Awalnya, Saya menganggap pernyataan dari bapak Menteri tentang calon kepala daerah itu tidak boleh dari orang yang pernah melakukan perbuatan zina itu hanya sekedar ungkapan secara sporadis untuk merespon fenomena artis-artis yang mencoba untuk mencalonkan diri menjadi Bupati atau Wakil Bupati.
Ternyata Mendagri serius bener dengan hal itu, kabarnya isu tentang zina ini akan dibawa ke rapat dengan DPR-RI komisi II. Sebenarnya saya pernah merespon masalah ini lewat tulisan Miyabi mencalonkan Diri jadi gurbenur tapi tangan saya masih terlalu gatal untuk menulis lagi.
Ketika usulan tentang zina ini dikritisi oleh beberapa pihak, bahwa agak susah memaksakan urusan moral masuk kesebuah undang-undang resmi tertulis. Moral adalah sesuatu yang sifatnya kualitatif yang cara melihatnya amat sangat relatif antar individu. Namun, Mendagri dalam wawancara dengan TV-One tadi malam (28/04/2010) berkilah bahwa kalo urusan moral memang tidak boleh disertakan dalam suatu undang-undang, kenapa dalam undang-undang yang ada disebutkan tentang calon kepala daerah harus bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa?. Urusan taqwa kan juga berhubungan dengan moral.
Ada benarnya juga alasan Bapak Mendagri itu, namun yang dijadikan alasan itu sebenarnya “bermasalah” juga. Kenapa saya katakan bermasalah. Aturan-aturan ketaqwaan ini semacam budaya jaman Orba yang belum bisa kita hapus, pasal tentang hal itu muncul akibat masih maraknya isu-isu tentang PKI pada saat itu. Tapi karena sudah mengakar betul, akhirnya budaya pencantuman syarat ketaqwaan ini masih saja ada, bahkan syarat jadi RT juga seperti itu.
Penghinaan Ajaran Agama
Taruhlah kita sedikit menyetujui bapak Mendagri, bahwa kalau ketaqwaan bisa masuk ke undang-undang kenapa zina tidak? Akan tetapi, kalo mau di timbang-timbang lagi urusan moral kan sebenarnya sudah termasuk secara komperhensif di kata “taqwa” itu.
Dalam UU No. 32 Tahun 2004 pasal 28 disebutkan bahwa “Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat : a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”. Kalo mengingat pelajaran agama waktu sekolah dulu, bahwa yang dimaksud Taqwa adalah menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya.
Berarti kalo sudah disebutkan bahwa Calon Kepala Daerah harus bertaqwa, mestinya tidak perlu lagi disebutkan tentang zina. Karena kalo berzina berarti melanggar aturan Tuhan, artinya lagi ketaqwaannya bisa dipertanyakan. Dan kalau zina “dipaksakan” untuk masuk harusnya masukkan juga aturan tidak pernah nyolong sendal dimasjid, ngintip orang mandi, berkata jorok dan lain-lain yang secara agama jelas-jelas dilarang Tuhan. Dan “pemaksaan” memasukkan kata zina dalam undang-undang bisa saya artikan sebagai penghinaan kata Taqwa, ini pelecehan ajaran agama namanya. Memisahkan antara zina dengan Taqwa itu bisa saya artikan bahwa saya bisa diketegorikan bertaqwa meskipun hobi berzina, karena tidak ada korelasi antara taqwa dengan zina.
Ada banyak argumentasi-argumentasi lain tentang hal ini. Misalnya, sebenarnya yang dimaksud zina oleh Pak Menteri ini apa? Saya curiga, bahwa yang dimaksud zina oleh beliau adalah persenggamaan diluar nikah saja. Ini kan lagi-lagi bisa dikatakan sebagai penghinaan terhadap ajaran agama, bahwa zina dieliminir maknanya, padahal bagi beberapa orang tersentuhnya kulit seseorang yang yang bukan muhrim itu juga sudah zina, ngintip orang mandi itu juga zina, membayangkan Jupe telanjang pun bisa disebut zina dan lain sebagainya.
Perekdusian kata taqwa dan zina bisa dikategorikan penghinaan terhadap suatu ajaran agama kan? Harusnya yang seperti ini yang dijerat oleh undang-undang penodaan agama. J
——–
Jangan jadi Iblis
Kita sering kali tanpa sadar telah mencoba menyaingi Tuhan. Namanya ketaqwaan itu standarisasinya ada pada Tuhan, namun kita kadang kala menyerobot hak Tuhan itu dengan menilai kadar keimanan seseorang. Kita dengan bangga berani menentukan seseorang itu termasuk golongan alim, atau termasuk golongan pendosa. Padahal ilmu kita ini tidak seberapa dibanding dengan ilmu Tuhan, padahal mata kita ini hanya bisa melihat hanya dari satu sudut, kalah jauh dengan Maha Melihat-nya Tuhan. Paling-paling kita akan mengklasifikasi keimanan seseorang dari kopyah, dari jidatnya yang hitam atau dari jilbabnya yang lebar. Hanya dari sudut pandang yang amat sangat terbatas.
Misalnya saya tiap hari berzina, namun tidak tertangkap kamera, tidak ada yang mengetahuinya, publik tidak pernah menyadarinya kemudian saya mencalonkan diri jadi calon Bupati dan lolos. Ditempat lain ada seseorang, sebut saja namanya Bunga, dia berzina kemudian ketangkap kamera dan aib itu tersebar ke masyarakat lalu dia mendaftarkan diri jadi calon Bupati. Pencalonan Bunga itu ditolak, karena dianggap pernah berzina. KPU menerima saya namun menolak Bunga, padahal secara akhlak saya dan Bunga mungkin sama-sama bejatnya. Karena mata KPU berbeda dengan Kemaha-Tahuan Tuhan. Jadi aturan moral ini sama sekali tidak berfungsi karena keterbatasan ilmu kita dalam menilai tingkat akhlak sesorang.
Tuhan itu menerima pertaubatan seseorang. Misalnya saja Bunga setelah pernah melakukan zina dia sadar dan bertaubat kepada Tuhan dengan sebenar-benarnya Taubat. Dia ingin mengabdi kepada masyarakat sebagai penebusan dosa dan sekaligus sebagai upaya untuk mencari pahala dari Tuhan dengan mencalonkan diri sebagai Kepada Daerah.
Pencalonan Bunga itu di tolak karena pernah berzina. Aturan itu tidak pernah bisa mengukur apakah sesorang yang melakukan dosa dimasa lalu itu sekarang bertaubat atau tidak. Penolakan atas pencalonan Bunga kan bisa diartikan : kita (baca : Undang-undang negara) telah menghalang-halangi seseorang untuk mendapatkan ridho dari Tuhan. Sekarang coba sebutkan, apakah ada makhluk selain Iblis, setan dan Dajjal yang menghalangi seseorang untuk bertaubat dan berjalan menuju pintu Tuhan?
Ternyata Mendagri serius bener dengan hal itu, kabarnya isu tentang zina ini akan dibawa ke rapat dengan DPR-RI komisi II. Sebenarnya saya pernah merespon masalah ini lewat tulisan Miyabi mencalonkan Diri jadi gurbenur tapi tangan saya masih terlalu gatal untuk menulis lagi.
Ketika usulan tentang zina ini dikritisi oleh beberapa pihak, bahwa agak susah memaksakan urusan moral masuk kesebuah undang-undang resmi tertulis. Moral adalah sesuatu yang sifatnya kualitatif yang cara melihatnya amat sangat relatif antar individu. Namun, Mendagri dalam wawancara dengan TV-One tadi malam (28/04/2010) berkilah bahwa kalo urusan moral memang tidak boleh disertakan dalam suatu undang-undang, kenapa dalam undang-undang yang ada disebutkan tentang calon kepala daerah harus bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa?. Urusan taqwa kan juga berhubungan dengan moral.
Ada benarnya juga alasan Bapak Mendagri itu, namun yang dijadikan alasan itu sebenarnya “bermasalah” juga. Kenapa saya katakan bermasalah. Aturan-aturan ketaqwaan ini semacam budaya jaman Orba yang belum bisa kita hapus, pasal tentang hal itu muncul akibat masih maraknya isu-isu tentang PKI pada saat itu. Tapi karena sudah mengakar betul, akhirnya budaya pencantuman syarat ketaqwaan ini masih saja ada, bahkan syarat jadi RT juga seperti itu.
Penghinaan Ajaran Agama
Taruhlah kita sedikit menyetujui bapak Mendagri, bahwa kalau ketaqwaan bisa masuk ke undang-undang kenapa zina tidak? Akan tetapi, kalo mau di timbang-timbang lagi urusan moral kan sebenarnya sudah termasuk secara komperhensif di kata “taqwa” itu.
Dalam UU No. 32 Tahun 2004 pasal 28 disebutkan bahwa “Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat : a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”. Kalo mengingat pelajaran agama waktu sekolah dulu, bahwa yang dimaksud Taqwa adalah menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya.
Berarti kalo sudah disebutkan bahwa Calon Kepala Daerah harus bertaqwa, mestinya tidak perlu lagi disebutkan tentang zina. Karena kalo berzina berarti melanggar aturan Tuhan, artinya lagi ketaqwaannya bisa dipertanyakan. Dan kalau zina “dipaksakan” untuk masuk harusnya masukkan juga aturan tidak pernah nyolong sendal dimasjid, ngintip orang mandi, berkata jorok dan lain-lain yang secara agama jelas-jelas dilarang Tuhan. Dan “pemaksaan” memasukkan kata zina dalam undang-undang bisa saya artikan sebagai penghinaan kata Taqwa, ini pelecehan ajaran agama namanya. Memisahkan antara zina dengan Taqwa itu bisa saya artikan bahwa saya bisa diketegorikan bertaqwa meskipun hobi berzina, karena tidak ada korelasi antara taqwa dengan zina.
Ada banyak argumentasi-argumentasi lain tentang hal ini. Misalnya, sebenarnya yang dimaksud zina oleh Pak Menteri ini apa? Saya curiga, bahwa yang dimaksud zina oleh beliau adalah persenggamaan diluar nikah saja. Ini kan lagi-lagi bisa dikatakan sebagai penghinaan terhadap ajaran agama, bahwa zina dieliminir maknanya, padahal bagi beberapa orang tersentuhnya kulit seseorang yang yang bukan muhrim itu juga sudah zina, ngintip orang mandi itu juga zina, membayangkan Jupe telanjang pun bisa disebut zina dan lain sebagainya.
Perekdusian kata taqwa dan zina bisa dikategorikan penghinaan terhadap suatu ajaran agama kan? Harusnya yang seperti ini yang dijerat oleh undang-undang penodaan agama. J
——–
Jangan jadi Iblis
Kita sering kali tanpa sadar telah mencoba menyaingi Tuhan. Namanya ketaqwaan itu standarisasinya ada pada Tuhan, namun kita kadang kala menyerobot hak Tuhan itu dengan menilai kadar keimanan seseorang. Kita dengan bangga berani menentukan seseorang itu termasuk golongan alim, atau termasuk golongan pendosa. Padahal ilmu kita ini tidak seberapa dibanding dengan ilmu Tuhan, padahal mata kita ini hanya bisa melihat hanya dari satu sudut, kalah jauh dengan Maha Melihat-nya Tuhan. Paling-paling kita akan mengklasifikasi keimanan seseorang dari kopyah, dari jidatnya yang hitam atau dari jilbabnya yang lebar. Hanya dari sudut pandang yang amat sangat terbatas.
Misalnya saya tiap hari berzina, namun tidak tertangkap kamera, tidak ada yang mengetahuinya, publik tidak pernah menyadarinya kemudian saya mencalonkan diri jadi calon Bupati dan lolos. Ditempat lain ada seseorang, sebut saja namanya Bunga, dia berzina kemudian ketangkap kamera dan aib itu tersebar ke masyarakat lalu dia mendaftarkan diri jadi calon Bupati. Pencalonan Bunga itu ditolak, karena dianggap pernah berzina. KPU menerima saya namun menolak Bunga, padahal secara akhlak saya dan Bunga mungkin sama-sama bejatnya. Karena mata KPU berbeda dengan Kemaha-Tahuan Tuhan. Jadi aturan moral ini sama sekali tidak berfungsi karena keterbatasan ilmu kita dalam menilai tingkat akhlak sesorang.
Tuhan itu menerima pertaubatan seseorang. Misalnya saja Bunga setelah pernah melakukan zina dia sadar dan bertaubat kepada Tuhan dengan sebenar-benarnya Taubat. Dia ingin mengabdi kepada masyarakat sebagai penebusan dosa dan sekaligus sebagai upaya untuk mencari pahala dari Tuhan dengan mencalonkan diri sebagai Kepada Daerah.
Pencalonan Bunga itu di tolak karena pernah berzina. Aturan itu tidak pernah bisa mengukur apakah sesorang yang melakukan dosa dimasa lalu itu sekarang bertaubat atau tidak. Penolakan atas pencalonan Bunga kan bisa diartikan : kita (baca : Undang-undang negara) telah menghalang-halangi seseorang untuk mendapatkan ridho dari Tuhan. Sekarang coba sebutkan, apakah ada makhluk selain Iblis, setan dan Dajjal yang menghalangi seseorang untuk bertaubat dan berjalan menuju pintu Tuhan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar