OTAK, instrument pikir akan menghasilkan output untung - rugi, mungkin - mustahil dan benar - salah (berdasarkan ukuran-ukuran yang diciptakan manusia sendiri). Sedang HATI, instrument rasa akan menghasilkan output manfaat - mudlarat, pantas - wagu dan etis - tidak etis (bersarkan inspirasi yang diperoleh dari Sang Pencipta). Otak dan hati adalah dua perangkat yang berbeda. Ketika kita menyiapkan waktu dan ruang di hati untuk menyongsong datangnya inspirasi maka tinggalkan otak, berhentilah berpikir agar inspirasi lebih cepat masuk ke dalam relung hati.

(Pujo Priyono)

===================================================

07 Juni 2009

Bukan Sembarang Presiden

Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib

Presiden Reformasi Indonesia bukan sembarang Presiden. Sejak bangkitnya bangsa Indonesia melalui Reformasi 1998, kalau ada seorang Presiden terpilih, jangan dipikir itu sekedar hasil Pilpres satu hari hari, melainkan ujung dari sebuah proses panjang. Itu puncak eskalasi struktural dari tingkat masyarakat RT hingga ke puncak kursi kenegaraan.

Bangsa Indonesia sudah memiliki pengalaman peradaban selama berpuluh-puluh abad untuk memilih pemimpinnya. Pemilihan Presiden di abad 21 ini jauh lebih sederhana karena sekedar melibatkan penduduk atau warganegara. Sedangkan pengalaman sejarah bangsa Indonesia pernah membawa mereka memilih pemimpin tertingginya dengan melibatkan Nyi Roro Kidul, Walisongo, ruh-ruh leluhur, pasukan lebah, lembu atau kerbau, bahkan untuk sebagian secara sembunyi-sembunyi juga melibatkan masyarakat rekanan hidup manusia yang dikenal dengan nama Jin.

Sejak Reformasi di akhir abad 20, bangsa Indonesia sudah benar-benar menjadi dewasa. Maka skala demokrasi modern mereka cukup hanya mengakomodasi hak warganegara yang berjenis makhluk manusia, sehingga mekanismenya jauh lebih simpel. Sedangkan makhluk-makhluk lain yang bukan manusia, dari Malaikat sampai hewan, tidak memiliki hak gugat terhadap keputusan demokrasi modern ummat manusia, karena Tuhan sudah memberi mandat penuh – ibarat Duta Besar Berkuasa Penuh – kepada manusia untuk menjadi khalifatullah fil-ardl, mandataris Tuhan di seluruh bumi.

Bahkan Iblis, makhluk sangat ganas dan sakti mandraguna yang bertugas menjadi antagonis moralnya ummat manusia, semacam ‘sandhi-yudha’ yang memiliki ketahanan luar biasa dalam tugasnya sebagai partner dialektika kehidupan manusia – juga tidak melakukan protes apa-apa terhadap demokrasi modern, terutama yang diselenggarakan di Indonesia. 


***


Iblis pasti bukan tidak tahu bahwa Indonesia adalah negeri yang penduduknya paling memiliki kedekatan dengan Allah swt. Jumlah Hajinya terbanyak seluruh dunia. Sangat rajin bikin pengajian massal, majlis ta’lim, istighotsah, yasinan dan tahlilan, kursus shalat khusyu, biro pengelolaan kalbu, tafsir-tafsir aplikatif dari surah dan ayat-ayat quosi emosi dan spirit, dan berbagai aktivitas keagamaan lainnya yang Iblis ampun-ampun untuk berani menerobosnya.

Maka mekanisme demokrasi modern dijalankan di Indonesia jauh lebih mulus dibanding Negara manapun di dunia. Ditambah faktor plus yang mendasari kekokohannya sebagai sebuah sistem bernegara yang hampir bisa dikatakan tak mungkin bisa digoyahkan oleh apapun saja. Faktor plus itu misalnya tingkat kependidikan masyarakat Indonesia yang sudah jauh memadai sebagai prasyarat tumbuhnya kedewasaan demokrasi. 

Matangnya kebudayaan bangsa Indonesia, sebagai individu manusia maupun sebagai kumpulan komunitas, menjadikan pelaksanaan demokrasi sedemikian gagahnya, penuh kemerdekaan dan kreativitas, penuh kelincahan dan keterampilan, namun tetap berada dalam kontrol bersama yang komprehensif di antara semua kelompok, segmen, strata dan kantung-kantung lain bangsa Indonesia.


***


Demokrasi di tangan bangsa Indonesia bagaikan bola di kaki Maradona, tongkat ganda di tangan Bruce Lee, bola basket di tangan Kareem Abdul Jabbar atau Michael Jordan, mobil Formula-1 di kendali Schumacher, Ayrton Senna atau Fernando Alonso. Kalau mau agak puitis, demokrasi bagi bangsa Indonesia itu bak gelombang di pangkuan samudera, bak panas di ujung lidah api, bak kokok di tenggorokan ayam, atau auman di mulut harimau.

Bangsa Indonesia memiliki susunan dan tata sosial yang solid namun dinamis sejak dari lingkar terkecil. Di dalam setiap keluarga selalu terdapat pembelajaran dialog-dialog alamiah tentang kepemimpinan dan siapa pemimpin. Aspirasi dari keluarga-keluarga kemudian dengan sendirinya menjadi muatan interaksi masyarakat se Rukun Tetangga. Kemudian fondasi aspirasi itu meningkat dan meluas hingga ke skala desa atau kelurahan. Demikian seterusnya sampai ke babak ‘semifinal’ dan ‘final’ di panggung puncak kepemimpinan Nasional.

Jadi kalau ada seseorang akhirnya terpilih menjadi Presiden, sesungguhnya itu hanya ujung dari suatu proses yang sangat panjang. Bangsa Indonesia sudah ‘memiliki’ Presiden sejak di rumahnya masing-masing. Kalau seorang Presiden sudah duduk di kursi kepresidenan, hari itu juga setiap warganegara sebenarnya sudah mengantongi nama presiden berikutnya. Seorang Presiden dalam peradaban bangsa Indonesia adalah seseorang yang sudah diuji oleh seluruh dan setiap rakyatnya sejak jauh-jauh hari sebelumnya, minimal sepuluh tahun. Sistem budaya masyarakat Indonesia sudah memiliki infrastruktur kualitatif dan mekanisme identifikasi yang berlangsung mendasar, permanen dan dinamis.


***


Hal yang sama juga berlangsung pada wakil-wakil mereka di Dewan Perwakilan Rakyat. Siapa saja yang mengambil keputusan menjadi Caleg dan gambar wajah-wajah mereka bisa dijumpai di sepanjang jalan, adalah tokoh-tokoh yang bukan hanya sudah sangat dikenal oleh masyarakat infrastrukturalnya, lebih dari itu mereka sudah diuji moralnya, integritas sosialnya, kesungguhan pengabdiannya, keterampilan kerja dan profesionalismenya, termasuk luasnya wawasan dan tingginya keilmuannya.

Bahkan tatkala seorang Presiden memilih Menteri-Menterinya, dan para Menteri memilih bawahan-bawahannya, itu sama sekali bukan soal selera, bukan berdasarkan power-share atau pembagian kekuasaan, bukan berlatar belakang kepentingan golongan atau penyeimbangan perolehan antar kelompok. Pemilihan atasan ke bawahan itu juga diselenggarakan dengan terlebih dulu mempelajari data-data dan fakta-fakta dari lapangan paling bawah, yakni siapa yang benar-benar sudah lulus dari penyaringan sosial masyarakat.

Kadar keterujian pemimpin nasional dan wakil rakyat yang sedemikan ketat dan kualitatif oleh sistem sosial masyarakat Indonesia, membuat mustahil muncul pemimpin-pemimpin yang nyasar dan a-historis. Kepemimpinan nasional dan perwakilan rakyat di Indonesia tidak bisa sekedar ditentukan oleh eksistensi dan mekanisme partai-partai politik. Parpol hanyalah kendaraan di ujung jalan, hanya alat terakhir untuk secara formal meresmikan apa yang sudah diproses sangat matang dalam waktu yang juga sangat panjang. Semua aktivis parpol juga sangat memahami hal itu, sehingga mereka sangat bersikap rendah hati dan tidak merasa dirinya penentu utama kepemimpinan nasional.


***


Presiden Indonesia dan Wakil-wakil Rakyat adalah orang-orang yang memang harus mereka yang menjadi Presiden dan Wakil-wakil rakyat. 

Vox populi vox dei. Demikianlah ‘sabda rakyat’ melalui mekanisme sistem yang mereka selenggarakan secara konsisten dan istiqamah dari tahun ke tahun, dari era ke era, bahkan dari zaman ke zaman. Presiden dan Wakil-wakil rakyat adalah tokoh-tokoh yang muncul ke singgasana berdasarkan ujian sejarah masyarakatnya sendiri. Dengan demikian bisa dipastikan merekalah memang yang paling layak kepribadiannya, paling bermutu kepemimpinannya, paling unggul ilmu dan wawasannya, paling kredibel kinerjanya, paling luas wawasannya, paling terampil kerjanya, bahkan paling diridhoi Tuhan dan direstui oleh semua makhluk-makhluk Allah non-manusia.

Sistem budaya dan mekanisme sosial bangsa Indonesia yang sudah matang sejak puluhan abad yang lalu, memastikan bahwa pemimpin-pemimpin nasional mereka yang lahir dari demokrasi Indonesia adalah putra-putri terbaik bangsanya. Harus mereka yang memimpin. Tak terbantahkan. Bisa jadi Tuhan sendiripun tak mungkin mengganti mereka, karena Ia mengikatkan diri pada kegembiraan dan kebanggaan menyaksikan tingkat kematangan budaya demokrasi bangsa dan Negara Indonesia.*****(Sumber: Kompas, 22 Mei 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar