Seperti biasa, saya membantu pelanggan mengisi sebuah formulir. Pertanyaan demi pertanyaan aku sampaikan kepada pelanggan untuk melengkapi data : Nama, tanggal lahir, alamat, dan sampailah pada pertanyaan yang selalu bikin saya selalu gelisah.
“Maaf pak, kalau boleh tahu, agamanya apa?”
Setiap, pertanyaan ini saya lontarkan ke pelanggan, (kalau boleh aku dramatisir) badanku langsung gemetar, kosong. Tiba-tiba saya membayangkan diriku yang ditanya seperti itu. Aku pasti linglung. Aku mau jawab apa? Islam? Apa bener aku ini Islam?
-------
Di tengah zaman di mana orang-orang berlomba-lomba mengakui “keislaman”-nya, aku menjadi minder. Aku malu setengah mati untuk mengakui aku ini Islam. Sebentar lagi musin orang-orang berbondong-bondong kemasjid saat sholat isya’ dengan baju koko-nya, dengan songkok, sajadah, tasbih. Aku khawatir, kalaupun saya ini dianggap islam, Islam-ku tidak “se-kental” mereka-mereka itu, Islam-ku masih sangat encer, tidak berwarna, kalaupun harus dipaksa untuk berwarna, pasti warnanya hitam kelam.
Sering aku mendengar, mereka (yang katanya telah islam) sibuk mengkafir-kafirkan, me-murtad-kan, menganggap sesat orang lain. Aku lebih sibuk dengan rasa ‘was-was’-ku, jangan-jangan aku ini termasuk dalam golongan ‘yang dianggap sesat’ itu. Jangan-jangan aku ini kafir? atau bisa saja aku ini sesat? dan ribuah pertanyaan ber-‘aroma’ kegelisahan lainnya terus menerus meneror hati ini.
Jangan tanya saya “arti sesungguhnya” dari kata kafir, sesat, murtad dan lain-lain itu. Aku ini orang awam, bukan santri. Aku tak mengerti sama sekali, babar pisan ora ngerti…!. Bahasa yang aku bisa pahami dari otak-ku yang gak pernah ngaji ini, hanya bahasa sederhana saja, bahasa kampung. Kata ‘kafir’, ‘sesat’, ‘murtad’ itu semacam terror yang menyeramkan, otakku sama sekali tidak mampu menterjemahkannya secara pasti.
------
Ketika sudah BERSAKSI BAHWA TIADA TUHAN SELAIN ALLAH, berarti semua hal harus berjalan sesuai dengan ke-Allah-an. Itu ‘tafsir goblok-goblokan' saya.
Ketika seseorang sudah mengucap syahadat, tapi masih memelihara dengki, masih mengumbar prasangka, menebar curiga, apa bahasa agamanya bagi orang seperti itu? apa bukan murtad?
Ketika seseorang masih gemar mencuri, mengambil hak-hak makhluk lain, serakah pada alam, apa sebutan agamanya bagi orang seperti itu? apa bukan kafir?
Ketika seseorang yang mengaku beragama, kemudian atas nama agamanya itu dia menghalalkan diri untuk menempeleng, menganiaya, membunuh, kemudian menghakimi makhluk Tuhan yang lainnya selayaknya merekalah Tuhan. Kalau sudah seperti itu, apa namanya kalo bukan sesat?
Jangan mendebat dulu, sekali lagi saya tegaskan, ini ‘tafsir goblok-goblokan' saya. Kalau anda tidak berkenan, ya silahkan saja. Anda pasti punya pengetahuan lebih dibanding saya. Saya yakin itu. Anda pasti akan menjelaskan dengan sangat rinci, bahwa ‘murtad’ menurut Syeh Anu adalah bla... bla..., bahwa ‘kafir’ menurut Kyai Itu adalah bla… bla… Kemudian anda akan memperkuat pendapat itu dengan membubuhkan ayat ini, hadist itu.
Waduh, saya gak ngerti yang begituan. Otak-ku tidak sampai, gak nyandak blas. Bagi saya, saat memelihara dengki, mengumbar prasangka, menebar curiga dan lain-lainnya itu, berarti menafik-kan ke‘BERSAKSI’annya. Kalau memang sudah BERSAKSI (besumpah), berarti menyerahkan semuanya pada Allah. Jadi tak perlu mengeluarkan energi lagi untuk dengki, prasangka, curiga. Kalau masih ‘bersusah payah’ untuk melakukan hal tersebut, itu sama saja anda meragukan ke-Tuhan-annya Allah.
Bagi saya, Islam tak pernah mengajarkan untuk mencuri, korupsi, serakah dan sebagainya itu. Jadi ketika masih melakukan hal itu, berarti itu bukan Islam. bahasa sederhana saya menyebutnya Kafir.
Menganggap diri sendiri selayak Tuhan dengan mengambil alih peran Tuhan kemudian menghakimi makhluk-makhluk lain, lalu berani menentukan siapa yang masuk neraka, siapa yang masuk surga. Bagi saya, itu Sesat.
----
Jadi saat aku ditanya “agamaku ini apa?”. Aku mau jawab apa? Islam? Apa bener aku ini Islam? Saya malu setengah mati menyatakan diri Islam, Sementara saya masih sering terlena akan nikmatnya curiga, terbius oleh ‘ketenanganan’ prasangka, sementara tiap saat aku melakukan puluhan atau mungkin ribuan, mungkin juga jutaan 'laku' yang tidak sesuai dengan Islam. Terkadang saya masih merasa nyaman dengan pencurian-pencurian yang aku lakukan, bahkan saat aku mengetik ini, aku sedang mencuri waktu kerjaku (korupsi), dan lebih parahnya, saya mengatasnamakan Tuhan untuk ‘korupsi’ ini. Astagfirullah..
******
catatan dari sahabat saya :
Muhammad Sholihuddin memang jalan untuk mencapai ksempurnaan banyak rintangan dan halangan, rintangan itu seringkali justru berada di di depan kelopak mata, sehingga sulit mengartikannya..
menurutku, berislam-mungkin sama juga bersyahadat berbeda dengan beragama islam (mengucapkan syahadat)
bersyahadat mempunyai konsekwensi "penyaksian" keberadaanNya dalam tiap relung kehidupan, kebendaan, aktivitas dan segala akibat yang di hasilkan dari proses aktivitas tersebut.
bukankah Tuhan dalam tiap detik (bahkan tuhan tidak terikat waktu) bersaksi terhadap kita?
jasad, pikiran, dan perilaku kita adalah merupakan campur tanganNya ??
baik berupa kebaikan atau keburukan...
adakah sesuatu yang terlepas dari kesaksiannya kemudian kita syahadati (saksikan) ??
iki yo tafsir goblok-goblokanku
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar