Betapa peko’nya diri ini
Baru aku tau, iblis yang aku prasangkai selama ini
Ternyata tak bersalah
Ternyata tak mengerti apa-apa tentang polah tingkahku ini
Yang selalu aku tuduh-tuduh itu
Yang tiap malam hari aku curigai
Menertawaiku, karena kesalahanku itu
Karena kegoblokanku dalam menghakimi situasi
Ini karena guru ngajiku, guru SD-ku, sodaraku
Pamanku, pak deku, tetanggaku selalu mengajari tentang prasangka
Tentang curiga pada iblis, setan dan dajjal
Ah… tu kan….
Aku lagi-lagi menyalahkan orang lain….
Betapa cerdiknyanya diri ini
Ku bolak-balikkan kata untuk pembenaran
Rasa ini kupontang-pantingkan untuk cari enaknya saja
Betapa kerdilnya jiwa ini
Hingga mata batin ini kesulitan melihat besarnya najis diri
Hingga batu raksasa yang menindihku ini tak aku beratkan,
Kerana aku sibuk mencari celah-celah kecil di batu itu untuk menuju keselamatan
Tentunya keselamat diri, tanpa menhiraukan
Tanpa memikirkan
Tanpa mengilmukan
Kenapa batu menindih
Berapa besar dan berat batu itu
Atau bagaimana agar tak tertindih batu lagi
Betapa konyolnya aku ini
Masih bisa cekak-cekik ditengah derita dan coba
Dagelan rasa dipentaskan ditengah hujan air mata
Banyolan perilaku diutaraakan di bawah payung hitam duka
Entah ketawa menghina atau ketawa peralihan rasa
Aku masih gamang untuk menentukannya
Betapa percaya dirinya aku ini
Membebankan semua kesalahan pada iblis
Kemudian melenggang dengan topeng arjuna di tengah nyawa-nyawa
Dan tanpa aku sadari, mereka yang melihatku tertawa
Cekikik-an seperti melihat tukul dengan laptopnya
Betapa dangkalnya pikirku ini
Sumur kehidupan kubuat dengan kedalaman hanya sejengkal
Hingga hanya mampu menampung air hujan
Dan ketika kemarau, jiwaku menggeliat kehausan
Betapa cebolnya ilmuku ini
Hingga ide-ide yang aku junjung-junjung ini tak bisa melebihi hasrat
Dan kemalasanku, keenggananku untuk menguntai kayu menjadi galah
Membuat diri terpaku di ketidakberdayaan
Ketidakberdayaan untuk mengibarkan bendera keberadaan
Baru aku tau, iblis yang aku prasangkai selama ini
Ternyata tak bersalah
Ternyata tak mengerti apa-apa tentang polah tingkahku ini
Yang selalu aku tuduh-tuduh itu
Yang tiap malam hari aku curigai
Menertawaiku, karena kesalahanku itu
Karena kegoblokanku dalam menghakimi situasi
Ini karena guru ngajiku, guru SD-ku, sodaraku
Pamanku, pak deku, tetanggaku selalu mengajari tentang prasangka
Tentang curiga pada iblis, setan dan dajjal
Ah… tu kan….
Aku lagi-lagi menyalahkan orang lain….
Betapa cerdiknyanya diri ini
Ku bolak-balikkan kata untuk pembenaran
Rasa ini kupontang-pantingkan untuk cari enaknya saja
Betapa kerdilnya jiwa ini
Hingga mata batin ini kesulitan melihat besarnya najis diri
Hingga batu raksasa yang menindihku ini tak aku beratkan,
Kerana aku sibuk mencari celah-celah kecil di batu itu untuk menuju keselamatan
Tentunya keselamat diri, tanpa menhiraukan
Tanpa memikirkan
Tanpa mengilmukan
Kenapa batu menindih
Berapa besar dan berat batu itu
Atau bagaimana agar tak tertindih batu lagi
Betapa konyolnya aku ini
Masih bisa cekak-cekik ditengah derita dan coba
Dagelan rasa dipentaskan ditengah hujan air mata
Banyolan perilaku diutaraakan di bawah payung hitam duka
Entah ketawa menghina atau ketawa peralihan rasa
Aku masih gamang untuk menentukannya
Betapa percaya dirinya aku ini
Membebankan semua kesalahan pada iblis
Kemudian melenggang dengan topeng arjuna di tengah nyawa-nyawa
Dan tanpa aku sadari, mereka yang melihatku tertawa
Cekikik-an seperti melihat tukul dengan laptopnya
Betapa dangkalnya pikirku ini
Sumur kehidupan kubuat dengan kedalaman hanya sejengkal
Hingga hanya mampu menampung air hujan
Dan ketika kemarau, jiwaku menggeliat kehausan
Betapa cebolnya ilmuku ini
Hingga ide-ide yang aku junjung-junjung ini tak bisa melebihi hasrat
Dan kemalasanku, keenggananku untuk menguntai kayu menjadi galah
Membuat diri terpaku di ketidakberdayaan
Ketidakberdayaan untuk mengibarkan bendera keberadaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar