OTAK, instrument pikir akan menghasilkan output untung - rugi, mungkin - mustahil dan benar - salah (berdasarkan ukuran-ukuran yang diciptakan manusia sendiri). Sedang HATI, instrument rasa akan menghasilkan output manfaat - mudlarat, pantas - wagu dan etis - tidak etis (bersarkan inspirasi yang diperoleh dari Sang Pencipta). Otak dan hati adalah dua perangkat yang berbeda. Ketika kita menyiapkan waktu dan ruang di hati untuk menyongsong datangnya inspirasi maka tinggalkan otak, berhentilah berpikir agar inspirasi lebih cepat masuk ke dalam relung hati.

(Pujo Priyono)

===================================================

10 April 2010

Leticia Charlotte Agraciana Joseph (Budaya Resek)


Sebelumnya saya ingin tegaskan bahwa apa yang tertulis disini sama sekali bukan beniat menghakimi siapapun. Ini hanya upaya untuk menyinaoni keadaan. Saya gak kenal Sheila Marcia (katanya orang dia artis senetron, tapi sampai hari ini saya belum pernah liat senetronnya), saya juga ga suka berita artis. Hanya saja, berita ini jadi TOP STORY di kompas.com beberapa hari terakhir, akhirnya tertarik juga tanganku untuk meng-klik beberapa berita tentang kasus ini.

Simak kutipan berita kompas.com berikut : “Setelah mengaku sebagai ayah biologis Leticia Charlotte Agraciana Joseph, putri pesinetron Sheila Marcia, secara jantan vokalis Anji ‘Drive’ mengutarakan rasa salutnya akan keteguhan dan kekuatan Sheila ketika mengandung Leticia”.

Entah ini pemilihan kata yang kurang tepat, atau memang seperti itulah cerminan sikap masyarakat kita. Kata “jantan” dan “salut” sekarang bisa disematkan pada mereka-mereka yang nyata-nyata telah merobek-robek norma sosial.

Media (yang mungkin juga cerminan opini masyarakat pada umumnya) sangat baik hati terhadap para pelaku pelecehan susila. Boleh jadi ini adalah bentuk bagaimana masyarakat kita telah mampu mencari sisi baik, mampu belajar dari kesalahan-kesalahan orang tanpa harus menghakimi para pelaku kesalahan itu. Atau ada yang lain?

Jaman saya masih kecil. Di desa saya, masih sering tetangga saling resek terhadap tetangga lainnya. Antar anggota masyarakat masih saling usik terhadap anggota masyarakat lain, mereka usik dengan bertanya-tanya, siapa yang datang bertamu malam-malam di rumah si fulan, atau kenapa si fulin tiap hari pulang larut malam, ada juga yang usil dengan bertanya kenapa si fulen pegawai kecamatan itu bisa beli mobil mewah.

Jika ada yang terbukti melanggar “kenormalan” bermasyarakat, tanpa komando resmi dari siapapun masyarakat desa akan menciptakan “penjara sosial” terhadap para pelangar itu. Para pelaku-pelaku “kejahatan sosial” akan dipasung dengan sangat erat, tentu saja itu dimaksudkan sebagai upaya “bikin kapok si pelaku” sekaligus sebagai warning terhadap yang lain agar jangan sekali-sekali mencoba untuk merusak tatanan kehidupan sosial-budaya masyarakat disitu.

Keusilan-keusilan masyarakat itu sekarang ter-eliminir “nilai”-nya. Dengan dalih demokrasi, dengan alasan privasi, dengan bersembunyi dibalik hak asasi, ke-resek-an masyarakat itu dianggap budaya tertinggal, ndeso. Meskipun tidak 100% budaya resek itu dilenyapkan. Orang-orang kapitalis memanfaatkan sisa-sisa semangat ke-resek-an masyarakat dengan menjual produk yang bernama entertaiment. Akan tetapi, budaya resek dengan merk entertaiment ini sudah berbeda nilainya.

Resek versi entertaiment tidak berurusan dengan nilai moral masyarakat. Sehingga kadang-kadang mereka tergelincir (mungkin juga sengaja menggelincirkan diri) pada sesuatu yang malah berpotensi bisa merubah moral masyarakat ke arah yang belum jelas.

Pada masyarakat desa jaman dulu, ada perempuan dan laki-laki yang bukan suami-istri berduaan diatas jam 10 malam, besok paginya orang se-RT akan menggunjingkannya. Jangan menilai gunjingan dari sisi fiqh dulu, itu urusan lain. Tapi yang pasti, gunjingan-gunjingan tersebut secara tidak langsung memberikan efek jera kepada pelaku sekaligus memberikan ancaman agar yang lainnya jangan meniru perilaku itu.

Namun, lihatlah resek versi entertaiment ini. Pelaku-pelaku “kejahatan susila” bisa digunjingkan sekaligus dipuja-puja sedemikian rupa. Bagaimana bisa dia disebut sebagai “jantan”?, bagaimana bisa dia di-“salut”-i?

Service yang baik yang diberikan media (mungkin juga masyarakat) terhadap mereka yang telah melecehkan norma-norma sosial inilah yang membuat mereka kehilangan rasa malu. Sehingga meskipun telah menciptakan aib, mereka masih saja cengengesan di depan kamera wartawan. Masih bisa nampang dengan senyum manis sambil beretorika atas aib yang mereka ciptakan. Kemudian, diam-diam anak-anak muda kita belajar dari sikap masyarakat, bahwa tidak masalah berbuat dosa, toh masyarakat kita kan pemaaf.

-----

Kalau untuk mengembalikan “kemurnian” akan ke-resek-an masyarakat secara luas itu susah. Maka, mari sama-sama menciptakan lingkaran-lingkaran kecil di sekitar kita dan menebarkan virus usil dengan semangat kasih sayang tentunya, sehingga yang di-usil-i tidak merasa terusik privasinya, tidak merasa terkoyak hak asasinya, tanpa merasa dibelenggu demokrasi-nya.

---
Tembagapura, 10 April 2010

4 komentar:

  1. Sheila..Marcia... tegar juga yeaaa...

    BalasHapus
  2. Benar bgt... :'( dan juga parahnya.. semakin aibnya terbongkar, malah semakin tenar.... Kita manusia, hny bs berpendapat, kita tidak bs merubah dunia ini lebih baik lagi.... Hanya bisa berusaha tidak ikut terjerembab

    BalasHapus
  3. Tapi entah juga, coba kita giliran lagi, semisal kita yg berada di posisi mereka... Mungkin kita akan melakukan hal yg sama... Who knows?

    BalasHapus