Ditulis Oleh: Muhammad Ainun Nadjib
Rencananya, sesudah diskusi ulang tahun ke-52 Lembaga Administrasi Nasional, 4 Agustus pagi itu, saya janji langsung ke Rumah Sakit Mitra Keluarga untuk turut mengantarkan Rendra pulang ke rumah Clara Shinta, putrinya, di Pesona Khayangan, Depok. Namun, tiba-tiba Mbah Surip dipanggil Tuhan sehingga seusai diskusi, saya dengan beberapa teman Kenduri Cinta langsung menuju rumah Mamiek Slamet di Kampung Makassar, tempat pertama jenazah beliau disemayamkan.
Memasuki kampung padat gang sempit penuh orang dan wartawan, tiba juga kami di depan rumah Mamiek. Pintu ditutup rapat. Manohara barusan masuk. Kami tidak punya ”kompetensi” untuk berjuang agar bisa dibukakan pintu sebab kami tidak tahu posisi kami dalam dunia Mbah Surip: apakah kami termasuk di lingkaran primer sahabatnya, atau lingkungan sekunder, ataukah fans belaka sebagai ratusan khalayak yang memadati tempat itu.
Bersama Dr Nursamad Kamba, aktivis Thariqat Naqshabandy Mesir, kami mengaji dan berdoa di sebuah pojok, kemudian berniat langsung saja ke Cipayung, tempat Mbah Surip akan disemayamkan. Jalan kami terdesak-desak oleh arus massa yang berlomba mengerumuni dan menciumi tangan Manohara, tetapi syukur bisa lolos juga dan langsung menuju kompleks Bengkel Teater Rendra di Cipayung.
Sesampai di sana kami terbentur problem ”kompetensi etis” lagi sehingga hanya berkumpul di sebuah rumah tetangga Rendra untuk berdoa dan shalat gaib bersama. Kami menyepakati agar Noe ”Letto” dan satu dua teman yang masuk ke tempat jenazah Mbah Surip disemayamkan.
Pukul 20.00, kami cabut menuju Pesona Khayangan Kav-5 untuk menemani Rendra yang terbaring sakit. Problem jantung dan ginjal beliau semakin mereda sesudah berpindah tiga rumah sakit, tetapi lalu tiba-tiba terserang demam berdarah sehingga rencana untuk keluar dari RS Mitra tertunda menunggu trombositnya naik. Syukur beliau akhirnya diizinkan pulang dan mulai ditangani oleh sebuah klinik herbal di Jakarta Barat.
”Menonton” Mbah Surip
Rendra telentang, rambutnya dipotong pendek sejak seminggu sebelumnya, tubuhnya masih kuyu, tetapi wajahnya mulai bersinar.
”Hatinya lebih tenteram di sini, Mas?” saya menyapa sambil memegangi tangannya. Rendra tersenyum, menganggukkan kepala, dan memancarkan sorot mata optimisme. Rendra bukan orang yang pernah suka menyembunyikan isi hatinya sehingga kalau hatinya tidak benar-benar lebih tenteram, ia pasti menjawab dengan keras dan tegas, ”Ora!”
Kami berbisik-bisik mengobrol pendek-pendek, tentang kelegaannya ditangani dengan metode yang lebih natural, tetapi menyepakati kesiapan seluruh segi untuk sewaktu-waktu berpindah ke rumah sakit di Singapura, yang memang sudah kami runding sejak dua minggu sebelumnya.
Ken Zuraida, istri beliau, dan Meme, putri mereka, lalu lalang menyiapkan ini itu yang diperlukan. A’u alias Clara Shinta, putri Rendra dari istri pertamanya, Sunarti, tak pernah diperbolehkan papanya lepas beberapa meter saja pun darinya, siang dan malam. Juga Arifin, semacam asisten pribadi Rendra yang senantiasa siap ceplas-ceplos bergurau menyegarkan jiwa Rendra, tidak pernah bisa beranjak dari seputar Rendra. Jika beranjak akan terdengar suara berat memanggil-manggilnya, ”Fiiin! Fiiin!”
Namun, malam itu Rachell, putri Rendra dari Sitoresmi, sedang pamit ke Yogyakarta sehingga tak terdengar gurauan liberal yang segar antara bapak dan putrinya.
Suasana di pembaringan Rendra kemudian bahkan agak berubah sendu. Di seberang pandang Rendra, televisi sedang menayangkan siaran langsung prosesi pemakaman Mbah Surip.
Ribuan orang dan ratusan wartawan memenuhi ”rumah Rendra”. Rendra menatap televisi dengan ekspresi wajah yang tidak segera bisa saya raba. Apakah mereka tahu di mana gerangan tuan rumahnya Mbah Surip berada? Kenapa Rendra tak tampak turut takziah kepada tamunya? Apakah ada yang tahu bahwa si tuan rumah sedang terbaring sakit sejak dua bulan sebelum Mbah Surip meninggalkannya?
Anatomi nilai
Tatkala terbaring di rumah sakit, Rendra pernah berbisik, ”Kapan saya pulang, Nun?” Saya agak mengelak, ”Kalau pulang, ke mana, Mas?” Ia menjawab, ”Ke Cipayung. Itu tanahku, itu hutanku, itu kuburanku….”
Lalu, tatkala diperkenankan pulang, ia mengambil keputusan, akan pulang ke rumah putrinya, A’u. Saya memahaminya sebagai ungkapan kearifan dan kemuliaan hatinya untuk berbagi kegembiraan dan keadilan bagi siapa saja di dalam lingkup keluarganya. Ternyata kemuliaan hati Rendra itu dituntun Tuhan. Sesudah dua hari berbaring di rumah putrinya, ia rebah di ”tanahku, hutanku, kuburanku”.
Tiba-tiba, tatkala bersama Komunitas Padangbulan saya berbincang di bawah cahaya bulan purnama di Jombang, 6 Agustus pukul 22.05, di panggung saya memperoleh telepon bahwa Rendra telah dijemput oleh Malaikat Izroil karena lamaran cintanya diterima Allah SWT. Beberapa jam sebelumnya, tatkala maghrib, ia memanggil A’u dan Arifin, bertanya, ”Kalau aku mati, kamu ikut siapa?” Tentu saja mereka berdua menjawab, ”Papa tidak boleh omong seperti itu.”
Hati saya mungkin kotor karena spontan yang muncul di benak saya sesudah mendengar kepergian Rendra adalah ”apakah akan ada siaran langsung juga sebagaimana Mbah Surip?”
Saya mencoba memaafkan diri sendiri dengan meyakini bahwa pertanyaan itu muncul tidak dari konteks eksistensialisme dan kemasyhuran, melainkan ujian berpikir bagi diri saya sendiri, dan syukur bagi seluruh bangsa Indonesia, khususnya bagi dunia jurnalisme negeri ini. Apakah tidak sebaiknya kita mempertanyakan kembali parameter-parameter nilai kehidupan yang berlaku.
Bagaimana sebenarnya kita menggambar ”anatomi nilai” kebudayaan kita? Yang mana dan siapa ”kepala”, yang mana dan siapa ”tangan”, ”kaki”, ”otak”, ”nurani”, dan ”kelamin”?
Jangan dulu bertanya tentang kaliber karya dan kepribadian Rendra. Kita benahi dulu: yang primer itu akal ataukah nurani, ataukah kelamin? Yang utama bagi informasi dan komunikasi kebudayaan kita ini prestasi akal, pencapaian estetika dan nurani, atau euforia nafsu dangkal kelamin—baik yang diekspresikan dan diperjualbelikan secara eksplisit kelamin maupun yang implisit dan tak kentara bahwa sesungguhnya ”rating tertinggi” yang kita imani adalah ”packaging” kedangkalan, kekonyolan, kehinaan, dan kerendahan?
Wallahualam. Saya berdebar dari detik ke detik. Di tangan saya tergenggam lembar kertas yang bertuliskan puisi terakhir Rendra yang ia tulis pada 31 Juli 2009 di RS Mitra Keluarga…. (Sumber: Kompas, Sabtu, 8 Agustus 2009)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar