OTAK, instrument pikir akan menghasilkan output untung - rugi, mungkin - mustahil dan benar - salah (berdasarkan ukuran-ukuran yang diciptakan manusia sendiri). Sedang HATI, instrument rasa akan menghasilkan output manfaat - mudlarat, pantas - wagu dan etis - tidak etis (bersarkan inspirasi yang diperoleh dari Sang Pencipta). Otak dan hati adalah dua perangkat yang berbeda. Ketika kita menyiapkan waktu dan ruang di hati untuk menyongsong datangnya inspirasi maka tinggalkan otak, berhentilah berpikir agar inspirasi lebih cepat masuk ke dalam relung hati.

(Pujo Priyono)

===================================================

14 Mei 2010

Di Negeri ini, Orang Pintar pun Harus “Ngemis”

Beberapa waktu yang lalu, Presiden memberikan apresiasi kepada para siswa yang berhasil meraih Nilai UN tertinggi. Bentuk penghargaan itu berupa laptop, dan hadiah itu diberikan pada acara puncak peringatan Hari Pendidikan Nasional 2010 di Istana Negara, 11 Mei 2010. Siswa berprestasi itu antara lain Shelly Silvia Bintang (SMAN 1 Denpasar) yang lulus dengan nilai rata-rata 9,65, I Wayan Sumahardika (SMAN 1 Denpasar) nilai rata-rata 9,64, dan I Gusti Ayu Agung Indrayuni (SMAN 1 Singaraja) dengan nilai rata-rata 9,63.

Sedangkan tiga lulusan sekolah menengah pertama dengan nilai tertinggi adalah Ni Made Yuli Lestari dari SMPN 1 Gianyar, Ni Kadek Indra Puspayanti dari SMPN 1 Abiansemal dan Fitrian Dwi Rahayu dari SMPN 1 Karangayar, ketiganya memperoleh nilai rata-rata tertinggi nasional 9,95.

Selain “hadiah cantik” dari Kepala Negara itu, berdasarkan informasi dari beberapa media disebutkan bahwa mereka juga akan mendapatkan beasiswa dari Kementerian Pendidikan Nasional.

Namun tadi malam ada sesuatu yang menarik. Sherlly Silvia Bintang, seorang gadis cantik berkacamata tadi malam (11/5/2010) nongol di layar kaca yang disiarkan secara langsung. Siswa peraih NUN tertinggi untuk tingkat SMA ini tadi malam menghadiri undangan TV-One. (saya ketinggalan beberapa segmen, saya menyalakan TV saat di segmen-segmen terakhir wawancara itu)

Bagian akhir dari wawancara itu membuat saya tercengang. Berdasarkan pengakuan Sherlly, dia sebenarnya kepingin melanjutkan untuk kuliah di fakultas kedokteran. Akan tetapi, kemungkinan hal itu sulit teralisasi karena orang tuanya merasa tidak mampu untuk membiayai kuliah kedokteran yang konon kabarnya butuh biaya yang tidak sedikit itu.

Keluh kesah itu berlanjut, ternyata TV-One sudah menyiapkan sebuah segmen khusus yang memberikan kesempatan untuk para pemirsa menelepon ke studio, dan tentu saja dengan harapan ada pihak yang sudi memberikan bantuan agar wanita muda yang cerdas ini bisa melanjutkan kuliah ke jurusa yang dia idam-idamkan.

Apakah kabar yang menyebutkan bahwa Kementrian Pendidikan Nasional yang menjajikan beasiswa itu hanya sekedar kabar burung? Sehingga ada anak bangsa yang sedemikan cerdas harus “ngemis” pada pihak-pihak non-pemerintah. Apakah negara ini hanya mampu mengapresiasi kecerdasan seseorang hanya dengan sebuah komputer jinjing?

Info tentang beasiswa itu entah sebenarnya bagaimana? Namun kalau saja ada beasiswa, tidak mungkin Sherlly harus nongol di layar kaca dengan tujuan mencari biaya kuliah. Meskipun bisa jadi acara “ngemis” itu bukan niatan Sherlly, namun lebih pada pihak televisi yang memang hobi banget menjual kesedihan.

Minimal ada beberapa kemungkinan tentang apa yang terjadi tentang beasiswa itu. Pertama, pihak Sherlly merasa apa yang ditawarkan oleh pihak Kementrian Pendidikan Nasional tidak sesuai dengan apa yang dinginkannya, entah dalam hal persyaratan atau jumlah nominal yang ditawarkan.

Kedua, bahwa sudah sangat sulit mempercayai segala hal yang berbau birokrasi pemerintahan, sehingga Sherlly tidak berani “berjudi” dengan mempercayakan masa depannya pada biasiswa yang diberikan pemerintah itu dan akhirnya lebih memilih mencari biaya dari pihak non-pemerintah.

Ketiga, semua kemungkinan yang saya sebutkan tadi salah.

——

Jangankan orang miskin dan tidak cerdas, di negara ini orang pintarpun ternyata harus “ngemis”. []

1 komentar: