Kala sekolah dulu, tentu pernah merasakan upacara bendera, pernah ‘diperintah’ untuk hormat bendera merah putih.
“Hormaaaat Grak…!” begitu aba-aba yang diteriakan oleh komandan upacara, dan seketika itu tangan kita mengambil sikap hormat kepada bendera yang dikabarkan.
Apa yang ada dalam hati kita saat hormat bendera? Biasa saja atau punya perasaan lain? Perasaan yang agak sensitif misalnya? Menjadi melankolis atau tiba-tiba perasaan cinta kepada negeri ini bertambah setelah hormat bendera? Kemungkinan itu ada, namun seberapa besar kemungkinan itu?
Kalaupun ternyata nasinalisme kita terbakar saat hormat, apakah benar nasionalisme itu tumbuh karena hormat, atau hormat hanya sebagai sebuah momentum yang membangkitakan kembali rasa cinta kepada tanah air. Membangkitkan, bukan melahirkan. Rasa cinta itu sudah tertanam dalam batin namun terlelap, dan saat hormat bendera itulah seakan-akan dibankitkan kembali perasaan sayang itu.
---
Tentu belum kita lupa kasus tentang pelarangan hormat bendera yang dilakukan oleh kepala sekolah kepada siswa didiknya.
“Kami memang tidak mengajarkan kepada anak didik untuk menghormat bendera. Kami hanya berikan salah satu pelajaran akidah kepada para siswa tidak perlu memberikan cinta, loyalitas dan penghormatan kepada benda mati. Sebab itu adalah syirik,” kata Sutardi, Kepala SMP Al Irsyad Tawangmangu.
Saat pertama kali saya mendengar berita ini, saya menuliskan sesuatu di facebook yang kira-kita seperti ini : “Ada orang Melarang hormat bendera karena dianggap syirik… mungkin orang ini nanti kalau ketemu Tuhan maka dia akan hormat seperti dia hormat kepada bendera… hehehe…”
Tentu saja saya menuliskan itu dengan nuansa canda. Karena bagi saya memang lucu (bukan bermaksud menertawakan pendapat orang), benarkah hormat kepada Tuhan itu dimaknai sesederhana itu, sehingga ‘disamakan’ dengan menghormat kepada bendera?
---
Hormat punya banyak makna, tapi satu hal yang saya yakini bahwa hormat tidak selalu sama dengan gerakan hormat. Gerakan hormat bisa dilakukan dengan berbagai macam gerakan berdasarkan ‘aturan hukum’, kebudayaan dan lain sebagainya. Kita punya gerakan tangan kanan diletakkan di kening sedemikian rupa saat menghormat kepada bendera, namun di dunia lain ‘gaya’ hormatnya berbeda, misalnya hormat ala Hitler. Gerakan hormat juga berbeda-beda berdasarkan kultur-budaya, sama-sama bungkuk, namun bungkuknya orang Jepang dan Jawa saat hormat itu berbeda. Hormat juga bisa juga dimaknai sebagai ‘gerakan budaya’ yang sama sekali tak memiliki makna batin, hanya semacam laku badan yang digerakkan karena kebiasaan belaka.
Dibalik semua gerakan hormat yang sifatnya biologis itu, ada sebuah makna yang hanya bisa didefinisikan oleh pelakunya. Saya mungkin membungkuk kepada seseorang, dan anda bisa saja memaknai gerakan badan saya itu sebagai bentuk rasa takzim saya kepada orang yang saya bungkuk-i, namun makna bungkuk saya itu hanya saya yang tahu. Apakah itu bentuk rasa hormat atau hanya peristiwa gerak badan, atau bahkan saya maknai sebagai bentuk penghinaan? Pelakulah yang bisa mengetahuinya, dan apa yang ‘ada di dalam’ pelaku gerakan hormat itulah yang dinamakan hormat sejati.
---
Akhir-akhir ini –atau mungkin ini memang sudah menjadi ‘penyakit’ sejak jaman dulu namun saya tidak memperhatikan– saya sering mendapati orang gila hormat. Mereka sibuk menuntut orang lain menghormati dirinya. Sesuatu yang bagi saya konyol, karena hormat yang sesungguhnya tak mungkin untuk dipaksakan, bahkan untuk disarankan saja sulit. Jika yang dimaksud adalah memaksa orang untuk melakukan gerakan hormat, bisa jadi itu gampang dilakukan, namun jika menyuruh orang hormat dengan sepenuh hati, rasanya sulit –kalau tidak boleh dikatakan mustahil–.
Kita mungkin bisa menyuruh atau memaksa orang untuk membungkuk didepan kita, namun apakah arti bungkuk itu? benarkan bungkuk itu sebagai representasi rasa hormat dia kepada kita? Atau diam-diam dia sebenarnya bungkuk tapi sambil kentut?
Rasa hormat orang kepada kita tidak bisa dibentuk dengan begitu saja. Kehormatan diri perlu dibangun. Kalau benar-benar ada yang berusaha dengan paksa membuat orang hormat dan membungkuk, sesungguhnya dia tidak sedang membangun kehormatan, dia hanya berusaha melakukan penjajahan kepada pihak lain.
Ya benar, bungkuknya orang dan gerakan yang konon ‘mencerminkan’ rasa hormat bisa saja sebagai bentuk keterjajahan seseorang. Bungkuk karena takzim bersumber dari rasa hormat dari orang yang membungkuk atau dari kehormatan yang ada pada orang yang dibungkuk-i. Bungkuk karena keterjajahan bersumber dari nafsu menguasai orang lain yang dibungkuk-i.
---
Nafsu untuk mengusai orang lain yang saya kira sekarang ini dominan. Orang berlomba-lomba meminta dihormati, namun karena tak mampu membangun kehormatan maka mereka mencari jalan pintas, yaitu dengan cara menguasai, menjajah. Padahal jelas perbedaan antara takzim dengan ketakutan.
Dengan dalih hormat mereka mencoba mengitimidasi. Mereka berteriak lantang: “hormatilah kami!”. Pemaknaan hormat oleh mereka-mereka ini jadi rancu. Dalam benak mereka yang penting mereka bungkuk, entah itu karena hormat atau karena terjajah. Produk akhir yang mereka mau berupa bungkuknya seseorang kepada mereka.
Saling membungkukan badan sebagai bentuk saling menghormati memang sesautu yang indah. Kehidupan bermasyarakat tentu damai jika sudah terbentuk saling cinta dan saling menaruh penghargaan satu sama lainnya. Bungkuk akan dengan sendirinya dilakukan orang yang punya rasa cinta dan hormat.
Di bulan Romadhon semacam ini, penyakit minta dihormati mudah kambuh. Dengan ayat-ayat hormat-menghormati mereka dengan lantang memaksa orang untuk menutup warung, tempat hiburan malam dan tempat-tempat lainnya. Benarkah lengking suara mereka saat berteriak itu untuk sebuah kehormatan, atau hanya sebuah upaya penguasaan?
Ada sebuah pertanyaan yang dilontarkan oleh KH. Mustofa Bisri (Gus Mus). beliau pernah bertanya: “Kalian mnyuruh orang menghormati Ramadhan atau mnyuruh orang menghormati kalian? Sejak kapan Ramadhan minta dihormati? Ia dari dulu sudah terhormat!” []
“Hormaaaat Grak…!” begitu aba-aba yang diteriakan oleh komandan upacara, dan seketika itu tangan kita mengambil sikap hormat kepada bendera yang dikabarkan.
Apa yang ada dalam hati kita saat hormat bendera? Biasa saja atau punya perasaan lain? Perasaan yang agak sensitif misalnya? Menjadi melankolis atau tiba-tiba perasaan cinta kepada negeri ini bertambah setelah hormat bendera? Kemungkinan itu ada, namun seberapa besar kemungkinan itu?
Kalaupun ternyata nasinalisme kita terbakar saat hormat, apakah benar nasionalisme itu tumbuh karena hormat, atau hormat hanya sebagai sebuah momentum yang membangkitakan kembali rasa cinta kepada tanah air. Membangkitkan, bukan melahirkan. Rasa cinta itu sudah tertanam dalam batin namun terlelap, dan saat hormat bendera itulah seakan-akan dibankitkan kembali perasaan sayang itu.
---
Tentu belum kita lupa kasus tentang pelarangan hormat bendera yang dilakukan oleh kepala sekolah kepada siswa didiknya.
“Kami memang tidak mengajarkan kepada anak didik untuk menghormat bendera. Kami hanya berikan salah satu pelajaran akidah kepada para siswa tidak perlu memberikan cinta, loyalitas dan penghormatan kepada benda mati. Sebab itu adalah syirik,” kata Sutardi, Kepala SMP Al Irsyad Tawangmangu.
Saat pertama kali saya mendengar berita ini, saya menuliskan sesuatu di facebook yang kira-kita seperti ini : “Ada orang Melarang hormat bendera karena dianggap syirik… mungkin orang ini nanti kalau ketemu Tuhan maka dia akan hormat seperti dia hormat kepada bendera… hehehe…”
Tentu saja saya menuliskan itu dengan nuansa canda. Karena bagi saya memang lucu (bukan bermaksud menertawakan pendapat orang), benarkah hormat kepada Tuhan itu dimaknai sesederhana itu, sehingga ‘disamakan’ dengan menghormat kepada bendera?
---
Hormat punya banyak makna, tapi satu hal yang saya yakini bahwa hormat tidak selalu sama dengan gerakan hormat. Gerakan hormat bisa dilakukan dengan berbagai macam gerakan berdasarkan ‘aturan hukum’, kebudayaan dan lain sebagainya. Kita punya gerakan tangan kanan diletakkan di kening sedemikian rupa saat menghormat kepada bendera, namun di dunia lain ‘gaya’ hormatnya berbeda, misalnya hormat ala Hitler. Gerakan hormat juga berbeda-beda berdasarkan kultur-budaya, sama-sama bungkuk, namun bungkuknya orang Jepang dan Jawa saat hormat itu berbeda. Hormat juga bisa juga dimaknai sebagai ‘gerakan budaya’ yang sama sekali tak memiliki makna batin, hanya semacam laku badan yang digerakkan karena kebiasaan belaka.
Dibalik semua gerakan hormat yang sifatnya biologis itu, ada sebuah makna yang hanya bisa didefinisikan oleh pelakunya. Saya mungkin membungkuk kepada seseorang, dan anda bisa saja memaknai gerakan badan saya itu sebagai bentuk rasa takzim saya kepada orang yang saya bungkuk-i, namun makna bungkuk saya itu hanya saya yang tahu. Apakah itu bentuk rasa hormat atau hanya peristiwa gerak badan, atau bahkan saya maknai sebagai bentuk penghinaan? Pelakulah yang bisa mengetahuinya, dan apa yang ‘ada di dalam’ pelaku gerakan hormat itulah yang dinamakan hormat sejati.
---
Akhir-akhir ini –atau mungkin ini memang sudah menjadi ‘penyakit’ sejak jaman dulu namun saya tidak memperhatikan– saya sering mendapati orang gila hormat. Mereka sibuk menuntut orang lain menghormati dirinya. Sesuatu yang bagi saya konyol, karena hormat yang sesungguhnya tak mungkin untuk dipaksakan, bahkan untuk disarankan saja sulit. Jika yang dimaksud adalah memaksa orang untuk melakukan gerakan hormat, bisa jadi itu gampang dilakukan, namun jika menyuruh orang hormat dengan sepenuh hati, rasanya sulit –kalau tidak boleh dikatakan mustahil–.
Kita mungkin bisa menyuruh atau memaksa orang untuk membungkuk didepan kita, namun apakah arti bungkuk itu? benarkan bungkuk itu sebagai representasi rasa hormat dia kepada kita? Atau diam-diam dia sebenarnya bungkuk tapi sambil kentut?
Rasa hormat orang kepada kita tidak bisa dibentuk dengan begitu saja. Kehormatan diri perlu dibangun. Kalau benar-benar ada yang berusaha dengan paksa membuat orang hormat dan membungkuk, sesungguhnya dia tidak sedang membangun kehormatan, dia hanya berusaha melakukan penjajahan kepada pihak lain.
Ya benar, bungkuknya orang dan gerakan yang konon ‘mencerminkan’ rasa hormat bisa saja sebagai bentuk keterjajahan seseorang. Bungkuk karena takzim bersumber dari rasa hormat dari orang yang membungkuk atau dari kehormatan yang ada pada orang yang dibungkuk-i. Bungkuk karena keterjajahan bersumber dari nafsu menguasai orang lain yang dibungkuk-i.
---
Nafsu untuk mengusai orang lain yang saya kira sekarang ini dominan. Orang berlomba-lomba meminta dihormati, namun karena tak mampu membangun kehormatan maka mereka mencari jalan pintas, yaitu dengan cara menguasai, menjajah. Padahal jelas perbedaan antara takzim dengan ketakutan.
Dengan dalih hormat mereka mencoba mengitimidasi. Mereka berteriak lantang: “hormatilah kami!”. Pemaknaan hormat oleh mereka-mereka ini jadi rancu. Dalam benak mereka yang penting mereka bungkuk, entah itu karena hormat atau karena terjajah. Produk akhir yang mereka mau berupa bungkuknya seseorang kepada mereka.
Saling membungkukan badan sebagai bentuk saling menghormati memang sesautu yang indah. Kehidupan bermasyarakat tentu damai jika sudah terbentuk saling cinta dan saling menaruh penghargaan satu sama lainnya. Bungkuk akan dengan sendirinya dilakukan orang yang punya rasa cinta dan hormat.
Di bulan Romadhon semacam ini, penyakit minta dihormati mudah kambuh. Dengan ayat-ayat hormat-menghormati mereka dengan lantang memaksa orang untuk menutup warung, tempat hiburan malam dan tempat-tempat lainnya. Benarkah lengking suara mereka saat berteriak itu untuk sebuah kehormatan, atau hanya sebuah upaya penguasaan?
Ada sebuah pertanyaan yang dilontarkan oleh KH. Mustofa Bisri (Gus Mus). beliau pernah bertanya: “Kalian mnyuruh orang menghormati Ramadhan atau mnyuruh orang menghormati kalian? Sejak kapan Ramadhan minta dihormati? Ia dari dulu sudah terhormat!” []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar