?
atau inikah yang disebut relatifitas?

Frustasi..
kepala pening, berfikir dengan perasaan
masih takmampu aku memilah pekerjaan organ diri
otak tak dibiarkan berfikir sendiri
selalu saja ada intrupsi dari hati

Syair Penjual Kacang

Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib

Al-Habib, seorang yang dikasihi oleh banyak orang dan senantiasa didambakan kemuliaan hatinya, malam itu mengimami shalat Isya’ suatu jamaah yang terdiri dari para pejabat negara dan pemuka masyarakat.

Berbeda dengan adatnya, sesudah tahiyyat akhir diakhiri dengan salam, Al-Habib langsung membalikkan tubuhnya, menghadapkan wajahnya kepada para jamaah dan menyorotkan matanya tajam-tajam.

”Salah satu dari kalian keluarlah sejenak dari ruangan ini,” katanya, ”Di halaman depan sedang berdiri seorang penjual kacang godok. Keluarkan sebagian dari uang kalian, belilah barang beberapa bungkus.”

Beberapa orang langsung berdiri dan berlari keluar, dan kembali ke ruangan beberapa saat kemudian.

”Makanlah kalian semua,” lanjut Al-Habib, ”Makanlah biji-biji kacang itu, yang diciptakan oleh Allah dengan kemuliaan, yang dijual oleh kemuliaan, dan dibeli oleh kemuliaan.”

Para jamaah tak begitu memahami kata-kata Al-Habib, sehingga sambil menguliti dan memakan kacang, wajah mereka tampak kosong.

”Setiap penerimaan dan pengeluaran uang,” kata Al-Habib, ”hendaklah dipertimbangkan berdasarkan nilai kemuliaan. Bagaimana mencari uang, bagaimana sifat proses datangnya uang ke saku kalian, untuk apa dan kepada siapa uang itu dibelanjakan atau diberikan, akan menjadi ibadah yang tinggi derajatnya apabila diberangkatkan dari perhitungan untuk memperoleh kemuliaan.”

”Tetapi ya Habib,” seseorang bertanya, ”apa hubungannya antara kita beli kacang malam ini dengan kemuliaan?”

Al-Habib menjawab, ”Penjual kacang itu bekerja sampai nanti larut malam atau bahkan sampai menjelang pagi. Ia menyusuri jalanan, menembus gang-gang kota dan kampung-kampung. Di malam hari pada umumnya orang tidur, tetapi penjual kacang itu amat yakin bahwa Allah membagi rejeki bahkan kepada seekor nyamuk pun. Itu taqwa namanya. Berbeda dari sebagian kalian yang sering tak yakin akan kemurahan Allah, sehingga cemas dan untuk menghilangkan kecemasan dalam hidupnya ia lantas melakukan korupsi, menjilat atasan serta bersedia melakukan dosa apa pun saja asal mendatangkan uang.”

Suasana menjadi hening. Para jamaah menundukkan kepala dalam-dalam. Dan Al-Habib meneruskan, ”Istri dan anak penjual kacang itu menunggu di rumah, menunggu dua atau tiga rupiah hasil kerja semalaman. Mereka ikhlas dalam keadaan itu. Penjual kacang itu tidak mencuri atau memperoleh uang secara jalan pintas lainnya. Kalau ia punya situasi mental pencuri, tidaklah ia akan tahan berjam-jam berjualan.”

”Punyakah kalian ketahanan mental setinggi itu?” Al-Habib bertanya, ”Lebih muliakah kalian dibanding penjual kacang itu, atau ia lebih mulia dari kalian? Lebih rendahkah derajat penjual kacang itu dibandingkan kalian, atau di mata Allah ia lebih tinggi maqam-nya dari kalian? Kalau demikian, kenapa di hati kalian selalu ada perasaan dan anggapan bahwa seorang penjual kacang adalah orang rendah dan orang kecil?”

Dan ketika akhirnya Al-Habib mengatakan, ” Mahamulia Allah yang menciptakan kacang, sangat mulia si penjual itu dalam pekerjaannya, serta mulia pulalah kalian yang membeli kacang berdasar makrifat terhadap kemuliaan…” – salah seorang berteriak, melompat dan memeluk tubuh Al-Habib erat-erat. @1987 "Seribu Masjid Satu Jumlahnya Tahajjud Cinta Seorang Hamba" Penerbit Mizan, Bandung, 1995

1 Tamparan 3 Pertanyaan

(ada email dari seorang sahabat pagi tadi)

Ada seorang pemuda yang lama sekolah di luar negeri.


Kembali ke tanah air, sesampainya di rumah ia meminta kepada orang tuanya untuk di carikan seorang guru agama, kyai atau siapa saja yang bisa menjawab 3 pertanyaannya. Akhirnya orang tua pemuda itu mendatangkan pemuda tersebut seorang kyai.

Pemuda : Anda siapa? Dan apakah bisa menjawab pertanyaan pertanya an saya?

Kyai : Saya hamba Allah dan dengan izin-Nya saya akan menjawab pertanyaan anda.

Pemuda : Anda yakin?,,, Sedangkan Profesor dan ramai orang yang pintar tidak mampu menjawab pertanyaan saya.

Kyai : Saya akan mencoba sejauh kemampuan saya.

Pemuda : Saya ada 3 pertanyaan:

1. Kalau memang ALLAH itu ada,tunjukan wujud ALLAH kepada saya

2. Apakah yang dinamakan takdir

3. Kalau syaitan diciptakan dari api kenapa dimasukan ke neraka yang dibuat dari api, tentu tidak menyakitkan buat setan. Sebab mereka memiliki unsur yang sama. Apakah ALLAH tidak pernah berfikir sejauh itu?

Tiba-tiba kyai tersebut menampar pipi pemuda tadi dengan keras.

Pemuda : (sambil menahan sakit): Kenapa anda marah kepada saya?

Kyai : Saya tidak marah...Tamparan itu adalah jawaban saya atas 3 pertanyaan yang anda ajukan kepada saya.

Pemuda : Saya sungguh-sungguh tidak mengerti.

Kyai : Bagaimana rasanya tamparan saya?

Pemuda : Tentu saja saya merasakan sakit.

Kyai : Jadi anda percaya bahawa sakit itu ada?

Pemuda : Ya!

Kyai : Tunjukan pada saya wujud sakit itu!

Pemuda : Saya tidak bisa.

Kyai : Itulah jawaban pertanyaan pertama...kita semua merasakan kewujudan ALLAH tanpa mampu melihat wujudnya.

Kyai : Apakah tadi malam anda bermimpi akan ditampar oleh saya?

Pemuda : Tidak.

Kyai : Apakah pernah terfikir oleh anda akan menerima tamparan dari saya hari ini?

Pemuda : Tidak.

Kyai : Itulah yang dinamakan " TAKDIR ".

Kyai : Terbuat dari apa tangan yang saya gunakan untuk menampar anda?

Pemuda : Kulit.

Kyai : Terbuat dari apa pipi anda?

Pemuda : Kulit.

Kyai : Bagaimana rasanya tamparan saya?

Pemuda : Sakit.

Kyai : Walaupun setan dijadikan dari api dan neraka juga terbuat dari api, jika ALLAH menghendaki maka neraka akan menjadi tempat yang menyakitkan untuk setan.

Bukan Sembarang Presiden

Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib

Presiden Reformasi Indonesia bukan sembarang Presiden. Sejak bangkitnya bangsa Indonesia melalui Reformasi 1998, kalau ada seorang Presiden terpilih, jangan dipikir itu sekedar hasil Pilpres satu hari hari, melainkan ujung dari sebuah proses panjang. Itu puncak eskalasi struktural dari tingkat masyarakat RT hingga ke puncak kursi kenegaraan.

Bangsa Indonesia sudah memiliki pengalaman peradaban selama berpuluh-puluh abad untuk memilih pemimpinnya. Pemilihan Presiden di abad 21 ini jauh lebih sederhana karena sekedar melibatkan penduduk atau warganegara. Sedangkan pengalaman sejarah bangsa Indonesia pernah membawa mereka memilih pemimpin tertingginya dengan melibatkan Nyi Roro Kidul, Walisongo, ruh-ruh leluhur, pasukan lebah, lembu atau kerbau, bahkan untuk sebagian secara sembunyi-sembunyi juga melibatkan masyarakat rekanan hidup manusia yang dikenal dengan nama Jin.

Sejak Reformasi di akhir abad 20, bangsa Indonesia sudah benar-benar menjadi dewasa. Maka skala demokrasi modern mereka cukup hanya mengakomodasi hak warganegara yang berjenis makhluk manusia, sehingga mekanismenya jauh lebih simpel. Sedangkan makhluk-makhluk lain yang bukan manusia, dari Malaikat sampai hewan, tidak memiliki hak gugat terhadap keputusan demokrasi modern ummat manusia, karena Tuhan sudah memberi mandat penuh – ibarat Duta Besar Berkuasa Penuh – kepada manusia untuk menjadi khalifatullah fil-ardl, mandataris Tuhan di seluruh bumi.

Bahkan Iblis, makhluk sangat ganas dan sakti mandraguna yang bertugas menjadi antagonis moralnya ummat manusia, semacam ‘sandhi-yudha’ yang memiliki ketahanan luar biasa dalam tugasnya sebagai partner dialektika kehidupan manusia – juga tidak melakukan protes apa-apa terhadap demokrasi modern, terutama yang diselenggarakan di Indonesia. 


***


Iblis pasti bukan tidak tahu bahwa Indonesia adalah negeri yang penduduknya paling memiliki kedekatan dengan Allah swt. Jumlah Hajinya terbanyak seluruh dunia. Sangat rajin bikin pengajian massal, majlis ta’lim, istighotsah, yasinan dan tahlilan, kursus shalat khusyu, biro pengelolaan kalbu, tafsir-tafsir aplikatif dari surah dan ayat-ayat quosi emosi dan spirit, dan berbagai aktivitas keagamaan lainnya yang Iblis ampun-ampun untuk berani menerobosnya.

Maka mekanisme demokrasi modern dijalankan di Indonesia jauh lebih mulus dibanding Negara manapun di dunia. Ditambah faktor plus yang mendasari kekokohannya sebagai sebuah sistem bernegara yang hampir bisa dikatakan tak mungkin bisa digoyahkan oleh apapun saja. Faktor plus itu misalnya tingkat kependidikan masyarakat Indonesia yang sudah jauh memadai sebagai prasyarat tumbuhnya kedewasaan demokrasi. 

Matangnya kebudayaan bangsa Indonesia, sebagai individu manusia maupun sebagai kumpulan komunitas, menjadikan pelaksanaan demokrasi sedemikian gagahnya, penuh kemerdekaan dan kreativitas, penuh kelincahan dan keterampilan, namun tetap berada dalam kontrol bersama yang komprehensif di antara semua kelompok, segmen, strata dan kantung-kantung lain bangsa Indonesia.


***


Demokrasi di tangan bangsa Indonesia bagaikan bola di kaki Maradona, tongkat ganda di tangan Bruce Lee, bola basket di tangan Kareem Abdul Jabbar atau Michael Jordan, mobil Formula-1 di kendali Schumacher, Ayrton Senna atau Fernando Alonso. Kalau mau agak puitis, demokrasi bagi bangsa Indonesia itu bak gelombang di pangkuan samudera, bak panas di ujung lidah api, bak kokok di tenggorokan ayam, atau auman di mulut harimau.

Bangsa Indonesia memiliki susunan dan tata sosial yang solid namun dinamis sejak dari lingkar terkecil. Di dalam setiap keluarga selalu terdapat pembelajaran dialog-dialog alamiah tentang kepemimpinan dan siapa pemimpin. Aspirasi dari keluarga-keluarga kemudian dengan sendirinya menjadi muatan interaksi masyarakat se Rukun Tetangga. Kemudian fondasi aspirasi itu meningkat dan meluas hingga ke skala desa atau kelurahan. Demikian seterusnya sampai ke babak ‘semifinal’ dan ‘final’ di panggung puncak kepemimpinan Nasional.

Jadi kalau ada seseorang akhirnya terpilih menjadi Presiden, sesungguhnya itu hanya ujung dari suatu proses yang sangat panjang. Bangsa Indonesia sudah ‘memiliki’ Presiden sejak di rumahnya masing-masing. Kalau seorang Presiden sudah duduk di kursi kepresidenan, hari itu juga setiap warganegara sebenarnya sudah mengantongi nama presiden berikutnya. Seorang Presiden dalam peradaban bangsa Indonesia adalah seseorang yang sudah diuji oleh seluruh dan setiap rakyatnya sejak jauh-jauh hari sebelumnya, minimal sepuluh tahun. Sistem budaya masyarakat Indonesia sudah memiliki infrastruktur kualitatif dan mekanisme identifikasi yang berlangsung mendasar, permanen dan dinamis.


***


Hal yang sama juga berlangsung pada wakil-wakil mereka di Dewan Perwakilan Rakyat. Siapa saja yang mengambil keputusan menjadi Caleg dan gambar wajah-wajah mereka bisa dijumpai di sepanjang jalan, adalah tokoh-tokoh yang bukan hanya sudah sangat dikenal oleh masyarakat infrastrukturalnya, lebih dari itu mereka sudah diuji moralnya, integritas sosialnya, kesungguhan pengabdiannya, keterampilan kerja dan profesionalismenya, termasuk luasnya wawasan dan tingginya keilmuannya.

Bahkan tatkala seorang Presiden memilih Menteri-Menterinya, dan para Menteri memilih bawahan-bawahannya, itu sama sekali bukan soal selera, bukan berdasarkan power-share atau pembagian kekuasaan, bukan berlatar belakang kepentingan golongan atau penyeimbangan perolehan antar kelompok. Pemilihan atasan ke bawahan itu juga diselenggarakan dengan terlebih dulu mempelajari data-data dan fakta-fakta dari lapangan paling bawah, yakni siapa yang benar-benar sudah lulus dari penyaringan sosial masyarakat.

Kadar keterujian pemimpin nasional dan wakil rakyat yang sedemikan ketat dan kualitatif oleh sistem sosial masyarakat Indonesia, membuat mustahil muncul pemimpin-pemimpin yang nyasar dan a-historis. Kepemimpinan nasional dan perwakilan rakyat di Indonesia tidak bisa sekedar ditentukan oleh eksistensi dan mekanisme partai-partai politik. Parpol hanyalah kendaraan di ujung jalan, hanya alat terakhir untuk secara formal meresmikan apa yang sudah diproses sangat matang dalam waktu yang juga sangat panjang. Semua aktivis parpol juga sangat memahami hal itu, sehingga mereka sangat bersikap rendah hati dan tidak merasa dirinya penentu utama kepemimpinan nasional.


***


Presiden Indonesia dan Wakil-wakil Rakyat adalah orang-orang yang memang harus mereka yang menjadi Presiden dan Wakil-wakil rakyat. 

Vox populi vox dei. Demikianlah ‘sabda rakyat’ melalui mekanisme sistem yang mereka selenggarakan secara konsisten dan istiqamah dari tahun ke tahun, dari era ke era, bahkan dari zaman ke zaman. Presiden dan Wakil-wakil rakyat adalah tokoh-tokoh yang muncul ke singgasana berdasarkan ujian sejarah masyarakatnya sendiri. Dengan demikian bisa dipastikan merekalah memang yang paling layak kepribadiannya, paling bermutu kepemimpinannya, paling unggul ilmu dan wawasannya, paling kredibel kinerjanya, paling luas wawasannya, paling terampil kerjanya, bahkan paling diridhoi Tuhan dan direstui oleh semua makhluk-makhluk Allah non-manusia.

Sistem budaya dan mekanisme sosial bangsa Indonesia yang sudah matang sejak puluhan abad yang lalu, memastikan bahwa pemimpin-pemimpin nasional mereka yang lahir dari demokrasi Indonesia adalah putra-putri terbaik bangsanya. Harus mereka yang memimpin. Tak terbantahkan. Bisa jadi Tuhan sendiripun tak mungkin mengganti mereka, karena Ia mengikatkan diri pada kegembiraan dan kebanggaan menyaksikan tingkat kematangan budaya demokrasi bangsa dan Negara Indonesia.*****(Sumber: Kompas, 22 Mei 2009)

Manohara

Membaranya api itu dari minyak yang salah…
Keraguan… Meragukan….

Terlanjur sudah memupuk kebencian dengan formula yang penuh tanda tanya…
Ganyang….!!!! Hajar…!!!

Begitu mudahnya hati ini terayu oleh silat lidah jurus tipu-tipu…
Lemah… Bodoh…

Rangkuman tanda tanya disatukan dalam wadah kedunguan menghasilkan keyakinan konyol…

Tersebutlah sebuah kata “Nasionalisme”
Terpekiklah seutas rasa “Lawan”

Bahkan yang dibelapun belum membuktikan apa-apa selain kata-kata
Kita sudah terbakar hangus oleh amarah….!!!

(Keprihatinan atas kedunguan kita dalam menenpatkan kasus Manohara di tatanan kehidupan Bangsa)