Kalimat standar. Kalimat sakti yang biasa dikatakan cewek untuk nolak cowok. Dan kalimat itu pula yang dipakai Lis untuk menolak Bed.
“Baiklah Lis, aku bisa pahami… aku nggak mungkin paksakan”
“Maaf ya ka’… aku sudah anggap kakak adalah saudaraku… aku senang bisa deket ama kakak…” hibur Lis.
Bed hanya tersenyum simpul. Teramat terasa bahwa itu senyuman yang dipaksakan.
Percakpan panjang itu berakhir kecewa bagi Bed. Melangkah pulang dengan membawa berita kekalahan. Rasanya hancur, semua pasti bisa mengerti bagaimana sakitnya ditolak oleh cewek yang sangat dicintainya.
Bed bertemu Lis di kantin kampus. Ketertarikan itu muncul begitu saja. Wajah polos tanpa bedak, bibir ranum asli tanpa polesan lipstick dan senyuman yang begitu indah membuat hati Bed kepincut.
Bed sudah sekian lama tak menginjak kampus karena banyak kegiatannya di luar membuat dia tak banyak kenal dengan mahasiwi-mahasiswi baru. Lis baru dilihatnya setelah cewek itu sudah duduk di semester dua.
Tak butuh waktu lama untuk mengetahui segala hal tentang Lis. Dalam waktu beberapa jam Bed sudah mengantongi alamat dan nomor HP Lis. Berawal dari itu Bed mencoba untuk mendekatkan diri pada cewek pujaannya itu.
Kedekatan itupun semakin membuat Bed lebih jatuh hati. Lis ternyata cewek yang ramah, santun, mudah bergaul dan rajin. Kecantikan visual yang dimiliki Lis dipadu dengan kebaikan hatinya menyeret perasaan Bed pada suatu nuansa hati yang bernama cinta.
“Sabar Bed… harusnya kamu sudah siap menerima keadaan ini” ujar Jim, Sahabat Bed.
Bed hanya tertunduk lesu. Tatapanya kosong menembus kepulan asap rokoknya yang keluar perlahan dari mulutnya.
“Kamu udah tau bahwa Lis punya cowok… ngapain kamu paksakan untuk nembak dia? Kamu pasti udah tau bahwa Lis nggak mungkin khianati cowoknya”
“Itu hanya dorongan hati saja Jim. Mending dia tahu sejak awal bahwa aku menaruh hati padanya… ini bukan masalah diterima ato tidaknya aku sebagai pacarnya… ini tentang kepuasan hatiku… aku merasa puas setelah mengungkapkan perasaanku, aku nggak bisa memendam rasa terlalu lama”
“Jadi kenapa kamu harus bersedih hati seperti ini? Ini resiko kongkrit dari tindakanmu….” Jim terlihat belum mengerti dengan kalimat Bed
“Aku menikmati kesedihan ini” ujar Bed singkat.
Bed masih saja menyimpan misteri, masih berlaku aneh, pola pikir yang sama sekali tidak bisa dimengerti orang lain, bahkan oleh sahabatnya sendiri.
“Aku merindukan perasaan ini Jim. Terlalu lama aku nggak patah hati, sekian lama aku jalani hari tanpa rasa cinta pada seorang cewek… aku ingin rindu, aku ingin kembali merasakan kepedihan dari cinta”
Bed memang sudah dua tahun sendiri tanpa kekasih. Kesibukannya dan hatinya yang sulit jatuh cinta membuatnya sulit untuk dekat dengan cewek. Kisah kasihnya dengan pacar terakhirnya bubar akibat Bed yang terlalu sibuk hingga tak ada waktu untuk saling berkomunikasi.
“Aku menikmati proses ini… biarkan aku tersiksa… biar aku sadar bahwa ternyata aku adalah manusia biasa yang butuh cinta”
Jim mengangguk pelan, dia mulai sedikit paham dengan perasaan Bed saat ini. Bed dalam proses pencarian jati diri. Bed ingin menghilangkan egoisitas diri. Selama ini dia merasa mampu hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Sejak SMA Bed memang hidup sendiri, jauh dari orang tua. Belajar bertahan hidup.
“Aku harus pergi Bed… aku harus menemui seseorang” Jim pamit. Ia bangkit dari tempat duduknya, melangkah keluar kamar.
Belum sampai semenit Jim menutup pintu dari luar, pintu itu tiba-tiba terbuka secara tiba-tiba.
Ternyata Jim kembali, ada sesuatu yang tertinggal dalam kamar Bed. Namun belum sempat Jim mengatakan sesuatu, matanya menangkap pemandangan yang belum pernah di saksikan sebelumnya.
“Bed…?!” tegur Jim
Bed duduk bersandar di sudut kamar, matanya mengucurkan air mata. Isak yang terdengar begitu dalam
(Akhir Des 06)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar