OTAK, instrument pikir akan menghasilkan output untung - rugi, mungkin - mustahil dan benar - salah (berdasarkan ukuran-ukuran yang diciptakan manusia sendiri). Sedang HATI, instrument rasa akan menghasilkan output manfaat - mudlarat, pantas - wagu dan etis - tidak etis (bersarkan inspirasi yang diperoleh dari Sang Pencipta). Otak dan hati adalah dua perangkat yang berbeda. Ketika kita menyiapkan waktu dan ruang di hati untuk menyongsong datangnya inspirasi maka tinggalkan otak, berhentilah berpikir agar inspirasi lebih cepat masuk ke dalam relung hati.

(Pujo Priyono)

===================================================

27 Januari 2010

Bu Multi, Pak Mahmud dan Mas Marjo


Ibu Multi, begitulah penduduk kampung memanggil dia. Padahal, nama aslinya adalah Murti. Namun, karena dia tidak fasih mengucapkan huruf “r”, dan kedengarannya malah seperti huruf “l”. Dan jadilah nama Murti berubah menjadi Multi.

Ibu Multi memang punya multi talenta, multi kegiatan dan multi-multi lainnya. Hal paling menarik adalah kesediaan bu Multi merawat anak-anak miskin dan yatim yang ada di sekitarnya, padahal kalau dilihat dari keadaan ekonomi dia, bu Multi bukan orang kaya.

Pekerjaan utamanya adalah penjahit pakaian. Kalau pesanan lagi sepi, bu Multi bisa jadi apa saja. Jadi apapun tanpa malu dikerjakannya, asalkan bisa mendatangkan rejeki. Sejak suaminya meninggal lima tahun yang lalu, bu Multi hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri.

Meskipun begitu, bu Multi tak bisa disebut miskin. Entah, karena keuletannya sehingga rejeki lancar atau gayanya yang memang kadang-kadang sok kaya. ‘Sok’ bukanya merasa kaya, namun lebih tepatnya tidak mau kelihatan susah. Sombong dan bersyukur hanya dibedakan oleh garis tipis jika kita perhatikan bu Multi. “ya lugi toh, sudah susah koq melasa susah” begitu kata bu Multi.

Suatu saat, diam-diam bu Multi ternyata punya beberapa anak asuh. Tanpa diketahui tetangganya, bu Multi sering menyantuni anak yatim dan orang miskin di sekitarnya. Posisinya yang sebagai anggota suatu jamaah pengajian, dia sering membagikan uang kepada orang-orang tidak mampu dengan mengatasnamakan jama’ah pengajian. Padahal itu sebenarnya uang pribadinya.

“Ini ada sedikit bantuan dali jamaah pengajian, tapi tolong ya bu, jangan bilang ke siapa-siapa kalo ibu mendapat bantuan” itu pesan bu Multi pada Mbok Jana, seorang nenek tua tanpa anak.

Begitu pula dengan anak-anak yatim. Hampir tiap bulan dia ke Madrasah Ibtidaiyah yang ada dikampunya. Langsung dia menuju bendahara sekolah dan membayarkan sejumlah uang. “Ini untuk SPP si Ijah, Nalti, Aldi dan Kalmijo… ini bantuan dali ibu-ibu jamaah pengajian, tapi saya mohon jangan diumumin kepada siapapun… telmasuk pada anggota jamaah pengajian yang lain ”. Dan si bendahara sekolah hanya mengangguk pelan.

Sebenarnya, bu Multi bukan anggota jamaah pengajian yang taat. Maksudnya, pengajian yang diadakan tiap dua minggu sekali itu tidak selalu dia hadir. “Saya nggak fasih ngajinya… jadi malu..”. Lidah bu Multi yang tak normal itu kadang bikin dia minder.

Bu Multi mungkin tak hafal surat dalam Alquran atau hadist Nabi tentang anak Yatim. Namun, bu Multi tahu dan hafal betul bagaimana caranya menyisihkan rejekinya buat anak yatim dan orang-orang miskin.

Tapi, ada kegelisahan lain yang dialami oleh bu Multi tentang jamaah itu. Menurutnya, sudah bertahun-tahun pengajian itu berjalan. Sudah puluhan penceramah diundang, namun tidak ada perubahan sikap. Ibu-ibu itu masih saja suka mengunjing, bahkan saat sebelum atau sesudah acara pengajian itu dilakukan. Hadiri pengajian jadi lebih mirip datang untuk sebuah acara pameran perhiasan, emas dan berlian bertebaran sekujur tubuh mereka. Dan akhir-akhir ini malah tambah parah, ngajinya paling-paling lama sejam, tapi ada ‘tamu’ yang bicaranya bisa sampai dua jam lebih. Itu biasanya kalau dekat-dekat pemilu atau pilkada.

“Celamah terus… Mbok Jana tidak akan kenyang kalo dicelamahi saja… celamah koq cuma didengal saja, sampai dilumah gak dilaksanain”. Gumam bu Multi.

---***---

Terlihat keringat mengucur dari dahi anak-anak itu. Dengan memegang sapu, ember air dan alat pel mereka membersihkan kamar mandi sekolah.

“Adi… sebelah situ masih ada yang kotor tuh..” kata Pak Mahmud sambil menujuk ke sebuah sudut kamar mandi. Dan segera Adi, si ketua kelas itu menuju tempat yang dimaksud oleh guru Agamanya itu, lalu tanpa kata keluh dia membersihkannya.

Beberapa murid perempuan sibuk dengan sapu lidinya menyapu di bagian luar.

“Rumput yang panjang sekalian dicabuti ya..” kata Pak Mahmud pelan. Meskipun perintah itu kedengarannya pelan, namun tak satupun siswa-siswanya itu yang membantah. Dan Pak Mahmud pun tersenyum puas dengan hasil kerja murid-muridnya itu.

Keesokan harinya, saat jam pulang sekolah.

“Pak Mahmud, bisa masuk keruangan saya sebentar?” Pak Hadi sang kepala sekolah menahan Pak Mahmud yang hendak pulang.

“Baik Pak…” lalu Pak Mahmud langsung masuk ke ruang Kepala sekolah.

“Silahkan duduk Pak..” Pinta Pak Hadi. “Begini pak, saya tadi pagi di telpon sama beberapa wali murid… mereka semua protes sama tindakan bapak yang memerintahkan anak-anak mereka untuk membersihkan kamar mandi kepala sekolah…”

Pak Mahmud tersenyum ringan.

“Diantara mereka bahkan ada yang bilang, bahwa anaknya dirumah tidak pernah disuruh untuk bersihkan kamar mandi, tapi disekolah malah disuruh-suruh seperti babu…” lanjut Pak Hadi.

“Maafkan saya Pak Kepala Sekolah” Pak Mahmud mulai berkata, sambil masih mempertahankan senyumnya yang ringan itu. “Saya tidak mengajari anak-anak untuk menjadi babu… di kamar mandi sekolah itu saya sedang mengajari mereka pelajaran agama koq..”

“Ngajar agama koq dikamar mandi Pak?” Tanya Pak Hadi penuh keheranan. Kerutan di dahinya itu menunjukkan kebingunannya atas jawaban anak buahnya itu. “Kalau ngajar pelajaran agama di mushola atau masjid sih saya bisa mengerti…”

Senyum Pak Mahmud semakin lebar

“Ngajar ya yang wajar-wajar aja… seperti guru yang lainnya…. Ga usah sok nyentrik…” nada suara Pak Hadi sedikit meninggi. Mungkin marah atau tersinggung dengan senyuman Pak Mahmud.

“Maksud saya gini…” kata Pak Mahmud dengan tenang. “Saya lagi mengajarkan salah satu ajaran yang dianjurkan oleh agama pak…”

“Apa itu…?”

“Dalam agama disebutkan bahwa ’Kebersiahan itu Sebagian dari Iman’, saya tidak ingin siswa saya hanya menghafal pak… mereka harus mengamalkan ilmu yang dia dapat… salah satu pengamalan dari pelajaran itu ya dengan membersihakan kamar mandi….”

Kepala Sekolah itu mengerutkan dahi sambil sesekali membenahi posisi kacamatanya. Beberapa saat suasana menjadi sunyi. Pak Mahmud merasa penjelasn singkatnya itu sudah jelas, dan Pak Hadi sang kepala Sekolah itu sepertinya seding memikirkan sesuatu, sebuah keputusan.

“Tapi Pak Mahmud…” Pak Hadi buka suara, “Kita jangan menentang kemauan wali murid, kalau mereka tersinggung… sekolah kita ini bisa rusak nama baiknya… Jadi begini saja, saya melarang Pak Mahmud untuk mengajar anak-anak di kamar mandi… kalau bapak ulangi, saya pecat bapak…!!”

Pak Mahmud tersenyum, kemudian mohon diri.

---***---

“Pak RT… tunggu…” Mas Marto menghentikan langkan Pak RT yang hendak meninggalkan masjid.

Pak RT segera menoleh ke belakang. Dilihatnya Mas Marto yang masih menggunakan pakaian kantor berjalan ke arahnya.

“Baru dari kantor mas…?” tanya Pak RT.

“Iya Pak, tadi ada macet… takut ga keburu maghrib, saya langsung ke masjid…” jawab Mas Marto. “Tuh mobil saya masih disitu, belum sempat mampir kerumah…” lanjutnya sampil menunjuk ke halaman masjid tempat mobilnya diparkir.

“Trus maksud sampeyan panggil-panggil saya apa..? tumben…”

“Gini lho Pak RT… Bapak ini kan selain RT juga salah satu tokoh agama disini…” kata Mar Marto sambil menggulung lengan bajunya. “Sekarang ini lagi banyak-banyaknya aliran sesat Pak.. dikampung sebelah ada penduduk yang sudah ikut-ikut aliran nggak jelas… kalo nggak salah namanya itu jamaah apa gitu… lha, kita harus bikin sesuatu pak… biar aliran-aliran nggak jelas itu tidak sampai di kampung kita ini…”

Pak RT hanya mengangkat alisnya.

“Bapak harus segera bertindak untuk menyelamatkan agama Islam ini pak… iman umat harus dilindungi pak… Kalau sampe masyarakat kampung disini ada yang masuk aliran sesat itu, Pak RT nanti di mintai pertanggung jawaban Allah gimana? Pak RT kan pemimpin disini…”

Raut muka Pak RT sekarang agak sedikit muram, sepertinya agak jengkel dengan ‘ancaman’ tentang pertanggung jawaban terhadap Allah tadi.

“Mas Marto… keduwuren omongan sampeyan itu” Pak RT bicara dengan nada agak berat, “Sampeyan mau menyelamatkan Islam?”

Mas Marto mengangguk pasti.

“Bawa dompet?” tanya Pak RT lagi.

“Bawa Pak.. emang kenapa?” Mas Marto mulai bingung. Apa hubungannya dompet dengan menyelamatkan Islam.

“Berapa duit yang ada dalam dompet sampeyan?”

Mas Marto masih bingung, tapi menuruti perintah Pak RT. “Ada 300 ribu pak..”

“Kalo sampeyan pengen menyelamatkan Islam… sampeyan jalan ke sana” Pak RT menunjuk ke salah satu jalan. “Sekitar 200 meter, nanti ada rumah besar dengan pagar yang tinggi”

“Itu rumah saya Pak RT…” Mas Marto semakin bingung dengan pimpinan kampungnya itu.

“Saya belum selesai bicara…” Kata Pak RT kesal. “Tepat di depan rumah besar itu ada rumah kecil, reot…. Itu rumahnya Marjiun”

“Saya tau Pak… saya kan tetangganya…”

“Nah… kasih uang 300 ribu-mu itu ke di Marjiun, anaknya sedang sakit… dia butuh uang untuk ke Puskesmas…”.

Mas Marto terdiam. Entah bingung atau malu karena tidak mengetahui tetangganya sedang kena musibah.

“Kalo kamu ikhlas, itu sudah lebih dari hanya memikirkan aliran sesat…. Sudah sana, kamu selamatkan Islam… saya mau makan malam, Bu RT tadi bikin sambel trasi kesukaanku…” Kemudian Pak RT langsung pergi


----***----
Ngelmu iku
Kelakone kanti laku
Lekase lawan khas
Tegesing khas nyantosani

---------
Tembagapura, 26 Januari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar