Minggu yang lalu saat beredar video mesum seseorang yang mirip petinggi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), bapak Anis Matta, saya langsung menulis sebuah status facebook yang bunyinya kira-kira seperti ini : “Saya ini suka mengkritik PKS, namun jika ada yang menyerang PKS dengan cara murahan (video mesum), saya tidak setuju”
Saya anggap itu selesai. Saya tak lagi mencari banyak informasi tentang hal murahan seperti itu, saya berusaha tidak memberikan ruang bagi hal-hal semacam itu. Namun kemudian saya terusik oleh beberapa pernyataan teman-teman yang sepertinya ingin mengorek lebih jauh, saya menduga ada yang membesar-besarkannya supaya terkesan Anis Matta ini terdzolimi. Sepertinya ada upaya ingin mendulang simpati dari ‘penyerangan’ ini.
Saya bersikap untuk tidak setuju soal cara ‘menyerang’ PKS dengan metode kampungan itu, juga saya memang tidak tertarik untuk hal-hal yang sifatnya pribadi. Saya benar-benar mencoba melepaskan diri dari prasangka apakah itu benar-benar Anis Matta atau bukan, mau benar atau tidak itu bukan perkara yang harus saya ambil pusing dan juga saya kurang nyaman jika harus menjadi konsumsi publik.
Jadi mohon jangan disalahpahami, ini bukan upaya saya membela Anis Matta-nya namun lebih pada ketidaksetujuan saya pada materi isu yang diwacanakan.
Sikap saya ini tidak ubahnya dengan sikap saya pada kasus video mesum Ariel. Saya mencoba konsisten dengan sikap saya, tidak peduli itu Ariel, Anis Matta atau mungkin saja suatu saat Rizieq.
—-
Kenapa saya tiba-tiba nulis tentang ini, meskipun sebelumnya saya sudah menganggapnya selesai? Saya menulis ini bukan ingin membesar-besarkan kasusnya, namun lebih pada upaya ‘protes’ kepada mereka yang mencoba meng-hiperbola-kan masalah ini supaya terkesan Anis Matta atapun PKS sedang didzolimi, dan perlu mendapatkan ‘perlindungan’.
Ironisnya, mereka yang sedang ‘membela’ Anis Matta ini sebagian adalah mereka yang dulu bernada sinis pada Ariel saat mencuatnya video mesumnya dengan Luna Maya. Jadi poin penting tulisan saya ini pada hal ini, tentang standard ganda mereka dalam menyikapi dua hal yang hampir sama, video mesum mirip seseorang.
Saya beranggapan bahwa cara penyelesaian kasus video mirip Ariel dulu harusnya seperti kasus video mirip Anis Matta ini. Para ‘pasukan Tuhan’ ini dulu teriak-teriak soal Ariel, kenapa tiba-tiba sekarang jadi sepi saat ada kasus serupa yang menimpa Anis Matta? Kalo untuk pembuktian tentang “mirip” ini harus lewat pengadilan, kenapa hanya berlaku bagi Ariel namun dianggap selesai pada kasus Anis Matta?
Masih ingat pernyataan Tifatul Sembiring soal “mirip”? Kemudian kenapa bapak yang terhormat dan mulia Tifatul Sembiring tidak memperlakukan dalil “mirip” kepada Anis Matta?
Pertanyaan-pertanyaan saya itu bukan tuntutan agar Anis Matta diperlakukan seperti Ariel. Sekali lagi saya tegaskan bahwa saya tidak menuntut agar Anis Matta diperlakukan seperti Ariel, tapi sebaliknya harusnya Ariel dulu diperlakukan layaknya Anis Matta saat ini.
Inkonsistensi para “tentara Tuhan” ini yang kemudian membuat saya jadi sidikit gundah. Hanya karena yang satu mirip artis yang tak punya julukan ustadz kemudian yang satunya memiliki gelar ustadz lalu beda cara perlakuannya?
Semoga kekonyolan sikap mereka yang akhirnya mendapat “karma” ini segera membuat mereka sadar dan kemudian hati-hati dalam menentukan sikap. Meskipun saya harus saya akui ada beberapa orang yang akhirnya masih juga berstandar ganda. []
---
artikel ini pernah saya upload di : http://sosbud.kompasiana.com/2011/03/09/ariel-dan-anis-matta/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar