OTAK, instrument pikir akan menghasilkan output untung - rugi, mungkin - mustahil dan benar - salah (berdasarkan ukuran-ukuran yang diciptakan manusia sendiri). Sedang HATI, instrument rasa akan menghasilkan output manfaat - mudlarat, pantas - wagu dan etis - tidak etis (bersarkan inspirasi yang diperoleh dari Sang Pencipta). Otak dan hati adalah dua perangkat yang berbeda. Ketika kita menyiapkan waktu dan ruang di hati untuk menyongsong datangnya inspirasi maka tinggalkan otak, berhentilah berpikir agar inspirasi lebih cepat masuk ke dalam relung hati.

(Pujo Priyono)

===================================================

12 Maret 2011

Ruh atau Daging?

Akhir tahun 2009, saya pernah berdiskusi panjang dengan seorang sahabat baik saya tentang batik. Waktu itu memang sedang hangat-hangatnya wacana tentang batik yang telah diakui dunia (UNESCO) sebagai sebuah warisan budaya Indonesia.

Waktu itu saya ‘menggugat’ tentang perilaku beberapa orang yang niatnya ingin bangga dengan batik namun entah sadar atau tidak, ternyata malah ‘merendahkan’ batik. Singkatnya seperti ini, saya hanya ingin menanyakan batik yang mereka banggakan itu batik yang mana? Apakah batik sebagai sebuah maha karya (esensi), atau hanya sebuah kain yang bermotif batik (bentuk)?

Kenapa demikian, karena bagi saya banyak yang sudah keblinger dan kehilangan tata nilai tentang batik ini. Saya sebenarnya kurang paham tentang parameter apa yang digunakan oleh UNESCO sehingga memutuskan batik itu diakui sebagai warisan budaya, apakah hanya dari sisi motif batik, atau lebih dari itu?

Bagi saya, motif hanya salah satu unsur saja dari batik. Menurut Aburizal Bakrie (Menko Kesra saat itu), UNESCO menilai batik sebagai ikon budaya bangsa yang memiliki keunikan serta simbol dan filosofi yang mendalam mencakup siklus kehidupan manusia.

Nah, disanalah letak ‘protes’ saya waktu itu. Mau tidak mau, euforia tentang batik waktu itu sudah ‘salah arah’, mau bangga dengan batik namun kemudian rame-rame pake patik produksi pabrik, bukan batik cap atau batik tulis. Maaf, bagi saya pabrik hanya memproduksi kain bermotif batik, bukan BATIK.

Memang, tidak semua orang mampu membeli batik tulis yang harganya mahal itu. Saya tidak menyalahkan orang yang memakai batik print, saya hanya kurang setuju jika pemaknaan batik hanya sampai pada motifnya saja. Esensi batik itu lebih dari hanya sebuah kain yang diwarnai dengan motif-motif batik.

—-

Tata nilai yang kacau balau dan salah kaprah seperti itu tidak hanya terjadi di batik, banyak hal di kehidupan sehari-hari ini mengalami distorsi makna semacam itu. Merasa ‘selesai’ hanya pada ‘dagingnya’ saja, tak pernah sampai pada ‘ruhnya’. Atau bahkan ada yang sampai tidak mengetahui ruh dari yang dia kerjakan, dia merasa bahwa daging yang telah dia capai itulah tujuannya. Lebih jauh lagi, banyak yang sulit membedakan mana kendaraan dan mana tujuan, merasa selesai dan puas setelah baru menaiki kendaraannya.

Saat ini, esensi dan nilai atas sesuatu tertutupi oleh bentuk bendanya, bahkan ada yang memaksakan sesuatu yang semestinya bersifat ‘ruhiyah’ menjadi sebuah bentuk, wujud, daging. Kemudian keblinger, salah kaprah dengan menganggap wujud itulah intinya, dan lalai akan ruhnya.

Saya dulu pernah punya kelompok bernama Petir, saya menolak untuk dilembagakan kelompok itu. Saya membiarkan kelompok itu tanpa bentuk, karena dengan begitu Petir akan tetap berupa energi persahabatan, semangat persaudaraan yang tak akan pernah bisa hilang, walaupun sudah terpisah jarak dan waktu.

Melembagakan energi, meng-institusi-kan ruh mungkin saja diperlukan, atau bahkan pada kondisi tertentu hukumnya menjadi harus. Akan tetapi, bagi saya yang penting adalah jangan sampai institusi, lembaga dan bentuk-bentuk itu membuat ’ruh awalnya’ menjadi dilupakan, di-kafir-i.

Jika sesuatu itu sudah menjadi bentuk, maka daya geraknya akan terbatasi oleh dimensi ruang, waktu dan lain-lain. Namun jika dibiarkan tetap berupa ruh, maka dia bebas dan mampu menembus benteng apapun saja.

Ruh memang kadang butuh daging untuk besemanyam, manun jangan memenjarakan ruh dalam dagingnya, itu tidak mungkin. Biarpun daging dincincang-cincang, tidak akan melukai ruhnya. Yang luka, yang pecah, yang bubar adalah lembaga, daging. Sementara ruh tak pernah akan mampu dilukai, dicintang atau dipenggal.

Pertanyaan saya sekarang adalah: Keyakinan itu ruh atau daging? Agama itu ruh atau intitusi?

Jika ada yang percaya penuh bahwa keyakinan dan agama tertentu itu mampu dipecah, dipenggal, dibubarkan, maka ada kemungkinan dia juga beranggapan bahwa agama yang dia peluk saat ini juga bisa bubar, karena meletakkan agama HANYA sebagai bentuk. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar