OTAK, instrument pikir akan menghasilkan output untung - rugi, mungkin - mustahil dan benar - salah (berdasarkan ukuran-ukuran yang diciptakan manusia sendiri). Sedang HATI, instrument rasa akan menghasilkan output manfaat - mudlarat, pantas - wagu dan etis - tidak etis (bersarkan inspirasi yang diperoleh dari Sang Pencipta). Otak dan hati adalah dua perangkat yang berbeda. Ketika kita menyiapkan waktu dan ruang di hati untuk menyongsong datangnya inspirasi maka tinggalkan otak, berhentilah berpikir agar inspirasi lebih cepat masuk ke dalam relung hati.

(Pujo Priyono)

===================================================

09 Februari 2009

Bledug

Namanya Bledug. Entah aku benar atao tidak saat menuliskan namanya. Bledug, Bleduk, Beledug atau Beledhug. Maklum, selain buta huruf dia juga tak punya KTP.

“Buat apa KTP? Ga penting…” ungkapnya

Orang macam dia memang ga butuh KTP. Tak seperti kita-kita ini, butuh KTP untuk nglamar pekerjaan, daftar di KUA ketika mau kawin dan urusan lain di birokrasi tai kucing negeri ini. Delain itu, Bledug juga ga punya duit untuk ngurus KTP yang tarifnya ga jelas itu. Tarifnya kayak nyetak foto, kalo mau cepat selesai bayarannya lebih mahal.

Bledug adalah mahkluk yang lahir dari peradaban, dari rahim zaman. Dari waktu ke waktu, dari orde ke orde bledug hadir dengan seutan-sebutan yang berbeda-beda. Sempat disebut abdi, pakatik, jongos, pramuniaga, PRT, TKI, buruh, wong cilik dan lain sebagainya. Berubah zaman berubah sebutannya, namun dia tetap sama, tetap saja menjadi bledug, tetap sebagai manusia yang tak termanusiakan.

“wong saya ini orang kecil, ga perlu neko-neko…” begitu katanya

Yah, itulah Bledug. Merasa kecil, mersa kekerdilannya adalah takdir yang sudah paten dari Tuhannya (aku sendiri ragu, apakah dia percaya Tuhan). Kalo saja nyalinya dipompa sedikit saja lebih besar dari lubang hidungnya, mungkin saja dia bisa jadi monster yang mampu memakan semen-semen proyek gedung pemerintahan, meminum bergalon-galon minyak pertamina. Namun Bledug tetaplah bledug yang lugu, yang masa depannya tak lebih dari batu nisan.

Bledug adalah debu yang berterbangan kemana-mana bersama tiupan angin. Tak berdaya, arah hidupnya ditentukan arah angin yang membawanya. Sebentar ke utara, tak lama keselatan. Siang ke barat, malam ke timur.

Namun karna kedebuannya itu, Bledug nempel dimana-mana dan siap menjadi perisih mereka-mereka yang alergi dengan materi kecil ini. Biarpun tipa pagi meja ruang tamumu di lap, di vacuum cleaner tetap saja hari esok debu-Bledug- itu akan mampir, akan soan ke meja ruang tamumu. Keberadaanya akan selalu mengusik ketenangan batinmu, bahkan mampu membuat dirimu jatuh sakit.

Serapat apapun kau kunci ruang tamumu, sesering apapun kau bersihkan mejamu. Bledug tak akan pernah bosan untuk mampir dan menempel. Tentu saja tak perlu kita salahkan Bledug itu, karena dia hanya hanyut oleh tiupan-tiupan angin. Ironisnya, tiupan angin itu kadang berasal dari hembusan nafas kita, berasal dari kentut kita sendiri.

Namun aku juga takut pada Bledug jika sudah dewasa nanti. Sesudah dewasa dia akan menjadi gajah raksasa yang siap untuk menginjak-injak kita, siap untuk memporak-porandakan rumah-rumah yang kita bangun dari penjarahan hutan tempat tinggalnya. Tanpa segan dia akan menagih atas rumput-rumput yang kita babat habis. Dan ketika suatu saat nanti, ketika kehijauan dimuka bumi ini telah kita habiskan di meja-meja makan keserakahan, sang gajah akan berevolusi menjadi karnifor. Dan siapa lagi kalo bukan kita yang akan jagi mangsanya, yang akan ditusuk oleh gadingnya, yang akan diremas oleh belalinya, yang akan dilumat-lumat habis oleh kaki perkasanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar