OTAK, instrument pikir akan menghasilkan output untung - rugi, mungkin - mustahil dan benar - salah (berdasarkan ukuran-ukuran yang diciptakan manusia sendiri). Sedang HATI, instrument rasa akan menghasilkan output manfaat - mudlarat, pantas - wagu dan etis - tidak etis (bersarkan inspirasi yang diperoleh dari Sang Pencipta). Otak dan hati adalah dua perangkat yang berbeda. Ketika kita menyiapkan waktu dan ruang di hati untuk menyongsong datangnya inspirasi maka tinggalkan otak, berhentilah berpikir agar inspirasi lebih cepat masuk ke dalam relung hati.

(Pujo Priyono)

===================================================

03 Januari 2010

Sang Guru Tinggalkan Kita


[Jawa Pos : Sabtu, 02 Januari 2010 ]


GUS DUR adalah tokoh besar. Kebesarannya, seperti kita tahu, dia bangun dari setiap jengkal waktu yang dia miliki. Bukan dari sela waktunya yang tersisa dari urusan kepentingannya untuk mengurus diri sendiri. Yang Gus Dur inginkan adalah yang juga kita ingini. Dalam perjuangannya, selalu ada kita di dalamnya.

Kebesaran Gus Dur, kita semua menyaksikan, dia bangun dengan tumpukan kesederhanaan hidup dan sikap rendah hati. Dia kumpulkan butiran pasir nilai hidup hingga tersusun harmoni hidup bersama. Gus Dur memberi kita warisan untuk selalu berjiwa besar. Bukan mempertunjukkan warisan yang sebenarnya telah dia warisi sebagai anak seorang menteri.

Dalam kesederhanaan, Gus Dur bahkan tak pernah merasa kecil, apalagi gentar, untuk mengikis tirani Orde Baru yang beku dan militeristik hingga betul-betul meleleh pada waktunya. Terus menjaga kesabaran dalam ketertindasan, tidak berangasan ketika sedang turun di jalan. Tidak arogan saat kuasa ada di tangan. Gus Dur merombak aneka aturan dan tatanan, bukan untuk melanggengkan kekuasaan, tapi untuk kebenaran yang sewajarnya.

Kebesaran KH Abdurrahman Wahid, kita semua merasakan, dia bangun dengan semangat kesetaraan dan kepedulian terhadap kelompok minoritas. Bukan lewat pencitraan dan kampanye penggelembungan.

Gus Dur adalah sahabat siapa saja. Bersahabat dengan yang berbeda pendapat. Berteman dengan yang tak sealiran. Koncoan dengan etnis yang berbeda. Membangun hubungan lintas agama, mengajak untuk tumbuhnya persaudaraan antarnegara, eratnya pertalian multikultur, bersatunya semua warna.

Gus Dur tak pernah lupa untuk bercanda. Biar apa? Biar kita tertawa, biar dunia tertawa. Bill Clinton hingga Fidel Castro pun tertawa terguncang dengan kecerdasan joke-nya. Yang sedih, yang sedang terpojok, yang sedang menderita, yang teraniaya, bisa tiba-tiba tertawa. Gus Dur tentu harus bekerja sangat keras untuk menghibur kita. Sebab, dia tahu, betapa banyak rakyat yang terimpit duka derita.

Gus Dur adalah orang yang membebaskan warga Tionghoa merayakan tahun baru Imlek. Sebab, merayakan datangnya tahun baru versi apa pun adalah merayakan datangnya kegembiraan. Di antara banyak pemimpin yang kita milki, Gus Durlah yang mengajari kita untuk tidak berprasangka buruk terhadap budaya yang datang dari warna kulit berbeda.

Gus Dur adalah guru bangsa terbaik yang kita miliki. Dia tak pernah lelah untuk memberikan pelajaran hidup demokratis, damai, rukun, meski kita dalam perbedaan yang tak terhindarkan.

Sebagai guru, Gus Dur bukan sosok yang kaku. Guru yang tak pernah menciptakan jarak antara si Bapak yang pandai dan si murid yang dungu sekalipun. Gus Dur memberi kita pelajaran abadi. Yang bisa dikaji hingga anak-cucu nanti. Dalam memberi teka-teki, Gus Dur adalah maestro tanda tanya. Yang bisa membuat rakyat seluruh Indonesia penasaran dan menyerah untuk menemukan kuncinya. Dan ketika semua telah menyerah, Gus Dur cukup berkata: gitu aja kok repot.

Gus, sekarang engkau telah tinggalkan kita semua. Betapa rindu kami akan gurau, tawa, dan keterbukaanmu nanti. Ketika oleh Orde Baru kau dianggap melawan dan yang lain tunggang-langgang ketakutan, kamu cukup bilang: prek! Kami diam menunggu reaksi apakah kamu akan dimarahi? Ternyata tidak. Kami tetap bisa memilikimu.

Abdurrahman Ad-Dhakil, kamu adalah pendobrak berbagai kesakralan dan kebekuan. Kau buka lebar-lebar pintu istana. Istana negara adalah istana rakyat. Kau buka lebar-lebar jendela kebebasan pers. Sebab, kau tahu, kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan pilar penting untuk tegaknya demokrasi.

Sekarang Gus, kamu telah tinggalkan kami di sini. Maafkan kalau sebagai murid tetap seperti siswa taman kanak-kanak yang tak pernah beranjak pintar dan dewasa seperti yang kamu inginkan.

Maafkan kami sebagai muridmu Gus, yang malas mengkaji sanepo-sanepomu dan ogah-ogahan menelaah arti penting demokrasi. Sepanjang waktu murid-muridmu terus tawuran dan kamu tak pernah lelah nemberikan jalan tengah.

Selamat jalan Gus, sejujurnya kami sangat kehilangan... (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar