Tembagapura, sebuah kota dengan ketinggian kurang lebih 3000 meter diatas permukaan laut selalu menawarkan suhu dingin setiap paginya. Kondisi cuaca yang perbedaannya sangat ekstrim bila dibandingkan dengan Timika yang jaraknya tidak lebih dari 100 km dari tembagapura. Jika di Timika, kulit kita akan dibakar dengan sinar matahari dengan suhu minimal 32oC, sementara di Tembagapura, suhu maksimum hanya mencapai 20oC.
Masih Banyak yang Peduli
Pagi itu (9/5/2010), dilapangan Tembagapura mile 68 yang sangat dingin ada sekitar 1000 orang berkumpul, saya termasuk didalamnya. Sempat terbesit rasa kagum, ternyata masih banyak orang yang peduli dan mau diajak untuk melakukan kegiatan yang mungkin bagi kebanyakan orang dianggap sebagai aktivitas yang hanya bikin capek. Clean City, begitulah judul kegiatan kita pagi itu. Seribu orang itu tidak berikan bayaran apa-apa, tidak kena sanksi apa-apa jika tidak ikut, namun semuanya bersemangat untuk ikut serta. Membersihkan sampah yang ada dijalan, memungut apa saja yang dianggapnya bikin kotor dan membahayakan lingkungan.
Seribu orang berkumpul hanya dengan selebaran-selebaran yang ditempel seminggu sebelumnya serta ditambah dengan email berantai antar teman. Jauh hari sebelumnya, saya sering pesimis dengan usaha-usaha penyelamatan lingkungan, namun pagi itu saya merasa mendapat sebuah pencerahan bahwa masih banyak orang-orang yang peduli, masih banyak pihak yang berkenan untuk diajak bercapek ria untuk alasan yang bagi kebanyakan orang dianggap tiada gunanya.
Setelah berkumpul dilapangan serta melakukan pemanasan dengan senam bersama, kita mengambil peralatan untuk bersih-bersih. Peserta dibagi menjadi 10 kelompok dengan wilayah tugas masing-masing.
Setiap kelompok diberi waktu sekitar satu jam kemudian diharapkan untuk kembali ke lapangan untuk sarapan bubur.
Mulai saya berjalan bersama kelompok saya ke lokasi yang sesuai dengan wilayah tugas kami. Semua antusian melakukan ini, ada rasa gembira yang bisa saya tangkap dari keceriaan serta canda-canda mereka. Mereka tetap bekerja dengan keceriaan tanpa mengurangi sedikitpun keseriusan mereka untuk membersihkan sampah-sampah yang ada.
Dominasi sampah kecil
Tembagapura sebenarnya sudah merupakan kota yang rapid an bersih. Karena dari managemen PT. Freeport Indonesia sudah “menugaskan” kepada pihak tertentu khusus untuk memelihara kebersihan serta kerapian kota. Meskipun demikian, ternyata masih ada banyak sampah yang tersisa dan lolos dari para “tukang sapu jalanan” itu. Namun, jenis sampah tersebut memang sering “tidak terjangkau” dan sering dianggap remeh.
Berdasarkan survey kecil-kecilan saya, jenis sampah (anorganik) yang sering terlihat (jika diperhatikan dari dekat) namun sulit “dijangkau” dengan sapu adalah plastic pembungkus rokok, puntung rokok dan pembungkus permen.
Tiga jenis sampah itu mendominasi sampah-sampah yang saya temui. Pembunkus permen yang berbahan dasar plastic ini memang agak susah jika diambil menggunakan sapu, harus menggunakan tangan karena kadang kala sering sudah sedikit tertanam dalam tanah (Tembagapura curah hujan tinggi, jadi jalanan cenderung selalu becek), demikian juga untuk plastic pembungkus rokok (bagian atas pembungkus yang dibuang saat membuka bungkus rokok) ini juga demikian, bentuknya yang tipi situ sangat mudah tertanam di tanah dan sulit disapu.
Kita biasanya sudah sadar untuk membuang sampah pada tempatnya, namun biasanya itu masih terbatas pada sampah-sampah besar. Bungkus rokoknya kita memang buang ditempat sampah, namun saat membuka plastic pembungkus rokok sering kita lupa. Untuk membuang sampah-sampah dengan bentuk materi yang besar kita sudah sadar, namun untuk yang bentuknya kecil seperti pembungkus permen atau puntung rokok, kita sering lupa. Namun karena ini “kelupaan” secara berjamaah, akhirnya sampah-sampah jenis ini yang mendominasi dilingkungan.
Dua pelajaran yang aku dapat pagi itu. Pertama, bahwa tak perlu pesimis untuk penyelamatan lingkungan, karena tanpa kita sadari, masih banyak orang-orang yang peduli. Kedua, bahwa hal-hal kecil (baca : sampah kecil) yang sering kita abaikan, ternyata bisa menjadi “dominan”.
—–
Tembagapura, 10 Mei 2010
Pagi itu (9/5/2010), dilapangan Tembagapura mile 68 yang sangat dingin ada sekitar 1000 orang berkumpul, saya termasuk didalamnya. Sempat terbesit rasa kagum, ternyata masih banyak orang yang peduli dan mau diajak untuk melakukan kegiatan yang mungkin bagi kebanyakan orang dianggap sebagai aktivitas yang hanya bikin capek. Clean City, begitulah judul kegiatan kita pagi itu. Seribu orang itu tidak berikan bayaran apa-apa, tidak kena sanksi apa-apa jika tidak ikut, namun semuanya bersemangat untuk ikut serta. Membersihkan sampah yang ada dijalan, memungut apa saja yang dianggapnya bikin kotor dan membahayakan lingkungan.
Seribu orang berkumpul hanya dengan selebaran-selebaran yang ditempel seminggu sebelumnya serta ditambah dengan email berantai antar teman. Jauh hari sebelumnya, saya sering pesimis dengan usaha-usaha penyelamatan lingkungan, namun pagi itu saya merasa mendapat sebuah pencerahan bahwa masih banyak orang-orang yang peduli, masih banyak pihak yang berkenan untuk diajak bercapek ria untuk alasan yang bagi kebanyakan orang dianggap tiada gunanya.
Setelah berkumpul dilapangan serta melakukan pemanasan dengan senam bersama, kita mengambil peralatan untuk bersih-bersih. Peserta dibagi menjadi 10 kelompok dengan wilayah tugas masing-masing.
Setiap kelompok diberi waktu sekitar satu jam kemudian diharapkan untuk kembali ke lapangan untuk sarapan bubur.
Mulai saya berjalan bersama kelompok saya ke lokasi yang sesuai dengan wilayah tugas kami. Semua antusian melakukan ini, ada rasa gembira yang bisa saya tangkap dari keceriaan serta canda-canda mereka. Mereka tetap bekerja dengan keceriaan tanpa mengurangi sedikitpun keseriusan mereka untuk membersihkan sampah-sampah yang ada.
Dominasi sampah kecil
Tembagapura sebenarnya sudah merupakan kota yang rapid an bersih. Karena dari managemen PT. Freeport Indonesia sudah “menugaskan” kepada pihak tertentu khusus untuk memelihara kebersihan serta kerapian kota. Meskipun demikian, ternyata masih ada banyak sampah yang tersisa dan lolos dari para “tukang sapu jalanan” itu. Namun, jenis sampah tersebut memang sering “tidak terjangkau” dan sering dianggap remeh.
Berdasarkan survey kecil-kecilan saya, jenis sampah (anorganik) yang sering terlihat (jika diperhatikan dari dekat) namun sulit “dijangkau” dengan sapu adalah plastic pembungkus rokok, puntung rokok dan pembungkus permen.
Tiga jenis sampah itu mendominasi sampah-sampah yang saya temui. Pembunkus permen yang berbahan dasar plastic ini memang agak susah jika diambil menggunakan sapu, harus menggunakan tangan karena kadang kala sering sudah sedikit tertanam dalam tanah (Tembagapura curah hujan tinggi, jadi jalanan cenderung selalu becek), demikian juga untuk plastic pembungkus rokok (bagian atas pembungkus yang dibuang saat membuka bungkus rokok) ini juga demikian, bentuknya yang tipi situ sangat mudah tertanam di tanah dan sulit disapu.
Kita biasanya sudah sadar untuk membuang sampah pada tempatnya, namun biasanya itu masih terbatas pada sampah-sampah besar. Bungkus rokoknya kita memang buang ditempat sampah, namun saat membuka plastic pembungkus rokok sering kita lupa. Untuk membuang sampah-sampah dengan bentuk materi yang besar kita sudah sadar, namun untuk yang bentuknya kecil seperti pembungkus permen atau puntung rokok, kita sering lupa. Namun karena ini “kelupaan” secara berjamaah, akhirnya sampah-sampah jenis ini yang mendominasi dilingkungan.
Dua pelajaran yang aku dapat pagi itu. Pertama, bahwa tak perlu pesimis untuk penyelamatan lingkungan, karena tanpa kita sadari, masih banyak orang-orang yang peduli. Kedua, bahwa hal-hal kecil (baca : sampah kecil) yang sering kita abaikan, ternyata bisa menjadi “dominan”.
—–
Tembagapura, 10 Mei 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar