Inilah Indonesia, Negara dengan segala macam problematikanya, Bangsa yang tak pernah bosan dengan retorika-retorika tanpa ada hal baik menjadi nyata, Keluasan wilayahnya malah membuatnya menjadi kerdil karena kepicikan perilakunya. Negara subur namun tak bisa makmur, Bangsa kaya namun sengsara”
Begitulah kira-kira keluhan seorang teman suatu ketika. Rasa jengkelnya membuatnya menjadi “benci” dengan keadaan yang ada di Negaranya, meskipun sebenarnya dia masih cinta.
Masih belum sampaikah kita pada titik optimum multi-krisis ini? Sehingga masih belum ada yang memulai untuk bergerak, untuk memikirkan bagaimana cara melepaskan diri dari “kepingsanan” diri.
Kalau sulit menyadarkan orang lain yang ada diatas-atas sana (baca : kaum elit penguasa), sesekali kita coba memandang wajah sendiri, mencermati jerawat-jerawat di muka sendiri, mencari panu-panu yang menghiasi kulit kita sendiri.
Kalau memang mereka adalah tukang jagal, biarkan saja. Mungkin saja mereka adalah raksasa penghisap bergalon-galon darah manusia, bisa saja mereka itu termasuk tuyul-tuyul pencuri anggaran negara, biarkan saja. Minimal kita umbar saja kegilaan mereka untuk saat ini, sembari kita mengorek-ngorek dosa diri.
Disamping kerakusan mereka, bukankan kita adalah makhluk “pembiar”? kecuekan kita melihat penghianat-penghianat itu menjilati air liurnya sendiri. Membiarkan mereka “menjual” nama kita, nama rakyat. “Rakyat menginginkan kasus Century ini tuntas!” begitu teriak mereka suatu ketika, namun akhir-akhir ini ada bau busuk tercium, yang awalnya teriak-teriak itu sekarang bilang “Rakyat butuh coolingdown atas semua kesemrawutan ini dan lebih baik kasus Century ini kita petieskan sementara waktu”. Dan yang membuat miris adalah, kita tak juga sadar. Diam. Membiarkan, dengan alasan tak berdaya.
Dahulu kala, yang sebenarnya juga tidak terlalu lama, semua mata menangisi Lapindo. Namun Pemilu kemarin masih saja orang-orang yang tak pernah becus mengurusi “bencana” itu dipilih kembali. Bukankan ini namanya kita membiarkan diri untuk selalu dikhianati, mengikhlaskan masa depannya dirampok kembali?
Mereka adalah penipu, tapi kita adalah makhluk yang suka ditipu. Mereka adalah perampok, namun kita adalah orang ikhlas dirampok tanpa melawan. Mereka adalah pemerkosa nomor wahid, akan tetapi kita adalah makhluk yang ketagihan diperkosa. Kita tunggu saja, 2014 kita kan memilih kembali yang pemerkosa dengan harapan akan diperkosa lagi. Mungkin dengan sedikit syarat, kita minta diperkosa dengan gaya sedikit lain, biar ga bosen.
——-
Hanya yang mengerti tentang hantu yang akan takut akan hantu. Orang yang tidak paham akan terminologi, sejarah, sifat dan lain sebagainya tentang hantu pastilah tidak akan takut akan makhluk yang bagi orang yang kenal pasti takut. Hanya yang sadar bahwa dirinya sakit yang akan berusaha untuk sembuh. Orang yang tidak mengerti dan tahu bahwa dirinya sedang mengidap penyakit mematikan pasti tidak akan berusaha meminum obat.
Jika mengerti hantu tapi tidak ketakutan bertemu hantu, jika sakit namun tidak berusaha mencari obat untuk sembuh, apalagi namanya kalau bukan gila?
Kita ini apa? Tidak paham akan hantu, atau memang benar-benar gila?
Begitulah kira-kira keluhan seorang teman suatu ketika. Rasa jengkelnya membuatnya menjadi “benci” dengan keadaan yang ada di Negaranya, meskipun sebenarnya dia masih cinta.
Masih belum sampaikah kita pada titik optimum multi-krisis ini? Sehingga masih belum ada yang memulai untuk bergerak, untuk memikirkan bagaimana cara melepaskan diri dari “kepingsanan” diri.
Kalau sulit menyadarkan orang lain yang ada diatas-atas sana (baca : kaum elit penguasa), sesekali kita coba memandang wajah sendiri, mencermati jerawat-jerawat di muka sendiri, mencari panu-panu yang menghiasi kulit kita sendiri.
Kalau memang mereka adalah tukang jagal, biarkan saja. Mungkin saja mereka adalah raksasa penghisap bergalon-galon darah manusia, bisa saja mereka itu termasuk tuyul-tuyul pencuri anggaran negara, biarkan saja. Minimal kita umbar saja kegilaan mereka untuk saat ini, sembari kita mengorek-ngorek dosa diri.
Disamping kerakusan mereka, bukankan kita adalah makhluk “pembiar”? kecuekan kita melihat penghianat-penghianat itu menjilati air liurnya sendiri. Membiarkan mereka “menjual” nama kita, nama rakyat. “Rakyat menginginkan kasus Century ini tuntas!” begitu teriak mereka suatu ketika, namun akhir-akhir ini ada bau busuk tercium, yang awalnya teriak-teriak itu sekarang bilang “Rakyat butuh coolingdown atas semua kesemrawutan ini dan lebih baik kasus Century ini kita petieskan sementara waktu”. Dan yang membuat miris adalah, kita tak juga sadar. Diam. Membiarkan, dengan alasan tak berdaya.
Dahulu kala, yang sebenarnya juga tidak terlalu lama, semua mata menangisi Lapindo. Namun Pemilu kemarin masih saja orang-orang yang tak pernah becus mengurusi “bencana” itu dipilih kembali. Bukankan ini namanya kita membiarkan diri untuk selalu dikhianati, mengikhlaskan masa depannya dirampok kembali?
Mereka adalah penipu, tapi kita adalah makhluk yang suka ditipu. Mereka adalah perampok, namun kita adalah orang ikhlas dirampok tanpa melawan. Mereka adalah pemerkosa nomor wahid, akan tetapi kita adalah makhluk yang ketagihan diperkosa. Kita tunggu saja, 2014 kita kan memilih kembali yang pemerkosa dengan harapan akan diperkosa lagi. Mungkin dengan sedikit syarat, kita minta diperkosa dengan gaya sedikit lain, biar ga bosen.
——-
Hanya yang mengerti tentang hantu yang akan takut akan hantu. Orang yang tidak paham akan terminologi, sejarah, sifat dan lain sebagainya tentang hantu pastilah tidak akan takut akan makhluk yang bagi orang yang kenal pasti takut. Hanya yang sadar bahwa dirinya sakit yang akan berusaha untuk sembuh. Orang yang tidak mengerti dan tahu bahwa dirinya sedang mengidap penyakit mematikan pasti tidak akan berusaha meminum obat.
Jika mengerti hantu tapi tidak ketakutan bertemu hantu, jika sakit namun tidak berusaha mencari obat untuk sembuh, apalagi namanya kalau bukan gila?
Kita ini apa? Tidak paham akan hantu, atau memang benar-benar gila?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar