Ayin dan properti mewahnya menjadi salah satu menu istimewa di beberapa media akhir-akhir ini. Dia berhasil menyulap ruang tahanannya menjadi ruangan yang kemewahannya hanya bisa ditandingi oleh kamar hotel bintang lima. Hampir semua orang terperanjak kaget mendengar berita itu. “enak bener dia, dipenjara tapi masih bisa hidup mewah?” kata salah satu temanku.
Saya sendiri sempat juga merasa
gregetan dengan hal itu, meskipun sebenarnya kabar miring tentang kondisi penjara kita sering saya dengar, tapi tetap saja “sihir ala Ayin” itu melebihi kabar berita yang saya dengar sebelumnya. “Penjara koq ada AC-nya..?” tanyaku dalam hati. Dipenjara, tapi masih bisa menikmati fasilitas-fasilitas serta pelayanan yang –bagi saya— super mewah seperti itu.
Dalam beberapa hari sejak terbongkarnya kasus itu, saya dan temen-temen saya terus saja
ngedumel. Jengkel, gemes, mungkin juga sedikit marah becampur aduk. Rasanya pengen banget njewer mereka-mereka itu.
“Kenapa kamu marah?” Tanya Kang Slamet.
“Ya karena fasilitas mewah itu Kang…” jawabku ketus.
“Iya, saya ngerti… tapi coba analisa jauh ke dalam hatimu… apa alasan kamu sampai jengkel? Apa yang mendasari dirimu untuk gemes sama mereka-mereka itu?”
“Saya nggak ngerti maksud sampeyan Kang…”
Kang Slamet diam, dahinya mengkerut. Mungkin dia lagi mencari kata-kata yang lebih sederhana untuk bisa aku mengerti.
“Emangnya dipenjara ga boleh senang ya?” Tiba-tiba Kang Slamet bertanya.
“Ya boleh lah Kang…”
“Trus kenapa kamu marah liat para narapidana kaya itu mencoba mencari kesenangan?”
“Itu tidak adil Kang…!!!” Kataku agak membentak. Namun dibalas Kang Slamet hanya dengan senyumannya yang khas itu.
Aku heran dengan senyuman itu. Aku merasa kang Slamet menyimpan sesuatu dibelakang pertanyaannya itu. Diam-diam aku merasa terjebak, bener juga kata beliau, sebenarnya yang mendasari kemarahanku ini apa?
“Benerkah karena rasa keadilan yang membuatmu marah? Kemudian, keadilan yang mana yang kamu maksud?” Kang Slamet menghela nafasnya sejenak. “Kebobrokan mental para petugas penjara sebenarnya sudah jauh-jauh hari kita dengar, dan hanya kita dengar saja. Kemudian paling jauh kita respon dengan mengelus dada saja, lalu kabar tersebut sambil lalu dari pikiran kita”
Aku tidak merespon kalimat Kang Slamet itu, kebingungan masih mendominasi lintasan-lintasan pikirku.
“Sangat memungkinkan rasa ketidakadilan yang kamu rasakan itu bentuknya berupa rasa iri, kenapa Ayin bisa ‘membeli’ mereka dengan sangat mudah… ya, rasa iri. Kemarahanmu sebenarnya hanya iri bin cemburu, kenapa Ayin bisa sangat begitu kaya dan mampu berkuasa sedemikian rupa dengan kekayaanya itu… Kalo kita tanya pada diri sendiri, jika saja kita diposisi dia, apakah kita mampu untuk menahan diri untuk tidak seperti Ayin jika punya duit banyak?”
“Kemungkinan ke dua, sudah melengket di kerak-kerak otak kita bahwa yang namanya penjara itu harus tersiksa orang-orang didalamnya. Harus kejam. Sehingga bisa saja saya simpulkan bahwa kemungkinan kita ‘diam’ saja saat mendengar cerita tentang kebobrokan mental para sipir penjara itu karena kita ‘mengijinkan’ itu sebagai balasan atas para narapidana itu. Kemudian, kita marah melihat ada sel sempit dihuni oleh 15 sampai 20 narapidana, sementara Ayin menempati ruangan mewah berukuran luas… dalam otak kita, harusnya penjara ya harus menghuni sel sempit, harus tersiksa…”
“Kalau tidak ada kasus ini, kita tidak akan marah jika saja ada sel sempit yang layaknya hanya bisa dihuni oleh 5 orang tapi ‘dipaksakan’ oleh petugas itu untuk dihuni 15 orang… karena kabar tentang penjara yang kapasitas sebenarnya 500 narapidana tapi dihuni 1500 narapidana sudah pernah kita dengar sebelumnya, tapi respon kita tidak seheboh ini”
“Narapidana ‘tukang sihir’ itu salah, begitu juga para pemimpinan yang bertanggungjawab di penjara itu… tapi boleh juga kalau kita sedikit meluangkan waktu sejenak untuk bercermin, mungkin saja kita ini termasuk dalam daftar orang-orang yang patut dipersalahkan?” Kang Slamet menutup pembicaraan ini dengan begitu saja meninggalkan aku yang masih bingung dengan apa yang beliau katakan.
“Sampeyan itu tadi ngomong apa toh Kang…” Gumamku dalam hati.
---
Tembagapura, 15 Januari 2009