Aku mengembalakan nasib di padang pasir
Menatapi nasib yang meronta memohon setitik air
Dan aku hanya mampu menatap, hanya meratap
Langkahku terkunci rapat, waktu bergulir cepat
Menuju kemana aku?
Setiap arah menjanjikan keraguan
Bahkan matahari tak pernah tenggelam
Membakar, tak tahu dimana ufuk... yang ada hanya angin terkutuk
Getir, anyir yang terasa menjalani takdir
Maaf Tuhan, aku tak bermaksud untuk ingkar
Aku hanya tak tegar, jiwaku gemetar, aku terbakar
14 Maret 2008
Tuhan Sembilan Senti
Oleh Taufiq Ismail
Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok, tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok, Di sawah petani merokok, di pabrik pekerja merokok, di kantor pegawai merokok, di kabinet menteri merokok, di reses parlemen anggota DPR merokok, di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok, hansip-bintara-perwira nongkrong merokok, di perkebunan pemetik buah kopi merokok, di perahu nelayan penjaring ikan merokok, di pabrik petasan pemilik modalnya merokok, di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok,
Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok,
Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi merokok, di ruang kepala sekolah ada guru merokok, di kampus mahasiswa merokok, di ruang kuliah dosen merokok, di rapat POMG orang tua murid merokok, di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya apakah ada buku tuntunan cara merokok,
Di angkot Kijang penumpang merokok, di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk orang bertanding merokok, di loket penjualan karcis orang merokok, di kereta api penuh sesak orang festival merokok, di kapal penyeberangan antar pulau penumpang merokok, di andong Yogya kusirnya merokok, sampai kabarnya kuda andong minta diajari pula merokok,
Negeri kita ini sungguh nirwana kayangan para dewa-dewa bagi perokok, tapi
tempat cobaan sangat berat bagi orang yang tak merokok,
Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita, Di pasar orang merokok, di warung Tegal pengunjung merokok, di restoran di toko buku orang merokok, di kafe di diskotik para pengunjung merokok,
Bercakap-cakap kita jarak setengah meter tak tertahankan abab rokok, bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun menderita di kamar tidur ketika melayani para suami yang bau mulut dan hidungnya mirip asbak rokok,
Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul saling menularkan HIV-AIDS sesamanya, tapi kita tidak ketularan penyakitnya. Duduk kita disebelah orang yang dengan cueknya mengepulkan asap rokok di kantor atau di stopan bus, kita ketularan penyakitnya. Nikotin lebih jahat penularannya ketimbang HIV-AIDS,
Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin paling subur di dunia, dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap tembakau itu, bisa ketularan kena,
Di puskesmas pedesaan orang kampung merokok, di apotik yang antri obat merokok, di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok, di ruang tunggu dokter pasien merokok, dan ada juga dokter-dokter merokok,
Istirahat main tenis orang merokok, di pinggir lapangan voli orang merokok, menyandang raket badminton orang merokok, pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok, panitia pertandingan balap mobil, pertandingan bulutangkis, turnamen sepakbola mengemis-ngemis mencium kaki sponsor perusahaan rokok,
Di kamar kecil 12 meter kubik, sambil ‘ek-’ek orang goblok merokok, di dalam lift gedung 15 tingkat dengan tak acuh orang goblok merokok, di ruang sidang ber-AC penuh, dengan cueknya, pakai dasi, orang-orang goblok merokok,
Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi orang perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok,
Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita, Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh, duduk sejumlah ulama terhormat merujuk kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa.
Mereka ulama ahli hisap. Haasaba, yuhaasibu, hisaaban. Bukan ahli hisab ilmu falak, tapi
ahli hisap rokok. Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka terselip berhala-berhala kecil, sembilan senti panjangnya, putih warnanya, ke mana-mana dibawa dengan setia, satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya,
Mengintip kita dari balik jendela ruang sidang, tampak kebanyakan mereka memegang rokok dengan tangan kanan, cuma sedikit yang memegang dengan tangan kiri. Inikah gerangan pertanda yang terbanyak kelompok ashabul yamiin dan yang sedikit golongan ashabus syimaal?
Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC penuh itu. Mamnu’ut tadkhiin, ya ustadz. Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz. Kyai, ini ruangan ber-AC penuh. Haadzihi al ghurfati malii’atun bi mukayyafi al hawwa’i. Kalau tak tahan, di luar itu sajalah merokok. Laa taqtuluu anfusakum.
Min fadhlik, ya ustadz. 25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan. 15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi). Daging khinzir diharamkan. 4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan?
Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz. Wa yuharrimu ‘alayhimul khabaaith. Mohon ini direnungkan tenang-tenang, karena pada zaman Rasulullah dahulu, sudah ada alkohol, sudah ada babi, tapi belum ada rokok.
Jadi ini PR untuk para ulama. Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok, lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan, jangan,
Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini. Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu, yaitu ujung rokok mereka. Kini mereka berfikir. Biarkan mereka berfikir. Asap rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap, dan ada yang mulai terbatuk-batuk,
Pada saat sajak ini dibacakan malam hari ini, sejak tadi pagi sudah 120 orang di Indonesia mati karena penyakit rokok. Korban penyakit rokok lebih dahsyat ketimbang korban kecelakaan lalu lintas, lebih gawat ketimbang bencana banjir, gempa bumi dan longsor, cuma setingkat di bawah korban narkoba,
Pada saat sajak ini dibacakan, berhala-berhala kecil itu sangat berkuasa di negara kita, jutaan jumlahnya, bersembunyi di dalam kantong baju dan celana, dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna, diiklankan dengan indah dan cerdasnya,
Tidak perlu wudhu atau tayammum menyucikan diri, tidak perlu ruku’ dan sujud untuk taqarrub pada tuhan-tuhan ini, karena orang akan khusyuk dan fana dalam nikmat lewat upacara menyalakan api dan sesajen asap tuhan-tuhan ini,
Rabbana, beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.
Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok, tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok, Di sawah petani merokok, di pabrik pekerja merokok, di kantor pegawai merokok, di kabinet menteri merokok, di reses parlemen anggota DPR merokok, di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok, hansip-bintara-perwira nongkrong merokok, di perkebunan pemetik buah kopi merokok, di perahu nelayan penjaring ikan merokok, di pabrik petasan pemilik modalnya merokok, di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok,
Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok,
Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi merokok, di ruang kepala sekolah ada guru merokok, di kampus mahasiswa merokok, di ruang kuliah dosen merokok, di rapat POMG orang tua murid merokok, di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya apakah ada buku tuntunan cara merokok,
Di angkot Kijang penumpang merokok, di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk orang bertanding merokok, di loket penjualan karcis orang merokok, di kereta api penuh sesak orang festival merokok, di kapal penyeberangan antar pulau penumpang merokok, di andong Yogya kusirnya merokok, sampai kabarnya kuda andong minta diajari pula merokok,
Negeri kita ini sungguh nirwana kayangan para dewa-dewa bagi perokok, tapi
tempat cobaan sangat berat bagi orang yang tak merokok,
Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita, Di pasar orang merokok, di warung Tegal pengunjung merokok, di restoran di toko buku orang merokok, di kafe di diskotik para pengunjung merokok,
Bercakap-cakap kita jarak setengah meter tak tertahankan abab rokok, bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun menderita di kamar tidur ketika melayani para suami yang bau mulut dan hidungnya mirip asbak rokok,
Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul saling menularkan HIV-AIDS sesamanya, tapi kita tidak ketularan penyakitnya. Duduk kita disebelah orang yang dengan cueknya mengepulkan asap rokok di kantor atau di stopan bus, kita ketularan penyakitnya. Nikotin lebih jahat penularannya ketimbang HIV-AIDS,
Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin paling subur di dunia, dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap tembakau itu, bisa ketularan kena,
Di puskesmas pedesaan orang kampung merokok, di apotik yang antri obat merokok, di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok, di ruang tunggu dokter pasien merokok, dan ada juga dokter-dokter merokok,
Istirahat main tenis orang merokok, di pinggir lapangan voli orang merokok, menyandang raket badminton orang merokok, pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok, panitia pertandingan balap mobil, pertandingan bulutangkis, turnamen sepakbola mengemis-ngemis mencium kaki sponsor perusahaan rokok,
Di kamar kecil 12 meter kubik, sambil ‘ek-’ek orang goblok merokok, di dalam lift gedung 15 tingkat dengan tak acuh orang goblok merokok, di ruang sidang ber-AC penuh, dengan cueknya, pakai dasi, orang-orang goblok merokok,
Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi orang perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok,
Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita, Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh, duduk sejumlah ulama terhormat merujuk kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa.
Mereka ulama ahli hisap. Haasaba, yuhaasibu, hisaaban. Bukan ahli hisab ilmu falak, tapi
ahli hisap rokok. Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka terselip berhala-berhala kecil, sembilan senti panjangnya, putih warnanya, ke mana-mana dibawa dengan setia, satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya,
Mengintip kita dari balik jendela ruang sidang, tampak kebanyakan mereka memegang rokok dengan tangan kanan, cuma sedikit yang memegang dengan tangan kiri. Inikah gerangan pertanda yang terbanyak kelompok ashabul yamiin dan yang sedikit golongan ashabus syimaal?
Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC penuh itu. Mamnu’ut tadkhiin, ya ustadz. Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz. Kyai, ini ruangan ber-AC penuh. Haadzihi al ghurfati malii’atun bi mukayyafi al hawwa’i. Kalau tak tahan, di luar itu sajalah merokok. Laa taqtuluu anfusakum.
Min fadhlik, ya ustadz. 25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan. 15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi). Daging khinzir diharamkan. 4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan?
Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz. Wa yuharrimu ‘alayhimul khabaaith. Mohon ini direnungkan tenang-tenang, karena pada zaman Rasulullah dahulu, sudah ada alkohol, sudah ada babi, tapi belum ada rokok.
Jadi ini PR untuk para ulama. Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok, lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan, jangan,
Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini. Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu, yaitu ujung rokok mereka. Kini mereka berfikir. Biarkan mereka berfikir. Asap rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap, dan ada yang mulai terbatuk-batuk,
Pada saat sajak ini dibacakan malam hari ini, sejak tadi pagi sudah 120 orang di Indonesia mati karena penyakit rokok. Korban penyakit rokok lebih dahsyat ketimbang korban kecelakaan lalu lintas, lebih gawat ketimbang bencana banjir, gempa bumi dan longsor, cuma setingkat di bawah korban narkoba,
Pada saat sajak ini dibacakan, berhala-berhala kecil itu sangat berkuasa di negara kita, jutaan jumlahnya, bersembunyi di dalam kantong baju dan celana, dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna, diiklankan dengan indah dan cerdasnya,
Tidak perlu wudhu atau tayammum menyucikan diri, tidak perlu ruku’ dan sujud untuk taqarrub pada tuhan-tuhan ini, karena orang akan khusyuk dan fana dalam nikmat lewat upacara menyalakan api dan sesajen asap tuhan-tuhan ini,
Rabbana, beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.
Kecewa?
”Kamu kecewa?” tanya Bed
”Kecewakan apa Bed?” Noe balik bertanya
”Dia pernah menjadi orang yang kamu cintai, sekarang dia menemukan orang lain dan telah menikah... kamu kecewa?” Bed mencoba menjelaskan.
”Kamu memancingku?”
”Memancing apa?”
”Memancingku untuk bicara cinta...” Jawab Noe seraya melemparkan senyum sinisnya, sejurus kemudian dia membaringkan tubuhnya diatas kasur.
“Jawab aja lah...” bujuk Bed. “Aku mengerti, dalam dua tahun terakhir kamu anti dengan yang namanya cinta, nonton sinetron cinta aja kamu langsung muntah... tapi apa salahnya menjawab pertanyaanku itu...”
Noe hanya diam, matanya menerawang, menatap langit-langit kamar. sesekali dia menghela nafas panjang. Kemudian dia tersenyum penuh makna.
”Bisa iya... bisa juga tidak” Noe bersuara. Suaranya agak pelan, penuh keraguan.
”Maksudnya?”
”Aku gak kecewa, itu jelas... karena dia bukan siapa-siapaku lagi... dan kamu juga ngerti, belakangan ini aku ga tertarik dengan dunia asmara... aku masih berkomunikasi dengan dia karena aku anggap teman, teman biasa... bahkan kamu aku anggap lebih tinggi kedudukannya dibanding dia di dalam kehidupanku yang sekarang...”
”Oh ya...? tapi maaf, aku bukan homo....” canda Bed. ”Trus... Maksudnya bisa juga iya?”
Lagi-lagi Noe tak langsung menjawab. Dia mengankat tubuhnya, mengambil posisi duduk di sisi kasur.
”Ya... Mungkin saja aku kecewa... Tapi, ’kecewa’ yang aku maksud bukan kecewa karena aku tidak menjadi pasangan hidupnya... Aku kecewa pada diriku sendiri, di usia seperti ini, jangankan aku bisa menghidupi orang laen... untuk menghidupi diri sendiri aja aku masih kelimpungan”
"Kita manusia, butuh cinta... semakin kamu mengingkari, semakin terlihat bahwa kau kesepian" sejurus setelah mengatakan itu, Bed meninggalkan Noe. Suasana menjadi hening, hanya ada detak jantung dan deru nafas Noe yang menguasai ruang dengar.
”Kecewakan apa Bed?” Noe balik bertanya
”Dia pernah menjadi orang yang kamu cintai, sekarang dia menemukan orang lain dan telah menikah... kamu kecewa?” Bed mencoba menjelaskan.
”Kamu memancingku?”
”Memancing apa?”
”Memancingku untuk bicara cinta...” Jawab Noe seraya melemparkan senyum sinisnya, sejurus kemudian dia membaringkan tubuhnya diatas kasur.
“Jawab aja lah...” bujuk Bed. “Aku mengerti, dalam dua tahun terakhir kamu anti dengan yang namanya cinta, nonton sinetron cinta aja kamu langsung muntah... tapi apa salahnya menjawab pertanyaanku itu...”
Noe hanya diam, matanya menerawang, menatap langit-langit kamar. sesekali dia menghela nafas panjang. Kemudian dia tersenyum penuh makna.
”Bisa iya... bisa juga tidak” Noe bersuara. Suaranya agak pelan, penuh keraguan.
”Maksudnya?”
”Aku gak kecewa, itu jelas... karena dia bukan siapa-siapaku lagi... dan kamu juga ngerti, belakangan ini aku ga tertarik dengan dunia asmara... aku masih berkomunikasi dengan dia karena aku anggap teman, teman biasa... bahkan kamu aku anggap lebih tinggi kedudukannya dibanding dia di dalam kehidupanku yang sekarang...”
”Oh ya...? tapi maaf, aku bukan homo....” canda Bed. ”Trus... Maksudnya bisa juga iya?”
Lagi-lagi Noe tak langsung menjawab. Dia mengankat tubuhnya, mengambil posisi duduk di sisi kasur.
”Ya... Mungkin saja aku kecewa... Tapi, ’kecewa’ yang aku maksud bukan kecewa karena aku tidak menjadi pasangan hidupnya... Aku kecewa pada diriku sendiri, di usia seperti ini, jangankan aku bisa menghidupi orang laen... untuk menghidupi diri sendiri aja aku masih kelimpungan”
"Kita manusia, butuh cinta... semakin kamu mengingkari, semakin terlihat bahwa kau kesepian" sejurus setelah mengatakan itu, Bed meninggalkan Noe. Suasana menjadi hening, hanya ada detak jantung dan deru nafas Noe yang menguasai ruang dengar.
13 Maret 2008
Perempuan
“Perempuan itu apa sech?” Tanya Noe.
Sepertinya Bed kebingungan menghadapi pertanyaan singkat itu. Keningnya berkerut. Matanya menerawang, memandang kosong. Kemudian dia menggaruk kepalanya. Bersamaan dengan berjatuhannya ketombe di kepalanya, Bed menjawab pertanyaan itu dengan kalimat singkat.
“Perempuan adalah misteri”
Sebuah potongan kertas aku temukan di atas lemari. Ada sebuah bait puisi yang aku tulis sekitar 2 tahun lalu. Seingatku puisi ini terdiri dari 4 atau 5 bait, namun yang ada di potongan kertas tersebut hanya aku temukan sebait, bait terakhir.
Di saat ini,
Di jaman yang tak karuan ini
Di peradaban tak bernama ini
Aku benci perempuan-perempuan betina
Aku rindu perempuan-perempuan purba
Sepertinya Bed kebingungan menghadapi pertanyaan singkat itu. Keningnya berkerut. Matanya menerawang, memandang kosong. Kemudian dia menggaruk kepalanya. Bersamaan dengan berjatuhannya ketombe di kepalanya, Bed menjawab pertanyaan itu dengan kalimat singkat.
“Perempuan adalah misteri”
Sebuah potongan kertas aku temukan di atas lemari. Ada sebuah bait puisi yang aku tulis sekitar 2 tahun lalu. Seingatku puisi ini terdiri dari 4 atau 5 bait, namun yang ada di potongan kertas tersebut hanya aku temukan sebait, bait terakhir.
Di saat ini,
Di jaman yang tak karuan ini
Di peradaban tak bernama ini
Aku benci perempuan-perempuan betina
Aku rindu perempuan-perempuan purba
10 Maret 2008
Rindu
Raga ini tak punya daya untuk bersua
Hanya dari gambarmu, hanya dari gambaran hayal rindu itu padam
Tegur sapa dan cengkrama beralun melalui dinginnya udara malam
Walau ada siksa rindu, cinta ini menggelora sedemikian kuatnya
Percaya…
Kutitipkan segumpal kepercayaan itu padamu
Lajukan waktumu di seberang sana, tautkan hatimu hanya untukku saja
Lindunglah segala pandangmu dari cahaya penyilau batin dan rasa
Percayalah…
Aku disini yang gulung rindu, yang seperti juga dirimu
Aku masih genggam mutiara rasa yang kau amanahkan dahulu
Dalam lindung malam aku usap mutiara itu hingga kilaunya layak bintang
Kirimkan selalu kabarmu lewat suara-suara kerinduan
Biar khawatir yang menghantui mimpiku musnah segera
Lantunkan kidung-kidung asmara di puncak purnama
Biar rembulan yang kupandang ini tersenyum karena kita
Taburkan bunga berupa warna dalam pembaringanmu
Biar aku bisa menghirup aroma indah disetiap tidurku
Tak mampu kubayangkan betapa indah perjumpaan kita nantinya
Ribuan pelukan tak terbayarkan, jutaan pandang tak mampu lukiskan
Kueratkan dekapan itu sepanjang malam
Hingga detak-detak jantung kita saling bersautan membentuk nada-nada indah
Sementara deru nafas kita mencipta bait-bait cinta dan keabadian rasa
Segera kau raih citamu
Cepatlah melangkah dalam pencarianmu itu
Disini aku menunggu tanpa pengukur waktu
Hanya dari gambarmu, hanya dari gambaran hayal rindu itu padam
Tegur sapa dan cengkrama beralun melalui dinginnya udara malam
Walau ada siksa rindu, cinta ini menggelora sedemikian kuatnya
Percaya…
Kutitipkan segumpal kepercayaan itu padamu
Lajukan waktumu di seberang sana, tautkan hatimu hanya untukku saja
Lindunglah segala pandangmu dari cahaya penyilau batin dan rasa
Percayalah…
Aku disini yang gulung rindu, yang seperti juga dirimu
Aku masih genggam mutiara rasa yang kau amanahkan dahulu
Dalam lindung malam aku usap mutiara itu hingga kilaunya layak bintang
Kirimkan selalu kabarmu lewat suara-suara kerinduan
Biar khawatir yang menghantui mimpiku musnah segera
Lantunkan kidung-kidung asmara di puncak purnama
Biar rembulan yang kupandang ini tersenyum karena kita
Taburkan bunga berupa warna dalam pembaringanmu
Biar aku bisa menghirup aroma indah disetiap tidurku
Tak mampu kubayangkan betapa indah perjumpaan kita nantinya
Ribuan pelukan tak terbayarkan, jutaan pandang tak mampu lukiskan
Kueratkan dekapan itu sepanjang malam
Hingga detak-detak jantung kita saling bersautan membentuk nada-nada indah
Sementara deru nafas kita mencipta bait-bait cinta dan keabadian rasa
Segera kau raih citamu
Cepatlah melangkah dalam pencarianmu itu
Disini aku menunggu tanpa pengukur waktu
Agustus 2004
Akal Hayal
Merindumu untuk yang kesekian waktu
Bentangan hari berjemur di panas gelisah
Bergantung ditemali harapan yang tak juga merapuh
Dungu kepala ini buatku menghayalkan keajaiban
Siksakah rindu-rindu ini?
Hatiku sudah membeku hingga tak ku kenal rasa
Teramat jelas ada darah di kelopak mata ini
Terdengar hanya detak jantung yang mendentung
Adakah ingin untuk henti?
Sementara roda dunia sudah melindasku
Akalku tak berjalan, hayalku semakin tinggi ke awan
Dibalik amis najisnya diriku sempat ku kunyah sesal
Bahkan di kepala ini tak kudapati nama pahlawan
Sebentuk pencerah masa depan yang kuinginkan dulu
Bahkan di kepala ini tak kudapati satupun rencana
Secarik pesan yang bisa membawaku ke sebuah bahagia
Akulah pencundang itu….
Menunggu penyelamat untuk menjemputku dibawah gilasan roda dunia
Menanti sayap tumpuh di tulang punggungku yang semakin merapuh
Bentangan hari berjemur di panas gelisah
Bergantung ditemali harapan yang tak juga merapuh
Dungu kepala ini buatku menghayalkan keajaiban
Siksakah rindu-rindu ini?
Hatiku sudah membeku hingga tak ku kenal rasa
Teramat jelas ada darah di kelopak mata ini
Terdengar hanya detak jantung yang mendentung
Adakah ingin untuk henti?
Sementara roda dunia sudah melindasku
Akalku tak berjalan, hayalku semakin tinggi ke awan
Dibalik amis najisnya diriku sempat ku kunyah sesal
Bahkan di kepala ini tak kudapati nama pahlawan
Sebentuk pencerah masa depan yang kuinginkan dulu
Bahkan di kepala ini tak kudapati satupun rencana
Secarik pesan yang bisa membawaku ke sebuah bahagia
Akulah pencundang itu….
Menunggu penyelamat untuk menjemputku dibawah gilasan roda dunia
Menanti sayap tumpuh di tulang punggungku yang semakin merapuh
Jan '06
Bukan Larik-Larik Keluh
Harus terakui bahwa tanpa sambutmu adalah derita
Kecewa yang tercipa seiring agungnya harap tentangmu
Pilihanmu yang ternyata bukan padaku membuat mautku
Bahkan laripun tak kutau harus kearah mana, angin berhenti bertiup
Terpujanya dirimu pada hatiku bukan hadir begitu saja
Perjalanan rasa lalui liku logika dan teracik dalam ramuan pikir
Puluhan butir renungan tengah malam tenggelamkan hati ini
Butuh tujuh langit kupandang keatas menerawang warna rasa
Tak mampu aku untuk berkelit bahwa ini tak luka
Ini luka, ini derita, ini resah yang merajalela
Malamku terkubur dalam lubang gelisah dan tangis lara
Keringat hati bercecer berpacu dengan jalannya masa kelam
Tak mampu aku mengujarkan keluh, sedikitpun tidak
Ketika aku berkeluh kesah padamu, itu namanya aku menyalahkanmu
Cinta yang kau punya bukanlah kesalahan, itu kesucian
Penafikan akan rasaku bukan kesalahan, itu kearifan
Maafkan aku wahai dewi terpilih
Ini bukan larik-larik keluh padamu
Ini curahan rasa buat hitamnya langit duniaku
Jalani saja cintamu, aku disini puas dalam lindung bayang
Kecewa yang tercipa seiring agungnya harap tentangmu
Pilihanmu yang ternyata bukan padaku membuat mautku
Bahkan laripun tak kutau harus kearah mana, angin berhenti bertiup
Terpujanya dirimu pada hatiku bukan hadir begitu saja
Perjalanan rasa lalui liku logika dan teracik dalam ramuan pikir
Puluhan butir renungan tengah malam tenggelamkan hati ini
Butuh tujuh langit kupandang keatas menerawang warna rasa
Tak mampu aku untuk berkelit bahwa ini tak luka
Ini luka, ini derita, ini resah yang merajalela
Malamku terkubur dalam lubang gelisah dan tangis lara
Keringat hati bercecer berpacu dengan jalannya masa kelam
Tak mampu aku mengujarkan keluh, sedikitpun tidak
Ketika aku berkeluh kesah padamu, itu namanya aku menyalahkanmu
Cinta yang kau punya bukanlah kesalahan, itu kesucian
Penafikan akan rasaku bukan kesalahan, itu kearifan
Maafkan aku wahai dewi terpilih
Ini bukan larik-larik keluh padamu
Ini curahan rasa buat hitamnya langit duniaku
Jalani saja cintamu, aku disini puas dalam lindung bayang
Okt '06
Gak Mendidik
“Jangan” Bed meraih tangan Noe yang hendak merogoh kantong celananya.
”Kenapa...? hanya uang receh kok, kurang berarti bagiku... tapi mungkin ini sangat berarti bagi mereka” protes Noe
”gak mendidik... jangan biarkan mereka manja.. bisa-bisa mereka jadi pengemis seumur hidupnya...” Bed mencoba menjelaskan. ”mereka masih kecil, tapi sudah seperti ini, bagaimana besarnya nanti?”
”Tai kucing dengan pendidikan moral itu Bed...” Noe terlihat kesal. ”sudah ratusan kali aku dengar ceramah sepertimu itu... mereka beralasan tidak mendidik, tapi mereka juga tidak mendidik apapun... bicara doang...”
Perdebatan mereka mulai lagi. Anak ingusan kumal yang tadinya hendak meminta belas kasihan segera menyingkir dari hadapan dua orang yang sedang perang argumentasi itu.
”Sini dek....” Noe memanggil pengemis itu kemudian memberinya uang. Bed hanya nyengir pahait melihat itu.
”Bed..., kita jangan pelit untuk beramal... hapus semua pemikiran yang melihat ini dari sudut pandang pendidikan... pikir sekali lagi... ini kesempatan yang di berikan Tuhan, ada uang di kantong, ada pengemis dihadapan kita... Tuhan memberi kita kesempatan untuk berbuat baik...”
Bed hanya diam. Entah apa yang ada dikepalanya saat ini.
”Siapa sech yang mau jadi pengemis, smua orang pengen kaya... aku yakin, sebagian besar dari menjalani ini karena terpaksa... kalaupun ada yang menjadikan pengemis itu sebagai profesi, gak banyak jumlahnya, dan itu bukan lagi urusan kita”
Noe menyalakan rokoknya. Bed pun demikian.
”Sadarilaha, ketika kita memberi uang pada pengemis, jumlahnya ga seberapa bagi kita... contonya, rokok yang kamu isap sekarang, harganya sebatang lebih dari 500 perak... kamu bakar, isap dan habis begitu saja... untuk hal percuma gini kamu rela buang uang, untuk memberi pengemis kamu bicara mendidik dan tidak mendidik”
Melintas dua cewek cantik dihadapan mereka.
”Lihat cewek-cewek itu...” Noe malanjukan. ”Dalam tas mereka ada HP yang harganya jutaan, pulsa habis ratusan ribu per bulan, warna rambutnya itu butuh uang ratusan ribu ke salon, bajunya dibeli tidak bisa pake uang recehan.... tapi untuk menyisihkan uang koin untuk pengemis aja mereka ga mampu... jadi sebenarnya siapa yang perlu didik...?”
Tidak lama berselang.
”Perhatikan lagi ibu itu...” Noe memberi isyarat, menunjuk seorang ibu berjalan membawa bukusan, sepertinya habis belanja di supermarket. ”Dalam kantong belanjanya itu, mungkin ada sayur, ada buah, ada bumbu dan lain sebagainya... dia memasak untuk keluarganya... ibu itu tak mau anaknya kelaparan... tapi lihatlah, dia sama sekali tdak bergeming ketika seoarang pengemis merengek didepanya... mereka juga butuh makan... apa karena bukan anaknya, bukan keluarganya ibu itu ga mau memberi makan? kalau sudah begini... siapa sebenarnya yang kurang pendidikan?”
***
”Sudah...? Sudah selesai ceramahnya....” Bed tiba-tiba menyela. Noe tidak bersuara, tapi masih terasa ada kegundahan yang belum keluar semuanya. ”Mari ikut aku... ada yang ingin kutunjukkan...” Ajak Bed. Kemudian mereka berdua naik keatas motor.
Tak sampai lima menit, mereka sudah sampai. Bed memarkir motornya.
”Lihat disebarang sana”
”Tukang bejak...?” tanya Noe singkat.
”Ya... tukang becak... perhatikan lebih seksama... diantara tukang becak itu ada yang fisiknya tak normal...”
Noe menyipitkan matanya, mengamati satu persatu tukang becak yang ada dihadapannya. Tak berepa lama, Noe menemukan apa yang dimaksud sahabatnya itu. Noe langsung mengerutkan dahinya, seakan tak percaya dengan apa yang dia lihat ”Yang paling ujung, dia cuma berkaki satu” kata Noe singkat
”Dia berkaki satu, namun mampu narik becak... jangan remehkan dia... aku berani bertaruh, kamu akan kalah jika adu kecepatan menarik becak dengan dia...” Bed tersenyum simpul.
”Inilah yang aku maksud Noe, jika harus memilih jalan hidup, masih banyak jalan lain selain meminta-minta... aku bangga dengan orang itu, meskipun secara fisik dia punya kekurangan, namun dia ga menyerah...”
Kali ini, mulut Noe yang terkunci rapat. Dia masih tidak mempercayai apa yang dilihatnya.
”Sekarang, kamu liat dibelakangmu....” Bed menunjukkan sesuatu lagi. Noe langsung membalikkan badannya. ”Lihat yang ada didepan ATM...”
”Apa yang kamu liat itu adalah sebuah semangat untuk hidup... Dia menjual koran, tapi bukan itu yang membuat kita berdetak takjub... tapi perhatikan lagi, dia tunanetra... buta... tapi apakah dengan butanya itu dia harus jadi pengemis..? Tidak...! dan inilah yang aku maksud tidak mendidik jika memberi uang pada pengemis....”
”Kenapa...? hanya uang receh kok, kurang berarti bagiku... tapi mungkin ini sangat berarti bagi mereka” protes Noe
”gak mendidik... jangan biarkan mereka manja.. bisa-bisa mereka jadi pengemis seumur hidupnya...” Bed mencoba menjelaskan. ”mereka masih kecil, tapi sudah seperti ini, bagaimana besarnya nanti?”
”Tai kucing dengan pendidikan moral itu Bed...” Noe terlihat kesal. ”sudah ratusan kali aku dengar ceramah sepertimu itu... mereka beralasan tidak mendidik, tapi mereka juga tidak mendidik apapun... bicara doang...”
Perdebatan mereka mulai lagi. Anak ingusan kumal yang tadinya hendak meminta belas kasihan segera menyingkir dari hadapan dua orang yang sedang perang argumentasi itu.
”Sini dek....” Noe memanggil pengemis itu kemudian memberinya uang. Bed hanya nyengir pahait melihat itu.
”Bed..., kita jangan pelit untuk beramal... hapus semua pemikiran yang melihat ini dari sudut pandang pendidikan... pikir sekali lagi... ini kesempatan yang di berikan Tuhan, ada uang di kantong, ada pengemis dihadapan kita... Tuhan memberi kita kesempatan untuk berbuat baik...”
Bed hanya diam. Entah apa yang ada dikepalanya saat ini.
”Siapa sech yang mau jadi pengemis, smua orang pengen kaya... aku yakin, sebagian besar dari menjalani ini karena terpaksa... kalaupun ada yang menjadikan pengemis itu sebagai profesi, gak banyak jumlahnya, dan itu bukan lagi urusan kita”
Noe menyalakan rokoknya. Bed pun demikian.
”Sadarilaha, ketika kita memberi uang pada pengemis, jumlahnya ga seberapa bagi kita... contonya, rokok yang kamu isap sekarang, harganya sebatang lebih dari 500 perak... kamu bakar, isap dan habis begitu saja... untuk hal percuma gini kamu rela buang uang, untuk memberi pengemis kamu bicara mendidik dan tidak mendidik”
Melintas dua cewek cantik dihadapan mereka.
”Lihat cewek-cewek itu...” Noe malanjukan. ”Dalam tas mereka ada HP yang harganya jutaan, pulsa habis ratusan ribu per bulan, warna rambutnya itu butuh uang ratusan ribu ke salon, bajunya dibeli tidak bisa pake uang recehan.... tapi untuk menyisihkan uang koin untuk pengemis aja mereka ga mampu... jadi sebenarnya siapa yang perlu didik...?”
Tidak lama berselang.
”Perhatikan lagi ibu itu...” Noe memberi isyarat, menunjuk seorang ibu berjalan membawa bukusan, sepertinya habis belanja di supermarket. ”Dalam kantong belanjanya itu, mungkin ada sayur, ada buah, ada bumbu dan lain sebagainya... dia memasak untuk keluarganya... ibu itu tak mau anaknya kelaparan... tapi lihatlah, dia sama sekali tdak bergeming ketika seoarang pengemis merengek didepanya... mereka juga butuh makan... apa karena bukan anaknya, bukan keluarganya ibu itu ga mau memberi makan? kalau sudah begini... siapa sebenarnya yang kurang pendidikan?”
***
”Sudah...? Sudah selesai ceramahnya....” Bed tiba-tiba menyela. Noe tidak bersuara, tapi masih terasa ada kegundahan yang belum keluar semuanya. ”Mari ikut aku... ada yang ingin kutunjukkan...” Ajak Bed. Kemudian mereka berdua naik keatas motor.
Tak sampai lima menit, mereka sudah sampai. Bed memarkir motornya.
”Lihat disebarang sana”
”Tukang bejak...?” tanya Noe singkat.
”Ya... tukang becak... perhatikan lebih seksama... diantara tukang becak itu ada yang fisiknya tak normal...”
Noe menyipitkan matanya, mengamati satu persatu tukang becak yang ada dihadapannya. Tak berepa lama, Noe menemukan apa yang dimaksud sahabatnya itu. Noe langsung mengerutkan dahinya, seakan tak percaya dengan apa yang dia lihat ”Yang paling ujung, dia cuma berkaki satu” kata Noe singkat
”Dia berkaki satu, namun mampu narik becak... jangan remehkan dia... aku berani bertaruh, kamu akan kalah jika adu kecepatan menarik becak dengan dia...” Bed tersenyum simpul.
”Inilah yang aku maksud Noe, jika harus memilih jalan hidup, masih banyak jalan lain selain meminta-minta... aku bangga dengan orang itu, meskipun secara fisik dia punya kekurangan, namun dia ga menyerah...”
Kali ini, mulut Noe yang terkunci rapat. Dia masih tidak mempercayai apa yang dilihatnya.
”Sekarang, kamu liat dibelakangmu....” Bed menunjukkan sesuatu lagi. Noe langsung membalikkan badannya. ”Lihat yang ada didepan ATM...”
”Apa yang kamu liat itu adalah sebuah semangat untuk hidup... Dia menjual koran, tapi bukan itu yang membuat kita berdetak takjub... tapi perhatikan lagi, dia tunanetra... buta... tapi apakah dengan butanya itu dia harus jadi pengemis..? Tidak...! dan inilah yang aku maksud tidak mendidik jika memberi uang pada pengemis....”
Ratusan kali masalah ini di wacanakan... ratusan blog telah menulis hal serupa ini.. Pertanyaanya, apa yang telah kita lakukan untuk hal ini...?
Kiamat Matahari Merah
Kapan matahari padam? Pertanyaan itu tentu menggelitik siapapun. Sebab jika sang surya padam, bumi akan membeku. Justru yang menjadi persoalannya adalah ketika matahari sekarat.
Pada saat itu, matahari akan melepas teras nuklirnya dan mengembang luar biasa. matahari yang semula ramah berubah menjadi raksasa merah segera mencaplok planet-planet dekat yang mengirinya. Bumi kita yang biru pun menghitam, gosong terpanggang.
Namun jangan khawatir, peristiwa itu baru terjadi 7,6 milyar tahun lagi. itulah hasil perhitungan Robert Smith, korektor naskah emiritus astronomi University of Sussex, Inggris. Kalkulasi Smith dimuat online jurnal inggris, Astrophysics, Ahad dua pekan lalu. Menurut Smith, ketika kehabisan bahan bakar, matahari akan berkembang menjadi bintang raksasa merah yang berbahaya.
”Beberapa milyar tahun dari sekarang, ketika matahari secara perlahan akan mengembang, lautan akan menguap, memenuhi atmosfir dengan uap air dan memicu pemanasan besar-besaran” kata Smith.
Smith merinci bagaimana meloloskan diri dari sengatan sang surya yang sekarat itu. Pertama, memanfaatkan dorongan grafitasi dari asteroit yang melintas untuk secara lembutmenarik bumi dari zona bahaya. Bisa juga membangun armada kehidupan antar planet untuk menghindar dari jangkauan matahari.
Sumber : Gatra edisi Maret 2008
Pada saat itu, matahari akan melepas teras nuklirnya dan mengembang luar biasa. matahari yang semula ramah berubah menjadi raksasa merah segera mencaplok planet-planet dekat yang mengirinya. Bumi kita yang biru pun menghitam, gosong terpanggang.
Namun jangan khawatir, peristiwa itu baru terjadi 7,6 milyar tahun lagi. itulah hasil perhitungan Robert Smith, korektor naskah emiritus astronomi University of Sussex, Inggris. Kalkulasi Smith dimuat online jurnal inggris, Astrophysics, Ahad dua pekan lalu. Menurut Smith, ketika kehabisan bahan bakar, matahari akan berkembang menjadi bintang raksasa merah yang berbahaya.
”Beberapa milyar tahun dari sekarang, ketika matahari secara perlahan akan mengembang, lautan akan menguap, memenuhi atmosfir dengan uap air dan memicu pemanasan besar-besaran” kata Smith.
Smith merinci bagaimana meloloskan diri dari sengatan sang surya yang sekarat itu. Pertama, memanfaatkan dorongan grafitasi dari asteroit yang melintas untuk secara lembutmenarik bumi dari zona bahaya. Bisa juga membangun armada kehidupan antar planet untuk menghindar dari jangkauan matahari.
Sumber : Gatra edisi Maret 2008
08 Maret 2008
Malam 16 Maret
Dua tahun sebelum detik ini aku tersadar dari hitam
Meninggalkan sejarah suram
Menanggalkan jubah kelam
Jiwaku yang angkuh tertaklukkan oleh butir cahaya malam
Dan sinarmulah yang membawaku ke episode pengembaraan
Dalam perjalanan liku itu kuakui tentang darah yang berserakan
Selama dalam langkah aku terganjal perih-perih penghalang
Selayaknya aku berjalan di bibir lubang kematian yang menjurang
Auramu yang ajari diriku tentang air mata cinta
Dan betapa badai lara menghantamku di masa penantian
Dan semburan api derita menjilati kepalaku yang penuh pengharapan
Dan misteri gulita mencekam malam-malamku di pembaringan
Kurekatkan kedua telapak tanganku dan kuangkat di atas kepalaku
Semuanya untukmu, semuanya untuk terima kasihku
Dan detik ini aku melihat sinar itu ada di dihadapku kembali
Malam ini aku tangkap kilatan itu begitu berwarna
Ramahnya jamahan cahaya itu melukiskan bahagia
Yang bersanding itulah yang mengkarya semuanya
Yah....
Yang menyala dihadapku kini bukan sepenuhnya harapku
Masih ada tersisip rasa gundah tentang diriku yang tak ada disampingmu
Namun aku masih menebar senyum buatmu, buat bahagiamu dikala kini
Semoga kau masih mampu bersinar selamanya, untuk semuanya.
Meninggalkan sejarah suram
Menanggalkan jubah kelam
Jiwaku yang angkuh tertaklukkan oleh butir cahaya malam
Dan sinarmulah yang membawaku ke episode pengembaraan
Dalam perjalanan liku itu kuakui tentang darah yang berserakan
Selama dalam langkah aku terganjal perih-perih penghalang
Selayaknya aku berjalan di bibir lubang kematian yang menjurang
Auramu yang ajari diriku tentang air mata cinta
Dan betapa badai lara menghantamku di masa penantian
Dan semburan api derita menjilati kepalaku yang penuh pengharapan
Dan misteri gulita mencekam malam-malamku di pembaringan
Kurekatkan kedua telapak tanganku dan kuangkat di atas kepalaku
Semuanya untukmu, semuanya untuk terima kasihku
Dan detik ini aku melihat sinar itu ada di dihadapku kembali
Malam ini aku tangkap kilatan itu begitu berwarna
Ramahnya jamahan cahaya itu melukiskan bahagia
Yang bersanding itulah yang mengkarya semuanya
Yah....
Yang menyala dihadapku kini bukan sepenuhnya harapku
Masih ada tersisip rasa gundah tentang diriku yang tak ada disampingmu
Namun aku masih menebar senyum buatmu, buat bahagiamu dikala kini
Semoga kau masih mampu bersinar selamanya, untuk semuanya.
Maret 07
Butuh Cinta
“Aku nggak bisa ka’…. Aku udah punya cowok… kita temenan aja ya…?”
Kalimat standar. Kalimat sakti yang biasa dikatakan cewek untuk nolak cowok. Dan kalimat itu pula yang dipakai Lis untuk menolak Bed.
“Baiklah Lis, aku bisa pahami… aku nggak mungkin paksakan”
“Maaf ya ka’… aku sudah anggap kakak adalah saudaraku… aku senang bisa deket ama kakak…” hibur Lis.
Bed hanya tersenyum simpul. Teramat terasa bahwa itu senyuman yang dipaksakan.
Percakpan panjang itu berakhir kecewa bagi Bed. Melangkah pulang dengan membawa berita kekalahan. Rasanya hancur, semua pasti bisa mengerti bagaimana sakitnya ditolak oleh cewek yang sangat dicintainya.
Bed bertemu Lis di kantin kampus. Ketertarikan itu muncul begitu saja. Wajah polos tanpa bedak, bibir ranum asli tanpa polesan lipstick dan senyuman yang begitu indah membuat hati Bed kepincut.
Bed sudah sekian lama tak menginjak kampus karena banyak kegiatannya di luar membuat dia tak banyak kenal dengan mahasiwi-mahasiswi baru. Lis baru dilihatnya setelah cewek itu sudah duduk di semester dua.
Tak butuh waktu lama untuk mengetahui segala hal tentang Lis. Dalam waktu beberapa jam Bed sudah mengantongi alamat dan nomor HP Lis. Berawal dari itu Bed mencoba untuk mendekatkan diri pada cewek pujaannya itu.
Kedekatan itupun semakin membuat Bed lebih jatuh hati. Lis ternyata cewek yang ramah, santun, mudah bergaul dan rajin. Kecantikan visual yang dimiliki Lis dipadu dengan kebaikan hatinya menyeret perasaan Bed pada suatu nuansa hati yang bernama cinta.
“Sabar Bed… harusnya kamu sudah siap menerima keadaan ini” ujar Jim, Sahabat Bed.
Bed hanya tertunduk lesu. Tatapanya kosong menembus kepulan asap rokoknya yang keluar perlahan dari mulutnya.
“Kamu udah tau bahwa Lis punya cowok… ngapain kamu paksakan untuk nembak dia? Kamu pasti udah tau bahwa Lis nggak mungkin khianati cowoknya”
“Itu hanya dorongan hati saja Jim. Mending dia tahu sejak awal bahwa aku menaruh hati padanya… ini bukan masalah diterima ato tidaknya aku sebagai pacarnya… ini tentang kepuasan hatiku… aku merasa puas setelah mengungkapkan perasaanku, aku nggak bisa memendam rasa terlalu lama”
“Jadi kenapa kamu harus bersedih hati seperti ini? Ini resiko kongkrit dari tindakanmu….” Jim terlihat belum mengerti dengan kalimat Bed
“Aku menikmati kesedihan ini” ujar Bed singkat.
Bed masih saja menyimpan misteri, masih berlaku aneh, pola pikir yang sama sekali tidak bisa dimengerti orang lain, bahkan oleh sahabatnya sendiri.
“Aku merindukan perasaan ini Jim. Terlalu lama aku nggak patah hati, sekian lama aku jalani hari tanpa rasa cinta pada seorang cewek… aku ingin rindu, aku ingin kembali merasakan kepedihan dari cinta”
Bed memang sudah dua tahun sendiri tanpa kekasih. Kesibukannya dan hatinya yang sulit jatuh cinta membuatnya sulit untuk dekat dengan cewek. Kisah kasihnya dengan pacar terakhirnya bubar akibat Bed yang terlalu sibuk hingga tak ada waktu untuk saling berkomunikasi.
“Aku menikmati proses ini… biarkan aku tersiksa… biar aku sadar bahwa ternyata aku adalah manusia biasa yang butuh cinta”
Jim mengangguk pelan, dia mulai sedikit paham dengan perasaan Bed saat ini. Bed dalam proses pencarian jati diri. Bed ingin menghilangkan egoisitas diri. Selama ini dia merasa mampu hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Sejak SMA Bed memang hidup sendiri, jauh dari orang tua. Belajar bertahan hidup.
“Aku harus pergi Bed… aku harus menemui seseorang” Jim pamit. Ia bangkit dari tempat duduknya, melangkah keluar kamar.
Belum sampai semenit Jim menutup pintu dari luar, pintu itu tiba-tiba terbuka secara tiba-tiba.
Ternyata Jim kembali, ada sesuatu yang tertinggal dalam kamar Bed. Namun belum sempat Jim mengatakan sesuatu, matanya menangkap pemandangan yang belum pernah di saksikan sebelumnya.
“Bed…?!” tegur Jim
Bed duduk bersandar di sudut kamar, matanya mengucurkan air mata. Isak yang terdengar begitu dalam
Kalimat standar. Kalimat sakti yang biasa dikatakan cewek untuk nolak cowok. Dan kalimat itu pula yang dipakai Lis untuk menolak Bed.
“Baiklah Lis, aku bisa pahami… aku nggak mungkin paksakan”
“Maaf ya ka’… aku sudah anggap kakak adalah saudaraku… aku senang bisa deket ama kakak…” hibur Lis.
Bed hanya tersenyum simpul. Teramat terasa bahwa itu senyuman yang dipaksakan.
Percakpan panjang itu berakhir kecewa bagi Bed. Melangkah pulang dengan membawa berita kekalahan. Rasanya hancur, semua pasti bisa mengerti bagaimana sakitnya ditolak oleh cewek yang sangat dicintainya.
Bed bertemu Lis di kantin kampus. Ketertarikan itu muncul begitu saja. Wajah polos tanpa bedak, bibir ranum asli tanpa polesan lipstick dan senyuman yang begitu indah membuat hati Bed kepincut.
Bed sudah sekian lama tak menginjak kampus karena banyak kegiatannya di luar membuat dia tak banyak kenal dengan mahasiwi-mahasiswi baru. Lis baru dilihatnya setelah cewek itu sudah duduk di semester dua.
Tak butuh waktu lama untuk mengetahui segala hal tentang Lis. Dalam waktu beberapa jam Bed sudah mengantongi alamat dan nomor HP Lis. Berawal dari itu Bed mencoba untuk mendekatkan diri pada cewek pujaannya itu.
Kedekatan itupun semakin membuat Bed lebih jatuh hati. Lis ternyata cewek yang ramah, santun, mudah bergaul dan rajin. Kecantikan visual yang dimiliki Lis dipadu dengan kebaikan hatinya menyeret perasaan Bed pada suatu nuansa hati yang bernama cinta.
“Sabar Bed… harusnya kamu sudah siap menerima keadaan ini” ujar Jim, Sahabat Bed.
Bed hanya tertunduk lesu. Tatapanya kosong menembus kepulan asap rokoknya yang keluar perlahan dari mulutnya.
“Kamu udah tau bahwa Lis punya cowok… ngapain kamu paksakan untuk nembak dia? Kamu pasti udah tau bahwa Lis nggak mungkin khianati cowoknya”
“Itu hanya dorongan hati saja Jim. Mending dia tahu sejak awal bahwa aku menaruh hati padanya… ini bukan masalah diterima ato tidaknya aku sebagai pacarnya… ini tentang kepuasan hatiku… aku merasa puas setelah mengungkapkan perasaanku, aku nggak bisa memendam rasa terlalu lama”
“Jadi kenapa kamu harus bersedih hati seperti ini? Ini resiko kongkrit dari tindakanmu….” Jim terlihat belum mengerti dengan kalimat Bed
“Aku menikmati kesedihan ini” ujar Bed singkat.
Bed masih saja menyimpan misteri, masih berlaku aneh, pola pikir yang sama sekali tidak bisa dimengerti orang lain, bahkan oleh sahabatnya sendiri.
“Aku merindukan perasaan ini Jim. Terlalu lama aku nggak patah hati, sekian lama aku jalani hari tanpa rasa cinta pada seorang cewek… aku ingin rindu, aku ingin kembali merasakan kepedihan dari cinta”
Bed memang sudah dua tahun sendiri tanpa kekasih. Kesibukannya dan hatinya yang sulit jatuh cinta membuatnya sulit untuk dekat dengan cewek. Kisah kasihnya dengan pacar terakhirnya bubar akibat Bed yang terlalu sibuk hingga tak ada waktu untuk saling berkomunikasi.
“Aku menikmati proses ini… biarkan aku tersiksa… biar aku sadar bahwa ternyata aku adalah manusia biasa yang butuh cinta”
Jim mengangguk pelan, dia mulai sedikit paham dengan perasaan Bed saat ini. Bed dalam proses pencarian jati diri. Bed ingin menghilangkan egoisitas diri. Selama ini dia merasa mampu hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Sejak SMA Bed memang hidup sendiri, jauh dari orang tua. Belajar bertahan hidup.
“Aku harus pergi Bed… aku harus menemui seseorang” Jim pamit. Ia bangkit dari tempat duduknya, melangkah keluar kamar.
Belum sampai semenit Jim menutup pintu dari luar, pintu itu tiba-tiba terbuka secara tiba-tiba.
Ternyata Jim kembali, ada sesuatu yang tertinggal dalam kamar Bed. Namun belum sempat Jim mengatakan sesuatu, matanya menangkap pemandangan yang belum pernah di saksikan sebelumnya.
“Bed…?!” tegur Jim
Bed duduk bersandar di sudut kamar, matanya mengucurkan air mata. Isak yang terdengar begitu dalam
(Akhir Des 06)
07 Maret 2008
Patahan Hati
Aku ini sekokoh batu hitam diatas puncak karang
Petingi gelombang yang hanya mampu membasahiku
Berdiri menantangnya aku pada sengat mentari hari
Seberapa kelam hari aku masih akan memeluk egoku
Jika pada suatu waktu aku merunduk pada hatimu
Itu hanya patahan hati, bukan sepenuh jiwa ini
Yang aku berikan pada malam putri hanya sebagian saja
Sementara aku masih genggam erat rasa sejati abadi
Secinta apakah aku padamu? itu hanya patahan hati saja
Dua puluh empat waktu itu hanya hariku padamu
Aku masih punya lusinan waktu dalam lemari kalbu
Belum aku buka, mungkin juga tak akan pernah aku buka
Dirimu hanya sejuta butir harapan
Sementara aku punya bentangan pantai cita yang tersusun oleh pasir cinta
Engkau tak lebih dari pengisi takdir
Sedangkan dalam kisah nyawa ini ada rencana yang jauh diatas waktu fana
Kuak habis dalamnya cinta ini
Engkau hanya temui patahan, butiran, sisa-sisa yang tersisih
Temui aku dalam keadaan sedemikian itu
Dari situ aku bisa diraih oleh letik jemari lugumu
Aku tak ingin ucap selamat tinggal
Meskipun engkau hanya sisi terluar, aku ini tak seperti belukar
Dirimu masih tertingal dalam kepala angkuh ini ketika nanti
Walau aku berbalik, ketahuilah wahai sang pengisi
Namamu akan tertulis dalam sejarah buku hitamku
Petingi gelombang yang hanya mampu membasahiku
Berdiri menantangnya aku pada sengat mentari hari
Seberapa kelam hari aku masih akan memeluk egoku
Jika pada suatu waktu aku merunduk pada hatimu
Itu hanya patahan hati, bukan sepenuh jiwa ini
Yang aku berikan pada malam putri hanya sebagian saja
Sementara aku masih genggam erat rasa sejati abadi
Secinta apakah aku padamu? itu hanya patahan hati saja
Dua puluh empat waktu itu hanya hariku padamu
Aku masih punya lusinan waktu dalam lemari kalbu
Belum aku buka, mungkin juga tak akan pernah aku buka
Dirimu hanya sejuta butir harapan
Sementara aku punya bentangan pantai cita yang tersusun oleh pasir cinta
Engkau tak lebih dari pengisi takdir
Sedangkan dalam kisah nyawa ini ada rencana yang jauh diatas waktu fana
Kuak habis dalamnya cinta ini
Engkau hanya temui patahan, butiran, sisa-sisa yang tersisih
Temui aku dalam keadaan sedemikian itu
Dari situ aku bisa diraih oleh letik jemari lugumu
Aku tak ingin ucap selamat tinggal
Meskipun engkau hanya sisi terluar, aku ini tak seperti belukar
Dirimu masih tertingal dalam kepala angkuh ini ketika nanti
Walau aku berbalik, ketahuilah wahai sang pengisi
Namamu akan tertulis dalam sejarah buku hitamku
Mar '06
Semangat Merubah Hidup
“Kamu seh, dah tau dia cewek cantik… maen tembak aja… udah pasti kamu ditolak” ujar Noe pada Bed sahabatnya.
“Justru karena dia cantik, makanya aku nembak dia… aku jatuh cinta padanya” Bed membela diri.
“hehe…” Noe tersenyum mengejek.
“Kamu gak setia kawan deh… temen ditolak, kamu malah tertawa… bukannya menghibur” Bed kecewa.
“Sorry teman… aku turut prihatin dengan keterpurukan nasibmu itu… tapi…” Noe tersenyum kembali, kemudian meneruskan kata-katanya. “tapi kamu harus terima hukum alam… orang cantik itu jarang yang jomblo… dan orang jelek kayak kamu lebih berpeluang untuk dicampakkan oleh cewek cantik… itu hukum alam yang hampir mutlak kebenarannya”
Bed hanya memasang muka kusutnya. Noe memang orang yang sulit untuk bicara hal-hal serius, keadaan yang mestinya bernuansa kesedihan seperti ini saja Noe masih saja becanda.
“Jangan salahkan Tuhan… Dia pasti punya maksud tersembunyi ketika menciptakan makhluk sepertimu” Noe masih saja mengutarakan kalimat-kalimat yang sedikit menyentil hati. “Orang sepertimu dituntut untuk sabar… sabar yang harus kamu tanamkan pada dirimu harus ribuan kali lebih banyak dibanding kesabaran orang-orang pada umumnya… sebab keadaanmu juga ribuan kali lebih parah dari keadaan orang-orang pada umumnya” Noe mengejek lagi.
“Udahlah… ngomong sama kamu bukannya buat perasaanku lebih baik, malah tambah sakit hati…” Bed mulai malas mendengar kata-kata sahabatnya itu.
Meski kata-kata Noe tergolong kata-kata yang mengiris hati, namun Bed tak pernah marah, Bed tau bahwa Noe memang orangnya selengean, jarang bicara serius, suka menghina. Kedekatan mereka berdua yang membuat Noe tak bisa marah, mereka sudah selayaknya saudara.
Sudah 4 tahun lamanya mereka menjalin persahabatan. Perasaan senasib sebagai mahasiswa perantau yang terlunta-lunta tanpa keluarga dan uang kiriman telah membangun ikatan kuat diantara mereka berdua.
“Bed… ada tiga tahap dalam mendekati cewek… yang pertama BERUSAHA…. Apa kamu sudah berusaha?” Noe memancing percakapan tetang cinta itu lagi
“Sudah” jawab Bed Singkat.
“Apa?”
“Ya seperti layaknya cowok-cowok lainnya… ngobrol ditelpon secara intensif, SMS tiap malam, ngajak jalan, bantuin dia ngerjain tugas kuliah… pokoknya banyak deh…” Bed coba menjelaskan.
“Oke… aku anggap itu sudah bisa dianggap sebagai usaha… meskipun sebenarnya masih standar banget… Sekarang menuju tahap kedua, yaitu BERDO’A… apa kamu sudah melakukan hal itu?”
“Sudah… tiap malam aku berdo’a” jawab Bed
“nah… sekarang tahap ketiga…” Noe tersenyum. “Tahap terakhir yang harus dan wajib kamu lakukan adalah BERCERMIN…. Hahaha……”
“Kepalamu peyang…” Bed memaki.
“Sudahlah teman… gak perlu dipikirin… cewek bukan segalanya… banyak hal yang meski kita pikirin… utang di warung Bu Sri, tagihan listrik, penelitian, uang SPP semester depan… banyak… orang seperti kita gak punya waktu untuk hal-hal seperti itu… makan aja susah…” Noe mulai menunjukkan keseriusan meski masih agak bernada canda.
Bed hanya mengerutkan dahinya seraya mengaruk kepalanya yang tak gatal.
“Hemat-hemat itu pulsa… gunakan untuk hal-hal yang produktif… dari pada uang koinmu masuk di telpon umum untuk nelpon betinamu itu, mending masukin uang koinmu di kotak amal… dari pada ngajak jalan cewek, mending uangnya di pakai bayar utang di warung Bu Sri”
“Tapi setiap manusia kan butuh cinta…” Bed berkilah
“Hahaha… cinta?! Sadar bung…! Oke… oke…. Apa yang kamu cari dari cinta seorang betina…? Sorry jika aku berkesimpulan dari pengematanku diluar sana… pacaran hanya berujung pada nafsu… okelah… tidak 100% seperti itu… tapi menurutku ada lebih dari 80% yang ujung-ujungnya adalah kasur… betul ga?”
Bed mengangguk pelahan
“Kalo hanya nafsu… kamu bisa pinjem HPnya Rino, Nanda, Bobi atao yang laennya… dalam HP mereka itu banyak tersimpan film-film mesum… kamu juga bisa pake kamar mandi… di dunia ini banyak kok kamar mandi yang bisa kamu pake sebagai tempat onani…”
Bed tersenyum berat.
Noe melanjutkan ceramahnya “Kita hidup pada masyarakat realis… termasuk kita… dunia ini yang mendorong seluruh makhluk untuk menganut paham realis… jangan salahkan betina yang memprioritaskan pejantan-pejantan bermateri… materi itu penting… sangat penting… jadi, kaum jelata dan jelek kayak kita ini tak pernah masuk dalam daftar buku harian mereka…”
“Bagaimana dengan nasib cinta sejati?” tanya Bed
“Temukan cinta sejati itu di selokan belakang rumah… ini bukan jamannya romeo, ini bukan masanya galih dan ratna… “
“Jadi orang-orang kayak kita selamanya gak akan dapat jodoh…” Bed bertanya kembali
“Selesaikan kuliahmu, kerja dan penuhi kantongmu dengan kartu kredit… disela-sela tumpukan kartu kreditmu itu ada jodoh… jodoh yang sesuai keinginanmu pastinya… tapi kalo kamu memilih jodoh yang ada dalam suratan takdir, kamu diam saja… kerja aja seadanya… jodoh akan datang kok… tapi seadanya juga”
Dibalik kata Noe yang bernada tak serius itu ada makna yang begitu dalam.
“Ingat… cewek matre itu harus ada… biar manusia-manusia kayak kita ini punya semangat untuk merubah hidup”
“Justru karena dia cantik, makanya aku nembak dia… aku jatuh cinta padanya” Bed membela diri.
“hehe…” Noe tersenyum mengejek.
“Kamu gak setia kawan deh… temen ditolak, kamu malah tertawa… bukannya menghibur” Bed kecewa.
“Sorry teman… aku turut prihatin dengan keterpurukan nasibmu itu… tapi…” Noe tersenyum kembali, kemudian meneruskan kata-katanya. “tapi kamu harus terima hukum alam… orang cantik itu jarang yang jomblo… dan orang jelek kayak kamu lebih berpeluang untuk dicampakkan oleh cewek cantik… itu hukum alam yang hampir mutlak kebenarannya”
Bed hanya memasang muka kusutnya. Noe memang orang yang sulit untuk bicara hal-hal serius, keadaan yang mestinya bernuansa kesedihan seperti ini saja Noe masih saja becanda.
“Jangan salahkan Tuhan… Dia pasti punya maksud tersembunyi ketika menciptakan makhluk sepertimu” Noe masih saja mengutarakan kalimat-kalimat yang sedikit menyentil hati. “Orang sepertimu dituntut untuk sabar… sabar yang harus kamu tanamkan pada dirimu harus ribuan kali lebih banyak dibanding kesabaran orang-orang pada umumnya… sebab keadaanmu juga ribuan kali lebih parah dari keadaan orang-orang pada umumnya” Noe mengejek lagi.
“Udahlah… ngomong sama kamu bukannya buat perasaanku lebih baik, malah tambah sakit hati…” Bed mulai malas mendengar kata-kata sahabatnya itu.
Meski kata-kata Noe tergolong kata-kata yang mengiris hati, namun Bed tak pernah marah, Bed tau bahwa Noe memang orangnya selengean, jarang bicara serius, suka menghina. Kedekatan mereka berdua yang membuat Noe tak bisa marah, mereka sudah selayaknya saudara.
Sudah 4 tahun lamanya mereka menjalin persahabatan. Perasaan senasib sebagai mahasiswa perantau yang terlunta-lunta tanpa keluarga dan uang kiriman telah membangun ikatan kuat diantara mereka berdua.
“Bed… ada tiga tahap dalam mendekati cewek… yang pertama BERUSAHA…. Apa kamu sudah berusaha?” Noe memancing percakapan tetang cinta itu lagi
“Sudah” jawab Bed Singkat.
“Apa?”
“Ya seperti layaknya cowok-cowok lainnya… ngobrol ditelpon secara intensif, SMS tiap malam, ngajak jalan, bantuin dia ngerjain tugas kuliah… pokoknya banyak deh…” Bed coba menjelaskan.
“Oke… aku anggap itu sudah bisa dianggap sebagai usaha… meskipun sebenarnya masih standar banget… Sekarang menuju tahap kedua, yaitu BERDO’A… apa kamu sudah melakukan hal itu?”
“Sudah… tiap malam aku berdo’a” jawab Bed
“nah… sekarang tahap ketiga…” Noe tersenyum. “Tahap terakhir yang harus dan wajib kamu lakukan adalah BERCERMIN…. Hahaha……”
“Kepalamu peyang…” Bed memaki.
“Sudahlah teman… gak perlu dipikirin… cewek bukan segalanya… banyak hal yang meski kita pikirin… utang di warung Bu Sri, tagihan listrik, penelitian, uang SPP semester depan… banyak… orang seperti kita gak punya waktu untuk hal-hal seperti itu… makan aja susah…” Noe mulai menunjukkan keseriusan meski masih agak bernada canda.
Bed hanya mengerutkan dahinya seraya mengaruk kepalanya yang tak gatal.
“Hemat-hemat itu pulsa… gunakan untuk hal-hal yang produktif… dari pada uang koinmu masuk di telpon umum untuk nelpon betinamu itu, mending masukin uang koinmu di kotak amal… dari pada ngajak jalan cewek, mending uangnya di pakai bayar utang di warung Bu Sri”
“Tapi setiap manusia kan butuh cinta…” Bed berkilah
“Hahaha… cinta?! Sadar bung…! Oke… oke…. Apa yang kamu cari dari cinta seorang betina…? Sorry jika aku berkesimpulan dari pengematanku diluar sana… pacaran hanya berujung pada nafsu… okelah… tidak 100% seperti itu… tapi menurutku ada lebih dari 80% yang ujung-ujungnya adalah kasur… betul ga?”
Bed mengangguk pelahan
“Kalo hanya nafsu… kamu bisa pinjem HPnya Rino, Nanda, Bobi atao yang laennya… dalam HP mereka itu banyak tersimpan film-film mesum… kamu juga bisa pake kamar mandi… di dunia ini banyak kok kamar mandi yang bisa kamu pake sebagai tempat onani…”
Bed tersenyum berat.
Noe melanjutkan ceramahnya “Kita hidup pada masyarakat realis… termasuk kita… dunia ini yang mendorong seluruh makhluk untuk menganut paham realis… jangan salahkan betina yang memprioritaskan pejantan-pejantan bermateri… materi itu penting… sangat penting… jadi, kaum jelata dan jelek kayak kita ini tak pernah masuk dalam daftar buku harian mereka…”
“Bagaimana dengan nasib cinta sejati?” tanya Bed
“Temukan cinta sejati itu di selokan belakang rumah… ini bukan jamannya romeo, ini bukan masanya galih dan ratna… “
“Jadi orang-orang kayak kita selamanya gak akan dapat jodoh…” Bed bertanya kembali
“Selesaikan kuliahmu, kerja dan penuhi kantongmu dengan kartu kredit… disela-sela tumpukan kartu kreditmu itu ada jodoh… jodoh yang sesuai keinginanmu pastinya… tapi kalo kamu memilih jodoh yang ada dalam suratan takdir, kamu diam saja… kerja aja seadanya… jodoh akan datang kok… tapi seadanya juga”
Dibalik kata Noe yang bernada tak serius itu ada makna yang begitu dalam.
“Ingat… cewek matre itu harus ada… biar manusia-manusia kayak kita ini punya semangat untuk merubah hidup”
Nov '06
Istirahat Sejenak
Semenjak berlari itu aku terengah
Kepalaku buntu, matipun belum menjemputku
Berbaring sekujur hati dalam gelisah, dalam resah
Sampaipun belum, namun detak jantung ini begitu pacu
Aku lelah, jiwa ini letih, batin ingin merintih
Aku tau, keluh kesah adalah kekalahan yang datang lebih awal
Namun kali ini aku sudah dibasahi oleh keringat kepedihan
Air semangatku menguap ke udara bersama sapuan angin utara
Ijinkan aku istirahat untuk waktu yang sejenak
Biarkan aku lelapkan mata ini di bilik-bilik anyaman pasrah
Butir-butir pasir amanah yang kubawa masih kusimpan aman
Jangan risaukan hal itu, aku pilih mati jika dibanding kehilangan ini
Mungkin aku tak tepat waktu menuju dirimu
Tapi aku yakin, jemarimu pasti merindu untuk kusapu
Tunggu aku di sudut ruang malam tanpa penerang
Bersama kibaran awan malam aku ingin menyampaian kabar
Kepalaku buntu, matipun belum menjemputku
Berbaring sekujur hati dalam gelisah, dalam resah
Sampaipun belum, namun detak jantung ini begitu pacu
Aku lelah, jiwa ini letih, batin ingin merintih
Aku tau, keluh kesah adalah kekalahan yang datang lebih awal
Namun kali ini aku sudah dibasahi oleh keringat kepedihan
Air semangatku menguap ke udara bersama sapuan angin utara
Ijinkan aku istirahat untuk waktu yang sejenak
Biarkan aku lelapkan mata ini di bilik-bilik anyaman pasrah
Butir-butir pasir amanah yang kubawa masih kusimpan aman
Jangan risaukan hal itu, aku pilih mati jika dibanding kehilangan ini
Mungkin aku tak tepat waktu menuju dirimu
Tapi aku yakin, jemarimu pasti merindu untuk kusapu
Tunggu aku di sudut ruang malam tanpa penerang
Bersama kibaran awan malam aku ingin menyampaian kabar
Kendari, Juli 2007
Pulang
Aku ingin pulang
Membawakan sebungkus bangga pada mereka
Melukiskan senyum dibibir keriput itu
Menghujankan tangis bahagia di raut kerinduan
Aku yang dilihatnya sebagai pejuang
Ternyata hanya lelap di bualan idiologi
Duduk termengu memahat patung wajah sendiri
Berpura dalam dunia yang ria warna-warna
Benarkah aku ingin pulang?
Aku mungkin tak mampu pulang
Aku mungkin pulang dengan kekalahan
Membawakan sebungkus bangga pada mereka
Melukiskan senyum dibibir keriput itu
Menghujankan tangis bahagia di raut kerinduan
Aku yang dilihatnya sebagai pejuang
Ternyata hanya lelap di bualan idiologi
Duduk termengu memahat patung wajah sendiri
Berpura dalam dunia yang ria warna-warna
Benarkah aku ingin pulang?
Aku mungkin tak mampu pulang
Aku mungkin pulang dengan kekalahan
Maret 07
Dimana Seharusnya Aku Berada?
Dimana seharusnya aku berada?
Saat kaki tertopang ditanah padang idealisme
Badan tertejang badai kemunafikan dan sinisme
Kelaziman yang tak lazim telah mengakar di setiap kepala
Dianggap normal laku polah yang tak normal
Dimana semestinya aku berada?
Ketika mengikut arus realis yang berteralis najis
Cibir-cibir sadis keluar dari bibir manis diujung lengkung keris
Selayak kata aku tak punya jati diri dan tonggak hati
Pecundanglah mereka atau aku yang meredupkan diri di lingkup tak berkatub
Dimana selayaknya aku berada?
Dunia bentang sosial hanya bermotif noda-noda binal
Sedikitpun ujung kulit ari tak ada bersihnya
Dimana kaki beranjak, mata berkelana hanya ada dosa hina
Rentang tangan hati terlampau jauh untuk memeluk nurani yang bersuci
Tak ada lagi jabat guru sejati
Bukan lagi jaman guru dituruti
Sudah usang pemimpin dihormati
Semua nyawa hilir mudik kebingungan mencari yang tak tercari
Langkah hari selalu hati-hati
Sementara lobang jalanan semakin dalam, sekmakin tak jarang
Berdiam sama artinya mati konyol terlindas detik-detik
Harus lari cepat, tepat dalam pijak-pijak lsetiap ayun kaki
Tapi kadang kebingungan menghuni hati ketika mencari tempat memulai
Dimana aku berada?
Dimana seharusnya aku berada?
Dimana sebaiknya aku memulainya?
Ach….. Mungkin tak perlu pikirkan hal itu
Malaikat kubur tak tanyakan tentang hutang akalku
Tanah kubur basah atau kering sama saja
Nisan dari batu atau kayu juga ada bedanya
Sama-sama sempit, gelap, pengap, sama-sama samar
Ach…. Aku cuma berputus sinar harap
Saat kaki tertopang ditanah padang idealisme
Badan tertejang badai kemunafikan dan sinisme
Kelaziman yang tak lazim telah mengakar di setiap kepala
Dianggap normal laku polah yang tak normal
Dimana semestinya aku berada?
Ketika mengikut arus realis yang berteralis najis
Cibir-cibir sadis keluar dari bibir manis diujung lengkung keris
Selayak kata aku tak punya jati diri dan tonggak hati
Pecundanglah mereka atau aku yang meredupkan diri di lingkup tak berkatub
Dimana selayaknya aku berada?
Dunia bentang sosial hanya bermotif noda-noda binal
Sedikitpun ujung kulit ari tak ada bersihnya
Dimana kaki beranjak, mata berkelana hanya ada dosa hina
Rentang tangan hati terlampau jauh untuk memeluk nurani yang bersuci
Tak ada lagi jabat guru sejati
Bukan lagi jaman guru dituruti
Sudah usang pemimpin dihormati
Semua nyawa hilir mudik kebingungan mencari yang tak tercari
Langkah hari selalu hati-hati
Sementara lobang jalanan semakin dalam, sekmakin tak jarang
Berdiam sama artinya mati konyol terlindas detik-detik
Harus lari cepat, tepat dalam pijak-pijak lsetiap ayun kaki
Tapi kadang kebingungan menghuni hati ketika mencari tempat memulai
Dimana aku berada?
Dimana seharusnya aku berada?
Dimana sebaiknya aku memulainya?
Ach….. Mungkin tak perlu pikirkan hal itu
Malaikat kubur tak tanyakan tentang hutang akalku
Tanah kubur basah atau kering sama saja
Nisan dari batu atau kayu juga ada bedanya
Sama-sama sempit, gelap, pengap, sama-sama samar
Ach…. Aku cuma berputus sinar harap
Jan 07
Tak Percaya Menyaksikan Itu
Anak-anak kami akan dikemanakan?
Jalur perjalanan gelap tak ada sedikitpun terang
Mata kaki meraba-raba permukaan kerikil jalan
Selangkah serasa beribu waktu dan sejuta gelisah
Dalam lelah tak dapat temui tempat bersandar
Lingkup hati letih mencari latar untuk baringkan jiwa
Hidup menjadi ketidakpastian dengan segala misteri
Dipaksalah ruh ini untuk merunduk pada putaran alam
Suasana hari yang sedikian pula hari yang lalu
Tak berubah, semuanya kelam dalam selimut gulita
Mata kami dibuat bosan oleh nyawa-nyawa yang diracun dendam
Telinga kami bernanah mendengar jeritan mulut dibekuk ambisi
Mereka berputar mengelilingi tugu jaya maya
Semakin bergulir waktu, jumlah mereka semakin raya
Berjejal dalam siku-siku tajam menoreh luka di dada
Sentara itu, aku masih tak percaya menyaksikan itu
Segerobol manusia dijalanan panas
Berlari mengibarkan bendera kemerdekaan diri
Hiruk pikuk serta teriakan akan tangisan-tangisan bosan
Sentara itu, aku masih tak percaya menyaksikan itu
Sesamaku kemarin yang penat dalam lubang takdir lara
Menyeretkan dirinya dalam permainan haram sang penyamun
Ikut bersuara tentang kata-kata yang tak dimengertinya
Sentara itu, aku masih tak percaya menyaksikan itu
Sentara itu, aku masih tak percaya menyaksikan itu
Hanya hening yang aku agungkan dalam kekalahan
Mampunya diriku cuma dalam lirik-lirik kata menantang
Siksa terasa ketika itu semua tak mampu aku bersuara
Jalur perjalanan gelap tak ada sedikitpun terang
Mata kaki meraba-raba permukaan kerikil jalan
Selangkah serasa beribu waktu dan sejuta gelisah
Dalam lelah tak dapat temui tempat bersandar
Lingkup hati letih mencari latar untuk baringkan jiwa
Hidup menjadi ketidakpastian dengan segala misteri
Dipaksalah ruh ini untuk merunduk pada putaran alam
Suasana hari yang sedikian pula hari yang lalu
Tak berubah, semuanya kelam dalam selimut gulita
Mata kami dibuat bosan oleh nyawa-nyawa yang diracun dendam
Telinga kami bernanah mendengar jeritan mulut dibekuk ambisi
Mereka berputar mengelilingi tugu jaya maya
Semakin bergulir waktu, jumlah mereka semakin raya
Berjejal dalam siku-siku tajam menoreh luka di dada
Sentara itu, aku masih tak percaya menyaksikan itu
Segerobol manusia dijalanan panas
Berlari mengibarkan bendera kemerdekaan diri
Hiruk pikuk serta teriakan akan tangisan-tangisan bosan
Sentara itu, aku masih tak percaya menyaksikan itu
Sesamaku kemarin yang penat dalam lubang takdir lara
Menyeretkan dirinya dalam permainan haram sang penyamun
Ikut bersuara tentang kata-kata yang tak dimengertinya
Sentara itu, aku masih tak percaya menyaksikan itu
Sentara itu, aku masih tak percaya menyaksikan itu
Hanya hening yang aku agungkan dalam kekalahan
Mampunya diriku cuma dalam lirik-lirik kata menantang
Siksa terasa ketika itu semua tak mampu aku bersuara
Langganan:
Postingan (Atom)