OTAK, instrument pikir akan menghasilkan output untung - rugi, mungkin - mustahil dan benar - salah (berdasarkan ukuran-ukuran yang diciptakan manusia sendiri). Sedang HATI, instrument rasa akan menghasilkan output manfaat - mudlarat, pantas - wagu dan etis - tidak etis (bersarkan inspirasi yang diperoleh dari Sang Pencipta). Otak dan hati adalah dua perangkat yang berbeda. Ketika kita menyiapkan waktu dan ruang di hati untuk menyongsong datangnya inspirasi maka tinggalkan otak, berhentilah berpikir agar inspirasi lebih cepat masuk ke dalam relung hati.

(Pujo Priyono)

===================================================

11 Agustus 2011

Hentikan Penggunaan Istilah “di-Munir-kan” Untuk Maling


Kepulangan Nazaruddin ditunggu banyak orang. Kabar tentang penangkapan tersangka maling uang negara itu banyak menyita perhatian publik. Informasi-informasi yang ia berikan kepada media selama masa buron membuat banyak pihak penasaran, terutama dikarenakan nama-nama yang disebutnya adalah orang-orang beken di partai pemenang pemilu 2009, Partai Demokrat.

Presiden kita juga ternyata punya perhatian ekstra untuk kasus Nazaruddin ini, selang beberapa saat saja setelah ada kabar penangkapan Nazaruddin beliau sudah angkat bicara di depan wartawan. Tentu kita senang punya Kepala Negara yang respon dan perhatiannya terhadap kasus korupsi sedemikian besar, meskipun kadang ada juga kasus yang keselip, misalnya Nunun Nurbaetie.

Sesuatu hal yang pasti, bahwa Nazaruddin ini kemudian menjadi penting dan membuat semua orang ‘kangen’ padanya. Nazaruddin yang diharapkan mampu sedikit member informasi untuk bisa membuka beberapa tabir yang menutupi kebobrokan perilaku para politikus bangsa ini. Sangat wajar kiranya kemudian ada rasa khawatir akan keselamatannya.

Ya, keselamatan Nazaruddin kemudian masuk dalam daftar sesuatu yang penting. Konon apa yang diungkapkan Nazaruddin bisa membahayakan karier politik serta mengancam keselamatan orang-orang penting di depan hukum. Banyak nama yang mungkin saja bisa terseret ke meja hijau dan akhirnya mendekam di balik terali besi. Oleh karena itu, beberapa pihak akhirnya khawatir akan keselamatannya, bisa-bisa dia ‘dihilangkan’ guna menyelamatkan orang-orang beken yang terancam akan informasinya.

Bahkan Presiden pun mewanti-wanti agar Nazaruddin selamat sampai tujuan. "Hanya dua pesan yang disampaikan oleh SBY," Kata Menko Polhukam Djoko Suyanto.

Pesan pertama menurut Djoko yakni, supaya jika itu benar Nazaruddin maka keselamatannya harus dijaga. Kedua Nazaruddin harus segera kembali ke Indonesia dan menjalankan proses hukum.
---

Tidak ada yang salah atas rasa khawatir itu, karena Indonesia memang punya rekam jejak yang kelam untuk hal-hal semacam ini. Banyak ‘orang-orang penting’ di negeri ini mati dengan tidak wajar atau hilang tanpa jejak sama sekali. Membungkam orang dengan cara menghilangkan nyawa kadang menjadi pilihan paling jitu.

Komentar-komentar tentang rasa khawatir akan keselamatan Nazaruddin pun banyak keluar dari berbagai kalangan. Namun ada yang membuat saya kecewa adalah gaya bahasa orang-orang itu dalam mengekspresikan rasa khawatirnya itu. Banyak yang menggunakan istilah kurang tepat.

Salah satu pernyataan yang membuat saya gerah adalah pernyataan dari Ketua Komite Etik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abdullah Hehamahua. Beliau khawatir tersangka kasus korupsi pembangunan wisma atlet SEA Games Muhammad Nazaruddin mendapat kekerasan seperti Munir. “Kalau dia di-Munir-kan, di Indonesia ini apa yang tidak bisa?,” Ujar beliau.

Kata “di-Munir-kan” ini yang membuat saya kecewa. Kata itu juga dulu pernah di gunakan oleh beberapa orang untuk mengungkapkan rasa khawatirnya terhadap keselamatan Gayus Tambunan.

Pertanyaan saya adalah: apakah pantas menyandingkan nama Munir dengan seorang maling uang negara?. Saya bisa memaklumi kekhawatiran sesorang atas hilangnya seseorang yang mempunyai informasi penting, namun saya tidak bisa nyaman ketika nama Munir dibawa-bawa untuk ‘disederajatkan’ dengan koruptor. Pejuang dengan maling beda.

Di timeline twitter saya semalam juga ada yang mengungkapkan kekecewaan serupa dengan saya. Pejuang Hak Asasi Manusia yang meninggal karena ada indikasi didalam tubuhnya terdapat racun arsenic itu harus disandingkan dengan seorang tersangka kasus korupsi. Munir Said Thalib, pria kelahiran Malang yang getol dalam perjuangannya membela HAM dicomot namanya untuk dijadikan istilah yang ditujukan kepada seorang penjahat negara. Rasanya memang mengecewakan.

Saya cuma berharap kepada semua pihak, untuk berhati-hati dalam menyatakan pendapatnya. Mempergunakan bahasa yang elok dan pas agar tidak ada pihak yang tersinggung. Mari kita hentikan penggunakan istilah “di-Munir-kan” untuk penjahat. []

---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar