OTAK, instrument pikir akan menghasilkan output untung - rugi, mungkin - mustahil dan benar - salah (berdasarkan ukuran-ukuran yang diciptakan manusia sendiri). Sedang HATI, instrument rasa akan menghasilkan output manfaat - mudlarat, pantas - wagu dan etis - tidak etis (bersarkan inspirasi yang diperoleh dari Sang Pencipta). Otak dan hati adalah dua perangkat yang berbeda. Ketika kita menyiapkan waktu dan ruang di hati untuk menyongsong datangnya inspirasi maka tinggalkan otak, berhentilah berpikir agar inspirasi lebih cepat masuk ke dalam relung hati.

(Pujo Priyono)

===================================================

28 Januari 2010

Gus Dur


Ditulis Oleh : Goenawan Mohamad

Ketika Mahatma Gandhi wafat, ia—yang selama hidupnya antikekerasan dimakamkan dengan upacara militer. Ironis, mungkin juga menyedihkan: bahkan seorang Gandhi tak bisa mengelak dari protokol kebesaran yang tak dikehendakinya.

Seorang tokoh besar yang wafat meninggalkan bekas yang panjang, seperti gajah meninggalkan gading. Kadang-kadang ia hadir sebagai ikon: sebuah tanda yang memberikan makna yang menggugah hati karena melebihi kehendak kita sendiri. Kadang-kadang sebagai simbol: sebuah tanda yang maknanya kita tentukan, tak perlu menggugah hati lagi, namun berguna untuk tujuan kita yang jelas.

Sebuah ikon adalah sebuah puisi. Sebuah simbol: alat. Keduanya saling menyilang tak henti-hentinya.

”Pahlawan mati hanya satu kali,” kata orang hukuman dalam lakon Hanya Satu Kali, yang disebutkan sebagai terje­mahan sebuah karya John Galsworthy tapi yang tak pernah saya ketahui yang mana.

27 Januari 2010

Bu Multi, Pak Mahmud dan Mas Marjo


Ibu Multi, begitulah penduduk kampung memanggil dia. Padahal, nama aslinya adalah Murti. Namun, karena dia tidak fasih mengucapkan huruf “r”, dan kedengarannya malah seperti huruf “l”. Dan jadilah nama Murti berubah menjadi Multi.

Ibu Multi memang punya multi talenta, multi kegiatan dan multi-multi lainnya. Hal paling menarik adalah kesediaan bu Multi merawat anak-anak miskin dan yatim yang ada di sekitarnya, padahal kalau dilihat dari keadaan ekonomi dia, bu Multi bukan orang kaya.

Pekerjaan utamanya adalah penjahit pakaian. Kalau pesanan lagi sepi, bu Multi bisa jadi apa saja. Jadi apapun tanpa malu dikerjakannya, asalkan bisa mendatangkan rejeki. Sejak suaminya meninggal lima tahun yang lalu, bu Multi hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri.

Meskipun begitu, bu Multi tak bisa disebut miskin. Entah, karena keuletannya sehingga rejeki lancar atau gayanya yang memang kadang-kadang sok kaya. ‘Sok’ bukanya merasa kaya, namun lebih tepatnya tidak mau kelihatan susah. Sombong dan bersyukur hanya dibedakan oleh garis tipis jika kita perhatikan bu Multi. “ya lugi toh, sudah susah koq melasa susah” begitu kata bu Multi.

25 Januari 2010

Lazim


Kepada Sahabatku : Santi.

Hari ini akan aku ceritakan perjalanan panjangku. Pengembaraan menuju kepastian, paling tidak langkahku ini adalah bentuk dari usaha mencari jawaban yang selama ini hanya berupa harapan-harapan.

Bukan kah sebelumnya aku telah menceritakan kepadamu tentang perempuan itu? Perempuan yang akhir-akhir ini telah menyulut harapan demi harapan. Menawarkan masa depan, menjanjikan kehidupan manusia normal. Perempuan yang seakan-akan menjadi pahlawan dikehidupanku –yang menurut manusia normal— adalah kehidupan khayal.

San, kita yang telah bersama-sama belajar membangun dunia esensi, menciptakan kehidupan dengan dimensi sendiri, telah dianggap edan oleh kelaziman. Kita ini tidak lazim bagi mereka. “Kamu mabok, kamu menipu dirimu sendiri” begitu kata mereka kepadaku. Perempuan itu juga pernah berkata seperti itu kepadaku, hingka sempat kita saling beradu kata. Suana pun sempat memanas.

Meskipun aku dan perempuan itu punya dunia berbeda, namun aku tak pernah bisa untuk menjauh darinya. Perempuan itu berada di dunia kelaziman dan aku –seperti juga engkau- hidup di dunia yang tak lazim.

Ya, aku ternyata tak bisa menjauh. Bahkan aku mencoba untuk semakin mendekatinya. Dan hari itu aku memutuskan untuk menghapus jarak. Melangkah, dan melangkah.

23 Januari 2010

Mas Ali

“Kamu akan menggunakan konsep pikir yang mana lagi?” Suara itu parau, seperti menahan tangis. “Segera jelaskan padaku, engkau akan berteori apa lagi tentang rasa ini…?” semakin terasa ada isak yang coba ia tahan. “Ini namanya cinta, goblok…!” akhirnya meledak juga amarahnya, sejurus kemudian air mata mulai menetes.

Ali yang diajak bicara hanya diam. Sesekali matanya terpejam. Itu hanya pejaman mata biasa atau upaya menahan gelisah, Ani tak bisa mengetahuinya. Air muka Ali yang begitu biasa saja, raut muka seperti sebelum-sebelumnya, sepertinya kemarahan dan tangisan Ani tak mampu menggoyahkan ‘kedataran’ sikapnya.

“Bicaralah mas… jelaskan padaku, aku ingin kau jelaskan akan mas tempatkan dimana makhluk yang bernama cinta ini? Ceritakan padaku, seperti engkau jelaskan tentang status makhluk yang bernama sedih, gembira, sakit atau yang lainnya…. Kenapa mas tak bisa berkata apa-apa tentang rasa yang ini?”

Memang, sebelumnya Ali pernah menceritakan bahwa manusia itu makhluk paling mulia, tingkatannya paling tinggi diantara makhluk Allah yang lain. Bagi Ali, segala sesuatu selain Tuhan itu adalah makhluk. Termasuk rasa sedih, gembira, nafsu atau apapun itu adalah makhluk, dan makhluk-makhluk itu ‘posisi’-nya berada dibawah manusia. “Derajat manusia itu lebih tinggi dibanding makhluk yang bernama sedih, jadi kamu jangan mau dikendalikan rasa sedihmu… harusnya kamu yang mengendalikan rasa sedihmu itu” kata Ali suatu hari saat ‘menceramahi’ Ani yang sedang kalut dilanda kesedihan.

“Ya…!!! Mas boleh bilang sekarang ini aku gagal menguasai rasaku itu, aku dikendalikan oleh rasaku… bukannya aku yang mengendalikan rasaku…” Ani terhenti oleh isaknya, lalu membersihakan air matanya yang semakin menderas jatuh. “Aku tidak bisa sekuat mas, setegar kamu, sekokoh batu…!! Ya, Mas itu seperti Batu…!!” Suara Ani semakin meninggi.

Sepertinya Ani lepas kendali. Benar-benar lepas kendali. Ani yang dikenal perempuan kalem, namun kadang ceria itu tiba-tiba ‘mampu’ mengeluarkan kata dengan nada seperti itu. Meskipun demikian, Ali masih belum mau untuk bereaksi. Sepertinya dia membiarkan sahabatnya yang sekarang ‘ketahuan’ telah jatuh cinta padanya itu untuk melampiaskan dan mengeluarkan semua kegelisahannya.

16 Januari 2010

Rebonding Haram

Rekomendasi –kalau tidak/belum boleh disebut fatwa— tentang haramnya pelurusan rambut dikeluarkan oleh forum santri, dimana sedikitnya ada 258 santri dari 46 pondok pesantren se-Jawa Timur dan Madura menggelar musyawarah bersama di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri. Beredarnya berita tentang rebonding haram itu memancing bermacam tanggapan.

Bagi saya, respon paling menarik adalah dari sahabat saya. Di status Facebook-nya, cewek berjilbab itu menulis : ”rebonding dikatakan haram, foto pre-wedding?? haram jg, iikhh.... kurang ide banget... hal2 yg bgtu malah diurusin, msh banyak hal2 lain yg lbh penting.. tuuh byk wanita2 miskin dilarang melahirkan d rmh sakit, knp tdk itu sj yg diurusi wahai bapak ibu yg kurang kerjaan????......”.

Saya tidak dalam posisi untuk menanggapi tentang fatwa, rekomendasi, hasil diskusi atau apapun itu namanya. Yang bermusyawarah itu santri, sementara saya cuma anak jalanan. Jadi sangat tidak pantas saya untuk “ikut campur” tentang hasil diskusi mereka itu. Ilmu-ku tertinggal ribuan kilometer dari mereka. Saya hanya tertarik dengan komentar sahabat saya itu.

Ada dua kata kunci dalam kasus pengharaman dan tanggapan dari saudara saya itu. Yang pertama adalah “haram”, dan yang kedua “miskin”. Haram, halal, mubah, subhat dan lain-lain adalah bahasa moral, bahasa ritual. Sementara miskin, kesejahteraan dan sebangsanya adalah bahasa sosial.

Saya jadi ingat tentang kisah Ali Sadikin yang dicerca karena mengijinkan judi untuk memperoleh pajak, dan hasil pajak itu digunakan untuk meningkatkan pendidikan. Ali Sadikin mengenyampingkan urusan moral (judi) untuk sebuah tujuan sosial (pendidikan rakyat). Ditengah kritikan –terutama dari kalangan ulama— Bang Ali Sadikin melakukan pembelaan, “Saya mengerti keberatan moral kaum ulama” katanya. “Tapi saya ini Gurbernur, bapak dari sekian juta anak-anak usia sekolah yang membutuhkan pendidikan. Untuk itu diperlukan gedung-gedung. Judi saya ijinkan karena saya tidak tega membiarkan mereka terlantar tanpa memperoleh bekal pendidikan. Kelak, di depan tuhan, selain tanggung jawab moral, saya juga diminta tanggung jawab sosial, mengapa saya terlantarkan mereka. Dan itu yang membuat saya takut”.

15 Januari 2010

Penjara


Ayin dan properti mewahnya menjadi salah satu menu istimewa di beberapa media akhir-akhir ini. Dia berhasil menyulap ruang tahanannya menjadi ruangan yang kemewahannya hanya bisa ditandingi oleh kamar hotel bintang lima. Hampir semua orang terperanjak kaget mendengar berita itu. “enak bener dia, dipenjara tapi masih bisa hidup mewah?” kata salah satu temanku.

Saya sendiri sempat juga merasa gregetan dengan hal itu, meskipun sebenarnya kabar miring tentang kondisi penjara kita sering saya dengar, tapi tetap saja “sihir ala Ayin” itu melebihi kabar berita yang saya dengar sebelumnya. “Penjara koq ada AC-nya..?” tanyaku dalam hati. Dipenjara, tapi masih bisa menikmati fasilitas-fasilitas serta pelayanan yang –bagi saya— super mewah seperti itu.

Dalam beberapa hari sejak terbongkarnya kasus itu, saya dan temen-temen saya terus saja ngedumel. Jengkel, gemes, mungkin juga sedikit marah becampur aduk. Rasanya pengen banget njewer mereka-mereka itu.

“Kenapa kamu marah?” Tanya Kang Slamet.

“Ya karena fasilitas mewah itu Kang…” jawabku ketus.

“Iya, saya ngerti… tapi coba analisa jauh ke dalam hatimu… apa alasan kamu sampai jengkel? Apa yang mendasari dirimu untuk gemes sama mereka-mereka itu?”

“Saya nggak ngerti maksud sampeyan Kang…”

Kang Slamet diam, dahinya mengkerut. Mungkin dia lagi mencari kata-kata yang lebih sederhana untuk bisa aku mengerti.

“Emangnya dipenjara ga boleh senang ya?” Tiba-tiba Kang Slamet bertanya.

“Ya boleh lah Kang…”

“Trus kenapa kamu marah liat para narapidana kaya itu mencoba mencari kesenangan?”

“Itu tidak adil Kang…!!!” Kataku agak membentak. Namun dibalas Kang Slamet hanya dengan senyumannya yang khas itu.

Aku heran dengan senyuman itu. Aku merasa kang Slamet menyimpan sesuatu dibelakang pertanyaannya itu. Diam-diam aku merasa terjebak, bener juga kata beliau, sebenarnya yang mendasari kemarahanku ini apa?

“Benerkah karena rasa keadilan yang membuatmu marah? Kemudian, keadilan yang mana yang kamu maksud?” Kang Slamet menghela nafasnya sejenak. “Kebobrokan mental para petugas penjara sebenarnya sudah jauh-jauh hari kita dengar, dan hanya kita dengar saja. Kemudian paling jauh kita respon dengan mengelus dada saja, lalu kabar tersebut sambil lalu dari pikiran kita”

Aku tidak merespon kalimat Kang Slamet itu, kebingungan masih mendominasi lintasan-lintasan pikirku.

“Sangat memungkinkan rasa ketidakadilan yang kamu rasakan itu bentuknya berupa rasa iri, kenapa Ayin bisa ‘membeli’ mereka dengan sangat mudah… ya, rasa iri. Kemarahanmu sebenarnya hanya iri bin cemburu, kenapa Ayin bisa sangat begitu kaya dan mampu berkuasa sedemikian rupa dengan kekayaanya itu… Kalo kita tanya pada diri sendiri, jika saja kita diposisi dia, apakah kita mampu untuk menahan diri untuk tidak seperti Ayin jika punya duit banyak?”

“Kemungkinan ke dua, sudah melengket di kerak-kerak otak kita bahwa yang namanya penjara itu harus tersiksa orang-orang didalamnya. Harus kejam. Sehingga bisa saja saya simpulkan bahwa kemungkinan kita ‘diam’ saja saat mendengar cerita tentang kebobrokan mental para sipir penjara itu karena kita ‘mengijinkan’ itu sebagai balasan atas para narapidana itu. Kemudian, kita marah melihat ada sel sempit dihuni oleh 15 sampai 20 narapidana, sementara Ayin menempati ruangan mewah berukuran luas… dalam otak kita, harusnya penjara ya harus menghuni sel sempit, harus tersiksa…”

“Kalau tidak ada kasus ini, kita tidak akan marah jika saja ada sel sempit yang layaknya hanya bisa dihuni oleh 5 orang tapi ‘dipaksakan’ oleh petugas itu untuk dihuni 15 orang… karena kabar tentang penjara yang kapasitas sebenarnya 500 narapidana tapi dihuni 1500 narapidana sudah pernah kita dengar sebelumnya, tapi respon kita tidak seheboh ini”

“Narapidana ‘tukang sihir’ itu salah, begitu juga para pemimpinan yang bertanggungjawab di penjara itu… tapi boleh juga kalau kita sedikit meluangkan waktu sejenak untuk bercermin, mungkin saja kita ini termasuk dalam daftar orang-orang yang patut dipersalahkan?” Kang Slamet menutup pembicaraan ini dengan begitu saja meninggalkan aku yang masih bingung dengan apa yang beliau katakan.

“Sampeyan itu tadi ngomong apa toh Kang…” Gumamku dalam hati.

---
Tembagapura, 15 Januari 2009

14 Januari 2010

Sumpah

Konon kabarnya, kalau kita mendengar orang sudah bersumpah atas nama Tuhan, kita tidak boleh tidak percaya atau dengan bahasa lain ‘diharamkan’ untuk meragukan kebenaran atas ucapan orang itu. Kalau dinilai dari dimensi hukum agama (fiqh), saya tidak mengerti apakah kabar itu benar atau tidak. Tapi kalo menggunakan jurus utak atik pikir, saya sedikit banyak percaya dengan kabar itu.

Kalo saja ada orang yang dengan berani menggunakan nama Allah untuk maksud tujuan yang jelek, saya yakin Allah akan melakukan sesuatu. Minimal Allah akan menjewernya, kalau tidak di dunia, pasti akan dijewer di akhirat nanti. Jadi saya mengambil posisi untuk sesegera mungkin melepaskan kecurigaan saat seseorang mengatasnamakan Allah. Kalaupun saya nanti tertipu, biarlah dia berurusan dengan Allah. Toh, Allah kan juga mahir dalam tipu daya. Saya takut jika ada orang sudah bilang “Demi Allah”, tapi hati saya masih dikuasai oleh rasa curiga dan tidak percaya, bisa jadi rasa curiga itu timbul dari keraguanku atas Allah.

Namun sekarang ini lagi ngetren simbol-simbol agama digunakan untuk saling serang. Saya pernah jumpai dua kelompok yang bedang bertikai, dan keduanya saling meneriakkan “Allahuakbar….!!”. Saya tersenyum mendengar pekikan-pekikan itu, dalam pikiran saya “Apa malaikat nggak bingung kalo dua-duanya menggunakan nama Allah seperti itu, mereka (malaikat-malaikat itu) mau bela yang mana?”

Begitu pula dengan sumpah. Semua orang tiba-tiba bersumpah, ada juga yang sama-sama bersumpah ditempat yang sama namun apa yang di ucapkan saling bertentangan. Kalau sudah seperti ini yang bingung saya. Saya tidak bisa menggunakan “metode” penyikapan seperti yang sebelumnya saya sebutkan diatas. Karena saya harus memilih mana yang saya yakini benar, dan secara tidak langsung saya akan menggunakan logika, akal, hati dan segala kemampuan yang ada dalam diri saya –meskipun sebenarnya apa yang ada dalam diri saya sangatlah terbatas– untuk menganalisa dan akhirnya menentukan pilihan.

Disisi lain, terlepas dari siapa yang benar dan siapa yang bersumpah palsu saya melihat ada fenomena –yang bagi saya— baru. Bahwa Tuhan begitu sangat “murah”, sehingga tanpa ada beban orang berani mengatasnamakan Dia untuk hal-hal yang jelek. Tidak ada rasa takut sedikitpun terhadap murka Tuhan, mereka memilih menggunakan Tuhan sebagai ‘saksi’ atas sumpah-sumpah mereka demi menyelamatkan diri dari rasa malu kepada manusia.

Saya pernah dengar Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) berpesan, dengan nada sedikit bercanda dia bertanya “Sampeyan pilih mana, anak perempuan sampeyan tidak dicintai, tidak dinikah sampai tua atau anak sampeyan di kawini, dikasih I love you, tapi dimain-mainkan?”. Hampir semua anggota forum memilih pilihan pertama, tidak nikah sampai tua. Cak Nun kemudian melanjutkan “(mungkin) begitu juga dengan Tuhan, lebih baik sampeyan kafir semua, dosa sampeyan cuma satu… daripada ngaku ber-Tuhan tapi main-main dengan Tuhan”.

Pandangan masyarakat pada nilai-nilai agama sepertinya mengalami penurunan. Dengan beraninya orang –penduduk negara yang katanya bertuhan ini— “meminjam” nama Tuhan untuk melakukan pembenaran atas apa yang dilakukannya, bagi saya merupakan tanda-tanda dimana Tuhan sudah mulai di-skunder-kan. Yang utama bagi mereka adalah selamat dari pandangan masyarakat, sementara Tuhan sudah tidak dianggap lagi.

Penyakit AFI, Indonesia Idol, KDI mulai menunjukkan gejala. Para politisi, pejabat dan hampir semua dari kita sudah mulai merasa seperti akademia-akademia kontes pencarian bakat itu. Kita berlomba-lomba menampilkan wajah semenarik mungkin, karena sebagian rakyat kita rata-rata sangat cengeng dan romantis maka kita sesering mungkin menceritakan sejarah keluarga yang memilukan, semakin menarik wajah dan semakin menyedihkan kisah kita makan akan banyak dukungan yang muncul. Jadi jangan kaget jika dalam ajang kontes itu lebih banyak durasi untuk menceritakan bapaknya yang tukang becak, emaknya yang dipenjara daripada durasi untuk menyanyi. Untuk menang kontes menyanyi itu, kualitas suara bukan hal pokok, sifatnya hanya skunder, yang penting adalah bagaimana cara agar akademia-akademia itu mencitrakan diri sebaik mungkin.

Fenomena AFI ini yang dijadikan panutan oleh mereka-mereka yang saat ini lagi heboh itu. Nilai kebenaran itu menjadi hal skunder, yang utama adalah bagaimana bisa mencitrakan diri seolah-olah berada di kebenaran. Mengumbar air mata, dan kalau perlu nama Tuhan “dijual” entah dengan menyebut nama Allah atau hanya sekedar menampilkan diri sealim mungkin dengan bantuan tasbih.

“Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki (mu) sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan (di dunia) karena kamu menghalangi (manusia) dari jalan Allah: dan bagimu azab yang besar”
(An Nahl : 94).

---
Tembagapura, 14 Januari 2010

11 Januari 2010

Munafik

Beberapa bulan ini masyarakat disuguhi telenovela panjang. Penuh tangisan, banyak ketegangan bahkan akhir-akhir ini ada juga makian diumbar. Bintang utamanya berubah ubah tiap waktu. Judulnya bisa apa saja, namun selalu ada upaya untuk menghubung-hubungkan antar episode-episodenya. Kadang kala harus dibuatkan adegan-adegan tambahan untuk memperkuat maksud. Nenek Minah tiba-tiba muncul sebagai upaya untuk menambah rasa gemes kita kepada penegak hukum setelah ada rentetan “cela” mereka, mulai dari Prita hingga rekaman telepon “perselingkuhan” yang diputar di Mahkamah Konstitusi.

Merasa “menang”, media yang lagi mabok berusaha “mencari-cari” bahan lain sebagai “penguat rasa” seperti kasus Nenek Minah, dan kemudian ditemukan lagi beberapa “noda”, mulai dari semangka hingga charger HP.

Lagi-lagi, siapa yang pegang pengeras suara, dialah yang menang. Suaranya akan mudah didengar dari kejauhan. Media sangat berpengaruh dalam pembentukan opini masyarakat. Dan memang pada dasarnya kita ini lebih menikmati boroknya orang lain dari pada membicarakan kebaikan orang lain. Sadar atau tidak, kita lebih menikmati berita polisi salah tangkap, dari pada berita Polisi yang berhasil menewaskan salah satu pimpinan gerakan sparatis Papua, padahal saat penyergapan polisi-polisi itu mempertaruhkan nyawa. Baku tembak. Bagaimana jika anda-anda yang berada dalam posisi itu, antara hidup dan mati?

Ketika opini itu sudah sedemikian kuat terbentuk. Daya kita untuk menilai sesuatu juga semakin melemah. Obyektifitas semakin kabur. Banyak diantara kita tanpa sadar telah membagi kelompok-kelompok. Kelompok-ku dan yang bukan kelompok-ku. Hal terparah dari kekacauan ini, kita menentukan kebenaran berdasar apakah sesuatu itu dikelompok kita atau tidak.

Saya masih ingat, beberapa bulan yang lalu seorang sahabatku menertawakan Susno saat bersumpah atas nama Allah. Dia tidak percaya, dan menyebut Susno itu penipu. Namun, akhir-akhir ini dia diam-diam menyimpan simpati kepada orang yang sebelumnya tidak dipercayanya itu. Ya, simpati itu muncul setelah Susno sekarang kelihatannya bersebrangan dengan “yang bukan kelompoknya”.

Saya sering berburuk sangka, jangan-jangan kita ini juga akan bersimpati sama Firaun, asal dia berani “nantang” kelompok yang bukan kelompok kita.

Jika saja yang kita jadikan pegangan adalah rasa senang dan tidak senang, berdasar pada keinginan, kepentingan dan nafsu kita sendiri, bukannya pandangan yang jujur terhadap kebenaran itu sendiri. Maka hancurlah kita semua. Kita hanya akan bisa menunggu kehancuran akan memakan kita tanpa ampun.

Umat sepertinya kehilangan daya untuk memilah, untuk nginteri, sudah nggak jelas mana beras mana kutu atau kotoran. Umat kehilangan panutan, jika ingin mengerti bagaimana cara menyembah Tuhan, bagaimana tatacara sholat, apa yang dibolehkan saat sholat, apa yang tidak boleh, kita tinggal manut sama Kanjeng Nabi Muhammad. Tapi, siapa yang bisa kita percayai untuk menentukan Sri Mulyani itu salah apa nggak? Susno itu terima suap apa nggak? Siapa? Siapa ulil amri-mu untuk semua itu?

Kabarnya, Tuhan lebih marah kepada orang munafik dibanding orang kafir. Benarkah? Mungkin saja kabar itu benar adanya. Membingungkan jika berhadapan dengan orang-orang munafik. Kalau kita ketemu ular, sangat jelas bagaimana cara melawannya, kita tinggal panggilkan pawang ular. Beres. Namun jika kemunafikan yang kita temui, kita kira dia ular, kita bawakan pawang ular, ternyata dia srigala.

Kalau dikasih pilihan, mingkin kita lebih baik kita melawan 1000 orang Firaun, daripada kita berteman dengan 10 orang yang kita anggap Nabi Musa namun sebenarnya lebih Firaun dibanding Firaun yang sebenarnya.

Allahumma arinal haqqa haqqa war zuqnat tiba’ah wa arinal bathila bathila warzuqnaj tinabah

----
Tembagapura, 11 Januari 2010

10 Januari 2010

Kesederhanaan


“Ah, engkau memang kere, jadi jangan bicara tentang kesederhanaan… hidup serba kekuranganmu itu bukan pilihan hidup… tapi memang seperti itu keadaanmu”

“Damput…!!!” makiku dalam hati setelah mendengar tetanggaku mengatakan itu. Aku seperti orang yang kepergok saat hendak nyolong sesuatu. Ketangkap basah. Malu setengah mati.

Aku tidak bisa berkata apa-apa. Mulutku tersumpal oleh rasa berdosa kepada istri dan anak-anakku. Selama ini aku menceramahi tentang kesehajaan serta kesederhanaan. Dan diam-diam aku merasa apa yang dikatakan oleh tetanggaku itu mungkin benar adanya. Aku hanya mencari pembenaran atas ketidakmampuanku untuk membahagiakan keluargaku dengan gelimangan harta.

Kesederhanaan yang aku agungkan mungkin saja hanya sebuah kedok. Aku rela makan seadanya karena memang itu yang aku bisa dapatkan. Kesederhanaan itu hanya semacam lagu penghibur saat aku sedih karena tidak mampu mendapatkan keinginanku. Aku belum bisa memasukkan secara benar-benar tentang kesederhanaan itu ke lubuk hatiku. Sebenarnya kepalaku masih sering kepingin ini itu, namun karena tidak mampu mendapatkannya, dan akhirnya aku bersembunyi di tumpukan kitab-kitab hidup sahaja.

Kuhibur anak dan istriku dengan cerita-cerita tentang ke-zuhud-an Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Aku bilang pada istriku bahwa Rosul itu hidupnya seadanya saja. Bukannya bermewah-mewah, padahal kalau memang Rosulullah mau, Allah bisa saja memberikan kekayaan pada beliau. Muhammad memilih menjadi abdan nabiyaa. Begitu juga dengan Ali, Sang menantu Nabi Muhammad ini juga memilih hidup penuh dengan kejelataan.

Aku lupa. Aku terpeleset oleh teori-teori kesahajaan itu sendiri. Rosulullah memilih hidup sederhana, meskipun sebenarnya dia kaya raya. Sementara aku sederhana karena memang aku miskin. Rosulullah mampu menahan segala keinginan tentang keduniaan, sebagai kekasih Allah, Beliau mempunyai kesempatan untuk meminta apa saja kepada Allah, namun Beliau tidak meminta apa-apa. Sementara aku? Aku sebenarnya hanya pura-pura menerima keadaan dengan ikhlas, padahal hati dan kepala ini dikuasai oleh keinginan demi keinginan duniawiah.

“Nak, Bapak dulu juga kalau sekolah naek angkot…” bujukku pada anakku yang masih kelas 2 SMA saat minta dibelikan motor. Diam-diam sebenarnya aku juga punya rasa bangga jika saja aku bisa belikan motor anakku itu.

“Ngapain sih kita beli rumah yang bagus-bagus… yang biasa saja… yang penting bisa untuk berteduh…” Kilahku pada istriku saat akan membeli (lebih tepatnya “kredit”) rumah. Padahal dalam hatiku kadang masih dihantui rasa malu pada tetangga karena rumahku yang jauh “kelas”-nya dengan rumah mereka.

Mungkin saja, justru Istri dan Anak-anakku malahan yang telah “lulus” dalam mata pelajaran kesederhanaan ini. Istriku ikhlas-ikhlas saja dengan ketidakmampuanku, masih mencintaiku tanpa menuntut lebih dariku. Begitu juga anak-anakku, mereka kelihatannya lebih sukses dalam kesederhanaan ini, mereka tak pernah membantah saat aku menolak untuk memenuhi keinginan mereka.

Sederhana itu ternyata hanya mampu merasuk di “daging” imanku saja, tidak pernah benar-benar menjadi “jiwa”. Secara kasat mata, kejelataanku memang terlihat nyata. Seringnya aku ngoceh tentang kesederhanaan mungkin juga membuat beberapa orang disekitarku mengira aku ini sangat bersahaja. Namun Allah Maha melihat apa yang ada dalam benakku. []

---
Tembagapura, 10 Januari 2010

07 Januari 2010

Mustafa Kemal Ataturk


Saat saya posting sebuah artikel dari kompas.com yang berjudul “Ataturk, Mahatma Gandhi dan Gus Dur”. Isi artikel itu secara garis besar menggambarkan peranan masing-masih tokoh di negaranya. Mereka adalah pahlawan bagi sebagian besar rakyat negara dimana mereka “berjuang”.

Seorang sahabat baik saya bertanya, “masa’ Attaturk masuk kategori…?”. Saya sebenarnya ingin balik bertanya, “Apa yang menyebabkan Atataturk tidak masuk kategori?”. Namun, sebelum saya mendebat balik dengan pertanyaan itu, saya sadar bahwa setiap individu memiliki sudut pandang tersendiri dalam menilai sesuatu.

Saya tidak mengenal dengan baik tentang sosok seorang Atataturk, seorang pejuang Turki yang mempunyai nama asli Ghazi Mustafa Kemal Pasha, dan sejak tahun 1934 lebih dikenal dengan nama “Mustafa Kemal Ataturk”. Berdasarkan pengetahuan saya, “Ataturk” itu adalah sebuah gelar, dan untuk saya pribadi, dilihat dari sisi pemberian gelar oleh masyarakat, “Ataturk” saya samakan dengan gelar “Mahatma” dan juga “Gus”. Jadi tanpa lebih dahulu kita mempelajari Mustafa Kemal Ataturk lebih dalam, saya mengambil kesimpulan sederhana bahwa gelar yang ada pada namanya tersebut tidak akan diraih tanpa ada yang telah diperbuat bagi rakyatnya. Kalau dia tidak punya peranan bagi rakyat, saya yakin namanya tidak akan diabadikan menjadi nama Bandara, Stadiun, jembatan dan bahkan patung Ataturk masih banyak berdiri di Turki.

Kenapa Atataturk “diragukan” teman saya?. Saya sempat “ber-su’udzon -ria” terhadap sahabat saya itu. Jangan-jangan (jangan-jangan lho ya…), Ataturk “tidak dianggap” karena dia “menggulingkan” pemerintahan Islam (Kekaisaran Ottoman) di Turki. Budaya Islam yang sangat kuat di Turki tiba-tiba dikagetkan dengan sebuah gagasan skulerisme yang diusung oleh Mustafa Kemal Ataturk. Karena sebagian pemeluk Islam yang taat merasa gagasan sekularisme ini bertentangan dengan ajaran Islam. Dengan kata lain, saya mencurigai sahabat saya tadi menilai Ataturk dari sudut pandang “keislamannya”.

Saya juga mencurigai, jangan-jangan Gandhi juga dikagumi oleh para muslim karena dia “terkesan” membela Islam. Tindakannya waktu konflik antara umat Hindu dan Islam di India, meletakkan Gandhi “terkesan” memperjuangkan Islam, dan kesalahpahaman itu membuat beliau akhirnya wafat dibunuh oleh pemuda Hindu. Ironisnya, disisi lain diwaktu yang hampir sama, seorang Muslim bernama Badshah Khan “didzolimi” oleh pemerintahan Islam di Pakistan karena terkesan berkhianat terhadap Islam, karena dia mati-matian menolak pemisahan antara India dan Pakistan, yang pada saat itu pemisahan itu “diartikan” sebagai pemisahan antara Hindu dan Islam.

Jangan-jangan, kita (muslim) lebih mengenal Gandhi dibanding Khan karena Gandhi lebih membela Islam dan Khan berkhianat pada Islam. (jangan-jangan lho ya…). Sehingga saya sendiri baru mengenal sosok Khan beberapa tahun terakhir, sementara lingkungan saya yang mayoritas muslim dari dulu hanya “memperkenalkan” Gandhi, bukannya Badshah Khan yang muslim.

Dan Gus Dur, banyak juga diantara kita yang awam ini kadang bingung dengan “keislaman” beliau. Hanya saja, di bawah tidak terlalu meributkan itu, karena secara kultur mereka telah diajari tentang pelajaran “opo jare kyai”. Meskipun banyak orang-orang pintar diatas yang “ribut” dengan Gus Dur, tapi ibuku yang orang kampung masih tetep dengan pedoman “Opo jare Gus Dur”.

Cara memandang yang berbeda-beda inilah yang membuat sebagian orang “meragukan” seorang tokoh, namun disisi lain ada sebagian lagi yang “memuja” tokoh tersebut. Saya kemudian berkesimpulan bahwa pertanyaan sahabat saya tentang kenapa Ataturk masuk kategori sebagai seseorang yang patut dibanggakan, saya samakan dengan sikap beberapa orang yang “mempertanyakan” usulan agar Gus Dur dijadikan Pahlawan. []

-----

Maaf, hari ini saya banyak banget curiga

Tembagapura, 6 Desember 2010

03 Januari 2010

Sang Guru Tinggalkan Kita


[Jawa Pos : Sabtu, 02 Januari 2010 ]


GUS DUR adalah tokoh besar. Kebesarannya, seperti kita tahu, dia bangun dari setiap jengkal waktu yang dia miliki. Bukan dari sela waktunya yang tersisa dari urusan kepentingannya untuk mengurus diri sendiri. Yang Gus Dur inginkan adalah yang juga kita ingini. Dalam perjuangannya, selalu ada kita di dalamnya.

Kebesaran Gus Dur, kita semua menyaksikan, dia bangun dengan tumpukan kesederhanaan hidup dan sikap rendah hati. Dia kumpulkan butiran pasir nilai hidup hingga tersusun harmoni hidup bersama. Gus Dur memberi kita warisan untuk selalu berjiwa besar. Bukan mempertunjukkan warisan yang sebenarnya telah dia warisi sebagai anak seorang menteri.

Dalam kesederhanaan, Gus Dur bahkan tak pernah merasa kecil, apalagi gentar, untuk mengikis tirani Orde Baru yang beku dan militeristik hingga betul-betul meleleh pada waktunya. Terus menjaga kesabaran dalam ketertindasan, tidak berangasan ketika sedang turun di jalan. Tidak arogan saat kuasa ada di tangan. Gus Dur merombak aneka aturan dan tatanan, bukan untuk melanggengkan kekuasaan, tapi untuk kebenaran yang sewajarnya.

Kebesaran KH Abdurrahman Wahid, kita semua merasakan, dia bangun dengan semangat kesetaraan dan kepedulian terhadap kelompok minoritas. Bukan lewat pencitraan dan kampanye penggelembungan.

Gus Dur adalah sahabat siapa saja. Bersahabat dengan yang berbeda pendapat. Berteman dengan yang tak sealiran. Koncoan dengan etnis yang berbeda. Membangun hubungan lintas agama, mengajak untuk tumbuhnya persaudaraan antarnegara, eratnya pertalian multikultur, bersatunya semua warna.

Gus Dur tak pernah lupa untuk bercanda. Biar apa? Biar kita tertawa, biar dunia tertawa. Bill Clinton hingga Fidel Castro pun tertawa terguncang dengan kecerdasan joke-nya. Yang sedih, yang sedang terpojok, yang sedang menderita, yang teraniaya, bisa tiba-tiba tertawa. Gus Dur tentu harus bekerja sangat keras untuk menghibur kita. Sebab, dia tahu, betapa banyak rakyat yang terimpit duka derita.

Gus Dur adalah orang yang membebaskan warga Tionghoa merayakan tahun baru Imlek. Sebab, merayakan datangnya tahun baru versi apa pun adalah merayakan datangnya kegembiraan. Di antara banyak pemimpin yang kita milki, Gus Durlah yang mengajari kita untuk tidak berprasangka buruk terhadap budaya yang datang dari warna kulit berbeda.

Gus Dur adalah guru bangsa terbaik yang kita miliki. Dia tak pernah lelah untuk memberikan pelajaran hidup demokratis, damai, rukun, meski kita dalam perbedaan yang tak terhindarkan.

Sebagai guru, Gus Dur bukan sosok yang kaku. Guru yang tak pernah menciptakan jarak antara si Bapak yang pandai dan si murid yang dungu sekalipun. Gus Dur memberi kita pelajaran abadi. Yang bisa dikaji hingga anak-cucu nanti. Dalam memberi teka-teki, Gus Dur adalah maestro tanda tanya. Yang bisa membuat rakyat seluruh Indonesia penasaran dan menyerah untuk menemukan kuncinya. Dan ketika semua telah menyerah, Gus Dur cukup berkata: gitu aja kok repot.

Gus, sekarang engkau telah tinggalkan kita semua. Betapa rindu kami akan gurau, tawa, dan keterbukaanmu nanti. Ketika oleh Orde Baru kau dianggap melawan dan yang lain tunggang-langgang ketakutan, kamu cukup bilang: prek! Kami diam menunggu reaksi apakah kamu akan dimarahi? Ternyata tidak. Kami tetap bisa memilikimu.

Abdurrahman Ad-Dhakil, kamu adalah pendobrak berbagai kesakralan dan kebekuan. Kau buka lebar-lebar pintu istana. Istana negara adalah istana rakyat. Kau buka lebar-lebar jendela kebebasan pers. Sebab, kau tahu, kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan pilar penting untuk tegaknya demokrasi.

Sekarang Gus, kamu telah tinggalkan kami di sini. Maafkan kalau sebagai murid tetap seperti siswa taman kanak-kanak yang tak pernah beranjak pintar dan dewasa seperti yang kamu inginkan.

Maafkan kami sebagai muridmu Gus, yang malas mengkaji sanepo-sanepomu dan ogah-ogahan menelaah arti penting demokrasi. Sepanjang waktu murid-muridmu terus tawuran dan kamu tak pernah lelah nemberikan jalan tengah.

Selamat jalan Gus, sejujurnya kami sangat kehilangan... (*)