OTAK, instrument pikir akan menghasilkan output untung - rugi, mungkin - mustahil dan benar - salah (berdasarkan ukuran-ukuran yang diciptakan manusia sendiri). Sedang HATI, instrument rasa akan menghasilkan output manfaat - mudlarat, pantas - wagu dan etis - tidak etis (bersarkan inspirasi yang diperoleh dari Sang Pencipta). Otak dan hati adalah dua perangkat yang berbeda. Ketika kita menyiapkan waktu dan ruang di hati untuk menyongsong datangnya inspirasi maka tinggalkan otak, berhentilah berpikir agar inspirasi lebih cepat masuk ke dalam relung hati.

(Pujo Priyono)

===================================================

23 Januari 2010

Mas Ali

“Kamu akan menggunakan konsep pikir yang mana lagi?” Suara itu parau, seperti menahan tangis. “Segera jelaskan padaku, engkau akan berteori apa lagi tentang rasa ini…?” semakin terasa ada isak yang coba ia tahan. “Ini namanya cinta, goblok…!” akhirnya meledak juga amarahnya, sejurus kemudian air mata mulai menetes.

Ali yang diajak bicara hanya diam. Sesekali matanya terpejam. Itu hanya pejaman mata biasa atau upaya menahan gelisah, Ani tak bisa mengetahuinya. Air muka Ali yang begitu biasa saja, raut muka seperti sebelum-sebelumnya, sepertinya kemarahan dan tangisan Ani tak mampu menggoyahkan ‘kedataran’ sikapnya.

“Bicaralah mas… jelaskan padaku, aku ingin kau jelaskan akan mas tempatkan dimana makhluk yang bernama cinta ini? Ceritakan padaku, seperti engkau jelaskan tentang status makhluk yang bernama sedih, gembira, sakit atau yang lainnya…. Kenapa mas tak bisa berkata apa-apa tentang rasa yang ini?”

Memang, sebelumnya Ali pernah menceritakan bahwa manusia itu makhluk paling mulia, tingkatannya paling tinggi diantara makhluk Allah yang lain. Bagi Ali, segala sesuatu selain Tuhan itu adalah makhluk. Termasuk rasa sedih, gembira, nafsu atau apapun itu adalah makhluk, dan makhluk-makhluk itu ‘posisi’-nya berada dibawah manusia. “Derajat manusia itu lebih tinggi dibanding makhluk yang bernama sedih, jadi kamu jangan mau dikendalikan rasa sedihmu… harusnya kamu yang mengendalikan rasa sedihmu itu” kata Ali suatu hari saat ‘menceramahi’ Ani yang sedang kalut dilanda kesedihan.

“Ya…!!! Mas boleh bilang sekarang ini aku gagal menguasai rasaku itu, aku dikendalikan oleh rasaku… bukannya aku yang mengendalikan rasaku…” Ani terhenti oleh isaknya, lalu membersihakan air matanya yang semakin menderas jatuh. “Aku tidak bisa sekuat mas, setegar kamu, sekokoh batu…!! Ya, Mas itu seperti Batu…!!” Suara Ani semakin meninggi.

Sepertinya Ani lepas kendali. Benar-benar lepas kendali. Ani yang dikenal perempuan kalem, namun kadang ceria itu tiba-tiba ‘mampu’ mengeluarkan kata dengan nada seperti itu. Meskipun demikian, Ali masih belum mau untuk bereaksi. Sepertinya dia membiarkan sahabatnya yang sekarang ‘ketahuan’ telah jatuh cinta padanya itu untuk melampiaskan dan mengeluarkan semua kegelisahannya.

“Mas… saya paham dengan teori ‘makhluk muliamu’ itu… tapi mas sendiri kan yang bilang, bahwa kita yang harus mengendalikan… mengendalikan..!! bukan menghilangkan… apa aku salah?”

“Mas… jangan terjerumus oleh falsafah hidupmu sendiri… tempo waktu cobalah untuk nyeleweng dari prinsip hidup itu… Sampeyan ini sepertinya sudah keblinger, kelewat batas…” Ani terus saja menyerang Ali. “Jangan terkesan jadi angkuh gitu dong mas…”

Suasana tiba-tiba menjadi sunyi. Hanya ada sisa isakan tangis Ani dan desahan nafas Ali yang memberat.

Namun tak berapa lama, Ani kembali bersuara, “Saya merasa yakin mas itu sayang sama saya, cinta sama saya… tapi kenapa mas diam saja…? Kenapa harus menyimpannya…? Atau mas mencoba menghilangkannya ya…?” rentetan pertanyaan itu tak membuat Ali menjawab, bahkan isyarat anggukan atau gelengan kepala saja pun tidak.

“Pengecut…!” tiba-tiba nada suara Ani meninggi kembali.

Diam kembali.

Sepertinya Ani mulai untuk menenangkan diri, berungkalai ia mengeringkan air matanya dengan ujung jilbabnya. Nafasnya yang sebelumnya tersengal coba diaturnya kembali. Mencoba tenang, kembali ke sikap aslinya yang selalu lemah lembut. Mungkin dia sudah puas dengan makian-makian itu.

---***---

Siang begitu terik. Matahari seperti tak mengerti dengan keluh kesah para tamu yang mulai berdatangan. Diantara mereka terlihat mencoba mengeringkan keringat dengan mengipas-ngipaskan kertas undangan di muka mereka. Gerah bertambah dibeberapa tempat, dimana beberapa orang sedang bergerombol dan ngobrol, sesekali ada tawa lepas diantara mereka.

Diacara pernikahan seperti ini, sering kali menjadi beralih fungsi menjadi reunian.

“Lha… ini dia, penerusnya Nabi Isa datang..” Kata Agus menyambut kedatangan Ali. Di susul oleh tawa teman-teman yang lain yang sedang berkumpul disalah satu sudut tenda.

Ali hanya tersenyum mendengar ledekan sahabatnya itu. Sindiran semacam itu sering kali dilemparkan Agus untuk Ali yang sampai saat ini masih melajang, sementara teman-teman yang lainnya sudah punya gandengan, bahkan banyak yang sudah punya momongan.

“Bagaimana kabar Gus?” Sapa Ali sambil menjabat tangan Agus, kemudian menyalami semua yang ada disitu.

“Baik-baik saja…” jawab Agus, “Sendirian saja…?”

“Iya… apa harus bawa RT-ku kesini?” jawab Ali sekenanya.

“Kapan sih, kamu datang ke kondangan gini bawa gebetan…?” celetuk Marni yang sedang nggendong anaknya yang masih bayi. “Kita-kita ini dah pada punya anak… ini anakku yang ke tiga, tapi kamu masih aja jomblo…”

“Jangan-jangan kamu nggak normal Al…?” Boby mulai ikut menggoda, dan kemudian serentak disambut tawa oleh mereka-mereka yang ada disitu. Dan seperti biasa, Ali hanya membalasnya dengan senyuman.

Tawa mereka tiba-tiba terhenti. Semua tamu yang ada disitu juga tiba-tiba sedikit tenang, lalu terdengar suara pembawa acara di pengeras suara bahwa penganti pria sudah datang, dan sebentar lagi acara akan segera dilaksanakan.

Semua tamu berdiri, sebentar lagi sebuah upacara temu manten akan dimulai. Muncul dari salah satu sudut tenda, pengantin wanita didampingi kedua orang tuanya menuju pintu gerbang untuk menyambut sang calon pengantin pria. Jalan dengan pelan namun pasti diiringi musik khas jawa.

Tampak wajah tegang dari sang calon pengantin perempuan itu, meskipun begitu, paras cantiknya masih jelas terlihat. Mata Ali terus memandang, tajam dan dalam. Dia mengenal betul wajah itu, wanita dengan alis tipis dan bibir yang indah, matanya yang seperti menyala serta dagu kecil runcing yang semakin mempermanis kulitnya yang memang putih bersih.

“Kamu menyesal..?” Tiba-tiba suara yang disertai tepukan dipundak itu mengagetkan lamunan Ali.

Ali menoleh pelan ke arah Agus “Aku disini bukan untuk menyesal, aku disini untuk bahagia, dan memberikan do’a kepada Ani…. Semoga dia bahagia dengan kehidupan barunya” Sejurus kemudian Ali melepaskan senyum dengan tenang.

Agus hanya diam sambil terus menepuk-nepuk pundak Ali. []

------
Tembagapura, 22 Januari 2010

4 komentar:

  1. tabiat laki-laki di dunia ini ,memang begitu ya rata-rata ,selalu memandang hidup ini simple,berbeda dengan kaum perempuan ,kenapa ya perempuan itu pada umumnya setia dengan segala apa yang dirasa,dan anehnya mereka percaya apa yang dirasakannya itu semua adalah anugerah Tuhan yang sudah pasti mereka akan menjaganya dengan penuh pengharapan agar senantiasa Allah SWT mendengarkan doa dan harapan tersebut menjadi kenyataan ,ataupun kalau tidak biarlah rasa ini menjadi kenangan yang akan disimpan rapat-rapat dan menjadi kenangan indah baginya .

    BalasHapus
  2. sungguh saya pernah merasakan jatuh cinta ,tapi saya yakin ini adalah anugerah dari AllahSWT agar sebagai wanita saya dapat sempurna mencintai NYA.Karena perasaan cinta ini kurasakan seperti keindahan.rasa yang halus dan semua yang kupikirkan Subhanalloh semua menjadi mudah ,ini nyata .sulitlah digambarkan bagaimana sih rasanya

    BalasHapus
  3. Sebagai perempuan pastilah kita pernah mengingin kan sesuatu ,apa saja ketika kita masih kecil orang -orang yang menyayangi kita pasti lah akan mengabulkan semampunya ,nah begitulah yang saya rasakan jatuh cinta karena Allah itu ,apa saja yang kita ingini yang wajarlah menurut kemampuan kita,Allah sungguh mendengar dan mengabulkan permintaan kita Subhanalloh,mungkin itulah kekuatan cinta ,bukankah Alloh itu memang Maha Pecinta terhadap hambanya,khususnya kaum perempuan yang keberadaannya di muka bumi ini ,dipercaya untuk melahirkan anak-anak ,mendidiknya dengan baik dan selanjutnya menjadikan umat manusia di bumi ini wajib untuk menyembahNya.

    BalasHapus
  4. Alloh akbar ....maafkan hamba ya Alloh,kadang -kadang sebagai manusia kita terlalu banyak berkata-kata,padahal sebenarnya saya tahu semua yang ada di muka bumi ini harusnya tunduk dan patuh padaMU ,mengakui segala KebesaranMu ,KeberadanMu sungguh sebagai seorang ibu amat berat tanggung jawab yang kami pikul ,tapi saya yakin dengan cinta Mu yang bersemayam di dada ini semuanya akan menjadi ringan,maka sebagai perempuan tunduklah kepada segala yang menjadi tanggung jawabmu dengan selalu memohon kekuatan hanya kepadaNya insya Allah pastinya akan lahirlah tunas-tunas Bangsa yang saleh ,karena kaum ibu adalah tiang negara ,jika kaum perempuan selalu dijalan yang diridhoi ,kuat tabah sabar dan selalu bersyukur ,alangkah damainya dunia ini,sungguh sebaik-baik perhiasan di dunia ini adalah wanita yang soleha .

    BalasHapus