Beberapa bulan ini masyarakat disuguhi telenovela panjang. Penuh tangisan, banyak ketegangan bahkan akhir-akhir ini ada juga makian diumbar. Bintang utamanya berubah ubah tiap waktu. Judulnya bisa apa saja, namun selalu ada upaya untuk menghubung-hubungkan antar episode-episodenya. Kadang kala harus dibuatkan adegan-adegan tambahan untuk memperkuat maksud. Nenek Minah tiba-tiba muncul sebagai upaya untuk menambah rasa gemes kita kepada penegak hukum setelah ada rentetan “cela” mereka, mulai dari Prita hingga rekaman telepon “perselingkuhan” yang diputar di Mahkamah Konstitusi.
Merasa “menang”, media yang lagi mabok berusaha “mencari-cari” bahan lain sebagai “penguat rasa” seperti kasus Nenek Minah, dan kemudian ditemukan lagi beberapa “noda”, mulai dari semangka hingga charger HP.
Lagi-lagi, siapa yang pegang pengeras suara, dialah yang menang. Suaranya akan mudah didengar dari kejauhan. Media sangat berpengaruh dalam pembentukan opini masyarakat. Dan memang pada dasarnya kita ini lebih menikmati boroknya orang lain dari pada membicarakan kebaikan orang lain. Sadar atau tidak, kita lebih menikmati berita polisi salah tangkap, dari pada berita Polisi yang berhasil menewaskan salah satu pimpinan gerakan sparatis Papua, padahal saat penyergapan polisi-polisi itu mempertaruhkan nyawa. Baku tembak. Bagaimana jika anda-anda yang berada dalam posisi itu, antara hidup dan mati?
Ketika opini itu sudah sedemikian kuat terbentuk. Daya kita untuk menilai sesuatu juga semakin melemah. Obyektifitas semakin kabur. Banyak diantara kita tanpa sadar telah membagi kelompok-kelompok. Kelompok-ku dan yang bukan kelompok-ku. Hal terparah dari kekacauan ini, kita menentukan kebenaran berdasar apakah sesuatu itu dikelompok kita atau tidak.
Saya masih ingat, beberapa bulan yang lalu seorang sahabatku menertawakan Susno saat bersumpah atas nama Allah. Dia tidak percaya, dan menyebut Susno itu penipu. Namun, akhir-akhir ini dia diam-diam menyimpan simpati kepada orang yang sebelumnya tidak dipercayanya itu. Ya, simpati itu muncul setelah Susno sekarang kelihatannya bersebrangan dengan “yang bukan kelompoknya”.
Saya sering berburuk sangka, jangan-jangan kita ini juga akan bersimpati sama Firaun, asal dia berani “nantang” kelompok yang bukan kelompok kita.
Jika saja yang kita jadikan pegangan adalah rasa senang dan tidak senang, berdasar pada keinginan, kepentingan dan nafsu kita sendiri, bukannya pandangan yang jujur terhadap kebenaran itu sendiri. Maka hancurlah kita semua. Kita hanya akan bisa menunggu kehancuran akan memakan kita tanpa ampun.
Umat sepertinya kehilangan daya untuk memilah, untuk nginteri, sudah nggak jelas mana beras mana kutu atau kotoran. Umat kehilangan panutan, jika ingin mengerti bagaimana cara menyembah Tuhan, bagaimana tatacara sholat, apa yang dibolehkan saat sholat, apa yang tidak boleh, kita tinggal manut sama Kanjeng Nabi Muhammad. Tapi, siapa yang bisa kita percayai untuk menentukan Sri Mulyani itu salah apa nggak? Susno itu terima suap apa nggak? Siapa? Siapa ulil amri-mu untuk semua itu?
Kabarnya, Tuhan lebih marah kepada orang munafik dibanding orang kafir. Benarkah? Mungkin saja kabar itu benar adanya. Membingungkan jika berhadapan dengan orang-orang munafik. Kalau kita ketemu ular, sangat jelas bagaimana cara melawannya, kita tinggal panggilkan pawang ular. Beres. Namun jika kemunafikan yang kita temui, kita kira dia ular, kita bawakan pawang ular, ternyata dia srigala.
Kalau dikasih pilihan, mingkin kita lebih baik kita melawan 1000 orang Firaun, daripada kita berteman dengan 10 orang yang kita anggap Nabi Musa namun sebenarnya lebih Firaun dibanding Firaun yang sebenarnya.
Allahumma arinal haqqa haqqa war zuqnat tiba’ah wa arinal bathila bathila warzuqnaj tinabah
----
Tembagapura, 11 Januari 2010
11 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar