Rekomendasi –kalau tidak/belum boleh disebut fatwa— tentang haramnya pelurusan rambut dikeluarkan oleh forum santri, dimana sedikitnya ada 258 santri dari 46 pondok pesantren se-Jawa Timur dan Madura menggelar musyawarah bersama di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri. Beredarnya berita tentang rebonding haram itu memancing bermacam tanggapan.
Bagi saya, respon paling menarik adalah dari sahabat saya. Di status Facebook-nya, cewek berjilbab itu menulis : ”rebonding dikatakan haram, foto pre-wedding?? haram jg, iikhh.... kurang ide banget... hal2 yg bgtu malah diurusin, msh banyak hal2 lain yg lbh penting.. tuuh byk wanita2 miskin dilarang melahirkan d rmh sakit, knp tdk itu sj yg diurusi wahai bapak ibu yg kurang kerjaan????......”.
Saya tidak dalam posisi untuk menanggapi tentang fatwa, rekomendasi, hasil diskusi atau apapun itu namanya. Yang bermusyawarah itu santri, sementara saya cuma anak jalanan. Jadi sangat tidak pantas saya untuk “ikut campur” tentang hasil diskusi mereka itu. Ilmu-ku tertinggal ribuan kilometer dari mereka. Saya hanya tertarik dengan komentar sahabat saya itu.
Ada dua kata kunci dalam kasus pengharaman dan tanggapan dari saudara saya itu. Yang pertama adalah “haram”, dan yang kedua “miskin”. Haram, halal, mubah, subhat dan lain-lain adalah bahasa moral, bahasa ritual. Sementara miskin, kesejahteraan dan sebangsanya adalah bahasa sosial.
Saya jadi ingat tentang kisah Ali Sadikin yang dicerca karena mengijinkan judi untuk memperoleh pajak, dan hasil pajak itu digunakan untuk meningkatkan pendidikan. Ali Sadikin mengenyampingkan urusan moral (judi) untuk sebuah tujuan sosial (pendidikan rakyat). Ditengah kritikan –terutama dari kalangan ulama— Bang Ali Sadikin melakukan pembelaan, “Saya mengerti keberatan moral kaum ulama” katanya. “Tapi saya ini Gurbernur, bapak dari sekian juta anak-anak usia sekolah yang membutuhkan pendidikan. Untuk itu diperlukan gedung-gedung. Judi saya ijinkan karena saya tidak tega membiarkan mereka terlantar tanpa memperoleh bekal pendidikan. Kelak, di depan tuhan, selain tanggung jawab moral, saya juga diminta tanggung jawab sosial, mengapa saya terlantarkan mereka. Dan itu yang membuat saya takut”.
Saya tidak berani menyalahkan Ali sadikin, tapi saya juga takut untuk membenarkannya. Saya memilih untuk manut sama Mohamad Sobary, beliau pernah berpendapat bahwa kesalehan ritual dan kesalehan sosial merupakan dua wajah dari keharusan normatif, dimana tiap muslim harus memantulkan dalam hidupnya kedua jenis kesalehan itu segaligus. Atau dalam bahasa Gus Mus disebut: Kesalehan Total.
Kembali ke masalah rebonding dan ibu-ibu miskin. Saudara saya dalam komentarnya tersebut kalau boleh saya alih bahasakan menjadi begini : “Agama jangan ngurusi ritual aja dong… urusi juga kemiskinan, sosial…”. Saudara saya itu prihatin atas kemiskinan yang awet dan semakin subur di bangsa yang kita cintai ini, tapi belum ada yang mampu memberikan solusi nyata terhadap itu semua, termasuk belum adanya jalan keluar yang ditawarkan oleh kaum agamawan.
Sebenarnya, lebih dari sepuluh tahun yang lalu Gus Dur pernah menganjurkan agar kita istirahat sebentar dari memperdebatkan batalnya wudhu, untuk khusyuk bersama-sama memikirkan bagaimana cara mengatasi kemiskinan di masyarakat. Yang dibicarakan Gus Dur ini pasti tentang kesalehan sosial, kita dituntut untuk segera mencari jalan paling efektif untuk melawan kemiskinan. Dan yang paling penting adalah tindakan nyata, bukan hanya konsep, wacana atau dialog-dialog saja.
Jadi saat itu saya tawarkan kepada saudara saya yang memasang status di facebook itu dengan tawaran yang mungkin bisa mencerminkan kedua semangat itu. Tawaran saya adalah : “Rebonding (mungkin) akan halal jika jumlah yang kamu berikan kepada ibu-ibu miskin itu lebih banyak dibanding biaya rebonding… Monggo…”.
Buat para santri-santri, terimaksih atas rekomendasinya. Dan buat saudara saya yang prihatin kepada ibu-ibu miskin, mari segera sisihkan uang untuk mereka, minimal jumlahnya harus sama dengan yang biasa kita mubazirkan di salon-salon dan toko-toko pakaian.
----
Tembagapura, 16 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Manusia kini terlalu bersifat duniawi. Banyak yang mencoba mencomooh ulama walau mereka berkata benar.. Akhlak adalah lebih penting dari materi. Kalau ada ulama yang mendahulukan materi dibanding ibadah maka dia bukan ulama.
BalasHapusSebagai seorang ibu yang nota bene dulu pernah jadi gadis remaja,memang betul saja sih kalau rebonding itu dilarang saja,abis kasihan emak -emak kalau harus mengeluaran uang extra gara-gara ngga tahan mendengar rengekan anak gadisnya,bagi orang tua yang pas-pasan maksud saya ,dituruti susah buat dompet kita,kalau ngga dituruti sesak dalam dada.Padahal hal ini tidak banyak kok faedahnya ,kalau memang dasarnya sudah cantik manis tanpa itu semua ,anak gadisku tetap gemesin,mendingan deh uang yang banyak itu untuk beli buku saja ya,agar tidak mudah dibodohi keadaan,sekali tugas kaum ibu agar lebih cerdas ,bagaimana caranya agar anak gadis kita tidak mudah silau urusan dunia yang menyesatkan ,ingat peribahasa hemat pangkal kaya,gunakan uang dengan sebaik-baiknya ,lihatlah di sekeliling kita masih banyak saudara -saudara yang membutuhkan rupiah untuk sekedar membeli beras saja mereka tidak mampu....astagfirullohalazim semoga Alloh jadikan anak-anak gadis kita menjadi anak yang soleh ,peka terhadap lingkungan biasakan diri menahan segala cobaan dan keinginan sesaat yang sia-sia .
BalasHapus