OTAK, instrument pikir akan menghasilkan output untung - rugi, mungkin - mustahil dan benar - salah (berdasarkan ukuran-ukuran yang diciptakan manusia sendiri). Sedang HATI, instrument rasa akan menghasilkan output manfaat - mudlarat, pantas - wagu dan etis - tidak etis (bersarkan inspirasi yang diperoleh dari Sang Pencipta). Otak dan hati adalah dua perangkat yang berbeda. Ketika kita menyiapkan waktu dan ruang di hati untuk menyongsong datangnya inspirasi maka tinggalkan otak, berhentilah berpikir agar inspirasi lebih cepat masuk ke dalam relung hati.

(Pujo Priyono)

===================================================

10 Maret 2008

Gak Mendidik

“Jangan” Bed meraih tangan Noe yang hendak merogoh kantong celananya.

”Kenapa...? hanya uang receh kok, kurang berarti bagiku... tapi mungkin ini sangat berarti bagi mereka” protes Noe

”gak mendidik... jangan biarkan mereka manja.. bisa-bisa mereka jadi pengemis seumur hidupnya...” Bed mencoba menjelaskan. ”mereka masih kecil, tapi sudah seperti ini, bagaimana besarnya nanti?”

”Tai kucing dengan pendidikan moral itu Bed...” Noe terlihat kesal. ”sudah ratusan kali aku dengar ceramah sepertimu itu... mereka beralasan tidak mendidik, tapi mereka juga tidak mendidik apapun... bicara doang...”

Perdebatan mereka mulai lagi. Anak ingusan kumal yang tadinya hendak meminta belas kasihan segera menyingkir dari hadapan dua orang yang sedang perang argumentasi itu.

”Sini dek....” Noe memanggil pengemis itu kemudian memberinya uang. Bed hanya nyengir pahait melihat itu.

”Bed..., kita jangan pelit untuk beramal... hapus semua pemikiran yang melihat ini dari sudut pandang pendidikan... pikir sekali lagi... ini kesempatan yang di berikan Tuhan, ada uang di kantong, ada pengemis dihadapan kita... Tuhan memberi kita kesempatan untuk berbuat baik...”

Bed hanya diam. Entah apa yang ada dikepalanya saat ini.

”Siapa sech yang mau jadi pengemis, smua orang pengen kaya... aku yakin, sebagian besar dari menjalani ini karena terpaksa... kalaupun ada yang menjadikan pengemis itu sebagai profesi, gak banyak jumlahnya, dan itu bukan lagi urusan kita”

Noe menyalakan rokoknya. Bed pun demikian.

”Sadarilaha, ketika kita memberi uang pada pengemis, jumlahnya ga seberapa bagi kita... contonya, rokok yang kamu isap sekarang, harganya sebatang lebih dari 500 perak... kamu bakar, isap dan habis begitu saja... untuk hal percuma gini kamu rela buang uang, untuk memberi pengemis kamu bicara mendidik dan tidak mendidik”

Melintas dua cewek cantik dihadapan mereka.

”Lihat cewek-cewek itu...” Noe malanjukan. ”Dalam tas mereka ada HP yang harganya jutaan, pulsa habis ratusan ribu per bulan, warna rambutnya itu butuh uang ratusan ribu ke salon, bajunya dibeli tidak bisa pake uang recehan.... tapi untuk menyisihkan uang koin untuk pengemis aja mereka ga mampu... jadi sebenarnya siapa yang perlu didik...?”

Tidak lama berselang.

”Perhatikan lagi ibu itu...” Noe memberi isyarat, menunjuk seorang ibu berjalan membawa bukusan, sepertinya habis belanja di supermarket. ”Dalam kantong belanjanya itu, mungkin ada sayur, ada buah, ada bumbu dan lain sebagainya... dia memasak untuk keluarganya... ibu itu tak mau anaknya kelaparan... tapi lihatlah, dia sama sekali tdak bergeming ketika seoarang pengemis merengek didepanya... mereka juga butuh makan... apa karena bukan anaknya, bukan keluarganya ibu itu ga mau memberi makan? kalau sudah begini... siapa sebenarnya yang kurang pendidikan?”

***

”Sudah...? Sudah selesai ceramahnya....” Bed tiba-tiba menyela. Noe tidak bersuara, tapi masih terasa ada kegundahan yang belum keluar semuanya. ”Mari ikut aku... ada yang ingin kutunjukkan...” Ajak Bed. Kemudian mereka berdua naik keatas motor.

Tak sampai lima menit, mereka sudah sampai. Bed memarkir motornya.

”Lihat disebarang sana”

”Tukang bejak...?” tanya Noe singkat.

”Ya... tukang becak... perhatikan lebih seksama... diantara tukang becak itu ada yang fisiknya tak normal...”

Noe menyipitkan matanya, mengamati satu persatu tukang becak yang ada dihadapannya. Tak berepa lama, Noe menemukan apa yang dimaksud sahabatnya itu. Noe langsung mengerutkan dahinya, seakan tak percaya dengan apa yang dia lihat ”Yang paling ujung, dia cuma berkaki satu” kata Noe singkat

”Dia berkaki satu, namun mampu narik becak... jangan remehkan dia... aku berani bertaruh, kamu akan kalah jika adu kecepatan menarik becak dengan dia...” Bed tersenyum simpul.

”Inilah yang aku maksud Noe, jika harus memilih jalan hidup, masih banyak jalan lain selain meminta-minta... aku bangga dengan orang itu, meskipun secara fisik dia punya kekurangan, namun dia ga menyerah...”


Kali ini, mulut Noe yang terkunci rapat. Dia masih tidak mempercayai apa yang dilihatnya.

”Sekarang, kamu liat dibelakangmu....” Bed menunjukkan sesuatu lagi. Noe langsung membalikkan badannya. ”Lihat yang ada didepan ATM...”

”Apa yang kamu liat itu adalah sebuah semangat untuk hidup... Dia menjual koran, tapi bukan itu yang membuat kita berdetak takjub... tapi perhatikan lagi, dia tunanetra... buta... tapi apakah dengan butanya itu dia harus jadi pengemis..? Tidak...! dan inilah yang aku maksud tidak mendidik jika memberi uang pada pengemis....”

Ratusan kali masalah ini di wacanakan... ratusan blog telah menulis hal serupa ini.. Pertanyaanya, apa yang telah kita lakukan untuk hal ini...?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar