Ditulis Oleh : Mohamad Sobary
Abdi itu posisi sosial seseorang dalam relasi kekuasaan yang bersifat patron-klien. Kita boleh menyebutnya relasi Tuan-hamba. Sang Tuan (patron) memegang kekuasaan sangat besar, si hamba (klien) sebaliknya.
Kekuasaan hamba terbatas dalam ”bingkai” perintah. Esensinya ia memenuhi perintah Tuan tanpa tawar-menawar. Kebebasannya hanya pada cara. Ketika tugasnya mengantar surat, misalnya, dia boleh berlari, boleh berjalan, boleh pula naik kendaraan (kalau ada ongkosnya).
Konsep abdi berasal dari satuan sosio-kultural lokal-tradisional. Di keraton-keraton Jawa ada abdi dalem. Kecuali abdi, dikenal pula posisi batur. Di dunia Melayu, abdi atau batur itu disebut hamba atau hamba sahaya.
Para bangsawan lokal-tradisional tadi mengalami keguncangan sosial ketika posisi mereka disaingi oleh ”bangsawan” baru bernama ”pangreh” praja. Di zaman kemerdekaan, ”pangreh”, dari ”pa-ngereh”, tukang ”nyuruh-nyuruh”, diganti lebih berwajah egaliter menjadi ”pamong praja”. Tugas pejabat dengan begitu bukan ”ngereh”, atau ”nyuruh” melainkan ”mengemong” atau memberi perlindungan rakyat.
Ketika konsep abdi, yang lokal-tradisional tadi ditransfer ke dalam percaturan nasional-modern, dan status pegawai negeri dan pejabat negara berubah lagi menjadi abdi masyarakat, abdi negara, keruwetan tata laksana pemerintahan belum dengan sendirinya selesai.
Kita masih bertanya: abdi kita ini abdi yang setia, taat, dan amanah, yang memandang kerja sebagai panggilan jiwa, bahkan kerja itu ibadah, yang menuntut kesalehan, ataukah ia abdi yang culas seperti Ken Arok, yang membungkuk-bungkuk sebagai abdi, tapi menghunus keris dan menikam dada dan jantung kita?
Pertanyaan belum terjawab. Kita belum bebas dari hegemoni dan kerancuan konsep abdi. Ibarat kata, luka lama masih menganga. Kita butuh perawat, dengan segenap kelembutan dan selendang sutra di tangannya.
Mereka yang berorientasi pada ajaran, dan mencari energi budaya di dalamnya sebagai pegangan, sering menoleh kembali ke Abu Bakar Shiddiq dan menjadikannya tipe ideal seorang pemimpin. Ia tegas membedakan antara urusan pribadi dan urusan publik. Di zaman itu belum ada organisasi modern, dengan birokrasinya yang sangat transparan.
Sistem kontrol modern belum ada. Dan posisinya sebagai khalifah memungkinkannya untuk korup. Tapi kontrol itu datang bukan dari mekanisme birokrasi, melainkan dari jiwanya yang amanah, terbuka, dan adil.
Hukum wajib ada buat mengatur masyarakat. Ia sendiri sudah memiliki hukum lain yang datang dari rasa tanggung jawab etis di dalam jiwanya. Sikap etis lebih mendalam, otentik, tak menipu, dan memenuhi rasa keadilan.
Di masyarakat kita, taat hukum boleh jadi sekadar memenuhi prosedur hukum, yang ”dibuat”, atau ”dibuat-buat”. Ini ketaatan manipulatif, yang bertentangan dengan rasa keadilan.
Betapa mengenaskannya. Maka, sekarang ini, Republik Indonesia membutuhkan orang yang serius, memiliki konsep, dan kepedulian yang dalam untuk menjadi pelopor membenahi jantung kehidupan bangsa yang namanya birokrasi. Karena di dalamnya para aktornya sudah telanjur disebut abdi, maka semua pihak diminta tahu apa artinya menjadi seorang abdi, dan bagaimana berperilaku sebagai abdi.
Dalam Lokakarya Nasional Reformasi Birokrasi di Yogya, Rabu dan Kamis, 21 dan 22 September lalu, Menneg PAN Taufiq Effendi mengulang-ulang apa makna dan tugas abdi.
”Abdi bertugas melayani dengan baik, dengan kesetiaan, dan jangan membikin tuan kecewa, apalagi marah. Pelayanan diberikan bukan karena diminta, melainkan karena memang sudah tugasnya. Kuncinya, melayani dengan baik dan setia itu,” katanya.
Para pejabat daerah seluruh Indonesia, yang hadir dengan pakaian seragam itu, menyimak dan sibuk mencatat ucapan sang Menteri.
Tiap pejabat daerah dimintanya menyusun apa keluhan dan harapan masyarakat. Pelan-pelan keluhan itu dikurangi, dan harapan dipenuhi.
”Jadikan birokrasi Anda masing-masing sebagai sarana mengabdi. Birokrasi bisa dibikin berwajah manusiawi. Pelayanan jangan bersifat kapitalistik, tapi bersemangat mengabdi.”
Di luar forum ia bicara bahwa dalam Islam ada konsep azan: peringatan dan panggilan shalat. Tiap saat azan diulang. Bahkan ada pula khotbah, juga untuk mengingatkan.
Dalam birokrasi, manusia perlu diimbau, dipuji, ditegur, dimarahi, atau sekadar disindir dengan lambang-lambang yang kita kenal dalam komunikasi sehari-hari.
”Tugas saya mengingatkan dan mengontrol. Jangan lupa tugas kita mengabdi. Jadilah abdi yang baik.”
Saya tersenyum. Pak Menteri, kalau kita tak bisa menjadi abdi yang baik dalam birokrasi, kita bisa beralih profesi. Tapi kalau kita gagal menjadi abdi yang lain: abdillah, abdinya Allah, mau menjadi apa kita?
----
Minggu, 25 September 2005 Abdi itu posisi sosial seseorang dalam relasi kekuasaan yang bersifat patron-klien. Kita boleh menyebutnya relasi Tuan-hamba. Sang Tuan (patron) memegang kekuasaan sangat besar, si hamba (klien) sebaliknya.
Kekuasaan hamba terbatas dalam ”bingkai” perintah. Esensinya ia memenuhi perintah Tuan tanpa tawar-menawar. Kebebasannya hanya pada cara. Ketika tugasnya mengantar surat, misalnya, dia boleh berlari, boleh berjalan, boleh pula naik kendaraan (kalau ada ongkosnya).
Konsep abdi berasal dari satuan sosio-kultural lokal-tradisional. Di keraton-keraton Jawa ada abdi dalem. Kecuali abdi, dikenal pula posisi batur. Di dunia Melayu, abdi atau batur itu disebut hamba atau hamba sahaya.
Para bangsawan lokal-tradisional tadi mengalami keguncangan sosial ketika posisi mereka disaingi oleh ”bangsawan” baru bernama ”pangreh” praja. Di zaman kemerdekaan, ”pangreh”, dari ”pa-ngereh”, tukang ”nyuruh-nyuruh”, diganti lebih berwajah egaliter menjadi ”pamong praja”. Tugas pejabat dengan begitu bukan ”ngereh”, atau ”nyuruh” melainkan ”mengemong” atau memberi perlindungan rakyat.
Ketika konsep abdi, yang lokal-tradisional tadi ditransfer ke dalam percaturan nasional-modern, dan status pegawai negeri dan pejabat negara berubah lagi menjadi abdi masyarakat, abdi negara, keruwetan tata laksana pemerintahan belum dengan sendirinya selesai.
Kita masih bertanya: abdi kita ini abdi yang setia, taat, dan amanah, yang memandang kerja sebagai panggilan jiwa, bahkan kerja itu ibadah, yang menuntut kesalehan, ataukah ia abdi yang culas seperti Ken Arok, yang membungkuk-bungkuk sebagai abdi, tapi menghunus keris dan menikam dada dan jantung kita?
Pertanyaan belum terjawab. Kita belum bebas dari hegemoni dan kerancuan konsep abdi. Ibarat kata, luka lama masih menganga. Kita butuh perawat, dengan segenap kelembutan dan selendang sutra di tangannya.
Mereka yang berorientasi pada ajaran, dan mencari energi budaya di dalamnya sebagai pegangan, sering menoleh kembali ke Abu Bakar Shiddiq dan menjadikannya tipe ideal seorang pemimpin. Ia tegas membedakan antara urusan pribadi dan urusan publik. Di zaman itu belum ada organisasi modern, dengan birokrasinya yang sangat transparan.
Sistem kontrol modern belum ada. Dan posisinya sebagai khalifah memungkinkannya untuk korup. Tapi kontrol itu datang bukan dari mekanisme birokrasi, melainkan dari jiwanya yang amanah, terbuka, dan adil.
Hukum wajib ada buat mengatur masyarakat. Ia sendiri sudah memiliki hukum lain yang datang dari rasa tanggung jawab etis di dalam jiwanya. Sikap etis lebih mendalam, otentik, tak menipu, dan memenuhi rasa keadilan.
Di masyarakat kita, taat hukum boleh jadi sekadar memenuhi prosedur hukum, yang ”dibuat”, atau ”dibuat-buat”. Ini ketaatan manipulatif, yang bertentangan dengan rasa keadilan.
Betapa mengenaskannya. Maka, sekarang ini, Republik Indonesia membutuhkan orang yang serius, memiliki konsep, dan kepedulian yang dalam untuk menjadi pelopor membenahi jantung kehidupan bangsa yang namanya birokrasi. Karena di dalamnya para aktornya sudah telanjur disebut abdi, maka semua pihak diminta tahu apa artinya menjadi seorang abdi, dan bagaimana berperilaku sebagai abdi.
Dalam Lokakarya Nasional Reformasi Birokrasi di Yogya, Rabu dan Kamis, 21 dan 22 September lalu, Menneg PAN Taufiq Effendi mengulang-ulang apa makna dan tugas abdi.
”Abdi bertugas melayani dengan baik, dengan kesetiaan, dan jangan membikin tuan kecewa, apalagi marah. Pelayanan diberikan bukan karena diminta, melainkan karena memang sudah tugasnya. Kuncinya, melayani dengan baik dan setia itu,” katanya.
Para pejabat daerah seluruh Indonesia, yang hadir dengan pakaian seragam itu, menyimak dan sibuk mencatat ucapan sang Menteri.
Tiap pejabat daerah dimintanya menyusun apa keluhan dan harapan masyarakat. Pelan-pelan keluhan itu dikurangi, dan harapan dipenuhi.
”Jadikan birokrasi Anda masing-masing sebagai sarana mengabdi. Birokrasi bisa dibikin berwajah manusiawi. Pelayanan jangan bersifat kapitalistik, tapi bersemangat mengabdi.”
Di luar forum ia bicara bahwa dalam Islam ada konsep azan: peringatan dan panggilan shalat. Tiap saat azan diulang. Bahkan ada pula khotbah, juga untuk mengingatkan.
Dalam birokrasi, manusia perlu diimbau, dipuji, ditegur, dimarahi, atau sekadar disindir dengan lambang-lambang yang kita kenal dalam komunikasi sehari-hari.
”Tugas saya mengingatkan dan mengontrol. Jangan lupa tugas kita mengabdi. Jadilah abdi yang baik.”
Saya tersenyum. Pak Menteri, kalau kita tak bisa menjadi abdi yang baik dalam birokrasi, kita bisa beralih profesi. Tapi kalau kita gagal menjadi abdi yang lain: abdillah, abdinya Allah, mau menjadi apa kita?
----
Share
ya sulit juga ya kalau kita ini sudah nggak peduli lagi dengan warisan para Suhada yang rela mengorbankan jiwa raga demi kejayaan negeri ini, Pengorbanan mereka serasa sia -sia jika di dada tiap-tiap warga negara tidak ada lagi semangat 45 yang merupakan warisan leluhur ,berharap di era kemerdekaan ini kitalah yang seharusnya melanjutkankan cita-cita mereka agar jiwa pengabdian ini berlanjut,kesejahteraan yang ada dapat menyentuh ke segala penjuru Nusantara secara merata,
BalasHapus