OTAK, instrument pikir akan menghasilkan output untung - rugi, mungkin - mustahil dan benar - salah (berdasarkan ukuran-ukuran yang diciptakan manusia sendiri). Sedang HATI, instrument rasa akan menghasilkan output manfaat - mudlarat, pantas - wagu dan etis - tidak etis (bersarkan inspirasi yang diperoleh dari Sang Pencipta). Otak dan hati adalah dua perangkat yang berbeda. Ketika kita menyiapkan waktu dan ruang di hati untuk menyongsong datangnya inspirasi maka tinggalkan otak, berhentilah berpikir agar inspirasi lebih cepat masuk ke dalam relung hati.

(Pujo Priyono)

===================================================

14 Januari 2010

Sumpah

Konon kabarnya, kalau kita mendengar orang sudah bersumpah atas nama Tuhan, kita tidak boleh tidak percaya atau dengan bahasa lain ‘diharamkan’ untuk meragukan kebenaran atas ucapan orang itu. Kalau dinilai dari dimensi hukum agama (fiqh), saya tidak mengerti apakah kabar itu benar atau tidak. Tapi kalo menggunakan jurus utak atik pikir, saya sedikit banyak percaya dengan kabar itu.

Kalo saja ada orang yang dengan berani menggunakan nama Allah untuk maksud tujuan yang jelek, saya yakin Allah akan melakukan sesuatu. Minimal Allah akan menjewernya, kalau tidak di dunia, pasti akan dijewer di akhirat nanti. Jadi saya mengambil posisi untuk sesegera mungkin melepaskan kecurigaan saat seseorang mengatasnamakan Allah. Kalaupun saya nanti tertipu, biarlah dia berurusan dengan Allah. Toh, Allah kan juga mahir dalam tipu daya. Saya takut jika ada orang sudah bilang “Demi Allah”, tapi hati saya masih dikuasai oleh rasa curiga dan tidak percaya, bisa jadi rasa curiga itu timbul dari keraguanku atas Allah.

Namun sekarang ini lagi ngetren simbol-simbol agama digunakan untuk saling serang. Saya pernah jumpai dua kelompok yang bedang bertikai, dan keduanya saling meneriakkan “Allahuakbar….!!”. Saya tersenyum mendengar pekikan-pekikan itu, dalam pikiran saya “Apa malaikat nggak bingung kalo dua-duanya menggunakan nama Allah seperti itu, mereka (malaikat-malaikat itu) mau bela yang mana?”

Begitu pula dengan sumpah. Semua orang tiba-tiba bersumpah, ada juga yang sama-sama bersumpah ditempat yang sama namun apa yang di ucapkan saling bertentangan. Kalau sudah seperti ini yang bingung saya. Saya tidak bisa menggunakan “metode” penyikapan seperti yang sebelumnya saya sebutkan diatas. Karena saya harus memilih mana yang saya yakini benar, dan secara tidak langsung saya akan menggunakan logika, akal, hati dan segala kemampuan yang ada dalam diri saya –meskipun sebenarnya apa yang ada dalam diri saya sangatlah terbatas– untuk menganalisa dan akhirnya menentukan pilihan.

Disisi lain, terlepas dari siapa yang benar dan siapa yang bersumpah palsu saya melihat ada fenomena –yang bagi saya— baru. Bahwa Tuhan begitu sangat “murah”, sehingga tanpa ada beban orang berani mengatasnamakan Dia untuk hal-hal yang jelek. Tidak ada rasa takut sedikitpun terhadap murka Tuhan, mereka memilih menggunakan Tuhan sebagai ‘saksi’ atas sumpah-sumpah mereka demi menyelamatkan diri dari rasa malu kepada manusia.

Saya pernah dengar Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) berpesan, dengan nada sedikit bercanda dia bertanya “Sampeyan pilih mana, anak perempuan sampeyan tidak dicintai, tidak dinikah sampai tua atau anak sampeyan di kawini, dikasih I love you, tapi dimain-mainkan?”. Hampir semua anggota forum memilih pilihan pertama, tidak nikah sampai tua. Cak Nun kemudian melanjutkan “(mungkin) begitu juga dengan Tuhan, lebih baik sampeyan kafir semua, dosa sampeyan cuma satu… daripada ngaku ber-Tuhan tapi main-main dengan Tuhan”.

Pandangan masyarakat pada nilai-nilai agama sepertinya mengalami penurunan. Dengan beraninya orang –penduduk negara yang katanya bertuhan ini— “meminjam” nama Tuhan untuk melakukan pembenaran atas apa yang dilakukannya, bagi saya merupakan tanda-tanda dimana Tuhan sudah mulai di-skunder-kan. Yang utama bagi mereka adalah selamat dari pandangan masyarakat, sementara Tuhan sudah tidak dianggap lagi.

Penyakit AFI, Indonesia Idol, KDI mulai menunjukkan gejala. Para politisi, pejabat dan hampir semua dari kita sudah mulai merasa seperti akademia-akademia kontes pencarian bakat itu. Kita berlomba-lomba menampilkan wajah semenarik mungkin, karena sebagian rakyat kita rata-rata sangat cengeng dan romantis maka kita sesering mungkin menceritakan sejarah keluarga yang memilukan, semakin menarik wajah dan semakin menyedihkan kisah kita makan akan banyak dukungan yang muncul. Jadi jangan kaget jika dalam ajang kontes itu lebih banyak durasi untuk menceritakan bapaknya yang tukang becak, emaknya yang dipenjara daripada durasi untuk menyanyi. Untuk menang kontes menyanyi itu, kualitas suara bukan hal pokok, sifatnya hanya skunder, yang penting adalah bagaimana cara agar akademia-akademia itu mencitrakan diri sebaik mungkin.

Fenomena AFI ini yang dijadikan panutan oleh mereka-mereka yang saat ini lagi heboh itu. Nilai kebenaran itu menjadi hal skunder, yang utama adalah bagaimana bisa mencitrakan diri seolah-olah berada di kebenaran. Mengumbar air mata, dan kalau perlu nama Tuhan “dijual” entah dengan menyebut nama Allah atau hanya sekedar menampilkan diri sealim mungkin dengan bantuan tasbih.

“Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki (mu) sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan (di dunia) karena kamu menghalangi (manusia) dari jalan Allah: dan bagimu azab yang besar”
(An Nahl : 94).

---
Tembagapura, 14 Januari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar