OTAK, instrument pikir akan menghasilkan output untung - rugi, mungkin - mustahil dan benar - salah (berdasarkan ukuran-ukuran yang diciptakan manusia sendiri). Sedang HATI, instrument rasa akan menghasilkan output manfaat - mudlarat, pantas - wagu dan etis - tidak etis (bersarkan inspirasi yang diperoleh dari Sang Pencipta). Otak dan hati adalah dua perangkat yang berbeda. Ketika kita menyiapkan waktu dan ruang di hati untuk menyongsong datangnya inspirasi maka tinggalkan otak, berhentilah berpikir agar inspirasi lebih cepat masuk ke dalam relung hati.

(Pujo Priyono)

===================================================

10 Agustus 2011

Kenapa Heboh dengan Komersialisasi Agama?

Jauh-jauh hari saya pernah bertanya, dan sampai detik ini saya belum mendapatkan jawaban yang memuaskan. Seingat saya, setahun yang lalu saya bertanya kepada siapa saja lewat akun twitter dan facebook saya tentang tayangan adzan di televisi. Kira-kira redaksi pertanyaan saya seperti ini: “apa alasannya televisi menayangkan adzan maghrib dan subuh saja, kenapa yang lain (sholat lain) tidak?”. Saya lontarkan pertanyaan itu tidak dibulan romadhon.

Adzan maghrib dibulan romadhon mungkin punya ‘level’ yang penting bagi kebanyakan orang, sebagai penanda berbuka puasa. Begitu pula dengan adzan subuh yang dianggap sebagai penanda awal puasa. Namun jika bukan romadhon, saya merasa ‘level’ semua adzan sholat itu sama. Jadi saya waktu itu terganggu oleh sebuah pertanyaan kenapa tidak semua waktu sholat ditayangkan adzan?

Bukan bermaksud mendukung tayangan adzan di televisi, saya malah dari dulu berpendapat sebaiknya tayangan adzan itu ditiadakan saja. Tidak saya temukannya jawaban atas pertanyaan saya itu salah satu alasan saya berpendapat bahwa tidak perlu ada tayangan adzan maghrib di televisi. Selain itu saya juga punya alasan lain.

Beberapa tahun terakhir saya hidup di Indonesia timur, dan merasakan ada sesuatu yang ‘aneh’ dari penayangan adzan di televisi. Perbedaan waktu antara Jakarta dengan Sulawesi atau Papua membuat tayangan adzan maghrib di televisi itu terkesan ‘mubazir’, terutama bagi yang tidak didaerah tempat adzan itu dimaksudkan. Adzan sifatnya lokal, artinya setiap daerah memiliki perbedaan waktu sholat. Di televisi adzan maghrib (waktu Jakarta), padahal papua sudah masuk waktu isya’. Jadi bagi saya, salah satu fungsi dasar adzan telah ‘gugur’ jika ditayangkan di televisi, terutama jika itu televisi nasional.

---

Nah, dari banyaknya ‘kekurangan-kekurangan’ itu, saya tidak menemukan alasan logis kenapa adzan tetap saja ditayangkan. Dan penyakit curiga saya pun kambuh, saya menduga ini masalah ‘pencitraan’. Tayangan adzan hanya digunakan agar stasiun televisi itu terkesan sebagai stasiun televisi yang religious. Ini bukan isapan jempol, karena sebagian masyarakat kita ternyata punya pemahaman bahwa televisi yang tidak ada adzannya itu ‘televisi kafir’. Saya pernah dengar sendiri ada sesorang yang berkomentar demikian saat mengetahui ada salah satu stasiun televisi tidak ada adzan maghrib-nya.

---

Kembali ke soal adzan, saya kemarin mendapati ada anggota DPR asal Partai Demokrat, Roy Suryo yang ‘memprotes’ tayangan adzan maghrib di salah satu stasiun televisi. Dalam tayangan adzan itu, konon diselipi iklan.

"Selaku Anggota Komisi I DPR PokJa Penyiaran, saya menyatakan tidak etis adanya Adzan Maghrib yang jelas-jelas di sisipi iklan di salah satu TV, " kata Roy.

"Selayaknya KPI memberikan teguran hal tersebut, karena tayangan adzan sudah seharusnya murni dari Komersialisasi, kecuali sebelum atau sesudahnya," lanjutnya.

Salahkah beliau? bagi saya ini bukan soal salah atau benar. Saya tertarik dengan istilah komersialisasi. Bukannya komersialisasi agama sudah dari dulu? Kenapa kalau adzan jadi sewot? Bukannya sudah ‘wajar’ dinegeri ini ada ceramah agama di televisi namun ada iklan dipanggung tempat penceramah itu berbicara?

Batasan komersialisasi agama itu seperti apa? Kalo ada agen yang menyediakan paket umroh atau haji, dan mengiklankan di televisi dan koran, apakah ini juga termasuk komersialisasi agama?

Mengapa soal adzan kita jadi sensitif begini? Bukannya saya tidak setuju orang mempertanyakan hal itu, namun jika memang itu dianggap tidak baik, emangnya baru sekarang fenomena komersialisasi agama ada?

Tentu kita sudah beberapa kali dengar ada sebuah undian yang iming-iming hadiahnya berupa biaya berangkat haji atau umroh? Bukankan ini juga mempergunakan agama (haji dan umroh) untuk mendapatkan keuntungan materi, bukankah hal semacam ini bisa dibilang komersialisasi?

Di bulan romadhon ini, coba tengok iklan-iklan di televisi atau di media massa lainnya, bukankah gambar ka’bah banyak digunakan sebagai background di materi iklannya? Apakah ini bukan termasuk dalam memanfaatkan simbol agama untuk mendapatkan keuntungan?

Kesimpulan sederhana saya adalah bahwa adzan –dan simbol-simbol agama lainnya- hanya digunakan oleh media sebagai upaya untuk menjaga nama baik atau meraih simpati. Agama akhirnya hanya sebagai sebuah simbol-simbol yang dimanfaatkan untuk mengeruk keuntungan. Sinetron religi, acara sahur dan lainnya yang tayang diberbagai televisi akhir-akhir ini kebanyakan kehilangan mutu dakwahnya, meskipun harus saya akui ada beberapa acara yang menurut saya kualitasnya baik. Orientasi industri televisi memang bukan dakwah atau moral, mereka hanya akan cenderung berfikir soal keuntungan materi belaka. Dan itu sah-sah saja, karena memang seperti itulah mereka.

Kita ini sudah ‘terbiasa’ dengan komersialisasi agama, jadi menurut saya tidak perlu kiranya kita habiskan energy untuk berheboh-ria dalam menanggapi iklan yang nyisip di tayangan adzan maghrib itu. Sejujurnya saya akhirnya kesulitan juga untuk membendung diri agar tidak menebak-nebak, sebelumnya tak banyak yang melihat adzan di stasiun televisi itu, namun setelah digonjang-ganjingkan seperti ini maka akan membuat banyak mata tertarik untuk melihat adzan itu, dan akhirnya iklannya akan banyak dilihat orang. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar