OTAK, instrument pikir akan menghasilkan output untung - rugi, mungkin - mustahil dan benar - salah (berdasarkan ukuran-ukuran yang diciptakan manusia sendiri). Sedang HATI, instrument rasa akan menghasilkan output manfaat - mudlarat, pantas - wagu dan etis - tidak etis (bersarkan inspirasi yang diperoleh dari Sang Pencipta). Otak dan hati adalah dua perangkat yang berbeda. Ketika kita menyiapkan waktu dan ruang di hati untuk menyongsong datangnya inspirasi maka tinggalkan otak, berhentilah berpikir agar inspirasi lebih cepat masuk ke dalam relung hati.

(Pujo Priyono)

===================================================

10 Februari 2010

Keberhasilan

Kata ‘berhasil’ sering diucapkan oleh hampir seluruh orang dan media akhir-akhir ini. Ada yang berteriak menyatakan pemerintah tidak berhasil. Dan pihak yang “dituduh” tidak berhasil mati-matian mengungkapkan secara detail bahwa dia telah berhasil, semua data dikeluarkan, angka-angka bertebaran. Dan kalau perlu, diilmiah-ilmiahkan.

‘berhasil’ maknanya jadi sangat berbeda antara satu pihak dengan pihak lain. Entah itu berdasar fakta, atau sengaja dibedakan untuk kepentingan tertentu. Tapi yang pasti ketika ada berita di kompas.com tanggal 4 februari 2010 dengan judul ”SBY : Keberhasilan Program 100 Hari Sebesar 99 Persen Lebih”, sontak saya dan beberapa teman yang tinggal di Tembagapura rasanya sedih membaca judul berita itu. Rasanya ingin marah, selama tujuh bulan (sejak Juli 2009) masyarakat Timika-Tembagapura merasa terancam, hidup tidak tenang, korban baik luka bahkan nyawa terus jatuh, selama tujuh bulan hidup dalam kecemasan namun tiba-tiba ada yang bilang bahwa Pemerintah sukses memimpin Indonesia. Mungkin, hati kami semua tersayat.

Saya tidak benci pemerintah, apalagi sama presiden. Tapi, mbok jangan lukai kami dengan kata-kata itu. Banyak diantara kami akhirnya menyerah karena tidak tahan dengan teror ini, kata aman sangat susah diucapkan tapi koq ada yang dengan enteng menyatakan sesuatu yang sepertinya Indonesia ini baik-baik saja, nggak ada apa-apa.

Seorang sahabat pernah bicara : “Kalo Indonesia ini baik-baik saja, pemerintah menyatakan sukses memimpin negara, berarti ada 2 kemungkinan. Pertama, kita adalah bagian dari ketidakberhasilan pemerintah yang kurang dari satu persen itu. Dan yang kedua, kita mungkin sudah tidak diakui lagi menjadi bagian yang harus diurus oleh pemerintah”

Saya sendiri berpendapat, bahwa kemungkinan kedua itu terlalu ekstrim. Kita ini masih orang Indonesia, masih diwilayah NKRI. Cuma, “daya jual” kita di media nggak terlalu tinggi. Kalaupun suara kita serak karena berteriak, mereka nggak dengar. Jadi meskipun dikesampingkan, nggak banyak yang protes. Banyak yang mati, tapi itu jadi kisah angin lalu bagi media. Jangan berharap nyawa-nyawa yang melayang sejak tragedi Juli 2009 itu sebanding dengan satu nyawanya mbah surip.

-----

Belum sampai seminggu setelah bapak Presiden kita itu menyatakan keberhasilannya memimpin negara, saya membaca lagi berita tentang ornag-orang yang terpaksa makan nasi aking. “Nasi Tak Terbeli, Aking-Singkong Pun Jadi” (Kompas.com : Rabu, 10 Februari 2010). Ironis bukan? Di negara yang katanya subur ini ada yang kesulitan makan nasi. Di Negara yang katanya pemimpinnya sukses ini ada yang kekuarangan gizi karena susah membeli makanan yang layak konsumsi.

Tapi lagi-lagi saya mencari jawaban sendiri. “Presiden kan nggak bilang 100 persen, kan bilangnya 99 persen lebih… jadi kalo ada yang seperti itu (makan aking) itu bagan dari ketidakberhasilan yang jumlanya kurang dari satu persen itu”

Kami yang di wilayah konflik menilai keberhasilan secara parsial, dimana kami tidak merasakan keberhasilan pemerintah menangani masalah-masalah yang menimpa kami. Begitu pula dengan Turina yang terpaksa makan aking pemberian tetangganya juga akan menilai keberhasilan dari sudut pandang rasa laparnya. Sedangkan pemerintah? Entah dari mana mereka menilai keberhasilannya.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz menangis membentur-benturkan kepala ke lantai, bersujud mohon ampun kepada Allah, 'hanya' karena seekor onta terpeleset di jalan di wilayah pemerintahannya. Sementara dalam kehidupan kita jumlah penganggur bertambah puluhan juta tak ada yang merasa bersalah, dilemma kesengsaraan ribuan penduduk bawah jalan tol belum beres, di daerah konflik konrban terus jatuh dan rasa takut masih mendominasi , harga-harga kebutuhan pokok semakin tak terjangkau oleh kaum miskin, namun pemimpinnya tega nampang dan memproklamirkan keberhasilannya.[]

----
Tembagapura, 10 Feb 2010

1 komentar:

  1. diperlukan kejujuran hati nurani,tengoklah wahai Bapak-Bapakku Yang terhormat, saya yakin kesibukan beliaulah yang mengakibatkan saudara-saudaraku tak tersentuh hingga rasa tak dipedulikan,memang dibutuhkan kesabaran dan doa yang tak terputuskan agar Alloh sudi mengabarkan kepedihan ini dengan jalan mengetuk tiap-tiap hati nurani para Pemimpin di negeri yang ramah ini.

    BalasHapus