Kepada Sahabatku : Santi.
Hari ini akan aku ceritakan perjalanan panjangku. Pengembaraan menuju kepastian, paling tidak langkahku ini adalah bentuk dari usaha mencari jawaban yang selama ini hanya berupa harapan-harapan.
Bukan kah sebelumnya aku telah menceritakan kepadamu tentang perempuan itu? Perempuan yang akhir-akhir ini telah menyulut harapan demi harapan. Menawarkan masa depan, menjanjikan kehidupan manusia normal. Perempuan yang seakan-akan menjadi pahlawan dikehidupanku –yang menurut manusia normal— adalah kehidupan khayal.
San, kita yang telah bersama-sama belajar membangun dunia esensi, menciptakan kehidupan dengan dimensi sendiri, telah dianggap edan oleh kelaziman. Kita ini tidak lazim bagi mereka. “Kamu mabok, kamu menipu dirimu sendiri” begitu kata mereka kepadaku. Perempuan itu juga pernah berkata seperti itu kepadaku, hingka sempat kita saling beradu kata. Suana pun sempat memanas.
Meskipun aku dan perempuan itu punya dunia berbeda, namun aku tak pernah bisa untuk menjauh darinya. Perempuan itu berada di dunia kelaziman dan aku –seperti juga engkau- hidup di dunia yang tak lazim.
Ya, aku ternyata tak bisa menjauh. Bahkan aku mencoba untuk semakin mendekatinya. Dan hari itu aku memutuskan untuk menghapus jarak. Melangkah, dan melangkah.
Semoga engkau tak bosan mendengar kisahku ini San…
Kupersiapkan bekal seadanya, hanya beberapa lembar baju dan celana. Pagi buta aku menuju bandara Djuanda. Ku pilih penerbangan pertama menuju Kendari.
San…
Ternyata aku masih bumi yang sama. Katulistiwa yang penuh dosa. Di Kendari, matahari sama membakarnya seperti di Surabaya. Ditengah gerahnya badanku, aku mencari informasi tentang alat transportasi menuju pelabuhan. Hanya Taksi angkutan disini, yang pastinya mahal. Ada alternatif lain, ojek. Namun, dari cara mereka menawarkan ojek-nya aku langsung curiga. Memasang tarif seenak perutnya. Sepertinya mereka tahu kalau aku ini orang baru, dan mereka mencoba menipu.
Sakit. Bahkan di kota kecil ini, penyakit tipu menipu juga sudah ada. Selama ini, hanya kota besar seperti Surabaya, Jakarta atau Makassar saja yang dianggap masalah kehidupannya sangat kompleks yang memonopoli kejahatan-kejahatan kacangan seperti itu. Wabah itu sudah sampai disini San, di sebuah kota yang mall saja tidak ada. Dan itulah yang mereka bilang lazim, kamu dan aku yang mempertanyakan hal itu dibilang tidak lazim.
Akhirnya aku memilih Taksi. Perjalanan ternyata lumayan lama, aku coba istirahatkan badanku yang aku rasa sangat lelah. Semalam aku hampir tak bisa tidur, aku diganggu oleh lintasan-lintasan pikir tentang perjalananku ini.
Ternyata aku masih ketiban sial hari ini San, Taksi yang aku tumpangi tak mampu mengejar waktu. Kapal menuju Pulau Buton sudah berangkat dua puluh menit sebelum aku sampai.
Hotel. Aku pilih hotel murahan, entah apa bisa ini disebut hotel?. Tarifnya semalam hanya Rp. 30.000. Semalam sudah cukup, sesuai jadwal, besok pagi ada kapal menuju Buton.
Malem minggu. Seperti di kota-kota lain, biasanya akhir pekan ditempat-tempat tertentu ada keramaian. Kepingin rasanya aku menjoba menjelajah kota ini.
“Malem minggu gini, yang ramai dimana mas?” tanyaku kepada resepsionis hotel.
“Di Kebi mas, naek pete-pete saja dari depan sana” kata pemuda itu sambil menujuk keluar hotel, “Lima menit juga sampai” lanjutnya.
Sampailah aku ditempat yang dimaksud pemuda di hotel tadi. Ternyata hanya sebuah tempat pedagang kaki lima berkumpul. Mungkin bagi orang-orang kota besar, tempat ini statusnya ‘hanya’, namun kalau aku lihat dari antusias orang-orang ini, aku yakin disini memang istimewa.
Ada dua jalur jalan yang dipisahkan oleh sebuah taman kecil dan gelap. Disepanjang sisi jalan banyak pedagang kaki lima, menjual makanan dan minuman. Mampir aku di sebuah kedai. Memesan saraba, kata teman-temanku minuman ini enak. Dan setelah aku coba memang enak.
Mataku menjelajah ke sepanjang sudut taman remang-remang itu. Seperti yang sudah kuduga sebelumnya. Malam minggu, dua orang lawan jenis dan cahaya remang-remang, jika ketiga unsur itu diramu hasilnya adalah mesum. Dan lagi-lagi, ini yang mereka sebut lazim, sementara engkau dan aku yang resah dianggapnya tak lazim.
Dan lamunanku tiba-tiba menuju perempuan yang akan kutemui itu San. Apakah aku akan seperti mereka yang diremang-remang itu? Ah, sepertinya tidak. Aku hanya berniat menyentuh hatinya. Bukan kulitnya. Semoga.
Apakah engkau masih bersamaku San? Semoga engkau masih menyetiaiku.
Kepalaku pusing oleh kelaziman, dan oleh lamunanku tentang perempuan itu. Menuju hotel untuk merebahkan badan.
Sebelum kubuka pintu kamarku. Di kamar sebelah keluar sepasang manusia dengan wajah lelah. Pemuda dan seorang perempuan muda yang aku perkirakan usia sekolah. Berjilbab. Ya, simbol-simbol agama sekarang hanya jadi tren San. Aku malah rindu dengan kerudung Ibu, meskipun bukan jilbab, tapi ibu dan teman-temannya yang hanya menggunakan kerudung itu lebih bisa memegang agama dibanding mereka-mereka yang sekarang lebih tertutup secara fisik.
Ini penyakit apa San? Tapi mereka yang bilang kita ini yang sakit ketika mempertanyakan itu.
****
Pelabuhan Bau-Bau ternyata tak kalah teriknya. Orang disampingku sempat nyeletuk “Mungkin pengatur suhu kota ini lagi rusak”. Perjalanan selama hampir lima jam menggunakan kapal cepat dari Kendari begitu meletihkan, kapal fiber kecil itu berkali-kali dihantam ombak. Rasanya perutku mual.
Selama dikapal aku sempat menanyai beberapa orang, katanya untuk sampai di daerah tempat perempuan yang ingin ku jumpai ini aku harus naik bis lagi. Katanya, butuh waktu 4-5 jam.
Mual akibat goncangan kapal itu sepertinya semakin parah, aku memilih istirahat dikota ini untuk semalam. Lagi-lagi aku memilih hotel murahan untuk menginap, hanya sekedar mencari tempat untuk meluruskan tulangpunggugku.
Panasnya kamar yang tak ber-AC membuatku gerah, tak bisa tidur. Kupilih untuk duduk di depan kamar, mencoba mencari angin yang sepertinya enggan datang. Ditengah asiknya aku membaca majalah usang yang disediakan hotel, aku melihat cewek seksi keluar dari salah satu kamar. Cantik, muda dan bentuk tubuh yang membuat laki-laki akan menelan ludah.
Namun, segera kusudahi perhatianku pada cewek itu. Yang membuat aku kaget, lebih dari ketakjubanku pada cewek yang baru saja lewat didepanku adalah seorang lelaki keluar dari kamar yang sama dengan cewek tadi, hanya berselang sekitar dua menit. Prostitusi memang biasa, namun laki-laki berumur itu masih menggunakan pakaian kerjanya. Sepertinya itu pakaian PNS. Segera kulihat jam dinding, masih jam tiga sore. Belum waktunya pegawai itu keluar kantor. Kemudian mataku menjelajah ke sudut ruangan itu, ada beberapa orang yang menyaksikan apa yang aku saksikan, namun dari raut muka mereka, aku melihat mereka terbiasa dengan ini. Hal ini sudah lazim, dan keherananku ini dianggapnya tak lazim.
****
Sebelum jam delapan aku sudah menuju terminal Lapangan Tembak. Kabarnya bis menuju Lasalimu hanya ada di pagi hari. Hanya ada satu bis yang siap berangkat, aku tak punya pilihan. Aku naik sebuah bus yang umurnya kemungkinan dua kali lipat dibanding umurku. Aku terpaksa hati-hati untuk memegang sumua bagian dari bis ini, takut kena tetanus. Sebab hampir semua bagian dari bis ini sudah berkarat.
San, ternyata perjalanan ini melebihi ombak di kapal cepat kemarin itu. Kursi bis yang tidak nyaman ditambah dengan berdesak-desakan dan bonus aroma khas kemiskinan. Menambah pengap, menambah gundah. Perjalanan ini menyiksa San. Apakah aku sekarang menyesal? Ah, sepertinya bukan. Ini hanya tantangan menuju kenyataan.
Jalanan seakan ombak besar. Aneh juga, Buton yang terkenal sebagai penghasil aspal, tapi jalanannya seperti tak beraspal. Parah. Apakah hanya aku yang mepertanyakan kemana aspal Buton? Kulihat wajah-wajah disekitarku merasa nyaman-nyaman saja dengan kondisi ini. Lobang-lobang jalan seakan sudah lazim bagi mereka, dan aku yang gelisah dianggapnya tak lazim.
Dengar-dengar ada undang-undang lalulintas yang baru. Lebih ‘garang’, begitu kata orang-orang. Tujuannya mulia, melindungi masyarakat dari bahaya kecelakaaan. Jadi harus pake helm standart, lampu harus nyala, spion harus lengkap dan lain-lain. Karena bagi Undang-undang itu, yang menentukan keselamatan adalah perlengkapan itu. Tapi saya jadi bingung, bagaimana bisa memaksakan aturan normal di kondisi yang tidak normal? Jalanan yang bergelombang dan berlobang tanpa aspal serta licin seperti ini tentu saja beresiko kecelakaan. Nah, kalau jalan yang rusak, siapa yang harusnya di tilang?. Ah, tapi bukannya jalan yang tak terawat bagi mereka itu lazim.
San, apakah engkau masih bersamaku kini?
Aku tiba di sebuah desa dimana perempuan itu tinggal dan mengabdi. Entah mengabdi pada apa? Mungkin mengabdi pada kelaziman.
Sampuabalo, begitu nama desa itu. Kubertanya pada penduduk, dan diarahkannya aku ke ujung kampung. Berjalan kaki menuju kesana aku, diiringi oleh sorot mata penduduk kampung. Aku orang asing, orang tak lazim. Dalam bisunya itu, mereka seakan bertanya “apakah aku ini maling?”. Sesekali aku dengar mereka berbisik dengan bahasa yang aku tidak mngerti, yang pasti kata-kata mereka banyak menggunkan huruf ‘c’. mungkin itu sebabnya, Perempuan yang akan aku temui ini pernah bilang padaku, bahwa penduduk desa ini adalah dari suku cia-cia.
Sampai juga aku di ujung kampung, dua bangunan agak panjang. Bangunan lusuh, hampir ambruk. Dari kejauhan aku sudah bisa melihat ada langit-langitnya yang ambrol. Ada halaman di salah satu sisi. Luas, cukup untuk anak-anak bermain bola. Di lapangan itu ada tiang yang ujungnya ada bendera. Ternyata disini masih Indonesia juga. Minimal orang-orangnya masih merasa di Indonesia, meskipun si-Indonesia sendiri diragukan pernah kesini lalu melihat ada anak-anak yang ada diruangan itu dengan baju putih dan celana pendek merah hati. Jarang yang bersepatu.
Aku menunggu. Duduk di sudut lapangan di bawah sebuah pohon yang lumayan menyengat. Sesekali aku dimanja oleh angin laut yang ternyata hanya beberapa puluh meter dari tempatku duduk. Bahkan aroma pasir pantai bisa kucium dari tempatku itu.
Anganku melayang. Bertanya. Kenapa perempuan itu mau tinggal disini? Ini jelas tidak lazim bagi perempuan yang cerdas itu?
Hah, ternyata aku sekarang yang terjerumus ke dalam kelaziman, dan menuduh perempuan itu tak lazim. Atau mungkin saja perempuan itu memang satu dunia dengan kita San, dunia ketidak-laziman. Dunia khayal.
Belum selesai tanya itu aku jawab dengan pasti, tiba-tiba ada sorak anak-anak kecil, mereka berhamburan dari dalam ruangan itu. Selesai juga anak-anak itu belajar, waktunya mereka pulang kerumah.
Ada lima ruangan. Lima pintu. Entah kenapa, harusnya SD itu punya enam kelas dan satu kantor. Normalnya, minimal ada tujuh pintu jika ingin disebut Sekolah Dasar. Tapi masa bodoh dengan itu, aku bangkit dari tempat dudukku dan berjalan pelan. Mataku terus mengawasi ke lima pintu itu, aku yakin perempuan itu akan muncul dari salah satu pintu itu. Jalan, jalan, pelan, mata memandang.
Dari kelas paling ujung, ada sosok perempuan muncul. Tidak tinggi tidak juga pendek. Dari kejauhan terlihat kulitnya putih, minimal lebih putih dibanding penduduk setempat. Kupercepat langkahku. Mungkin namanya sudah lari.
Dan betul. Inilah perempuan itu, yang selama ini aku kenal lewat suara dan berbekal kiriman foto yang hanya selembar. Memang, ada sedikit berbeda dengan yang ada di foto, namun aku yakin perempuan ini adalah dia.
Aku sambut dengan senyum ketika sudah satu meter didepannya. Kuatur nafas. Gemetar. Mungkin juga grogi. Tapi, kenapa wajah perempuan itu menjadi sedikit heran. Sepertinya dia tak mengenalku, padahal aku juga pernah mengirimkannya foto. Aku jadi ragu, apakah dia perempuan yang aku cari.
“Kamu Ani kan?” aku memberanikan diri untuk bertanya.
Dijawabnya dengan anggukan ringan namun masih memasang wajah heran, dan sekarang sepertinya wajah itu ketakutan.
“Aku Ali… Aku Ali” kataku untuk meyakinkannya.
Dalam hitungan kurang dari sedetik, wajah ketakutan itu sirna. Seyum lebar, hingga membuat lesung pipinya nampak terlihat. Semakin manis.
Akupun tersenyum, bahagia. Seperti lazimnya mereka-mereka. []
-----
Mengenang Desa Sampuabalo, Kecapamatan Lasalimu, Kab. Buton Sulawesi Tenggara
24 Januari 2010
Hari ini akan aku ceritakan perjalanan panjangku. Pengembaraan menuju kepastian, paling tidak langkahku ini adalah bentuk dari usaha mencari jawaban yang selama ini hanya berupa harapan-harapan.
Bukan kah sebelumnya aku telah menceritakan kepadamu tentang perempuan itu? Perempuan yang akhir-akhir ini telah menyulut harapan demi harapan. Menawarkan masa depan, menjanjikan kehidupan manusia normal. Perempuan yang seakan-akan menjadi pahlawan dikehidupanku –yang menurut manusia normal— adalah kehidupan khayal.
San, kita yang telah bersama-sama belajar membangun dunia esensi, menciptakan kehidupan dengan dimensi sendiri, telah dianggap edan oleh kelaziman. Kita ini tidak lazim bagi mereka. “Kamu mabok, kamu menipu dirimu sendiri” begitu kata mereka kepadaku. Perempuan itu juga pernah berkata seperti itu kepadaku, hingka sempat kita saling beradu kata. Suana pun sempat memanas.
Meskipun aku dan perempuan itu punya dunia berbeda, namun aku tak pernah bisa untuk menjauh darinya. Perempuan itu berada di dunia kelaziman dan aku –seperti juga engkau- hidup di dunia yang tak lazim.
Ya, aku ternyata tak bisa menjauh. Bahkan aku mencoba untuk semakin mendekatinya. Dan hari itu aku memutuskan untuk menghapus jarak. Melangkah, dan melangkah.
Semoga engkau tak bosan mendengar kisahku ini San…
Kupersiapkan bekal seadanya, hanya beberapa lembar baju dan celana. Pagi buta aku menuju bandara Djuanda. Ku pilih penerbangan pertama menuju Kendari.
San…
Ternyata aku masih bumi yang sama. Katulistiwa yang penuh dosa. Di Kendari, matahari sama membakarnya seperti di Surabaya. Ditengah gerahnya badanku, aku mencari informasi tentang alat transportasi menuju pelabuhan. Hanya Taksi angkutan disini, yang pastinya mahal. Ada alternatif lain, ojek. Namun, dari cara mereka menawarkan ojek-nya aku langsung curiga. Memasang tarif seenak perutnya. Sepertinya mereka tahu kalau aku ini orang baru, dan mereka mencoba menipu.
Sakit. Bahkan di kota kecil ini, penyakit tipu menipu juga sudah ada. Selama ini, hanya kota besar seperti Surabaya, Jakarta atau Makassar saja yang dianggap masalah kehidupannya sangat kompleks yang memonopoli kejahatan-kejahatan kacangan seperti itu. Wabah itu sudah sampai disini San, di sebuah kota yang mall saja tidak ada. Dan itulah yang mereka bilang lazim, kamu dan aku yang mempertanyakan hal itu dibilang tidak lazim.
Akhirnya aku memilih Taksi. Perjalanan ternyata lumayan lama, aku coba istirahatkan badanku yang aku rasa sangat lelah. Semalam aku hampir tak bisa tidur, aku diganggu oleh lintasan-lintasan pikir tentang perjalananku ini.
Ternyata aku masih ketiban sial hari ini San, Taksi yang aku tumpangi tak mampu mengejar waktu. Kapal menuju Pulau Buton sudah berangkat dua puluh menit sebelum aku sampai.
Hotel. Aku pilih hotel murahan, entah apa bisa ini disebut hotel?. Tarifnya semalam hanya Rp. 30.000. Semalam sudah cukup, sesuai jadwal, besok pagi ada kapal menuju Buton.
Malem minggu. Seperti di kota-kota lain, biasanya akhir pekan ditempat-tempat tertentu ada keramaian. Kepingin rasanya aku menjoba menjelajah kota ini.
“Malem minggu gini, yang ramai dimana mas?” tanyaku kepada resepsionis hotel.
“Di Kebi mas, naek pete-pete saja dari depan sana” kata pemuda itu sambil menujuk keluar hotel, “Lima menit juga sampai” lanjutnya.
Sampailah aku ditempat yang dimaksud pemuda di hotel tadi. Ternyata hanya sebuah tempat pedagang kaki lima berkumpul. Mungkin bagi orang-orang kota besar, tempat ini statusnya ‘hanya’, namun kalau aku lihat dari antusias orang-orang ini, aku yakin disini memang istimewa.
Ada dua jalur jalan yang dipisahkan oleh sebuah taman kecil dan gelap. Disepanjang sisi jalan banyak pedagang kaki lima, menjual makanan dan minuman. Mampir aku di sebuah kedai. Memesan saraba, kata teman-temanku minuman ini enak. Dan setelah aku coba memang enak.
Mataku menjelajah ke sepanjang sudut taman remang-remang itu. Seperti yang sudah kuduga sebelumnya. Malam minggu, dua orang lawan jenis dan cahaya remang-remang, jika ketiga unsur itu diramu hasilnya adalah mesum. Dan lagi-lagi, ini yang mereka sebut lazim, sementara engkau dan aku yang resah dianggapnya tak lazim.
Dan lamunanku tiba-tiba menuju perempuan yang akan kutemui itu San. Apakah aku akan seperti mereka yang diremang-remang itu? Ah, sepertinya tidak. Aku hanya berniat menyentuh hatinya. Bukan kulitnya. Semoga.
Apakah engkau masih bersamaku San? Semoga engkau masih menyetiaiku.
Kepalaku pusing oleh kelaziman, dan oleh lamunanku tentang perempuan itu. Menuju hotel untuk merebahkan badan.
Sebelum kubuka pintu kamarku. Di kamar sebelah keluar sepasang manusia dengan wajah lelah. Pemuda dan seorang perempuan muda yang aku perkirakan usia sekolah. Berjilbab. Ya, simbol-simbol agama sekarang hanya jadi tren San. Aku malah rindu dengan kerudung Ibu, meskipun bukan jilbab, tapi ibu dan teman-temannya yang hanya menggunakan kerudung itu lebih bisa memegang agama dibanding mereka-mereka yang sekarang lebih tertutup secara fisik.
Ini penyakit apa San? Tapi mereka yang bilang kita ini yang sakit ketika mempertanyakan itu.
****
Pelabuhan Bau-Bau ternyata tak kalah teriknya. Orang disampingku sempat nyeletuk “Mungkin pengatur suhu kota ini lagi rusak”. Perjalanan selama hampir lima jam menggunakan kapal cepat dari Kendari begitu meletihkan, kapal fiber kecil itu berkali-kali dihantam ombak. Rasanya perutku mual.
Selama dikapal aku sempat menanyai beberapa orang, katanya untuk sampai di daerah tempat perempuan yang ingin ku jumpai ini aku harus naik bis lagi. Katanya, butuh waktu 4-5 jam.
Mual akibat goncangan kapal itu sepertinya semakin parah, aku memilih istirahat dikota ini untuk semalam. Lagi-lagi aku memilih hotel murahan untuk menginap, hanya sekedar mencari tempat untuk meluruskan tulangpunggugku.
Panasnya kamar yang tak ber-AC membuatku gerah, tak bisa tidur. Kupilih untuk duduk di depan kamar, mencoba mencari angin yang sepertinya enggan datang. Ditengah asiknya aku membaca majalah usang yang disediakan hotel, aku melihat cewek seksi keluar dari salah satu kamar. Cantik, muda dan bentuk tubuh yang membuat laki-laki akan menelan ludah.
Namun, segera kusudahi perhatianku pada cewek itu. Yang membuat aku kaget, lebih dari ketakjubanku pada cewek yang baru saja lewat didepanku adalah seorang lelaki keluar dari kamar yang sama dengan cewek tadi, hanya berselang sekitar dua menit. Prostitusi memang biasa, namun laki-laki berumur itu masih menggunakan pakaian kerjanya. Sepertinya itu pakaian PNS. Segera kulihat jam dinding, masih jam tiga sore. Belum waktunya pegawai itu keluar kantor. Kemudian mataku menjelajah ke sudut ruangan itu, ada beberapa orang yang menyaksikan apa yang aku saksikan, namun dari raut muka mereka, aku melihat mereka terbiasa dengan ini. Hal ini sudah lazim, dan keherananku ini dianggapnya tak lazim.
****
Sebelum jam delapan aku sudah menuju terminal Lapangan Tembak. Kabarnya bis menuju Lasalimu hanya ada di pagi hari. Hanya ada satu bis yang siap berangkat, aku tak punya pilihan. Aku naik sebuah bus yang umurnya kemungkinan dua kali lipat dibanding umurku. Aku terpaksa hati-hati untuk memegang sumua bagian dari bis ini, takut kena tetanus. Sebab hampir semua bagian dari bis ini sudah berkarat.
San, ternyata perjalanan ini melebihi ombak di kapal cepat kemarin itu. Kursi bis yang tidak nyaman ditambah dengan berdesak-desakan dan bonus aroma khas kemiskinan. Menambah pengap, menambah gundah. Perjalanan ini menyiksa San. Apakah aku sekarang menyesal? Ah, sepertinya bukan. Ini hanya tantangan menuju kenyataan.
Jalanan seakan ombak besar. Aneh juga, Buton yang terkenal sebagai penghasil aspal, tapi jalanannya seperti tak beraspal. Parah. Apakah hanya aku yang mepertanyakan kemana aspal Buton? Kulihat wajah-wajah disekitarku merasa nyaman-nyaman saja dengan kondisi ini. Lobang-lobang jalan seakan sudah lazim bagi mereka, dan aku yang gelisah dianggapnya tak lazim.
Dengar-dengar ada undang-undang lalulintas yang baru. Lebih ‘garang’, begitu kata orang-orang. Tujuannya mulia, melindungi masyarakat dari bahaya kecelakaaan. Jadi harus pake helm standart, lampu harus nyala, spion harus lengkap dan lain-lain. Karena bagi Undang-undang itu, yang menentukan keselamatan adalah perlengkapan itu. Tapi saya jadi bingung, bagaimana bisa memaksakan aturan normal di kondisi yang tidak normal? Jalanan yang bergelombang dan berlobang tanpa aspal serta licin seperti ini tentu saja beresiko kecelakaan. Nah, kalau jalan yang rusak, siapa yang harusnya di tilang?. Ah, tapi bukannya jalan yang tak terawat bagi mereka itu lazim.
San, apakah engkau masih bersamaku kini?
Aku tiba di sebuah desa dimana perempuan itu tinggal dan mengabdi. Entah mengabdi pada apa? Mungkin mengabdi pada kelaziman.
Sampuabalo, begitu nama desa itu. Kubertanya pada penduduk, dan diarahkannya aku ke ujung kampung. Berjalan kaki menuju kesana aku, diiringi oleh sorot mata penduduk kampung. Aku orang asing, orang tak lazim. Dalam bisunya itu, mereka seakan bertanya “apakah aku ini maling?”. Sesekali aku dengar mereka berbisik dengan bahasa yang aku tidak mngerti, yang pasti kata-kata mereka banyak menggunkan huruf ‘c’. mungkin itu sebabnya, Perempuan yang akan aku temui ini pernah bilang padaku, bahwa penduduk desa ini adalah dari suku cia-cia.
Sampai juga aku di ujung kampung, dua bangunan agak panjang. Bangunan lusuh, hampir ambruk. Dari kejauhan aku sudah bisa melihat ada langit-langitnya yang ambrol. Ada halaman di salah satu sisi. Luas, cukup untuk anak-anak bermain bola. Di lapangan itu ada tiang yang ujungnya ada bendera. Ternyata disini masih Indonesia juga. Minimal orang-orangnya masih merasa di Indonesia, meskipun si-Indonesia sendiri diragukan pernah kesini lalu melihat ada anak-anak yang ada diruangan itu dengan baju putih dan celana pendek merah hati. Jarang yang bersepatu.
Aku menunggu. Duduk di sudut lapangan di bawah sebuah pohon yang lumayan menyengat. Sesekali aku dimanja oleh angin laut yang ternyata hanya beberapa puluh meter dari tempatku duduk. Bahkan aroma pasir pantai bisa kucium dari tempatku itu.
Anganku melayang. Bertanya. Kenapa perempuan itu mau tinggal disini? Ini jelas tidak lazim bagi perempuan yang cerdas itu?
Hah, ternyata aku sekarang yang terjerumus ke dalam kelaziman, dan menuduh perempuan itu tak lazim. Atau mungkin saja perempuan itu memang satu dunia dengan kita San, dunia ketidak-laziman. Dunia khayal.
Belum selesai tanya itu aku jawab dengan pasti, tiba-tiba ada sorak anak-anak kecil, mereka berhamburan dari dalam ruangan itu. Selesai juga anak-anak itu belajar, waktunya mereka pulang kerumah.
Ada lima ruangan. Lima pintu. Entah kenapa, harusnya SD itu punya enam kelas dan satu kantor. Normalnya, minimal ada tujuh pintu jika ingin disebut Sekolah Dasar. Tapi masa bodoh dengan itu, aku bangkit dari tempat dudukku dan berjalan pelan. Mataku terus mengawasi ke lima pintu itu, aku yakin perempuan itu akan muncul dari salah satu pintu itu. Jalan, jalan, pelan, mata memandang.
Dari kelas paling ujung, ada sosok perempuan muncul. Tidak tinggi tidak juga pendek. Dari kejauhan terlihat kulitnya putih, minimal lebih putih dibanding penduduk setempat. Kupercepat langkahku. Mungkin namanya sudah lari.
Dan betul. Inilah perempuan itu, yang selama ini aku kenal lewat suara dan berbekal kiriman foto yang hanya selembar. Memang, ada sedikit berbeda dengan yang ada di foto, namun aku yakin perempuan ini adalah dia.
Aku sambut dengan senyum ketika sudah satu meter didepannya. Kuatur nafas. Gemetar. Mungkin juga grogi. Tapi, kenapa wajah perempuan itu menjadi sedikit heran. Sepertinya dia tak mengenalku, padahal aku juga pernah mengirimkannya foto. Aku jadi ragu, apakah dia perempuan yang aku cari.
“Kamu Ani kan?” aku memberanikan diri untuk bertanya.
Dijawabnya dengan anggukan ringan namun masih memasang wajah heran, dan sekarang sepertinya wajah itu ketakutan.
“Aku Ali… Aku Ali” kataku untuk meyakinkannya.
Dalam hitungan kurang dari sedetik, wajah ketakutan itu sirna. Seyum lebar, hingga membuat lesung pipinya nampak terlihat. Semakin manis.
Akupun tersenyum, bahagia. Seperti lazimnya mereka-mereka. []
-----
Mengenang Desa Sampuabalo, Kecapamatan Lasalimu, Kab. Buton Sulawesi Tenggara
24 Januari 2010
Jangan heran ya ,jika seorang perempuan itu sudah bertekad untuk suatu yang namanya sebuah pengabdian.Di mana saja asal sesusai dengan panggilan jiwanya tidak ada suatupun yang dapat menghalang-halanginya.Pengabdian bagi seorang perempuan adalah merupakan tujuan hidupnya,kadang -kadang dia sendiri heran jika orang -orang disekelilingnya menganggap bahwa apa yang dilakukan sesuatu yang aneh.Peristiwa ini pernah penulis alami sendiri bahwa hanya ingin menjadi seorang guru di tahun tujuhpuluhan , harus dicerca habis-habisan oleh keluarga, karena seperti apa yang sering kita dengar bahwa menjadi seorang guru pada saat itu adalah hal yang mustahil bagi seorang gadis yang biasa hidup berkecukupan, semua orang bilang apa yang bisa diharapkan dari gaji seorang guru. Tidak bisa dibayangkan menjadi seorang guru SD di Kalimantan Timur,yang ketika itu meskipun berada di Ibukota nya ,namun Surat Tugas yang diterimanya berada di suatu tempat jauh dari kota .Di sebuah kampung yang masih sepi ,melewati jalan setapak dan di kiri kanan jalan masih berupa hutan meskipun sudah ada rumah-rumah penduduk satu dua ,namun toh semua itu tidak menyurutkan tekadnya.Sebetulnya penulis tidak sendiri tugas di tempat tersebut Ada tiga orang lagi temannya semuanya perempuan dan semuanya bisa dikatakan sebagai anak daerah Kalimantan sendiri,tapi entahlah apa yang menyebabkan mereka tidak mau melaksanakan tugasnya tersebut,dalam hati penulis hanya berdoa semoga cepat-cepatlah penulis mendapat teman sekerja yang sudi bekerja tanpa memperhitungkan lagi untung rugi ,bearada di suatu tempat jauh dari kemewahan dunia ini, bukannya sejak awal kita sudah mengetahui jika ingin menjadi guru kita rela akan bertugas di manapun negara ini membutuhkan kesedian kita, ya begitulah manusia sering lupa janji-janjinya.
BalasHapusAyah, ya ....malam ini tak sekejappun mataku terlelap ,kucoba tuk mengingat mengapa diriku berada di tempat ini ? dirimu ayah ,kerinduanku padamu yang mnyebabkan diriku berada di Kalimantan ini.Bagaimana aku bisa lupa pada mu ayah ,Engkaulah satu-satunya mahkluk yang paling memahami mengerti,dan tak bosan mendengarkan segala uneg-uneg yang setiap hari bertumpuk di batok kepalaku ini yang tak bisa kuceritakan pada sembarang orang ,kau tahu kan ayah putrimu ini ,suka njengkelin ....saya sadar kok ,kenapa ayah namakan diriku seorang puteri yang diharapkan jadi pelipur laramu di hari tuamu hayoooo,hal ini betul-betul terjadi padaku,dan membuat bojoku suka bingung...he he,maaf ya Ayah kelakuanku tetap seperti dulu ,kalau rindu seseorang kapanpun pasti ingin berjumpa detik itu juga,ga sembuh-sembuh ayah ,seperti sering kulakukan jika aku dulu suka rindu padamu,ingatkan Ayah asal sudah kulihat wajahmu yang teduh,ganteng ,murah senyum dan mendengar suaramu jika selalu kutanya ,sudah makan ? sudaaah itu selalu jawabmu sambil meneruskan permainan caturmu ,kembali aku lari pulang karena cucu-cucumu pasti ngamuk jika mereka pulang tak di lihatnya ibunya di rumah,tahukah ayah apa yang dilakukan Anakku ketika itu ,melempari rumah dengan sepatu sekolahnya ,dan aku hanya tertegun saja melihat kelakuannya,kenapa ya ayah kok saya ini sabaaaar betul jadi seorang ibu? ga bisa marah persis ayah padaku....hanya penuh pengertian ,selalu memahami keadaan,selalu tersenyum ,dan hal yang kulakukan sering membuat teman-temanku geregetan...emang gue pikirin ya Ayah,anak-anakku sendiri .Ayah sepertinya sulit bagiku untuk mengakui bahwa sekarang ini kau telah pergi....sepertinya baru kemarin kuantar ke dokter Sugondo ,dokter kelurga kita,dan dokter bilang agar ayah istirahat yang tenang kan yah, malam itu kita bertiga mengantarmu kerumah sakit kan? sungguh yah aku amat menyesal kurang memperhatikanmu,masih saja aku sibuk dengan murid-muridku sampai-sampai aku tak menyadari bahwa dirimu betul-betul membutuhkan ku,maafkan kalau aku lalai ja Yah....bukan maksudku seperti itu,bukannya ayah sendiri yang mengajarkan tentang semua itu? bekerja dengan baik nduk,tulus ikhlas jangan takut semua Allah yang menghitungnya ,jangan mudah putus asaCintai pekerjaanmu sepenuh jiwa ya kan yah,lakukan semua sesuai dengan hati nurani,jadilah apapun tapi yang terbaik betulkan Yah ? masih kuingat ayah semuaaaanya ,jangan khawatir aku tetap putrimu seperti dulu kok ,yang keras kalau sudah ada maunya sepertimu kan ?dah yah nanti disambung lagi ya mau ngajar yah .
BalasHapusAyah,aku masih ingat ketika itu bulan Juni tahun 90 an ,rumahku penuh anak murid yang ingin belajar menari untuk perpisahan sekolahku....dirimu datang kelihatan pucat ,letih namun kau bilang tidak apa-apa , kubuatkan minum kopi ginastel kesukaanmu itu yah,kopi yang panassss, manis dan kentel terus kau masuk kamar tamu ,kupikir seperti biasa kan ayah istirahat sambil baca-baca koran atau sering baca-baca kamus Jepang iya kan yah
BalasHapus