OTAK, instrument pikir akan menghasilkan output untung - rugi, mungkin - mustahil dan benar - salah (berdasarkan ukuran-ukuran yang diciptakan manusia sendiri). Sedang HATI, instrument rasa akan menghasilkan output manfaat - mudlarat, pantas - wagu dan etis - tidak etis (bersarkan inspirasi yang diperoleh dari Sang Pencipta). Otak dan hati adalah dua perangkat yang berbeda. Ketika kita menyiapkan waktu dan ruang di hati untuk menyongsong datangnya inspirasi maka tinggalkan otak, berhentilah berpikir agar inspirasi lebih cepat masuk ke dalam relung hati.

(Pujo Priyono)

===================================================

01 Mei 2010

Tak Lulus UN, Santai Saja!

Tak lulus UN, seorang sisiwi bunuh diri. Berita itu, mebuat saya semakin miris melihat pola pendidikan sekolah serta pendidikan dalam masyarakat. Dalam berita itu diceritakan bagaimana seorang siswi yang mempunyai nilai tinggi untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia namun “hancur” di pelajaran matematika, karena takut dimarahi orangtuanya akhirnya dia nekat mengakhiri hidupnya. Fenomena seperti ini bukan hanya karena masalah sistem UN itu baik atau tidak, ini lebih dari hal itu.

Masyarakat memandang bahwa Sekolah adalah segalanya, disana ada harapan, kemakmuran dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kebahagiaan masa depan. Term itu sudah menancap sedemikian dalam di benak hampir semua orang. Jadi jangan kaget jika banyak orang tua berjuang mati-matian untuk bisa memasukkan ke sekolah favorit, unggulan, Standart Internasional atau segala macam sebutannya itu.

Agama memang mengajarkan tentang bagaimana umat itu harus mencari ilmu, “sampai keliang lahat” katanya. Namun bagi saya ada yang sedikit tidak tepat sasaran dari cara kita berfikir. Ilmu yang dimaksud oleh agama kita reduksi sedemikian rupa maknanya hingga yang dimaksud dengan mencari Ilmu itu berarti Sekolah. Dan bahkan esensi mencari ilmu sendiri sudah tereliminir menjadi untuk mencari kesejahteraan, uang, harta, ketenaran dan segala sesuatu yang sifatnya wadag.

Tidak sepenuhnya apa yang kita yakini tetang sekolah (ilmu) itu salah, bahwa dengan sekolah tinggi memang bisa saja membuat seseorang jadi makmur secara ekonomi, mendapat jabatan mantap dan segala kesuksesan duniawi lainnya. Namun dari beberapa kisah menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tidak berbanding lurus dengan kebahagiaan. Sering kita dengar kisah bagaimana sesorang dengan pendidikan rendah namun bisa memperoleh kesuksesan dalam berusaha.

Anda termasuk golongan yang mana? Kelompok orang yang mempercayai pendidikan menjamin kesuksesan atau anda adalah kelompok yang percaya bahwa ada subyek lain selain pendidikan yang menentukan kesuksesan? Atau anda termasuk kelompok “aman” yang beretorika dengan menggambungkan dua pemahaman itu?

Selama ini, ketika ada problematika dunia pendidikan kita selalu mencari jalan termudah, yaitu dengan menyalahkan sistem pendidikan yang dirancang oleh pemerintah. Kita jarang untuk mengaca ke diri sendiri, bukankan ada kemungkinan bahwa budaya kita yang memandang sekolah adalah segalanya itu yang menjadi sebab? Anda mungkin saja menjawab pertanyaan saya di paragraf diatas itu dengan jawaban bahwa anda kelompok orang yang memandang bahwa pendidikan bukan faktor utama, namun (maaf) saya ragu anda berani mengejawantahkan pemahaman anda itu ke dalam laku sehari-hari.

Penyakit kita yang menomorsatukan pendidikan formal inilah yang bagi saya membuat kita “menuhankan” sekolah, ijazah, piagam dan lain-lain. Bahkan banyak yang akhirnya terjebak oleh itu semua, segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan anak diserahkan sebesar-besarnya kepada sekolah, termasuk masalah pendidikan moral. Pengen anaknya pinter agamanya, orang tua banyak yang menyerahkan anaknya ke sekolah yang nama depan sekolahnya harus ada “al” atau yang berbau-bau Arab.

Padahal legitimasi dunia pendidikan kita akan moral ini sangat lemah. Sebagai contoh ringan saja. Misalkan saja saya ini seorang sarjana, untuk menjadi sarjana saya harus lulus semua mata kuliah wajib dan salah satu matakuliah wajib adalah pendidikan agama. Setelah mendapat gelar sarjana, kemudian saya nyolong, memperkosa, membunuh dan lain-lain yang bertentangan dengan ajaran agama, apakah serta merta gelar sarjana akan dicabut? Tentu saja tidak. Meskipun dengan melakukan dosa-dosa itu berarti bisa diartikan saya tidak lulus matakuliah agama, artinya sarjana saya juga seharusnya dicabut.

Begitu lemahnya pengakuan masyarakat-pendidikan terhadap moral ini, akan tetapi kita begitu amat sangat membangga-banggakan jika bisa punya anak yang sekolah di SMA yang standard internasional, kuliah di universitas ternama.

Kebanggaan-kebanggaan serta “ketergantungan” semacam itulah yang secara tidak langsung telah menciptakan sebuah dogma bahwa ijasah itu ibarat sebuah buku tabungan yang bisa menjamin kehidupan di masa yang akan datang. Pantaskan itu kita banggakan? Bisakah kita menggantungkan diri padanya?

Mengakarnya pola pemikiran ini (yang sebenarnya berawal dari para orang tua) akhirnya meracuni anak-anak kita. Mereka jadi tertekan, terteror oleh sebuah kemungkinan bahwa jika tidak lulus UN dia akan jadi orang terhina (dianggap bodoh, tidak berguna), serta dia akan menghadapi kesulitan-kesulitan ekonomi, karir, status sosial dan lain sebagainya di masa yang akan datang.

Sekali lagi, apakah kita masih menanamkan benih kesuksesan di tanah yang bernama pendidikan formal, ataukah kita mencari tanah yang lain yang bisa menjamin bahwa kesuksesan akan tumbuh subur dimasa yang akan datang, bahkan dimasa setelah kefanaan ini usai?

Ketika sudah bisa mendapatkan tanah selain pendidikan formal, kita akan lebih santai menghadapi segalanya. Tidak perlu bunuh diri ketika tidak lulus UN, tidak perlu marah kepada anak jika anaknya gagal dalam sekolah.

1 komentar:

  1. sekolah standar internasional tp gurunya tdk punya standar apa2 :( saya alami itu.

    BalasHapus