OTAK, instrument pikir akan menghasilkan output untung - rugi, mungkin - mustahil dan benar - salah (berdasarkan ukuran-ukuran yang diciptakan manusia sendiri). Sedang HATI, instrument rasa akan menghasilkan output manfaat - mudlarat, pantas - wagu dan etis - tidak etis (bersarkan inspirasi yang diperoleh dari Sang Pencipta). Otak dan hati adalah dua perangkat yang berbeda. Ketika kita menyiapkan waktu dan ruang di hati untuk menyongsong datangnya inspirasi maka tinggalkan otak, berhentilah berpikir agar inspirasi lebih cepat masuk ke dalam relung hati.

(Pujo Priyono)

===================================================

10 Januari 2010

Kesederhanaan


“Ah, engkau memang kere, jadi jangan bicara tentang kesederhanaan… hidup serba kekuranganmu itu bukan pilihan hidup… tapi memang seperti itu keadaanmu”

“Damput…!!!” makiku dalam hati setelah mendengar tetanggaku mengatakan itu. Aku seperti orang yang kepergok saat hendak nyolong sesuatu. Ketangkap basah. Malu setengah mati.

Aku tidak bisa berkata apa-apa. Mulutku tersumpal oleh rasa berdosa kepada istri dan anak-anakku. Selama ini aku menceramahi tentang kesehajaan serta kesederhanaan. Dan diam-diam aku merasa apa yang dikatakan oleh tetanggaku itu mungkin benar adanya. Aku hanya mencari pembenaran atas ketidakmampuanku untuk membahagiakan keluargaku dengan gelimangan harta.

Kesederhanaan yang aku agungkan mungkin saja hanya sebuah kedok. Aku rela makan seadanya karena memang itu yang aku bisa dapatkan. Kesederhanaan itu hanya semacam lagu penghibur saat aku sedih karena tidak mampu mendapatkan keinginanku. Aku belum bisa memasukkan secara benar-benar tentang kesederhanaan itu ke lubuk hatiku. Sebenarnya kepalaku masih sering kepingin ini itu, namun karena tidak mampu mendapatkannya, dan akhirnya aku bersembunyi di tumpukan kitab-kitab hidup sahaja.

Kuhibur anak dan istriku dengan cerita-cerita tentang ke-zuhud-an Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Aku bilang pada istriku bahwa Rosul itu hidupnya seadanya saja. Bukannya bermewah-mewah, padahal kalau memang Rosulullah mau, Allah bisa saja memberikan kekayaan pada beliau. Muhammad memilih menjadi abdan nabiyaa. Begitu juga dengan Ali, Sang menantu Nabi Muhammad ini juga memilih hidup penuh dengan kejelataan.

Aku lupa. Aku terpeleset oleh teori-teori kesahajaan itu sendiri. Rosulullah memilih hidup sederhana, meskipun sebenarnya dia kaya raya. Sementara aku sederhana karena memang aku miskin. Rosulullah mampu menahan segala keinginan tentang keduniaan, sebagai kekasih Allah, Beliau mempunyai kesempatan untuk meminta apa saja kepada Allah, namun Beliau tidak meminta apa-apa. Sementara aku? Aku sebenarnya hanya pura-pura menerima keadaan dengan ikhlas, padahal hati dan kepala ini dikuasai oleh keinginan demi keinginan duniawiah.

“Nak, Bapak dulu juga kalau sekolah naek angkot…” bujukku pada anakku yang masih kelas 2 SMA saat minta dibelikan motor. Diam-diam sebenarnya aku juga punya rasa bangga jika saja aku bisa belikan motor anakku itu.

“Ngapain sih kita beli rumah yang bagus-bagus… yang biasa saja… yang penting bisa untuk berteduh…” Kilahku pada istriku saat akan membeli (lebih tepatnya “kredit”) rumah. Padahal dalam hatiku kadang masih dihantui rasa malu pada tetangga karena rumahku yang jauh “kelas”-nya dengan rumah mereka.

Mungkin saja, justru Istri dan Anak-anakku malahan yang telah “lulus” dalam mata pelajaran kesederhanaan ini. Istriku ikhlas-ikhlas saja dengan ketidakmampuanku, masih mencintaiku tanpa menuntut lebih dariku. Begitu juga anak-anakku, mereka kelihatannya lebih sukses dalam kesederhanaan ini, mereka tak pernah membantah saat aku menolak untuk memenuhi keinginan mereka.

Sederhana itu ternyata hanya mampu merasuk di “daging” imanku saja, tidak pernah benar-benar menjadi “jiwa”. Secara kasat mata, kejelataanku memang terlihat nyata. Seringnya aku ngoceh tentang kesederhanaan mungkin juga membuat beberapa orang disekitarku mengira aku ini sangat bersahaja. Namun Allah Maha melihat apa yang ada dalam benakku. []

---
Tembagapura, 10 Januari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar